FRIENDS #2
"Sebaik-baiknya tempat untuk menyimpan rahasia adalah di hatimu sendiri."
Jalan Mawar, Bandung.
Andara duduk di tepi jalan, di atas motor sportnya yang berwarna hitam. Menggunakan tank top putih berbalut jaket kulit hitam yang dipadu padankan dengan denim jeans, Andara tampak sibuk memeriksa ponselnya beberapa kali. Ia juga melihat ke sekitar, ke kanan dan ke kiri, pada jalanan yang sudah sepi serta sesekali memastikan bahwa jam di tangan kirinya telah mengarah ke angka sepuluh.
Langit yang gelap dan pencahayaan seadanya membuat tubuh Andara tidak terlalu terlihat oleh beberapa kendaraan yang lewat di sana. Belum lagi, Andara memarkirkan motornya tepat di samping pohon besar dimana posisinya bisa dikatakan cukup strategis untuk bersembunyi.
Namun, anak perempuan yang menguncir rambutnya dengan tinggi ke belakang itu tidak sedang bersembunyi. Ia justru terlihat antusias dan beranjak dari jok motornya ketika sebuah motor sport lain berwarna merah datang menghampirinya. Motor merah itu berhenti tepat di depan Andara dan sosok laki-laki terlihat turun dari mobilnya. Laki-laki berperawakan besar dengan jaket berbahan kulit yang tampak sama dengan milik Andara itu kemudian melepaskan helm dan berjalan ke arahnya. "Udah nunggu lama?"
Andara mengangkat kedua bahunya. "Lumayan. Apa kata mereka?"
Anak laki-laki itu adalah Miko. Usianya terpaut satu tahun lebih tua daripada Andara. Ia sedang menempuh perkuliahan jurusan hukum semester awal sekarang. "Mereka mau balapan di jalanan licin," kata Miko, terdengar tak suka. "Gue rasa ini cuma jebakan buat lo, Dar. Sebaiknya lo tolak aja permintaan mereka kali ini."
Perempuan itu menyilang kedua tangannya di dada dan mengerutkan dahinya heran. "Kalau gue ngalah gitu aja, mereka bakal lebih seenaknya, Mik." Andara menatap Miko lurus-lurus, menegaskan setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan nada lugas. "Bukannya kalau kita menang, kita bakal dapat lebih banyak keuntungan, ya? Kita bisa bantu Shinta dapetin motornya lagi dan kita bisa kembali ke basecamp kita yang dulu tanpa perlu ngerasa was-was setiap saat."
Miko, laki-laki bermata sipit itu mendesah. Terdengar seperti helaan napas yang berat dan jengah. "Dar, mereka pasti cuma ngejadiin dua hal itu sebagai alasan doang. Kita nggak bisa percaya sama mereka gitu aja."
"Miko, we have to fight back! Ini semua buat Shinta juga, kok."
"Tapi Shinta sekarang koma di rumah sakit, Dar," sahut Miko dengan nada suara yang lebih tinggi. "Apa menurut lo, yang dia butuhin sekarang itu motornya? Bahkan setelah dia sadar nanti, kita nggak tahu apa dia masih bisa ingat tentang kita atau enggak. Shinta lagi berjuang sendirian gara-gara kesalahan kita, Dar."
"Dia nggak pernah sendirian," ucap Andara dengan tegas. "Makanya gue mau ikut balapan sama mereka dan gue akan menangin balapan itu buat Shinta. Itu yang Shinta mau demi kita, Mik."
Perempuan itu berbalik, kemudian mengambil helm dari atas spionnya dan memakainya dengan cepat. Ia bersiap menaiki motornya sebelum akhirnya Miko bergerak menahannya. Membuat Andara menoleh, mengernyitkan keningnya dengan bingung. "I warn you, Dar. Ini nggak main-main dan nyawa lo bisa dalam bahaya kali ini."
"Miko, I'll be fine. Okay?" Perempuan itu menepis pelan tangan Miko dari lengannya. "Gue akan balas semua orang yang udah bikin Shinta sekarat di rumah sakit dan bikin mereka semua menderita dengan cara gue sendiri."
Namun laki-laki yang kini tengah menempuh pendidikan semester kedua itu tidak mudah menyerah. Ia mengatup mulutnya dan menggelengkan kepala. "Ini tahun terakhir lo di sekolah. Gimana kalau sampai lo kenapa-napa? Lo nggak akan bisa ikut ujian, nggak akan bisa lulus kaya temen-temen lo yang lain, Dar."
"Gue cuma punya dua teman di dunia, lo dan Shinta."
Miko tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa beradu tatap dengan Andara, teman perempuan yang sudah sejak kecil menemaninya. Bersama Shinta, mereka menjadi tak terkalahkan. Namun, bukan hidup namanya jika semuanya terlalu mudah. Shinta kini koma dan Andara harus menyimpan dendam itu selamanya.
"Gue cabut dulu. Lo yakin mereka nggak ngikutin lo, 'kan, tadi?"
Laki-laki dengan topi baseball abu yang menutupi kepalanya itu hanya bisa mengangguk mengiyakan. "Gue ambil jalan lain di belokan. Kayaknya aman," ujar Miko memberi tahu. "Lo sendiri gimana? Nggak gue anterin aja?"
"Buat sementara, kita nggak usah hubungan dulu. Ini demi kebaikan kita berdua. Kalau ada kabar lagi, lo tau 'kan harus cari gue kemana?"
Miko mengangguk paham. Ia pun melambaikan tangan dan membenarkan topinya, sembari bergeser ke samping, memberi jalan untuk Andara yang telah bersiap pergi dengan motor miliknya. Perempuan itu menggunakan masker untuk menutupi wajah dan menancapkan gasnya meninggalkan Miko sendirian di sisi jalan yang sepi dan gelap.
Andara pergi dengan setumpuk dendam di hatinya dan rasa bersalah yang terus mengganggunya. Kecelakaan yang menimpa Shinta beberapa bulan silam terus membuat pikiran Andara tak dapat fokus. Ia tahu bahwa sahabatnya tidak mengalami kecelakaan secara alami, seseorang pasti telah merencanakannya. Kecelakaan itu tak seharusnya menimpa Shinta, melainkan dirinya sendiri. Namun nasi sudah menjadi bubur, Andara tidak dapat merubah takdir dan keadaan yang menyambut di depan matanya.
Angin yang berembus kencang malam ini seolah menjadi saksi bahwa pertempuran baru akan dimulai. Pembalasan dendam baru saja menginjak garis start dan tidak ada jalan kembali bagi Andara. Karena di dunia ini, hanya Miko dan Shinta lah yang dimilikinya. Tidak peduli betapa bahayanya masalah yang harus dihadapinya, ia harus membalaskan dendamnya pada orang-orang itu.
Namun Andara tidak melakukannya sekarang. Ia perlu bersembunyi untuk mempersiapkan taktik dan rencana yang mumpuni. Ia tidak tahu siapa saja yang akan benar-benar berada di pihaknya atau justru menikamnya dari belakang. Itulah sebabnya Andara harus bersabar dalam pelarian ini, untuk sementara.
Semua yang dilakukannya adalah atas dasar solidaritas. Jadi, tidak ada salahnya, bukan?
wattpad : @helloimaaa | instagram : @helloimaaa | dreame : @helloimaaa
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro