CLBK
Eirin merasa ada yang menyenggol bahunya, maka ia pun menoleh ke sebelahnya, Ervan. Ia mengangkat alisnya tanda bertanya. Ervan hanya tersenyum dan menatapnya, tak terlihat sedikitpun berniat membuka pembicaraan. Eirin menghela napas kesal.
Buang-buang waktu saja. pikirnya kesal. Setelah menatap Ervan dengan tajam selama beberapa saat, ia kembali melanjutkan aktivitasanya, mencatat. Belum lama ia mencatat, Ervan kembali menyenggolnya. Eirin memutar bola matanya kesal dan menggeram.
Ervan terkekeh lalu berbisik, “Aku punya rahasia. Kamu mau tau gak?” Merasa tidak direspon perkataannya, Ervan berdecak kesal lalu kembali menyenggol tangan Eirin. Eirin menoleh padanya dan menatapnya kesal. Ervan tersenyum senang karena berhasil mendapatkan perhatian gadis itu.
Eirin menghela napas kesal. “Kalau kamu mau beri tahu, ya, silakan. Jika tidak juga tidak apa-apa. Lagian itu hakmu. Aku tidak berhak menuntutmu untuk memberitahukan rahasiamu kepadaku,” ucap Eirin santai tanpa memperhatikan Ervan. Ervan tersenyum mendengarnya.
Sudah ia duga akan mendapat respon seperti ini. Eirin adalah gadis tercuek yang pernah ia kenal. Ia berdeham sebentar, lalu melirik Eirin. “Kamu tahu ‘kan kalau aku ini playboy?” tanya santai. Ia melirik Eirin, memperhatikan responnya. Eirin masih mendengarkannya sambil mencatat. Terbukti, Eirin meresponnya dengan dehaman kecil.
“Banyak cewek yang aku sukai. Sini pinjam bukumu. Akan kutuliskan daftarnya.” Tanpa menunggu izin dari Eirin, Ervan menarik bukunya. Kemudian pemuda itu menuliskan sederet nama perempuan yang juga Eirin ketahui karena mereka satu sekolah. Bahkan ada beberapa gadis yang sekelas dengan mereka. Setelah sampai di nama yang keduapuluh, Ervan berhenti dan menoleh.
Memamerkan senyum patennya. Eirin mengangkat alisnya, heran. “Yang dua puluh ini harusnya … kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku?” tembak Ervan langsung. Sontak Eirin tersedak oleh ludahnya sendiri. Yah, ia tahu kalau Ervan playboy, tapi ia tidak tahu kalau teman sebangkunya itu akan menembak dirinya. Lagi pula, cara menembak apa itu?
Eirin menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia memelototi Ervan, tak lupa ia memperlihatkan ekspresinya yang paling garang. “Kamu gila, ya?” geramnya kesal, “kita masih SMP. Kelas satu lagi. Ngapain kamu ajak aku pacaran? Gak! Aku gak mau! Lagian kamu ‘kan playboy,” lanjutnya tegas. Eirin menatap kedepan dan terkejut mendapati guru sedang memelototi mereka. Ia segera menunduk.
Ervan menghela napas panjang. Kecewa? Ya, tentu saja. Ia sudah tahu akan ditolak. Akan tetapi, dikatai gila? Oh, sungguh. Ia tidak pernah menyangkanya. Ekspresinya yang awalnya tercengang berubah sendu. Namun hanya sebentar, senyum ceria sudah kembali menghiasi wajahnya.
^^
Seorang wanita dewasa sedang berkutat dengan komputer yang ada di depannya dengan mimik serius. Berkali-kali ia meneliti kembali data-data yang ada di layar petak itu sebelum mencetaknya dalam bentuk kertas. Senyum puasnya terbit ketika hasilnya sudah keluar. Dengan langkah pasti dan yakin, ia berjalan ke ruangan bosnya. Diketuknya perlahan pintu yang tertutup rapat itu dan memasukinya begitu dipersilahkan.
Ia menyodorkan hasil kerjanya selama tiga hari belakangan ini kepada bosnya. Meneliti ekspresi yang diperlihatkan oleh bosnya agar bisa mempersiapkan diri tentang apa yang akan dikatakan olehnya. Keningnya ikut berkerut tatkala melihat kening bosnya berkerut.
Pria itu menatapnya datar selama beberapa saat. Wanita itu masih setia menunggunya melontarkan tanggapannya tentang proposal yang diajukan. “Rin, minggu depan anak-anak mau ngadain reunian.” Eirin mengerutkan keningnya bingung.
Lho? Kenapa jadi bahas reunian? Apa hubungannya reuni dengan proposal yang diajukan olehku? pikir Eirin bingung.
“Memang tidak ada hubungannya reuni dengan proposalmu ini, Rin. Aku hanya memberitahumu saja, kalau minggu depan anak-anak ngadain reunian.” Seolah bisa membaca pikiran Eirin, Marven menjawab pertanyaan yang tidak dilontarkan oleh sahabat sekaligus bawahannya itu. Eirin hanya ber-oh ria menanggapinya. “Kenapa cuma ‘Oh’ saja? Kamu pergi tidak?”
Eirin mengangguk-anggukan kepalanya tanpa maksud apa-apa. Ia masih setia menunggu tanggapan tentang proposalnya itu. “Bagaimana tanggapan Bapak tentang proposal yang saya ajukan?” Pertanyaan Eirin yang diajukan dengan nada formal itu membuat Marven menggelengkan kepalanya tak percaya.
Marven berdeham lalu berkata, “Bagus. Akan saya pertimbangkan.” Senyum cerah terbit begitu saja di bibir tipis wanita itu. “Jadi? Kamu datang atau tidak ke reuni itu?” Eirin menatapnya bingung sebentar. Marven menghembuskan napasnya kesal. “Ervan datang.”
Tubuh Eirin kaku mendengarnya. Ervan! Sudah sangat lama sekali ia tidak bertemu dengan pria itu. Apakah sudah ada sepuluh tahun? Sebelas? Atau bahkan duabelas? Entahlah. Yang jelas, setelah kejadian itu, Ervan menghilang tanpa kabar. Entah mengapa, Eirin merasa harus menunggunya kembali. Sejak hari itu, ia tidak bisa mengenyahkan Ervan dari otaknya dan juga hatinya.
Eirin tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Bukankah dulu ia menolah Ervan mentah-mentah? Bahkan sampai mengatai Ervan ‘Gila’. Namun setelah Ervan mengilang, ia merasa sedih dan hampa. Seperti ada yang hilang. Sekarang ia mengerti, ia mencintai Ervan. Entah sejak kapan perasaan itu muncul dan tumbuh. Lalu mengakar dengan kuat di hatinya.
Ervan dan hanya akan ada Ervan yang ada di hatinya. Walaupun ia sudah lama tidak mendengar kabar tentang pria itu. Ia bahkan sudah tidak mengetahui bagaimana wajahnya sekarang. Sungguh aneh dirinya ini.
“Halo? Rin? Kamu masih mijak bumi ‘kan?” Suara berat Marven menariknya kembali ke alam sadar. Eirin mendelik serta menatap tajam bosnya itu. Takut dipecat? Jelas saja tidak, karena Marven yang saat ini adalah Marven temannya, bukan Marven bosnya. Marven memamerkan cengirannya. “Jadi kamu pergi atau tidak?”
Eirin menghembuskan napas kesal. “Akan kupikirkan.” Hanya itu saja yang diucapkan olehnya sebelum meninggalkan ruangan Marven. Bisa didengarnya Marven menghela napas panjang.
^^
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah seminggu ia lewati begitu saja. Itu berarti, reuni itu hari ini! Ia bahkan belum memikirkan akan pergi atau tidak. Walaupun ia sering mengatakan pada Marven ‘Sudah kupikirkan’, namun ia tidak benar-benar memikirkannya. Ia hanya tidak ingin diganggu dengan pertanyaan itu oleh Marven lagi dan lagi.
Line!
Eirin sontak mencari benda petak mungil itu di dalam tasnya. Mengambil lalu membuka pesan tersebut. Hembusan napas kesal meluncur begitu saja dari bibir tipisnya. Apa-apaan itu? Marven mengiriminya pesan agar ia turun kebawah dan berangkat bersama mereka, Marven dan istrinya. Ia bahkan belum bersiap-siap.
“Lama banget sih, Rin!” Belum sempat ia membalas pesan Marven, Kayla, istri Marven, muncul dibalik pintu dengan wajah kesal. Begitu memperhatikan penampilan Eirin yang seperti baru bangun tidur itu, Kayla melotot tak percaya. Eirin hanya bisa memberikan cengirannya serta tatapan minta maaf.
Tidak perlu untuk dibentak, Eirin segera menyambar handuknya dan mandi. Sepuluh menit kemudian, ia sudah berada di ruang tamu. Bersiap untuk mendengarkan ceramah Kayla. Namun apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Kayla menariknya dengan senyum manis yang melekat di bibirnya. Menuntunnya menuju mobil Marven.
^^
Eirin duduk di pojok ruangan ballroom hotel tersebut. Ia benci pesta dan keramaian. Akan tetapi, ia lebih membenci mendengarkan ceramah Kayla yang pasti tidak ada habisnya itu. Jadi, ia memutuskan untuk cepat bersiap-siap sebelum ia mendengar ceramah Kayla yang pastinya membuat telinga memerah itu.
“Malam, Rin. Kamu makin cantik saja.” Eirin menolehkan kepalanya dan mendapati senyum tengil yang sangat-sangat dirindukannya itu. Ervan! Pemuda itu tidak banyak berubah ternyata. Hanya tubuhnya saja yang berubah menjadi semakin tegap dan besar layaknya seorang pria dewasa.
Eirin memasang senyum formalnya. “Malam juga, Ervan. Lama tidak berjumpa. Senang bertemu denganmu kembali.” Eirin mengulurkan tangannya dan segera disambut oleh Ervan. Menggenggamnya erat lalu dengan tiba-tiba Ervan menariknya kedalam dekapan hangat lelaki itu.
“Aku kangen kamu, Rin. Kuharap kamu belum menikah seperti Marven dan yang lainnya,” ucap Ervan tepat di leher Eirin membuat Eirin menggeliat kegelian. Eirin mendorong Ervan, berusaha melepaskan pelukannya. Ervan mengurai pelukan mereka dan menatap Eirin kecewa.
Ervan membuang napas lesu. “Jangan katakan. Aku mengerti.” Ervan lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa mendengar penjelasan dari mulut Eirin. Ia mengira bahwa Eirin sudah memiliki suami. Ya. Mengapa tidak? Lihatlah Eirin sekarang. Ia cantik dan juga pintar. Sekarang ia juga jauh lebih ramah daripada Eirin yang dulu. Lalu mengapa ia harus menjadi seorang wanita single?
Ervan menoleh ketika merasakan ada yang memegang pundaknya. “Ada apa, Rin? Santai aja. Gak perlu minta maaf kok.” Eirin mengerutkan keningnya tak mengerti. Ada apa dengan pria yang didepannya ini? Mengapa membicarakan hal yang tidak jelas?
“Apa maksudmu? Kenapa kamu pergi gitu aja?” tanya Eirin bingung. Mungkin terjadi kesalahpahaman diantara mereka berdua. Sekarang gantian Ervan yang terlihat bingung.
Ervan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Salah tingkah. “Kamu udah punya suami, ‘kan?” Mendengar itu, sontak tawa Eirin berhambur keluar. Ia tertawa begitu kerasnya hingga mengundang perhatian teman-teman mereka yang lainnya.
Tidak sadar menjadi pusat perhatian, Eirin masih saja terus tertawa. Perutnya terasa kram dan ia berusaha menghentikan tawanya. “Maaf. Tapi atas dasar apa kamu mengatakan kalau aku sudah menikah?” tanyanya setelah bisa menghentikan tawanya.
“Kenapa tidak? Kamu cantik, dewasa, pintar. Pasti banyak lelaki yang menginginkan kamu.” Tawa Eirin kembali menghambur keluar, bahkan kali ini bukan hanya Eirin saja yang tertawa. Sahabat-sahabat dekat Eirin juga menertawainnya. Apa yang terjadi di sini? Di bagian mana dari kalimatnya yang begitu lucu hingga membuat mereka semua tertawa.
“Bukan pria yang tidak menginginkannya,Van. Tapi dia yang tidak menginginkan pria-pria itu.” Ucapan Kayla membuat kerutan di dahi Ervan semakin dalam. Apa maksudnya itu? Apa jangan-jangan Eirin lesbi? Sepertinya saat terakhir ia bertemu dengan Eirin, Eirin tidak menunjukkan gejala seperti itu.
Marven menepuk bahu Ervan pelan membuatnya menoleh. “Dia hanya mau sama kamu.” Mata Ervan melotot tak percaya. Apakah itu benar? Sontak ia menatap Eirin, menuntut jawaban. Dilihatnya wajah Eirin merah padam akibat malu. Itu sudah cukup bukan? Berarti Eirin mempunyai perasaan kepadanya selama ini.
Ervan berlutut dihadapan Eirin, lalu merogah saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru. Ervan membuka kotak tersebut dan membuat semua orang menahan napas. Itu cincin! Cincin yang telah dipesan khusus olehnya untuk melamar Eirin. Cincin berlian yang terlihat mahal. “Kamu mau ‘kan jadi istri aku?” Mata Eirin membulat tak percaya.
Wajahnya terasa panas. Malu! Dengan pelan dan cepat ia menjawab ‘Ya’ atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Ervan. Ervan segera memasangkan cincin tersebut ke jari manis Eirin dan mengecup punggung tangannya lama.
“Sebenarnya kamu itu cinta pertama aku, tapi karna aku yakin kamu bakal nolak aku waktu itu. Jadi, aku jadiin kamu yang terakhir. Dan benar ‘kan? Kamu memang yang terakhir. Aku juga yakin aku ini yang pertama untukmu.” Ervan menarik Eirin kedalam rengkuhannya membuat teman-teman mereka bersorak gembira. Mereka semua menyelamati Ervan dan Eirin yang akan menjalin hubungan yang baru.
END
----------------------------------------
Hai! Balik dengan karya baru. Hihi... Sebenarnya ini bukanlah karya yang disediakan untuk wattpad. Tapi karena yah ... daripada sayang kan ya? Mending di post bukan /malah curhat/
Gimana? Suka ceritanya? Kalau suka tolong injekin bintangnya ya. Hehehe
Kalau bisa krisarnya juga.
Thank you
-Vin-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro