Part 8
Sejak hari itu Nara berubah. Dia menjauh dari semua orang yang ia kenal. Menutup diri, dan merubah penampilannya. Mulai dari rambut, dan gaya ia berpakaiannya. Dia kadang banyak makan, kadang pula tak mau makan. Nara mulai gampang kehilangan konsentrasi. Fokusnya sering kacau tanpa ia sadari. Ia mulai susah mengingat wajah seseorang. Ingatannya juga bisa hilang, walau kejadian itu baru beberapa detik lalu terjadi. Namun sayangnya ingatan suramnya tak pernah hilang. Emosinya juga cepat berubah. Pagi dia merasa begitu senang. Malam dia merasa ingin mati. Kadang ia mengamuk, menangis sejadi-jadi, menyalakan dirinya sendiri akan yang bukan salahnya. Atau kadang ia merasa tenang, santai, dan damai. Pikirannya juga kacau, dia suka hal yang berbau penyiksaan, ada pornografi. Entah sejak kapan dia suka melihat orang menderita dari pada bahagia. Namun akan berujung penyesalan.
Kadang Nara lelah dengan dirinya sendiri yang kacau. Dia juga ingin berubah menjadi lebih baik. Namun rasa prustasi lebih kuat dari tekadnya. Ia menyerah, dan sekali lagi ingin bunuh diri. Walau sebenarnya dia takut akan kematian. Hidupnya memang rumit, bahkan untuk Nara sendiri.
Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ
'Tuhan aku lelah dengan hidup kacauku ini. Egoiskah aku jika meminta kehidupan yang tenang dan damai hingga aku bisa berubah menjadi lebih baik lagi?'
Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ
Setelah kejadian komik itu, Nara hampir sebulan tidak terlihat di cafe book lagi. Bagi Melisa yang antipati dengan Nara, merasa hari-harinya berjalan dengan damai. Bagi Anggun sebagai pengawas Nara, ia agak cemas, tapi berusaha tenang. Selama Nara tidak terlibat masalah lagi. Vito sendiri tidak terlalu peduli dengan gadis berambut pink itu. Karena ada tidaknya dia akan sama saja baginya.
Pukul 10pm. Cafe sudah tutup. Vito berpamitan dengan Anggun di depan pintu cafe. Sepatah dua kata, sebelum Vito meninggalkan Anggun yang sedang mengunci pintu dari depan.
Malah terasa dingin. Maklum musim kemarau sedang puncaknya. Malam ke pagi dingin. Siang ke sore panas. Yaa… setidaknya itu yang terjadi di kota ini. Dengan sweater hitam dan celana jins abu-abu, Vito berjalan menuju apartemennya.
Namun langkahnya berhenti, saat melihat gadis yang tak asing baginya. Namun dengan penampilan sedikit berbeda. Gadis itu duduk di tangga naik menuju gedung apartemen. Matanya melihat ke langit. Bibirnya bergerak, entah apa yang sedang ia gumamkan.
Vito berjalan mendekatinya, dan berdiri tepat di depannya. Menyadari ada orang yang mendekat, ia menoleh ke depan. Mata sayunya menatap Vito dengan lebar, aslinya naik, dan ia menggigit sedikit bibitnya. Ia sepertinya kaget meliht melihat Vito yang ada di sana.
"Kau sedang apa di luar?" ujar Vito.
Nara tak membalas. Dia malah memalingkan wajah dengan wajah sedikit cemberut. Vito menghela nafas. Melihat Nara yang hanya memakai kaos pendek dan rok pendek. Malam-malam lagi, apalagi sekarang udara lumayan dingin. Orang pasti bakal berfikir aneh-aneh. Apalagi penampilan Nara. Tidak hanya bajunya. Tapi rambutnya kini pendek dengan ujung rambutnya berwarna biru, dan atasnya pink. Entah apa sebutannya untuk gadis seperti ini yang duduk sendiri di depan apartemen. Lebih baik tidak usah disebut. Benar-benar gila. Bentar, Nara kan emang (agak) gila.
Vito memutuskan untuk duduk di sebelah Nara. Tapi sebelum itu dia melepas sweaternya, dan ia taruh di pundak Nara. Nara agak terkejut dengan itu, tapi berusaha memasang ekpresi tidak peduli dan bodo amat.
"Lagi hitung bintang?" Tanya Vito lagi.
Nara menggeleng kepala.
"Lalu?"
"Nyanyi."
"Ooo."
Benar-benar percakapan yang tak bermutu.
Nara memalingkan wajahnya ke kiri, karena di kanannya ada Vito yang sedang tertunda. Entah sejak kapan Vito mengeluarkan HPnya, dan sedang asik chat dengan seseorang.
Mereka hanya diam di sana tanpa basa basi atau percakapan apapun. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Jalanan di depan semakin sepi. Dan hawa dingin semakin menusuk. Mereka hanya bergerak ketika merasa pegal dan mencari posisi baru. Dan tetap saling menghindari. Tanpa di sadari sudah hampir satu jam mereka seperti itu. Hanya diam.
Nara mengheka nafas berat.
"Wanita tua yang sering kau kunjungi di RSJ itu ibumu bukan?" Tanya Nara dengan cepat.
Vito berhenti mengetik. Matanya terbuka lebar, dia spontan melihat ke arah Nara dengan raut terkejut dan panik. Padahal sekarang dingin, namun pelipis Vito keluar keringat. Jantungnya juga berdetak kencang.
Selama ini hanya pak Chandra yang tahu soal ibunya. Dia tak pernah bercerita pada siapapun. Bahkan tak pernah menyebut atau membahas ayah ibunya. Jika ditanya, ia menajwab mereka sudah bercerai. Bahkan perawat di RSJ mengira Sindy itu neneknya atau kakak ibunya. Sebab dulu Vito ketika menjenguk Sindy selalu bersama bibinya yang jauh lebih muda dari ibu kandungnya. Terlebih Sindy yang sampai saat ini tak ingat bahwa Vito adalah anaknya. Sebenarnya Sindy tidak terlalu tua. Tapi karena penyakitnya sekrang membuatnya terlihat jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.
Bagi Vito seseorang yang tahu Sindy itu ibunya, benar-benar mengejutkan. Apalagi untuk orang yang termasuk asing bagi Vito seperti Nara.
Nara masih memalingkan wajah.
"Kau… tahu… dari pak Chandra?" Tanya Vito dengan kata terputus-putus.
"Tidak, mana mungkin orang seperti dia memberitahuku," jawab Nara.
Nara berdiri. Dia menarik seweter milik Vito. Lalu ia berikan lagi pada Vito. "Sudah malam, di luar dingin," ujar Nara sebelum ia masuk ke apartemen dan meninggalkan Vito yang masih penuh dengan pikiran di sana.
Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄ƷƸ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ
Sebenarnya Nara tak tahu. Dia juga baru tahu soal itu. Dia tahu jauh sebelum Vito menyelamatkannya dari usaha bunuh dirinya. Nara yang saat itu masih harus tinggal di RSJ. Dia melihat pemuda berambut hitam kelam yang dengan tatapan sedih melihat seorang wanita tua yang duduk di taman. Nara diam-diam memperhatikannya. Karena Nara duduk tak jauh dari sana.
Pemuda itu menaruh buket bunga mawar putih di samping wanita itu. Sambil tersenyum dengan mata yang berbinar. Tanpa sepatah kata dia pergi meninggalkan wanita itu.
Saat pemuda itu menjauh, Nara melihat wanita itu menatap ke arah pemuda tadi. Dengan suara kecil Sindy bergumam, "Anakku maafkan ibumu ini."
Dan setelah beberapa saat kemudian wanita itu pingsan.
Lalu saat Vito kembali bertemu dengannya di RSJ, Vito membawa buket bunga mawar putih. Dari matanya yang terlihat sedih, dan caranya menatap Sindy, ia dapat menyimpulkan semuanya sendiri.
..
..
..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro