Rasa
Aku mendengus mendengar celotehan Alisa yang tak pernah berhenti sejak tadi. Ah, nyesal aku mempertemukan Alisa dengan Litus.
"Terus, gue dikasih bunga. Aaaa, gue baper, meleleh lihat mukanya," ucap Alisa yang tak kunjung selesai bercerita.
"Iya, Lis."
"Lo kenapa gak bilang kalau punya sahabat sekeren dia, sih?"
"Lo gak pernah ke sini."
"Eh iya, biasanya kan, lo yang ke Makasar."
Aku mengabaikan Alisa. Kuambil ponsel dan segera menghubungi Gino.
"Hallo, Gin. Atur jadwal pertemuan kita dengan dia, gue ke sana satu jam lagi."
Ssperti biasa, sebelum mendengar jawaban Gino, aku memutuskan sambungan telepon.
Sekarang, waktunya mandi dan bersiap-siap. Aku membiarkan Alisa yang masih berceloteh sendirian.
Beberapa menit kemudian, aku telah selesai mandi dan ternyata sudah tidak ada lagi Alisa di kamarku. Mungkin, dia sudah kembali ke kamarnya. Aku segera bersiap-siap tak ingin Gino lama menungguku, aku harus datang tepat waktu kali ini.
Kuambil tas tangan yang sering kubawa, lalu aku melangkah keluar kamar untuk pamit terlebih dahulu dengan Bu Rum.
"Hati-hati ya, Nak. Jangan lupa, pulangnya jangan kemalaman," pesan Bu Rum.
"Siap Bu Rum. Sebelum maghrib aku sudah di rumah."
"Yaudah, hati-hati!"
Aku mencium punggung tangan Bu Rum lalu melangkah keluar rumah. Di teras rumahku, ada Litus dan Alisa sedang bercanda ria. Mereka bahkan, tak menyadari kehadiranku. Ah, orang pacaran dunia milik berdua, yang lain hanya ngontrak.
***
Kali ini, aku datang tepat waktu. Walaupun, Gino datang lebih dulu dariku. Tak masalah, yang penting aku tidak terlambat dengan waktu yang dijanjikan.
"Mana orangnya?" tanyaku tanpa basa basi.
"Mungkin, sebentar lagi datang," jawab Gino.
Aku menarik kursi lalu duduk di hadapan Gino, seperti biasa ketika aku janjian bertemu dengannya. Restoran yang kita pilih pun tetap sama.
"Gue minta alamat rumahnya Yunian, Gin."
"Udah gue kirim kok, lo belum lihat," jawab Gino. Aku segera mengecek ponselku. Ternyata benar, Gino sudah mengirimkannya dua jam yang lalu.
Tak lama kemudian, seseorang datang menghampiri meja kami.
"Gue Fiko, sahabatnya Rayner," ucapnya memperkenalkan diri. Aku mempersilakan dia duduk di samping Gino.
"Langsung saja ya, seberapa dekat lo dengan Rayner?" tanyaku tanpa basa-basi. Sebelumnya Gino sudah menjelaskan tujuan dan maksud kita mengundangnya. Jadi, aku hanya membutuhkan penjelasannya lebih rinci.
"Dekat, gue satu SMP dan SMA dengan dia dulu," jawabnya.
"Lo tahu masa lalu Rayner dengan mantannya?"
"Tau lah, mantannya yang waktu di SMA, bukan?"
"Iya," jawabku.
"Mereka pacaran berapa lama?" tanya Gino kepada Fiko.
"Kurang lebih empat tahun, mereka putus setelah mantannya it–"
"Gak usah dilanjutkan," potongku cepat.
"Oke."
"Lo tahu apa masalah mereka?" tanya Gino.
"Tahu, kebetulan mantannya itu juga lumayan dekat sama gue, dia juga sering cerita sama gue," jawab Fiko.
"Dia cerita apa saja?" tanyaku.
"Banyak. Rayner selingkuh, Rayner sering nyakitin mantannya, Rayner juga sering membuat mantannya itu nangis."
Aku mengerutkan kening mencerna ucapan Fiko. Katanya, dia adalah sahabat Rayner tapi, kenapa dia malah menjelek-jelekkan sahabatnya sendiri? Ada yang aneh. Namun, apa yang diucapkan memang sama dengan informasi yang kuterima selama ini. Jadi, aku harus mempercayainya.
"Lo kenal Yunian? Menurut lo, dia gimana?" tanyaku.
"Yunian adik angkat Rayner, kan?"
"Iya."
"Yunian anaknya baik, Rayner dan keluarganya saja yang jahat," ucapnya yang membuatku bingung.
"Maksud lo?" tanyaku.
"Ada suatu hal yang membuat Yunian seperti itu, gue gak bisa jawab apa masalahnya, karena ini bukan topik yang kita bahas."
"Iya, balik lagi ke masalah Rayner," ucap Gino.
Aku masih memikirkan maksud ucapan Fiko. Ada apa dengan Yunian? Yang kutahu, dia anak jalanan yang ditinggalkan orang tuanya. Setelah berumur dua belas tahun, Ibu Rayner mengangkatnya menjadi anak angkat.
"Lo beneran mau balas dendam dengan Rayner?" tanya Fiko yang kubalas anggukan.
"Gue mau bantuin," ucapnya.
"Bukannya lo sahabat Rayner? Kok, lo malah bantuin gue?" tanyaku heran.
"Iya, memang dia sahabat gue. Tapi, kalian tahu kan, gak semua sahabat yang baik."
"Emang lo ada masalah apa sama Rayner?" tanyaku lagi.
"Masalah pribadi, kalian gak perlu tahu."
"Satu pertanyaan lagi, Rayner sebenarnya baik atau jahat?" tanyaku.
"Dia orang jahat yang berpura-pura baik."
Mendengar jawabannya, aku semakin berkobar untuk menuntaskan misiku.
***
Aku melihat alamat yang diberikan Gino sekali lagi. Alamatnya benar. Apakah rumah bewarna abu-abu itu rumah Yunian? Aku harus memastikannya.
Aku berjalan mendekati pintu rumah itu, kuketuk beberapa kali sampai seseorang membukakan pintu. Seorang wanita paru baya.
"Mau cari siapa?" tanya ibu itu.
"Permisi Buk, aku mau ketemu Yunian," jawabku sopan.
"Sebentar ya, saya panggilkan dulu. Silakan masuk!"
Aku masuk ke dalam rumahnya dan duduk di ruang tamu. Aku memerhatikan sekitar, banyak foto Yunian terpajang.
"Ngapain lo ke sini?" tanya sebuah suara. Aku segera menoleh tersenyum singkat ke arah Yunian, walaupun dia tidak membalas senyumku.
"Santai, Mbak. Gue ke sini, bukan mau cari masalah, kok."
Yunian dengan tampang angkuhnya itu duduk di hadapanku.
"Mau lo apa?" tanyanya ketus.
"Kenapa lo berniat mencelakakan Rayner?" tanyaku langsung.
"Bukan urusan lo."
"Tentu ini menjadi urusan gue," ucapku pula.
"Emang apa urusannya sama lo?"
"Kita berada di pihak yang sama."
Yunian mengerutkan keningnya tak mengerti maksudku. Aku mengembuskan napas pelan. Katanya, pintar. Kok, malah lemot begini?
"Kita sama-sama ingin mencelakai Rayner."
Yunian terkejut, aku membisikkan semua rencanaku kepadanya, dia menyimak dengan seksama.
Senyum sinis terbit di bibir Yunian. Dia mengajakku untuk bertos ria sebagai bentuk kerja sama menyatukan misi kita.
Haha, aku sudah mempunyai sekutu yang kuat.
***
Aku melihat Yunian bertemu dengan Rayner. Mereka berdua berbincang, aku memperhatikan dari kejauhan.
Aku tidak tahu apa masalah Yunian. Aku hanya memanfaatkan dia untuk membantu melancarkan misiku. Suatu saat, aku juga akan membongkar kebusukkannya. Oke, sebut saja aku orang yang jahat tapi, asal kalian tahu, aku begini karena mereka yang telah duluan menghancurkanku. Bagiku, yang jahat tetap dihancurkan, walaupun dia temanku sekalipun.
Terlihat Yunian sedang menangis dengan air mata buayanya.
Tak lama kemudian, Rayner beranjak meninggalkan meja. Yunian segera mengambil dokumen di dalam tas kerja Rayner.
Aku tersenyum, lalu aku melangkah pergi dari situ setelah mendapatkan kode dari Yunian.
***
"Kamu tumben banget, mau ngajakin aku ketemuan di sini," ucap Rayner duduk di tikar yang sudah kusediakan.
Aku mengajak Rayner ketemuan di Bukit Tereng. Di sini, udaranya sangat sejuk dan pemandangan sangat luas. Tempat ini cocok untuk melakukan piknik atau bersantai menikmati alam.
"Aku tahu, kamu pasti sering ke sini, kan?"
"Iya, dulu memang sering," jawabnya.
"Dulu sama siapa ke sini?" tanyaku.
"Sama mantan," jawab Rayner.
"Oh, maaf. Aku tidak tahu," ucapku berbohong. Tentu saja aku sangat tahu.
"Gimana kabar Tante?" tanyaku.
"Baik. Mama sudah lumayan membaik."
"Syukur deh," ujarku.
"Kamu sudah tahu, aku putus dengan Yunian?" tanyanya. Tentu saja aku tahu.
"Loh, kenapa kalian putus? Ada masalah apa?" tanyaku pura-pura terkejut.
"Gak ada masalah, mungkin dia ada rencana lain, karena rencana awalnya sudah gagal. Oh, apa dia punya sekutu baru?"
Kenapa Rayner berkata seperti itu? Apa yang ada di pikirannya sekarang? Napasku terasa tercekat. Aku harus menutupi rasa keterkejutanku.
"Apa maksudmu?"
"Ah, lupakan."
Aku mengembuskan napas pelan. Pikiranku melayang tak tahu kemana. Aku merasa terjebak dengan misiku sendiri.
"Raqueen, kamu punya rasa nggak denganku?" tanya Rayner tiba-tiba.
Otakku buntu mendengar pertanyaannya. Kenapa Rayner selalu bisa membuat pertanyaan menjebak seperti ini?
***
Kira-kira apa jawaban Una?
Terima kasih yang udah baca sampai sini. Baca kelanjutannya di novel CLBK ya (segera terbit) 😘🥳🥰
Kalau aku berkenan nanti aku up lagi hehee. Komen dulu makanya! Jangan lupa vote dan follow akun wp ku yaaa.
Thanks
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro