Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tikus Kantin

Ketukan pintu rumah membuatku bergegas ke depan untuk membukakan pintu. Aku tahu siapa yang datang.

Litus mengikutiku di belakang, aku segera membuka pintu dan muncullah dua orang yang sangat aku sayang.

"MAMA, PAPA!"

Aku langsung menghambur memeluk kedua orang tuaku yang baru saja sampai di rumah. Mereka membalas pelukanku sangat erat.

"Apa kabar, Om, Tante?" tanya Litus. Mama melepaskan pelukanku dan beralih memeluk Litus.

"Kabar baik. Kamu, gimana?"

"Baik juga, Tan."

"Syukurlah."

Litus beralih menyalami papaku. Orang tuaku memang sudah menganggap Litus seperti anak sendiri.

"Maaf, ya, Sayang. Mama gak bisa jemput kamu waktu pulang ke Indonesia."

"Gapapa, Ma."

Mama mencium pipiku dan mengusap rambutku pelan.

"Masuk yuk, Ma! Kita ngobrol di dalam," ajakku. Dari tadi mama dan papa masih berdiri di depan pintu, sudah seperti tamu saja.

Kita semua duduk di sofa ruang tamu. Bu Rum menghidangkan minuman dingin dan cemilan untuk disantap.

"Selamat datang, Tuan, Nyonya." Bu Rum membungkukkan badannya sedikit memberikan hormat kepada Mama dan Papa.

"Bu Rum kayak sama siapa aja deh," ucap Mama bangkit, lalu mengajak Bu Rum untuk duduk bersama kami di ruang tamu.

"Setelah ini, Om menetap di Indonesia. Apa masih ada proyek di luar negeri?" tanya Litus kepada papaku.

"Selama satu bulan ke depan, Om menetap di Indonesia. Walaupun, tetap bolak balik ke sana. Namanya juga pekerjaan, Tus! Harus tega ninggalin rumah," jawab Papa.

"Oh, ya. Mama mau buka restoran juga di sini," ucap Mama mengalihkan perhatianku.

"Restoran? Bukannya, Mama sudah punya butik, ya? Kenapa sekarang pindah haluan ke restoran?" tanyaku.

"Restorannya buat kamu, Na!"

Mataku melotot sempurna dengan mulut yang membulat seperti huruf O. Apa aku tidak salah dengar?

"Bu–buat aku?" tanyaku tak percaya.

"Iya, Mama dan Papa mau lihat kamu jadi pengusaha, dimulai dengan restoran saja, dahulu."

"Tapi, Una mau jadi pengacara, Ma!"

"Bagus dong. Kamu jadi pengacara, sekaligus pengusaha."

Aku menggaruk tengkuhku yang tak gatal. Menjadi pengusaha bukan cita-citaku, karena orang tuaku sudah berkecimpung dalam pekerjaan itu. Aku ingin berbeda dari mereka, tapi nantinya aku juga akan menjadi penerus perusahaan keluargaku. Apalagi, aku anak satu-satunya yang tertinggal. Ah, sudahlah, memikirkan itu membuatku pening. Lagi pula, aku tahun ini belum bisa bekerja.

"Ma, aku tahun ini belum mau kerja dulu boleh, kan?" tanyaku hati-hati.

"Loh, kenapa?" Papa langsung menyahut ucapanku.

"Ada urusan yang harus aku selesaikan, Pa!" jawabku.

"Tante, Una gak mau bilang urusannya apa sama Litus. Dia rahasiain dari Litus, Tan," adu Litus. Aku menghela napas pelan.

"Una, kamu mau ngurusin apaan, sih? Kok, mau nunda pekerjaan segala?" tanya Mama.

"Urusan penting, Ma!"

"Ya, urusan pentingnya, apa?" tanya Litus kesal berbarengan dengan Mama.

"Besok Mama juga tahu. Una yakin, Mama pasti dukung keputusan, Una!"

Aku bangkit dan berlalu dari situ, sebelum semuanya melontarkan pertanyaan yang membuatku susah memikirkan jawaban.

"Maksud kamu apa, Una?" tanya Mama yang masih bisa kudengar.

"Ini tentang dia yang telah menghancurkan hidup anak Mama!"

***

Pagi ini sangat cerah, matahari bersemangat memancarkan sinarnya dengan kehangatan yang menusuk tulang. Aku bersiap untuk lari pagi. Sekarang, lari pagi bukan atas ajakan Litus. Melainkan, aku sendiri yang ingin berlari pagi ini.

Jam menunjukkan pukul tujuh lewat tujuh menit. Masih terbilang pagi, tapi sinar matahari mengecoh, karena sekarang sudah seperti siang hari.

Aku berlari di sekitar komplek, lari mengelilingi perumahan elit itu sama saja dengan berlari di tempat jogging pada umumnya. Yah, komplek ini terbilang sangat luas.

Aku mengatur napasku yang mulai naik turun karena berlarian. Aku menariknya lalu mengembuskannya perlahan. Lari sendiri terasa lebih capek dibandingkan lari bersama Litus. Nyesal juga, aku tak mengajak dia.

Tanpa aku sengaja, ternyata aku berdiri di depan rumah Rayner. Aku melihat pria itu sedang menyiram bunga yang ada di halaman rumahnya.

Melihatnya seperti itu, aku jadi ingin menghampirinya. Apa aku hampiri saja, ya?

Kakiku melangkah mendekati pagar rumah Rayner. Aku mengguncang pagar hitam itu menarik perhatian Rayner.

"Raqueen?" Rayner akhirnya menyadari keberadaanku. Aku tersenyum ke arahnya. Rayner berjalan mendekatiku, membukakan pintu pagarnya untukku.

"Silakan masuk, Raqueen!" suruhnya.

"Lagi sibuk ya, Ray?" tanyaku singkat.

"Nggak juga. Aku hanya menyiram bunga kesayangan mamaku, karena sudah dua hari tak aku siram."

Aku mengambil alih selang air itu, membantu Rayner menyiram taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga itu.

"Bunganya cantik," ucapku tertarik dengan bunga matahari yang tumbuh dengan cantik di dalam pot bunga.

"Seperti kamu."

Aku terkejut mendengarnya. Walaupun, Rayner berbicara sangat lamban. Bahkan, hampir tak kedengaran, tapi telingaku yang tajam langsung nyaring mendengar ucapan Rayner. Darahku tiba-tiba berdesir, perutku tergelak ingin mengeluarkan rombongan kupu-kupu yang hinggap di perutku. Hatiku menghangat hanya karena, gumaman Rayner tadi. Apakah aku senang dipujinya?

"ADEEN ... DEN RAYNER!" teriak seseorang dari dalam sangat nyaring. Rayner segera berlari masuk ke rumahnya. Aku yang penasaran mengikuti Rayner masuk tanpa disuruh.

"Kenapa, Bik?" tanya Rayner panik.

"Nyonya pingsan, Den! Setelah minum obatnya!" lapor wanita paruh baya yang dipanggil bibik oleh Rayner. Sudah dipastikan, bibik itu pembantu di rumah Rayner.

"Jaga rumah ya, Bik! Aku mau bawa mama ke rumah sakit dahulu!"

"Baik, Den!"

Rayner segera menggendong mamanya dan membawa Tante Yusinta itu ke rumah sakit. Aku melihat botol obat di atas meja. Kuambil satu butir obat di sana dan memasukkan ke dalam saku celanaku. Sepertinya, ada yang tidak beres.

Aku segera menyusul Rayner keluar. Aku harus mengambil hatinya.

***

"Gimana keadaannya, Tante?" tanyaku setelah membawa Tante Yusinta ke rumah sakit dan sudah ditangani dokter. Sekarang, Tante Yusinta sedang berada di UGD. Dokter bilang, ibu Rayner hanya kecapekan dan bisa pulang sore ini.

"Kamu siapa, Nak?" tanya Tante Yusinta —ibunya Rayner— kepadaku.

"Aku Una, Tan. Temannya Rayner," jawabku.

"Kamu kenapa gak ngenalin Una ke Mama, Rayner?" tanya Tante Yusinta menatap Rayner.

"Kita baru kenalan kok, Tante," jawabku sebelum Rayner menjawab.

"Gimana keadaan Mama sekarang?" tanya Rayner.

"Udah baikan kok, kamu tenang saja." Tante Yusinta mengelus rambut Rayner dengan sayang.

"Sudah sana! Ajakin Una jalan-jalan. Mama gapapa sendiri di sini," suruh Tante Yusinta.

"Enggak. Nanti siapa yang jagain Mama?" tanya Rayner.

"Mama gapapa. Lagian, mama mau tidur, sana temenin Una!"

"Iya, Ma!"

"Aku pamit dulu ya, Tan!"

"Iya, Una."

Rayner menarik tangaku keluar dari UGD. Kita berjalan menuju kantin rumah sakit. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, badanku terasa lengket karena habis lari pagi tadi. Untung saja, badanku masih wangi, walaupun aku gak mandi dua hari sekalipun.

Aku dan Rayner duduk di meja kantin. Seperti biasa, aku memilih tempat pojokan agar tak dilihat banyak orang. Rayner hanya mengikuti kemauanku.  Berlari membuat perutku terasa keroncongan.

"Pak, nasi gorengnya makan di sini dua ya!" pesan Rayner kepada bapak kantin bilik nomor dua.

"Telurnya mau dadar atau mata sapi, Mbak, Mas?" tanya bapak kantin.

"Mata sapi, Pak," jawab kita berdua kompak.

"Baik, tunggu sebentar, ya!"

"Telurnya setengah mateng ya, Pak!" ucap kita berdua lagi kompak.

"Baik Mas, Mbak, ada lagi?"

"Nggak, Pak!" jawab kita lagi dan lagi bersamaan. Rayner menatap mataku yang juga tengah menatapnya. Lalu, kita berdua tertawa singkat.

"Kamu suka telur mata sapi setengah mateng?" tanyaku

"Suka banget," jawab Rayner.

"Aku juga suka."

Tak lama kemudian pesanan kita datang. Aku menatap telur mata sapi yang setengah matang itu berbinar, lidahku tak sabaran ingin menyentuh bulat kuning cair itu.

Sepertinya, Rayner juga sepertiku. Dia segera mengambil garpu lalu mengacaukan kuning telur itu ke dalam nasi goreng.

Kita mulai menyantap nasi goreng dengan telur istimewa itu dengan lahap. Aku merasakan ada sesuatu yang menyenggol kakiku, merasa risih karena geli, aku akhirnya melihat ke bawah apa yang ada di kakiku.

"HUAAA TIKUUS!" pekikku terkejut lalu menerjangkan kakiku melepaskan tikus itu. Aku langsung naik ke atas kursi karena geli, takut jika tikus itu bisa terbang.

"Di mana, Queen?" tanya Rayner.

"Itu, itu, di bawah meja, huaaa buang ... buang!" suruhku. Aku tak memerdulikan lagi apa tanggapan orang melihatku ketakutan dengan tikus. Pasalnya, ini tikus besar banget, bahkan sebesar kucing.

"Buang Ray!" suruhku lagi karena Rayner malah tersenyum geli melihat tingkahku.

Akhirnya bapak kantin datang lalu membantu membuang tikus itu. Ah, aku lega sekarang.

Rayner masih terkikik menertawakanku. Apa yang lucu? Kenapa dia menahan tawa seperti itu?

"Ih, gak lucu, tau!" kesalku.

"Kamu yang lucu."

"Maksudnya?"

"Muka kamu gemmesin aja," ucap Rayner yang malah membuat aku terbang melayang ke angkasa.

"Ah, bisa aja," elakku menutupi kebaperan yang melanda hatiku.

Aku pindah duduk ke sebelah Rayner, takut jika duduk di sana ada tikus yang lewat lagi.

"Kamu takut banget sama tikus, ya?" tanya Rayner. Yah, pake ditanya lagi.

"Aku geli aja lihatnya."

"Eh, itu tuh, ada di bawah kursi kamu," ucap Rayner yang membuatku kalang kabut dan tanpa pikir panjang memeluk badan Rayner.

"HUAAA TAKUUT!"

"Eh, itu tuh, tikusnya manjat."

"AAA, BUANG RAY!"

"Eh, tikusnya udah baik ke atas kursi."

"RAYY, BUANG GAK! CEPET BUANG!"

"Tikusnya di belakang kamu, Queen!"

"HUAA MAMAA, TAKUUT!"

Aku semakin mengeratkan pelukanku, meraih lehernya memasukkan kepalaku di sela leher Rayner. Aku dapat merasakan detakan jantung Rayner yang berdebar kencang. Eh? Debaran jantungnya sama kencangnya denganku. Bahu Rayner naik turun, perlahan terdengar kikikan halus yang memanaskan telingaku.

Aku langsung melepaskan pelukannya dan Rayner tertawa terbahak-bahak menertawakanku. Aku ternyata dikerjain! Aku mengerucutkan bibir kesal. Namun, melihat tawa Rayner yang lepas begitu membuat hatiku bergetar tak tertahan. Rayner benar-benar tampan.

****

Vote and commentnya ya, seyeng🖤

Thanks

~Amalia Ulan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro