Bab 13 : Yang Ketiga Itu Setan
Bab 13 : Yang Ketiga Itu Setan
Ini seperti ironi, kehidupan Sabrina adalah sebuah ironi yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Pertama, dia berpacaran di belakang orang tuanya, kedua, bahkan sampai hamil di luar nikah, dan ketiga, kabur dari rumah bersama seseorang yang tidak terlalu dikenalnya. Sabrina tahu, langkah yang telah dia ambil adalah sesuatu; yang membuatnya merasa makin bersalah. Namun, jika dia terus berada di rumah, juga untuk apa?
Orang tuanya bersikap acuh tak acuh, apalagi Mira, yang terus meminta agar Tian dibawa ke rumah. Tidak, bahkan untuk memikirkan nama orang itu, Sabrina sudah merasa najis. Jika nanti anaknya lahir, ia tidak akan menyuruh anaknya menganggap Tian sebagai ayahnya. Anggaplah Tian seperti mimpi buruk, yang harus segera terhapus oleh mimpi-mimpi lainnya.
Sabrina agak tersenyum menyudut saat dia mendengar Osa sedang menyenandungkan musik asal-asalan. Dilihatnya, kalau Osa sedang mengocok telur, dan dia perkirakan kalau cowok itu hendak mendadarnya. Wah, jago juga kelihatannya.
"Lalala...." Senandungan Osa melirih saat dia berbalik badan, dan menemukan Sabrina tengah membalas tatapan terkejutnya.
"Lo ngapain di dapur?" Sepertinya kesewotan si Osa terhadap Sabrina, tidak akan gampang hilang.
"A ... gue ... anu... Ezra nyuruh gue buat minta tolong ke ... elo, buat nunjukkin kamar," tutur Sabrina terbata-bata, karena Osa jutek padanya.
Osa berhenti mengocok telur, dia melihat ke arah menuju ruang tamu, dan berkata, "Dia pikir dia siapa nyuruh-nyuruh gue!" Kemudian dia memandang Sabrina tak minat.
"Terus apa lagi?" tanyanya.
Lapar. Sabrina lapar, tapi dia masih punya muka untuk tidak terlalu melunjak.
"Itu aja," katanya, diakhiri senyuman lebar.
"Nggak usah selebar itu. Tetep aja gue masih susah buat maafin elo." Osa terdiam sesaat, seperti menelisik ekspresi Sabrina saat ini, cewek itu menunduk.
"Ada satu kamar tamu, tapi gue nggak tau kapan terakhir kalinya dibersihin sama yang punya rumah," katanya, kemudian meletakkan mangkuk berisi tiga biji telur ayam ke atas kitchen bar.
Osa memberi kode agar Sabrina mengikutinya menggunakan tangan, dan dia paham.
"Nanti bisa gue bersihin sendiri kok," sahut Sabrina, yang merasa memang hal itu adalah urusannya. Dikasih kamar sendiri saja sudah sujud syukur. Bukan disuruh tidur di sofa, atau bahkan lantai.
"Ya emang. Itu harus. Masa gue? Kan nggak mungkin," timpal Osa, songong mode on. "Gue alergi sama debu, sama ingus cewek apalagi." Ini cowok minta banget dibekap pakai jaket kesayangannya, sampai dia melambaikan tangan ke arah kamera.
Bahas saja terus Osa, sampai nanti kamu lelah kayak Hayati.
Mereka keluar dari dapur, dan tentu saja melewati ruang tamu, untuk menuju kamar itu. Osa melihat bahwa Ezra sedang tengkurap di sofa dengan mata yang terpejam.
"Gue nggak ngerti apa yang ada di otak dia lagi," gumam Osa, tapi sempat didengarkan oleh Sabrina.
"Lo ngomong apa, Osa?" balas Sabrina, spontan, karena dia takut, Osa mengatakan sesuatu yang penting mengenai kamarnya lagi, atau topik sejenisnya.
Osa melirik Sabrina malas. "Bukan urusan lo."
Sabrina mendecih. Dia tahu kok, bahwa itu bukan urusannya, apa pun yang Osa pikirkan tentangnya, juga bukan urusannya. Cara pandang Sabrina terhadap Osa pun berubah drastis. Di manakah orang sableng yang menceplos; mengulangi adegan guling di jalan raya waktu itu?
Di sampingnya, yang ada hanyalah seorang pemuda rese, mulut penyindir, dan begitu kekanakan.
"Ini," kata Osa, sambil menunjuk kamar yang bisa ditempati oleh Sabrina.
"Kalo ada apa-apa, mandiri aja. Gue terlalu sibuk buat ngeladenin perintah lo, dengan atas nama Ezra." Masih Osa yang berbicara.
Di dalam hati, Sabrina berkata; gue mah nggak punya mandiri, punyanya BCE.
Berbincang soal uang, Sabrina baru ingat kalau dia hanya bunya selembar uang seratus ribuan di kantong celananya, dan ponsel pintar keluaran tahun lalu. Aduh, ini bagaimana dia bisa bertahan hidup lebih lama lagi?
"Makasih, Osa," ucap Sabrinsa saat dilihatnya, si Osa mulai beranjak darinya.
Osa tidak menjawab, dan dia memang sedang benar-benar menyebalkan. Sabrina rasa hal itu memang benar; saat ada dua orang berkumpul, yang ketiga adalah setan. Mungkinkah Osa ini jahat, atau malah si Ezra?
Sabrina menggeleng. Dia merasa dirinya jahat; kalau terlalu lama tinggal di sini, atau seperti menumpang hidup. Tidur, dan makan, tanpa membayar sepeser pun. Sabrina berpikir, dia harus bekerja esok hari.
Soal sekolah, entahlah. Dia sendiri sudah pasrah, bahwa tidak ada takdir yang bagus, yang tersisa untuknya.
Saat Sabrina membuka pintu kamar itu, dia melihat bahwa keadaan di dalam sana lumayan rapi. Di sana tersedia kasur yang empuk, dia merasakannya saat pertama kali duduk. Sabrina mulai berpikir lagi; enak ya jadi orang kaya? Mereka seperti tidak perlu memikirkan hal-hal rumit tentang kehidupan. Sudahlah, Sabrina tidur saja, dengan perut keroncongan.
~•••~
Apdet dikit aja yak.... Gak bisa nulis banyak² sekarang😄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro