Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

Selang beberapa kilometer dari kegaduhan jalan raya, Vonnie membelokkan mobilnya keluar tol, mengambil arah ke barat laut dari pusat kota. Mereka masuk ke kawasan ekonomi terpadu. Daerah tersebut merupakan kawasan yang dikhususkan pemerintah untuk meningkatkan taraf pemasukan negara, tak heran jika banyak gedung menjulang bertuliskan merek terkenal atau nama perusahaan ternama.

Setelah melewati tiga blok, mereka masuk ke gang kecil dan berhenti di depan sebuah garasi. Ternyata garasi itu adalah sebuah bengkel, banyak alat-alat yang dipakai montir, dan Aris bisa melihat mesin mobil bekas yang diletakkan di sudut saat Vonnie mendorong tuas pintu ke atas.

Vonnie menutup kembali garasi setelah memastikan tidak ada yang melihat dan mobil benar-benar ada di dalam. Aris sudah keluar dari kursi penumpang, kemudian duduk di sebelah ban bekas. Sedangkan Vonnie pergi ke bagian kanan ruangan mencari sesuatu di dalam lemari. Meski dalam taksirannya ruangan itu berukuran lebih dari delapan meter, tapi terlihat sempit bagi Aris.

"Ini agak sakit, tapi aku harus keluarkan pelurunya." Vonnie datang membawa kotak putih lalu ikut duduk di sebelah Aris, kemudian menyuruhnya untuk melepaskan jaket.

Aris sesekali melirik lengan kirinya sambil meringis, obat bius memang disuntikkan tapi rasa sakit masih bisa Aris rasakan—walau samar-samar. Pembedahan kecil itu berlangsung dua puluh menit, berakhir dengan beberapa jahitan yang dibalut kain kasa.

"Kau ingin menyimpannya?" tanya Vonnie menyodorkan mangkuk berisi peluru.

Aris menggeleng dan membiarkan peluru itu dibuang. Vonnie langsung beranjak untuk membereskan alat-alat medisnya, saat itu Aris berkata, "Kerjamu rapi, bahkan kau bukan tenaga medis."

Entah itu sindiran atau pujian, Vonnie hanya diam dan menyibukkan diri dengan menata kembali kotak obat di dalam lemari, dia tidak harus mereaksi apa-apa.

"Kau masih mengoleksi kotak-kotak itu?"

Satu pertanyaan yang berhasil membuat Vonnie membeku. "Kau tau apa yang kutakutkan, kan, Aris?"

"Ya, infeksi!"

Itu benar, Vonnie takut yang namanya infeksi. Akibat kejadian traumatis saat masa kuliah, ketika itu adiknya meninggal akibat infeksi kulit. Padahal awalnya hanya luka kecil di bagian siku, tetapi karena salahnya penanganan, luka itu membesar dan membusuk. Tragisnya seminggu sebelum operasi, adiknya—Joe—meninggal, Vonnie ingat bagaimana rasanya. Sakit sudah pasti, dunia ini seperti hitam dan putih, tidak ada lagi kuning, biru, warna-warna cerah, atau pelangi.

Setiap yang dilakukannya terasa salah dan kurang, terlebih ketika janjinya kepada Joe tiba-tiba terngiang. Ketika infeksi semakin parah, dokter menganjurkan untuk mengamputasi tangan kanan Joe. Orangtuanya menerima tetapi Joe ... dia ketakutan, sambil menangis Joe meminta tangannya kembali, dia tidak siap kehilangan anggota tubuhnya, dia juga takut teman-teman sekelasnya menjauh karena dia cacat.

"Tidak ada yang menjauhimu, Joe!"

"Mereka akan menjauhiku, Vonnie!"

"Mereka tidak akan menjauhimu, aku jamin! Jika mereka menjauhimu atau mengejekmu, mereka akan berhadapan denganku."

"Kau tidak mengerti!" kata Joe sesenggukan. "Aku cacat! Dan mungkin tidak ada yang sayang lagi padaku."

"Kau tidak boleh berkata seperti itu, Joe. Ayah, Ibu, dan aku akan tetap menyayangimu apapun kondisimu." Vonnie menarik kursinya lebih dekat ke Joe, lalu mengusap wajah dan menggenggam tangan Joe erat. "Kau tau manusia robot?"

"Terminator?"

"Orang itu keren, kan?"

"Ya," jawab Joe dengan suara serak.

"Aku akan memberimu tangan terminator jika kau mau dioperasi. Aku janji!"

"Tidak! Mustahil!"

"Temanku ada yang membuatnya, Joe! Dia membuat tangan bionik yang keren! Kau mau tangan seperti apa? Yang bisa mengeluarkan api? Atau yang bisa terbang seperti Iron Man? Oh aku tau, kau mau tanganmu bisa mengeluarkan jaring seperti Spiderman, kan?"

Joe tersenyum kecil. "Yang ada listriknya."

"Ya, temanku bisa buat yang ada listriknya, bahkan kau bisa mengendalikan petir nantinya, Joe. Dan bisa-bisa kau jadi saingan Thor selanjutnya, Marvel akan buat film tentangmu, film itu laris, kau terkenal, dan jadi pahlawan baru."

"Apa judulnya?"

"Uhm ... Joe si Penerus Odin? Atau Thor yang Kalah dari Joe?"

Tawa Joe pecah, meskipun matanya masih berair. "Judulnya jelek, kau memang payah Vonnie!"

Meskipun tawa itu tidak berlangsung lama tetapi Vonnie senang melihatnya. "Jadi ... bagaimana? Kapan kuberikan tangan itu?"

"Sepuluh hari lagi aku ulang tahun kesebelas," ada jeda sebentar, Joe tampak menimbang-nimbang, "Aku mau tangan itu jadi kadoku."

"Ya, tentu, Joe!" kata Vonnie bersemangat. "Kau akan dapat tangan baru yang lebih keren dari tangan lamamu."

Ternyata, tiga hari setelah percakapan itu Joe pergi untuk selamanya. Rencana operasi tak akan pernah terlaksana, sama halnya dengan perayaan ulang tahun Joe. Kado yang sudah Vonnie siapkan sehari sebelum kematian Joe berakhir sia-sia karena penerima sudah tidak ada di dunia. Vonnie tidak akan pernah mendengar ocehan Joe tentang Marvel atau Transformer lagi atau kekesalannya kalah bermain game. Semua telah menjadi kenangan yang menyedihkan.

Setelah peristiwa itu, Vonnie melampiaskan kesedihannya dengan belajar tentang tindakan terhadap luka, membaca tentang infeksi bakteri dan virus, menonton tayangan kesehatan, dan membeli berbagai merek antiseptik untuk kotak P3K-nya.

Kegilaan itu terus berlangsung hingga sekarang, bahkan setelah menikah ketakutannya pada infeksi semakin menjadi, Vonnie terus menambah kotak obat di rumahnya, meletakkannya di dapur, kamar mandi, kamar tidur, dan hampir di setiap ruangan ada kotak putih itu. Ke mana pun Vonnie pergi, dia selalu membawa—minimal—antiseptik dan plester.

Tiga tahun lalu, Vonnie sempat menyasar beberapa ilmu kedokteran—walaupun hanya seorang insinyur pertanian, dia mampu mengikuti semuanya dengan baik—berkat seorang dokter kenalan ayahnya, Vonnie mempelajari sedikit teknik pembedahan, anestesi, dan penyembuhan luka tentunya. Dia juga menyimpan alat bedah berupa; pisau gerigi, gunting melengkung, dan gergaji tulang dari sang dokter. Entah mengapa setiap punya pernak-pernik medis yang baru Vonnie merasa tenang, dan keinginan untuk menambah koleksinya pun semakin besar.

Aris tidak pernah tahu hal itu, Vonnie tidak pernah bercerita kalau dia pernah punya adik laki-laki atau alasan mengapa dia begitu protektif terhadap tubuhnya. Aris hanya tahu Vonnie adalah anak tunggal dari keluarga Brien, dan perempuan maniak ber-phobia luka yang dia kenal sejak tahun kedua kuliah.

"Saking takutnya, aku belikan lemari ini untuk Shawn, begitu aku tahu ayahnya mewariskan bengkel ini padanya. Tempat ini sangat menyeramkan bagiku, bukan hanya tergores, bisa jadi tersengat listrik, atau ... hal yang lebih buruk lagi," jelas Vonnie, dan nada bicaranya melemah di bagian akhir.

"Aku ingin jika ada yang terluka di tempat ini bisa cepat ditangani." Wajahnya kini berubah sendu, pandangannya merosok ke bawah melihat jemari pucatnya yang berkeringat. "Aku sangat takut ketika tahu kau tertembak, dan aku juga takut jika ketakutanku akan menguasaiku," ucapnya lirih bahkan hampir menangis.

Aris diam sambil mendengarkan perkataan Vonnie hikmat, keinginan untuk memberitahukan keganjilan di jalan tol diurungkan. Sebenarnya Aris mau sekali menceritakan sosok yang memperhatikan mobil mereka, tapi ini bukan waktu yang tepat,dia tidak ingin menambah kekhawatiran Vonnie, dan dia tahu bahwa sekarang pikiran wanita itu delapan puluh persen didominasi ketakutan dan tanda tanya. Sosok yang ingin dia ceritakan memang sedikit aneh, wajahnya setengah merah dan matanya terus memandang satu titik dengan tajam—dan titik itu adalah mereka.

"Siapa mereka?"

Aris memalingkan pandangan ke lantai begitu Vonnie melihat ke arahnya, dia tidak buru-buru menjawab.

"Jika kau pikir mereka suruhanku, mereka tidak akan menembakku."

Itu menjadi satu petanyaan sama yang terus dia pikirkan, Aris tidak tahu siapa mereka, dan tujuan orang-orang itu mengejar mereka berdua. Vonnie meraih kertas dan menulis sesuatu, kemudian mengambil map dari mobil dan memberikannya pada Aris.

"Aku akan menemui Shawn, dan menceritakan soal kejadian ini," kata Vonnie, "aku tidak mungkin membawa arsip ini ke Pusat Penelitian, Inka bilang jangan pernah bawa arsip ini ke sana, dan aku tidak pernah tahu alasannya. Tapi yang jelas seharusnya arsip ini kau yang pegang, hanya saja waktu itu ... kau tau, kau kacau, jadi Inka memberinya padaku."

"Lalu ini?" Aris mengangkat sebuah sobekan kertas.

"Itu alamat. Aku ingin kau ke sana, seseorang bernama Peter akan menunggumu di sana."

"Kenapa aku harus ke sana? Kenapa aku tidak ikut ke Pusat Penelitian saja?"

Vonnie menggeleng. "Aku ingin kau menemukan sesuatu yang berharga di sana, hitung-hitung ini hukuman untukmu setelah apa yang kau lakukan belakangan ini."

Vonnie tersenyum dan tak lama dia beranjak pergi meninggalkan Aris yang masih terduduk di lantai. Aris sendiri sekarang, memandang lekat-lekat map berwarna jingga dan menimbang-nimbang apakah dia harus pergi atau tidak. Di tengah kegamangannya dia mengeluarkan pistol dan mengecek sisa peluru untuk berjaga-jaga. Aris sangat suka dengan pistol berjenis ASP itu, baginya benda itu sangat indah.

Pistol semi otomatis itu memang mungil, tetapi keunikan terletak pada grip-nya yang diberi lexan bening dan memungkinkan pengguna bisa melihat sisa peluru tanpa harus membuka grip. Sisa tiga dan Aris harus menggunakannya dengan cermat berhubung tidak ada lagi peluru cadangan karena semua habis untuk menembak orang-orang yang berada di dalam van sialan itu.

TBC ....

Hai semua! Terima kasih telah mengikuti ceritaku, aku masih menunggu komentar kalian mengenai cerita ini, jangan sungkan memberikan saran atau kritik jika di dalam ceritaku ada hal yang kurang tepat.

Oh iya aku cantumin foto pistolnya si Aris di mulmed (bagi yang penasaran sama Pistol ASP). Keren ya? Terus pistol ini nggak terlalu besar, ukuran larasnya itu hanya 8,25 cm (sekedar info).

Ok deh, sampai di sini dulu. 

Sampai jumpa di bab berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro