Bab 24A : Being a Mother
Bab 24A : Being a Mother
Seperti kebiasaan baru yang Sabrina terpaksa terapkan semenjak dia tinggal di rumah Ezra, dia bangun pukul lima pagi. Dan semenjak Sabrina ada di sini pula, dia jarang tidur dengan pulas. Dia terlalu memikirkan banyak hal, apalagi kejadian semalam, saat dia mendapati bahwa Ezra sepertinya kesal dengannya. Sabrina menyalahkan Osa; jika buntalan kentut itu tidak banyak bicara, maka dia tidak perlu merasa canggung saat dia bertemu dengan Ezra. Jujur, Sabrina belum siap jika harus meninggalkan rumah ini. Di sini, dia merasa aman, meski berada di rumah orang asing.
Usai Sabrina merapikan tempat tidurnya, dia terduduk di pinggir ranjang, dan memberanikan diri membaca pesan beruntun yang orang tuanya kirimkan. Sudah pasti, mereka menginginkan Sabrina pulang dengan keadaan selamat. Biarpun tidak ada satu pesan pun dari mereka yang berkata bahwa Sabrina harus mengapa-apakan kandungannya, tetap saja, nyalinya masih ciut untuk kembali tersungkur malu di kaki ibunya.
Sabrina menghela napas dan mengusap perutnya. "Apa kita udah terlalu lama tinggal di sini ya?"
Sabrina sudah lama merencanakan untuk mencari kerja, hanya dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia mempunyai niat, tapi keterbatasan fisik membuatnya lemah. Belum ada sepuluh menit dia bangun dari tidurnya, dia kembali merasa mual dan segera pergi ke kamar mandi.
Kalau dia tahu; sesusah ini menjadi seorang ibu, maka dia tidak akan mau berurusan dengan lelaki brengsek itu.
~°°~
Ezra terbangun oleh deringan jam yang ada di meja sebelah ranjangnya. Satu jam sebelum gerbang sekolah ditutup, dia masih mengumpulkan nyawanya di kasur. Dia berbaring ke samping, memeluk gulingnya dan berpikir. Kenapa harinya terasa lebih berat dari biasanya?
Kedatangan Matthew benar-benar membuat beban Ezra terasa lagi.
"Ah," Ezra beranjak dari ranjang sembari mengacak-acak rambutnya sendiri, "Persetan," katanya, menyingkirkan ingatannya tentang Matthew, adik yang senang sekali meremehkannya.
Butuh sepuluh menit bagi Ezra untuk bersiap-siap. Dia menyadari, semenjak Sabrina ada di sini, seragam sekolah yang dia kenakan selalu rapi disetrika. Ezra memang langganan laundry, tapi terlalu banyak seragam yang menumpuk dan malas dia bawa ke sana, jadi dia tumpuk saja dan ujungnya dibuang ke tempat sampah saking baunya.
Entah kenapa Ezra tersenyum sambil memperbaiki kerah kemejanya. Dia keluar dari kamar, bersamaan dengan Osa yang masih menguap lebar dengan tampilan rambut kekinian.
"Udah ngerjain PR belom?" tanya Osa, dan jelas Ezra menggeleng.
"Sama. Entar sebelum dihukum, kita beli es teh dulu. Biar nggak haus pas dijemur di lapangan," kata Osa lagi dan Ezra mengangguk.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju dapur. Sesampainya di sana, raut wajah Osa menunjukkan kekecewaan, karena meja makan yang biasanya penuh dengan sarapan, pagi ini hanya ada teko air putih dan gelas-gelas kosong.
"Lah?" Osa syok, "Jangan-jangan Sabrina mogok masak, Ez?"
Untuk sekarang, Osa merasa menyesal karena telah mencari masalah dengan Sabrina semalam.
"Gue kan belom makan dari semalem. Cacing gue masa suruh diet lagi," dumelnya, tapi Ezra tidak peduli.
Dia berbalik badan, meninggalkan Osa untuk pergi menuju kamar Sabrina.
Ezra sudah ada di depan pintu kamar Sabrina, lalu mengetuknya. "Sab. Lo udah bangun?" tanya sopan, namun tidak ada jawaban.
Karena itu Ezra mengetuk pintunya lebih keras lagi. "Sab? Lo masih tidur?" Dan lagi-lagi masih sama.
Osa yang sudah ada di samping Ezra pun mengerutkan keningnya. "Kok belum keluar?"
Ezra jelas langsung khawatir, dan dia segera mencoba membuka pintu kamar Sabrina, yang ternyata dibarengi dengan si empunya kamar.
Sabrina mengelap bibirnya yang basah karena bilasan air. "Maaf," katanya menunduk, "Gue kesiangan," dia tersenyum kaku, "Kalian udah mau berangkat ya? Sori, gue nggak bisa masakkin apa-apa."
Tanpa aba-aba, Ezra mendaratkan tangan ke kening Sabrina. "Elo pucet."
"Elo sakit?" tanya Osa, tambah cemas.
Perang yang terjadi antara Osa dan Sabrina telah usai lewat perhatian yang Osa lontarkan.
Sabrina tersenyum tipis. "Enggak. Cuma bawaannya enek aja. Biasa, kalo pagi mulai kayak gini."
"Ke rumah sakit ya?" kata Ezra, bukan meminta, tapi memerintah.
Sabrina cepat-cepat menggeleng. "Enggak usah. Di rumah aja gue, nanti juga sembuh."
"Jangan dipaksa Sab. Mending lo ke dokter, lagian lo belum pernah periksa kan?" ucap Osa yang memindai ekspresi Sabrina.
"Enggak usah enak hati," timpalnya lagi, "Uang Ezra banyak, nggak bakal habis kalo buat bayarin lo ke dokter mah."
"Enggak usah." Sabrina tetap pada pendiriannya, "Kalian berangkat aja gih, entar telat."
"Yakin nggak apa?" Ezra belum bisa melepaskan kekhawatirannya.
Sabrina mengangguk. "Minum susu juga entar sembuh."
Ezra menyadari satu sifat yang Sabrina miliki, yaitu keras kepala.
"Oke," ucapnya, "Kalo ada apa-apa, elo langsung telpon gue." Dia mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan kartu ATM yang membuat mata Osa jadi berkilat.
"Eh si anjir," ceplos Osa, tak habis pikir kalau jiwa penolong Ezra sudah setinggi ini.
Ezra menenggelamkan kartu kredit itu ke genggaman tangan Sabrina. "Sandinya entar gue sms."
"Tapi ini-" Sabrina hendak menolak tapi Ezra mengkomando agar Sabrina tidak usah banyak kompromi.
"Ngapa harus di-sms, tinggal bilang aja sih," ceplos Osa lagi, tapi dia dicueki.
"Gue berangkat dulu." Ezra pamit, dan Osa mengekori Ezra sambil bertanya-tanya tentang sandi ATMnya.
Sudah jelas mau diapakan kartunya, jika Osa tahu sandinya.
Di depan rumah, Ezra mendumel. "Gue kok nggak pernah sih lo kasih kartu-kartu gituan. Sekalinya dikasih, malah yang udah limit."
Ezra mengambil helmnya. "Ck. Buat apa lo mau pakein kartu gue? Mau buat borong telor?"
"Ya kali," Osa juga ikutan pakai helm, "Buat shopping shoppinglah."
"Bangkrut gue," kata Ezra, berdecih.
~••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro