Bab 9
"Aku tidak peduli!" bentak Sam hingga membuat Will hampir terloncat.
Will hanya mendengus. Kalau tahu akhirnya begini, Will akan pasrah saja sejak penyakitnya muncul. Membaringkan diri di kasur lapuk sambil sesekali menghisap ganja sampai mampus. Namun, itu pecundang namanya.
"Kau harus dapat keadilan!" tegas Sam sekali lagi.
Lelaki berambut cepak itu terus ngotot, tidak bisa menerima yang terjadi, dan terus mendesak agar Will melakukan sesuatu.
"Sudahlah, Sam." Kata Will, lalu dia berdiri menghadap temannya. "Semua itu keputusanku. Aku yang salah!"
"Salah?" Sam malah semakin berang. "Kau itu korban!"
"Korban apanya?" tanya Will santai. "Jelas aku yang ingin. Ini juga salahku, tidak rutin mengosumsi obat yang dia beri."
Kakinya yang tak beralas apapun menapak lantai yang dingin, berjalan ke dapur untuk membuat dua cangkir kopi. Temannya ini perlu sedikit penenang agar lebih relaks—sedari Sam datang dia terus marah-marah. Will mengambil bubuk kopi, menungkannya perlahan, dan mengaduknya telaten. Kemudian tangan kurusnya berhenti. Mata kelabu Will menerawang jauh ke dalam tangannya yang semerah darah. Entah mengapa hatinya malah sesak, pengap, dan sedih.
Bintik itu memang sudah hilang, tetapi menimbulkan efek yang lumayan mengganggu. Kulitnya jadi sensitif, tipis, dan merah. Bahkan ujung jari-jarinya mengelupas dan berair. Setiap hari Will harus membalutnya dengan kasa untuk menghindari kontaminasi debu.
"Kau mau transplantasi kulit?" tawar Sam.
Sontak Will tercenung. Tubuhnya membeku, tidak ada yang salah dari perkataan Sam, tapi ... sebegitu parahkah kulitnya?
Dengan tawa yang dipaksakan Will berusaha menanggapi guyonan garing itu. "Untuk apa, Sam?"
"Kulitmu makin rusak, gara-gara serum sialan itu."
Will sudah biasa dengan perkataan sahabatnya yang kurang disaring itu. Pribadi yang suka bicara sembarangan dan ketus. Tidak ada jawaban yang Will lontarkan, karena tidak semua salah Jason. Dia yang menerima jadi kelinci percobaan.
"Ini hanya butuh waktu untuk pulih."
"Kalau tidak akan pernah pulih, bagaimana?"
"Setidaknya aku sudah berjuang, ya, kan?"
Sam memutar bola matanya kesal. "Selalu begitu jawabanmu, Will."
Will membalas dengan senyum samar. Lantas dia langsung mnyodorkan secangkir kopi, dan Sam langsung menerima walau enggan. Keduanya menyesap cairan pekat itu perlahan, menghirup lambat-lambat baunya, dan kembali menyesap.
"Kalau begitu akan kutuntut tempat terkutuk itu," rutuk Sam sambil mengembus kopinya.
Hampir saja Will tersedak kopi panas mendengar celotehan temannya yang tidak masuk akal itu. Mana bisa seperti itu. Rambut kusam Will benjuntai-juntai saat dia menggelang, diletakkan kopinya dan menatap Sam penuh rasa tidak percaya.
"Kanapa? Salah?" sergah Sam.
"Kau mau menuntut Pusat Penelitia? Yang benar saja, Sam!"
"Memangnya kenapa? Jelas-jelas mereka menipu."
"Mereka tidak menipu, Sam. Mereka hanya menarwarkan dan aku menerima. Lagi pula Jason, kan sudah memperingati."
"Tapi tetap saja."
Temannya memang keras kepala. Berkali-kali Will mencoba memberi pengertian, tapi tidak pernah berhasil.
"Pantas, bawahanmu banyak yang bilang kau Jendral, Sam." Will lantas menatap Sam menggoda. "Rambut cepak, tukang perintah, dan suka marah-marah."
Sam malah mendengkus kesal, lelaki itu tahu kalau Will berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Aku hanya ingin membantu," ujarnya sambil berjalan ke balkon. Dia ingin menghirup udara pagi yang segar. Hitung-hitung mengembalikan semangat pagi ini yang hilang, karena berdebat dengan Will tanpa ujung.
"Kau sudah banyak membantuku, Sam." Will juga ikut-ikutan bergabung di balkon.
"Tidak! Aku malah buat semua jadi kacau," sesal Sam. "Andai aku tidak berjumpa dengan Jason, mungkin—"
"Hei! Jangan merendah seperti itu, Sob!" Will menyenggol lengan kekar Sam. "Kalau tidak ada kejadian itu, mungkin aku sudah mati, Sam. Ya ... walaupun, kau tau, aku jadi begini. Tapi itu tidak masalah, Sam, sungguh!"
"Seharusnya kau tahu, Will, memberi kepercayaan kepada teknisi mesin sepertiku itu bukan hal yang baik." Kambali, Sam larut dalam penyesalannya yang teramat dalam.
"Oh, ayolah, Sam! Berhenti menyalahkan diri sendiri. Sejauh ini kau banyak membantu, bahkan sangat-sangat banyak membantu."
Keduanya lantas terdiam, menyusuri pikiran masing-masing yang tidak bisa dipahami siapapu kecuali diri mereka sendiri. Udara sejuk, burung-burung berkicau, dan panorama jalanan yang berbaris, membuat kesan tersendiri untuk kedua pria itu.
Andai saja kamalangan ini tidak ada. Mungkin Will akan banyak menghabiskan waktu berlibur dengan sahabatnya. Membuat mereka seperti kembali di masa sekolah, dikejar angjir sampai Sam terkencing, atau pesta gila-gilaan agar sahabatnya yang tukang mengamuk ini menjadi sedikit kalem dan terarah.
Ah, semua hanya angan-angan. Memangnya siapa kita yang bisa mengusik ketentuan Tuhan? Manusia yang kotor dan hina ini mana bisa apa-apa.
Hanya segitu yang dia ingat, di padi bulan Januari. Setelahnya Sam pulang dan dia kembali sendiri dengan beberapa denyut yang tidak bisa disembuhkan dengan pil pengurang rasa sakit. Merasa tidak berguna saat temannya yang paling semangat untuk mengembalihkan semangat hidupnnya.
Seperti saat ini, Sam kembali menerornya untuk mengupayahkan kesembuhan. Masih ditempat yang sama, dan orang yang punya latar belakang yang sama. Will kembali diminta untuk bertemu salah satu orang dari Pusat Penelitian.
Bukan Jason, tapi bawahannya. Lelaki muda yang penuh semangat dan baik hati—menurutnya. Kata Sam ini untuk ucapan maaf karena kegagalan serum Jason beberapa tahun lalu. Ah, apapun itu, Will hanya ingin menyenangkan Sam yang tak pernah berhenti mengupayakan segalanya untuk kesehatannya.
Hampir jam sembilan malam, batin Will begitu melirik jam tangannya.
Menggunakan jas kelabu, mengingakan Will saat penyuntikan pertamanya dilakukan. Seolah malam ini, akan ada momen perayaan yang terulang. Apa akan terulang lagi? Kegagalan yang semakin membuatnya jatuh ke ketidakpedulian untuk hidup dan selalu memimpikan kematian.
"Bisa lebih cepat lagi?"
"Iya, Tuan!" ujar supirnya mengikuti laju limosin yang semakin cepat.
Tidak diduga, Will hampir terlempar ke depan setelah kemdaraan yang dia tumpangi mengerem mendadak. Jantungnya memompa darah lebih kuat. Masih syok, Will memberanikan diri melihat keadaan jalanan. Penuh pertanyaan sebanarnya apa yang terjadi, disekelilingnya sudah kacau balau penuh kendaraan yang tumpang-tindih.
Kepulan asap, suara bising klakson, sahut-membuat menjadi keriuhan yang memekakkan telinga. Will buru-buru keluar untuk melihat keadaan secara dekat dan luas. Meskipun supirnya memintanya untuk tetap di dalam, tapi Will tidak menggubris.
Betapa tercengangnya saat tau kekacauan ini. Jalan raya yang di laluinya mirip bencana. Bahkan di depan sana ada truk yang terguling. Matanya tak bisa beralih dari sana, kendaraan besar itu menghimpit kendaraan lain sampai jadi keripik.
Mendadak Will merasa ngeri membayangkan keadaan pengemudi yang tergencet itu, entah masih selamat atau tewas, yang pasti keadaannya sangat mengerikan.
Di sisi lain, ada pemandangan tak asing baginya. Sedan mungill yang buru-buru melaju itu ....
"Itu, kan ...?" ujarnya menggantung.
Saat itu juga dia terinngat Sam, cepat-cepat menghubungi temannya.
Kalau memang itu benar, apa yang terjadi di sana, apa orang itu sudah menyerang?
"Will! Aku baru ingin meneleponmu. Rumah Shawn sudah kacau! Tapi istrinya keburu pergi sebelum aku—"
"Aku melihatnya!" potong Will.
"Apa?"
"Aku melihatnya, di tol kilometer 35."
"Hah?" ujar Sam tak percaya. "Kalau begitu aku menyusulmu, di mana lokasimu sekarang?"
"Tidak usah! Bawa saja van-mu ke tempat mereka."
"Tempat mereka?"
"Tempat mereka menetas, Pusat Penelitian!"
TBC
Selamat membaca, sob!
Jangan lupa berdoa di pagi yang cerah ini.
Salam hangat dariku.
mwuah... mwuah... mwuah
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro