
Berteman
Rayner membantuku berjalan, dia memapah pinggangku, aku menatap wajahnya yang dingin. Rayner memang sangat tampan, ketampanannya bisa menghipnotis siapa aja. Aku berdecak dengan apa yang telah aku pikirkan tentang dia. Setampan tampannya Rayner, tetap saja dia orang yang akan aku musnahkan.
"Rumah kamu yang mana?" tanya Rayner.
"Yang di sebelah kiri, deretan nomor empat," jawabku, Rayner mengangguk.
Aku membuka pintu pagar yang tak terkunci, Bu Rum langsung menghampiriku dengan perasaan cemas kentara di wajahnya.
"Astaghfirullah, kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Rum panik.
"Cuma jatoh kok tadi, Bu Rum."
"Cepat masuk, Bu Rum obatin lukanya," suruh Bu Rum.
"Eh, kamu siapa?" tanya Bu Rum baru menyadari kehadiran Rayner.
"Saya Rayner, temannya Raqueen, Tante" jawab Rayner lalu menyalami tangan Bu Rum.
"Ah, jangan panggil Tante, ya Ganteng, panggil Bu Rum aja!"
"Baik, Bu Rum."
Tak lama kemudian, Litus datang sambil ngos-ngosan, aku memutar bola mata malas.
"Na, Na, lo gapapa kan, Na?"
"Gapapa apanya? Ini lutut gue berdarah, pinggang gue sakit!"
"Maaf Na, maafin gue ya." Aku hanya mengabaikan Litus, lalu kutarik tangan Rayner untuk masuk ke dalam rumah.
Bu Rum menyajikan air minum dan cemilan untuk Rayner.
"Ray, boleh minta nomor hp lo?" tanyaku menyodorkan ponsel kepadanya.
"Boleh kok," jawabnya menarik ponselku lalu mengetikkan nomornya di sana.
"Makasih," ucapku setelah dia memberikan ponselku kembali.
"Ya udah, kalau kamu butuh apa-apa, silakan telepon aku ya, sekarang aku mau balik dulu, kasihan mama sendiri di rumah," ucapnya pamit.
"Iya, makasih ya, Ray."
"Sama-sama."
Lalu, Rayner melangkah pergi dari rumahku.
Yess!!!
Aku sudah mendapatkan nomor hpnya, semakin mempermudah untukku melacaknya.
Aku meringis merasakan lututku yang terasa perih karena tetesan alkohol itu. Aku mengipas-ngipas lututku dan sesekali meniupnya.
"Ini semua gara-gara lo, Tus!" tajamku menyalahkan Litus.
"Loh, kok salah gue, Na?"
"Yaiyalah, kan lo yang narik rambut gue, makanya gue ngejar lo."
"Salah sendiri, siapa yang mulai narik rambut gue duluan," ucap Litus pantang kalah.
"Salah lo juga yang ngehina gue duluan!"
"Kalian berdua sama saja ya, gak pernah akur," ucap Bu Rum, aku mengerucutkan bibirku.
"Pokoknya salah Litus! Cowok memang harus disalahkan, titik!"
"Terserah lo deh, Na! Cowok ganteng kayak gue mah ngalah aja," ucap Litus, nah kalau kayak gini kan adem.
Aku tersenyum penuh kemenangan dan Litus hanya mencebik kesal. Setelah itu, Bu Rum pamit karena telah selesai mengobati lukaku.
"Oh, ya. Cowok yang nganterin lo pulang ke rumah tadi, siapa?" tanya Litus.
"Rayner."
"Iya, dia tuh, siapa? Lo baru kenal? Atau udah teman lama, atau dia satpam komplek, tukang kebun, tukang sayur, tuk-"
"Teman, maybe."
"Kok pakai mungkin segala, dia teman lo? Kok, gue gak pernah tahu ya." Aku hanya menaik turunkan bahuku.
"Trus, dia ngapain di komplek kita?" tanya Litus lagi.
"Dia tinggal di komplek ini juga."
"Ah, masa sih?" tanya Litus tak percaya, masa aku bohong sama dia, sih?
"Iya, tadi dia bilang ke gue, dia baru aja pindah enam bulan yang lalu ke komplek ini," jelasku.
"Oh, kok gue gak tahu, ya?"
"Lo sih kudet banget, hobinya cuma main game, gak mau cari teman di luar sana," ocehku.
"Bukannya gak mau cari teman, tapi emang cari teman itu yang susah, yang benar-benar tulus sulit didapatkan, kadang kita sangkanya dia teman, tapi dia malah nusuk dari belakang, gue gak mau itu terjadi, mending gue berteman dengan lo aja, karena cuma lo yang tulus sama gue," ungkap Litus yang membuat aku ragu jika yang berbicara benar-benar Litus. Aku menggeser badanku sedikit menjauh darinya. Takut, takut, jika dia sedang kesurupan.
"Kok lo natap gue kayak gitu? Kayak ngeliat setan aja."
"Lo gak kesurupan kan, Tus?"
"Nggak lah, gue sehat waalfiat kok." Aku mengembuskan napas lega.
"Abisnya, lo tadi ngomong serius benner, gue gak yakin srorang Litus bisa seserius itu," ucapku.
Litus mendorong kepalaku pelan, aku terkekeh ke arahnya.
"Sembarangan lo, gini-gini gue juga bisa serius lah, gue kan laki."
"Hiya hiya hiya."
"Udah ah, gue mau pulang," ucap Litus dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas nakasku, aku memeriksa nomor Rayner yang tadi kusimpan.
Aku sengaja meminta nomor hpnya dengan alasan ingin berteman, yah ... berteman saja dahulu.
Aku mengirimkan pesan kepadanya, mengatakan jika aku ingin bertemu dengannya.
Ting.
Bunyi notifikasi hpku terdengar menandakan pesan masuk, benar saja Rayner yang membalas pesanku.
"Taman bunga jam 5 sore," ucapku membaca pesannya.
***
Aku duduk di bangku taman yang kosong, kebetulan hanya aku sendiri yang duduk di sini. Angin sepoi-sepoi mengibaskan rambutku ke belakang. Sejuk juga, apalagi cuaca yang sangat mendukung.
Sudah pukul lima sore lebih tujuh menit. Aku menghela napas gusar. Memang yah, orang Indonesia jam karet, tidak pernah tepat janji.
"Maaf, ya. Aku telat, tadi macet di jalan." Nah, alasannnya pasti seperti itu. Aku hanya mengangguk singkat dan menyuruh dia duduk di sampingku.
"Udah pulang kerja?" tanyaku basa-basi yang sudah kuketahui jawabannya.
"Udah."
Ya, pasti itu jawabannya, sudah tentu dia sudah pulang kerja, karena jika belum pulang, dia gak mungkin berada di sini. Huft!
"Kamu ngapain ajak aku ketemuan?" tanya dia yang membuat aku menoleh menatapnya.
Aku membuka tas selempang yang kubawa, lalu mengambil sesuatu dari dalam tas itu.
"Ini buat kamu," ucapku menyodorkan jepitan rambut kecil ke tangannya.
"Untukku?" tanya dia mengerinyitkan keningnya.
"Iya, untukmu."
Aku mengambil tangannya, lalu memasukkan jepitan rambut itu ke dalam tangannya.
"Ini jepitan rambut kesayanganku, aku berikan kepadamu sebagai tanda terima kasih karena telah menolongku tadi pagi," ucapku lembut, dengan sengaja dilembutkan.
Oh, jepitan rambut kesayangan? Tentunya tidak.
Jika itu jepitan rambut kesayanganku tak mungkin aku berikan kepada pria itu dengan suka rela. Itu hanyalah jepitan rambut lima ribuan yang aku beli barusan di warung depan.
"Aku tadi hanya mengantarkanmu pulang, tak usah memberikan imbalan," tolaknya.
"Gapapa, ambil aja! Anggap sebagai tanda pertemanan kita."
Aku mulai jenuh dengan basa-basi ini, ingin sekali aku mencongkel bola matanya sekarang juga.
"Makasih ya," ucapnya menyimpan jepitan itu ke dalam dompetnya.
"Iya Rayner," jawabku.
"Kamu adalah orang pertama yang memanggilku Rayner," ucapnya yang membuat aku terkejut.
Orang pertama?
"Be ... benarkah?" tanyaku.
"Iya, dulu mantanku pernah memanggilku dengan sebutan Rayner tapi digantinya menjadi Iner." Aku menegang, tiba-tiba bulu kudukku berdiri.
"Apa kamu keberatan aku memanggilmu Rayner?" tanyaku.
"Asalkan bukan Iner saja, tidak masalah," ucapnya tersenyum singkat.
Apakah dia ingin menghilangkan panggilan kesayangan itu?
Tiba-tiba hatiku memanas, coba lihat! Bahkan, dia tak mau lagi dipanggil Iner, berarti dia benar-benar membenci mantannya.
"Namamu Raquenna?" tanya Rayner, aku mengangguk singkat.
"Iya."
"Panggilannya?"
"Una, orang-orang biasa memanggilku Una," jawabku tenang.
"Boleh aku panggil Raqueen?"
Aku menelan salivaku susah, sebuah panggilan baru dari seseorang. Aku menatap lurus tanpa menoleh.
"Kenapa bukan Una saja?"
"Karena aku lebih suka memanggilmu Raqueen."
"Alasannya?" tanyaku menoleh ke arahnya.
"Namamu hampir mirip dengan nama mantanku."
Aku menatap heran, tadi pria itu seolah-olah membenci mantannya karena tak mau dipanggil dengan nama yang diberikan mantannya. Namun, sekarang kenapa dia malah memanggilku dengan namaku yang hampir mirip dengan nama mantannya? Entahlah, aku jadi pusing memikirkannya.
"Apa kamu masih mencintai mantanmu?" tanyaku berani.
"Tidak."
Hatiku tercolek untuk memanas. Namun, aku menahannya, bersikap biasa saja.
"Kenapa?" tanyaku, biarlah orang-orang menganggapku kepo dengan masalah orang lain, aku melakukan ini juga karena suatu alasan.
"Karena, dia sudah menjadi mantan, aku tidak ada hak untuk mencintainya lagi."
Aku mengangguk mengiyakan, benar juga perkataannya.
"Lagi pula, aku sudah mempunyai pacar," tukasnya. Oh, ayolah! Ini membuat darahku mendidih.
"Oh, gadis yang bersamamu di bandara itu, ya?" tanyaku.
Aku masih ingat, aku bertemu dengannya kemarin di bandara karena tak sengaja menabrak wanita macam nenek lampir itu.
"Iya, namanya Yunian."
"Oh, sudah berapa lama pacarannya?"
"Baru jalan satu tahun, hei sepertinya kamu sangat kepo denganku," ucapnya menyadarkanku jika aku sejak tadi memang tak mengontrol pertanyaanku.
"Maaf, jika menganggumu."
"Tidak masalah, aku senang bertemu denganmu, ternyata kamu orangnya asik juga," ucapnya, aku hanya tersenyum kecil.
"Kamu juga," balasku.
Dia tersenyum kepadaku, entah kenapa, melihat senyumannya membuat hatiku bergetar tak tertahan. Ada apa denganku?
Lamunanku terpecahkan karena mendengar bunyi ponsel dari saku Rayner.
"Hallo," jawab Rayner lalu memberiku kode untuk menunggu sebentar, Rayner pergi dari situ menjauhiku.
Tak lama kemudian, Rayner kembali duduk di sampingku.
"Maaf ya, aku harus pulang sekarang, Yunian sudah menungguku di rumah," ucapnya.
"Oke, aku juga mau pulang," ucapku.
"Ya udah, bareng aku saja, rumah kita kan satu komplek," ajaknya. Aku yang tak pandai berbasa basi mengangguk saja mengikutinya.
"Boleh."
***
Selama perjalanan di dalam mobil, aku hanya diam membisu, sesekali aku menoleh ke kaca di sebelahku. Rayner sejak tadi juga hanya sibuk menyetir.
"Sebentar ya, aku mau beli martabak di sana dahulu," ucapnya menepikan mobil.
Sudah bisa kutebak, pasti dia membeli martabak untuk pacarnya si Yunian itu. Entah kenapa, membayangkan muka nenek lampir itu aku merasa jengkel.
Rayner keluar dari mobil meninggalkanku sendirian di dalam mobilnya. Aku mengamati sekitar mobil itu, mataku menyipit melihat sebuah foto yang diselipkan di sana.
Aku melihat ke seberang jalan memastikan Rayner masih di sana dan belum berjalan kembali ke mobil. Merasa aman, aku mengambil foto itu hati-hati.
Sebuah foto yang memperlihatkan seorang gadis bersama wanita paru baya.
"Hemm, kayaknya ini foto si nenek lampir," pikirku melihat foto itu, tapi siapa wanita yang bersama Yunian itu?
Mataku melihat ke seberang jalan tempat penjual martabak. Eh? Tidak ada Rayner lagi di sana. Mataku melotot tak percaya melihat Rayner yang akan memasuki mobil, buru-buru aku langsung menyelipkan kembali foto itu di tempat semula.
Rayner masuk ke dalam mobil, aku menghela napas lega, untung saja aku tidak ketahuan.
"Ini, martabaknya untuk kamu," ucap Rayner menyerahkan satu kotak martabak kepadaku.
"Ha? Untukku?"
"Iya, ambil aja!" paksanya, aku mengambil kotak martabak yang masih terasa panas itu.
Rayner meletakkan satu kotak martabak lagi ke kursi belakang. Oh, itu pasti untuk nenek lampir.
"Satu lagi untuk siapa?" tanyaku walaupun aku sudah tahu jawabannya.
"Untuk mama," jawabnya yang membuatku tiba-tiba tersedak.
Aku berdehem pelan, memastikan jika aku baik-baik saja.
"Bukan untuk nen- eh maksudnya, bukan untuk Yunian?" tanyaku.
"Bukan, tadi Yunian nelepon nyuruh beli martabak untuk mama, karena tadi mamaku pengen makan martabak," jawabnya.
Aku merutuki diriku sendiri yang sudah salah paham dengan Rayner. Sepertinya, Rayner sangat menyanyangi mamanya, yaiyalah aku juga sangat sayang dengan orang tuaku.
Setelah itu, kembali hening. Rayner fokus menyetir sedangkan aku, melihat keluar kaca mobil.
***
Mobil Rayner masuk ke dalam komplek perumahan. Jalanan lengang seperti biasanya.
"Gak mau mampir ke rumah aku dulu?" tanyanya, aku berpikir sebentar.
"Nggak usah deh, makasih! Lain kali aja, udah mau malam soalnya," tolakku halus.
"Ya udah, aku antar langsung ke rumah kamu ya," ucapnya.
"Oke."
Mobil Rayner berhenti di perkarangan rumahku. Aku membuka pintu mobilnya bersiap untuk turun.
"Makasih ya, Ray!" ucapku tersenyum.
"Sama-sama."
Aku keluar dan membanting pelan pintu mobil. Namun, Rayner keluar dari mobilnya menghampiriku.
"Raqueen ...."
***
1760 Kata.
Terima kasih yang sudah mau baca, jangan lupa tinggalkan vote dan commentnya ya.
Jangan lupa follow akun aku dulu😚🖤
Semoga kalian suka, ya. Ayo, muncul di komentar!!!
Thanks
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro