Bab 15 : Tanggungan
Akhirnya apdet juga.... Wkwk....
Bab 15 : Tanggungan
"Tapi saat lo bunuh diri, itu malah artinya, lo nggak ngehargain hidup lagi. Itu malah lebih menyia-nyiakan masa depan yang ada."
Dua kalimat yang Ezra ucapkan saat sarapan tadi itu, masih saja terngiang-ngiang di telinga dan memenuhi isi hati Sabrina. Benar, perkataan Ezra sangat benar. Betapa lucunya dia dulu, saat berpikir bahwa dengan cara mati, maka semua masalah akan terselesaikan. Padahal cara itu, sudah pasti akan langsung mengirimkannya ke neraka. Dari kecil, ibunya terus mengajarkan hal-hal yang baik, seperti sepuluh perintah Tuhan, tapi Sabrina sadar, dia malah melakukan banyak keburukan di dalam hidupnya. Tapi bagaimanapun, nasi sudah menjadi bubur. Mau diapakan? Selain menjalani semua ini dengan dilingkupi rasa bersalah.
"Si Osa mana sih?" Perkataan Ezra membuat Sabrina berhenti memikirkan kesalahannya sendiri.
Mereka tengah ada di ruang tamu, dan Ezra lagi duduk sambil sibuk menali sepatunya.
"Ah," Sabrina celangak-celinguk. "Kayaknya belum bangun. Apa gue bangunin anaknya?"
Ezra melihat ke lantai dua, kamar yang langsung dapat ditemui setelah naik tangga. "Kebo emang," lalu dia kembali melihat Sabrina. "Nggak usah. Biarinlah, punya kaki ini buat ke sekolah."
Sudah jam setengah tujuh, dan Ezra ingat hari ini ada pelajaran Kimia, dan gurunya pun galak, dia sedang tidak mood untuk mencari masalah seperti biasanya. Dia bangkit berdiri seraya membenarkan tasnya, dan dia menyadari satu hal; bahwa Sabrina tidak punya pakaian lain kecuali yang sedang melekat padanya. Iyalah, kemarin itu Sabrina ikut-ikut saja, tanpa bisa balik ke dalam dan membawa barang-barang pentingnya.
"Ntar gue beliin seragam di koperasi aja deh ya," putus Ezra, dia tahu, Sabrina tentu masih mau melanjutkan sekolah.
Sabrina mengibaskan tangannya. "Lo gila. Nggak usah, lo kasih numpang di sini aja udah cukup. Lagian kan udah gue bilang, gue udah nggak bisa sekolah lagi dengan keadaan begini."
Tanpa perlu pikir panjang, Ezra juga sudah mengerti maksud perkataan Sabrina. Topik ini sudah sempat mereka bahas tadi, tapi Sabrina pintar untuk mengubah jalur perbincangannya. Ezra tahu, cepat atau lambat pun orang tua Sabrina akan mencarinya, ke mana pun tempat yang mereka tahu bahwa Sabrina akan ada di sana; menanyakan keberadaannya ke sana-sini.
"Ya udah, gini aja." Ezra mengeluarkan dompetnya yang dia simpan di kantong celana belakang, dan di dalam sana ada beberapa lembar uang ratusan ribu. Dia terdiam untuk berpikir; sebanyak apa uang yang bisa Sabrina pakai untuk membeli keperluannya selama dia ada di sini.
Sabrina melihat kelakuan Ezra dengan polos, tanpa punya opini jika Ezra hendak memberikannya uang.
"Ini," kata Ezra yang memilih untuk memberikan uang sebanyak lima ratus lima puluh ribu kepada Sabrina; seluruh isi di dompetnya.
Sabrina tentu bingung, dan tidak menerima sodoran itu. "Apaan itu, Ez?"
Ezra menyodorkannya lagi, tapi kali ini dia menarik tangan Sabrina dan menaruh uang itu ke dalam genggaman tangannya. "Beliin gue sama Osa bahan makanan, dan sisanya anggap aja uang jalan lo, yang bisa lo pake buat beli kebutuhan pribadi lo."
Jelaskah, Sabrina menolak, dia menggeleng dan hendak mengembalikannya lagi. "Nggak bisa Ez, ini ... ini juga banyak banget."
Tapi Ezra ngotot agar Sabrina mau menerima uang itu, dengan berkata, "Jangan geer dulu sih kalo gue mau bantu lo lagi. Ini cuma bentuk tanggung jawab gue, karena gue yang udah bawa lo ke mari."
Sejujurnya Sabrina memang butuh, hanya saja ia anggap jika Ezra sudah terlalu baik dengannya, dan pikiran itu bisa Ezra tebak dari ekspresi sendu Sabrina.
"Lo adalah tanggungan gue sekarang, jadi udah kewajiban gue buat bertindak begini," tutur Ezra dengan nada bicara seriusnya.
Rasanya, Sabrina ingin meneteskan air mata. Setegar apa pun dia berusaha, tapi kelakuan Ezra malah membuatnya ingin menunjukkan kelemahannya lewat air mata.
"Makasih, Ez," katanya.
"Tapi dengan satu syarat buat hari ini. Lo yang masak, karena gue bosen sama masakannya Osa yang nggak jauh-jauh dari roti lapis sama telor," timpal Ezra yang memang takut bisulan dengan menu sehari-harinya, tiap kali Osa masak dan memaksa Ezra untuk ikutan makan saja.
Sabrina tersenyum. "Siap, Bos!"
Baik Ezra ataupun Sabrina, tidak ada yang tahu jika Osa sudah keluar sejak Ezra memberikan Sabrina uang, dan cowok itu melihat serta mendengar semuanya. Osa hafal jika kawannya itu adalah orang yang baik hati, tapi dia tidak tahu alasan kenapa Ezra begitu memandang Sabrina; lewat cara yang lain.
Osa berhenti penasaran, lebih baik dia cairkan saja suasananya. "Good morning!"
Dia turun dari tangga sambil merilekskan otot-otot tubuhnya. "Sori gue lama, Zra. Gue ketiduran di toilet masa."
Ezra melirik Osa malas, dan tahu bahwa apa yang Osa katakan itu memang tidak bercanda. Cowok itu bisa tidur di mana pun dan kapanpun yang dia mau. "Gue nggak nanya. Udah ah, cepetan, atau lo gue tinggal."
"Siap, Bos!" Dengan sengaja Osa menirukan bagimana cara Sabrina mengiyakan permintaan Ezra soal minta disiapkan masakan hari ini.
Osa berlari kecil, melewati Sabrina yang berencana untuk pergi ke supermarket, dan dia berterima kasih kepada Tuhan, karena akhirnya dia bisa membeli susu bagi ibu hamil seperti dirinya.
~•••~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro