Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 6

Vito menatap Anggun dengan dingin. Lalu tersenyum simpul, dan terkekeh yang jelas di buat-buat. Anggun menanggapinya dengan cara yang sama. Tersenyum lebar, tertawa, dan mengangguk kepala. Dia memberikan tumpangan buku itu ke arah Vito. Vito yang masih terkekeh, langsung menggeleng kepala. Tanpa harus berkata lebih lanjut, Anggun sudah tahu ini penolakan. Lagian kenpa dia cerita soal Nara gila kepada calon guru privatnya, jika bukan mata duitan mana ada yang lalu.

Anggun menelan ludahnya. Memegang rahannya yang sakit karena terlalu memaksakan untuk tertawa. Walaupun tawa yang tidak ikhlas.

Vito buru-buru memasukan laptop nya ke tas. Saat Anggun menatapnya, dia berhenti sejenak dan menyengir. Membuat Anggun menggaruk kepala belalangnya, menahan rasa kesal melihat ekpresi itu di wajah Vito.

"Saya pamit dulu," ujar Vito dengan tergesa.

"Tunggu!" Anggun berdiri dan menghentikan Vito. "Boleh minta tolong antar ini ke kamar Nara. Kamu mau?"

Vito lagi-lagi menyengir. Yang kini berhasil membuat Anggun merinding dan muak di saat yang sama.

'Apa-apaan coba ekspersi itu,' batin Anggun.

…ᘛ⁐̤ᕐᐷ…ᘛ⁐̤ᕐᐷ…ᘛ⁐̤ᕐᐷ

'Aku benci seseorang yang pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal'

…ᘛ⁐̤ᕐᐷ…ᘛ⁐̤ᕐᐷ…ᘛ⁐̤ᕐᐷ

Vito mengetuk pitu kamar Nara. Tak lama kemudian Nara membuka pintu. Dia mendangak, menatap Vito yang lebih tinggi darinya. Dengan bibir yang melengkung ke bawah, dan kantung mata yang terlihat hitam di kulit putihnya yang pucat. Rambut pinknya acak-acakan seperti sudah lama tak di sisir. Yang bikin salah fokus adalah, Nara hanya memakai kaos panjang yang kebesaran hingga paha tanpa menggunakan bawahan seperti rok atau celana.
Setelah mengetahui itu, Vito memalingkan wajah agar tak dikira otak mesum atau lainnya.

"Ada apa?" Tanya Nara dengan suara serak.

"Mbak Anggun nitipin ini,' ujar Vito sambil menyerahkan tote bag berisi buku-buku pelajaran SMA.

Tanpa ragu Nara mengambil tote bag berwarna hitam dari Vito. "Terima kasih."

"Sama sa--," belum habis Vito berkata. Suara perut Nara berbunyi. Sepertinya cacing-cacing perutnya meronta minta makan. Vito menggaruk dagunya. "Belum makan?"

Nara menggeleng. "Belum. Aku lupa terakhir aku makan. Kemarin? Hmm atau kemarinnya lagi?"

Vito menghembuskan nafas berat. Mengacak rambutnya sendiri. Lalu menelan air ludahnya.

"Gak! Aku gak percaya siapa-siapa sekarang," tolak Nara dengan jelas.

Nara dengan cepat menutup pintu. Tanpa mengucapkan terima kasih atau yang lain.
Vito kembali menghela nafas. Dia pun berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

…ᘛ⁐̤ᕐᐷ…ᘛ⁐̤ᕐᐷ…ᘛ⁐̤ᕐᐷ

Nara duduk telungkup bersanda di palang balkon kamar apartemennya. Matanya terpejam. Buku-buku yang di bawakan pemuda berambut gelap- Vito berserakan di meja depan TV.

Nara membuka matanya. Menatap langit berwarna oren yang di taburi awan-awan putih tipis. Ada juga rombongan burung yang terbang pulang ke sangkarnya. Suara klakson mobil dari jalanan yang macet juga terdengar. Udara dingin mulai terasa di kulit pucat Nara.

Sebenarnya dia merasa bosan berada di kamar ini. Tapi dia tak tahu harus ke mana. Dia juga takut bertemu dengan orang-orang. Dia selalu di bayangin bertemu dengan orang yang membuatnya begitu. Rasa takut itu sanggup membuat pikiran Nara kosong seketika, dan tubuhnya kaku.

Nara bahkan mengecat rambutnya menjadai Pink. Rambut aslinya berwarna coklat, ia dapat dari mamanya yang blesteran. Lebih tempatnya, semua yang ada di diri Nara sama seperti mamanya. Itu sebabnya papanya sangat membencinya. Melihat Nara membuatnya teringat dengan wanit yang ia sebut jalang itu. Nara bahkan di usir dari rumah yang belasan tahun ia huni. Hingga akhirnya dia ada di sini.

"Lebih baik aku mati saja," ujarnya ribuan kali.

Nara terteguk. Suara ketukan pintu terdengar. Rasanya agak aneh sehari ini pintu itu berbunyi. Sebab selain Anggun kakak ipar Nara, dan pak Chandra tak ada lagi yang sudi datang ke sini.

Nara berdiri. Dan berjalan menuju pintu. Tubuhnya agak gemetaran. Mungkin efek karena Nara sudah dua hari ini tak makan. Langkahnya juga agak sempoyongan. Dia benar-benar Kacau.

Nara membuka pintu. Tak ada siapapun di sana selain 3 kantong plastik. Mereka berjejeran, salah satunya terdapat Aqua ikuran 1,5liter. Satunya berisi kotak nasi 3 porsi. Sisanya kantong plastik berisi kue-kue dan Snack.

Nara melihat sekilas pemuda masuk ke kamar sebelah. Tanpa harus bertanya, Nara langsung berkesimpulan bahwa orang itu yang membawanya.

"Dasar bodoh, harusnya biarkan aku mati kelapangan," gumamnya.

…ᘛ⁐̤ᕐᐷ…ᘛ⁐̤ᕐᐷ…ᘛ⁐̤ᕐᐷ

Hari ini Vito kembali berdiri di depan jendela besar yang terhalang kaca. Melihat kumpulan lansia yang sedang berkumpul. Seperti biasa, dia melihat Sindy, ibunya. Yang terus menua di dalam RSJ ini, dan tak kunjung mengingatnya. Walaupun tiap minggu Vito menyempatkan diri untuk menjenguknya.

Suara langkah mendekati Vito. Seorang pria berjas putih dan gadis yang mengikutinya.

"Vito kamu datang?" Sapa pak Chandra.

Dengan ekpresi khasnya, menyengir dan menyipitkan mata. Vito menjawab pertanyaan pak Chandra dengan mengangguk.

Di belakang pak Chandra gadis yang memakai masker, topi. Kalau bukan rambut pinknya yang masih terlihat, Vito tak akan sadar itu Nara.
Nara memasukan kedua tangan ke dalam saku jaket. Dia menatap lurus ke arah Vito namun seperti biasa, yaitu tatapan sayu yang menjengkelkan.

"Hari ini juga Nara ada konseling. Kamu kan mahasiswa psikologi, mau ikut?"

"Tidak u--"

Belum sempat kalimat Vito selesai, tangannya langsung di geret pak Chandra. "Udah ikut saja. Itungan-itung nambah ilmu."

Vito sekarang benar-benar tak bisa menolak pak Chandra. Akhirnya dia terjebak bersama Nara.

Pak Chandra mengajak Vito keluar dari area rumah sakit. Aneh sekali, biasa konseling ada di ruangan khusus dalam rumah sakit. Kali ini malah di luar. Yang agak menggelikan, pak Chandra masih mengenakan jas dokter dengan lambang RSJ. Ekpresi orang yang melihat itu sangat tidak mengenakkan. Vito paham kenapa Nara memakai masker dan topi, mungkin itu agar dia tak merasa risi seperti yang ia rasakan.

Perjalanannya pun agak jauh. Tak terasa mereka berjalan 15 menit tanpa percakapan, atau sepatah katapun. Vito berkali-kali mendengus dan memutar bola matanya.
Mereka pun berhenti ke sebuah stand kebab di pinggir taman kota. Pak Chandra langsung memesan 3 kebab ukuran besar dan munuman yang kebetulan di sediakan juga oleh sang pemilik. Selagi menunggu Kebab siap, mereka duduk di meja piknik depan kebab itu.

Pak Chandra tersenyum lebar kepada Nara dan Vito. Vito hanya menyengir. Dan Nara tak peduli.

"Mumpung ini hari yang cerah. Bagaimana jika kita menggambar sejenak," ujar Pak Chandra.

Vito menaikan salah satu alisnya. Tanpa basa-basi panjang pak Chandra mengeluarkan 3 kertas kosong dan 3 pensil. Dia bagi ke Vito dan Nara, sisanya untuknya.

"Mari menggambar pemandangan taman ini,' pak Chandra terkekeh, lalu mulai memegang pensilnya.

Nara masih diam dan menatap kertas kosong. Lalu Vito menatap sekeliling. Ini hari Minggu pagi. Jelas banyak orang-orang di taman ini. Entah sekedar joging, bermain dengan teman, duduk berdua sama pacar, atau piknik keluarga. Rasanya menyenangkan jika dilihat dari sisi ini. Seperti mereka tak ada beban. Sedangkan yang di sini penuh dengan tekanan hidup yang menyiksa.

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro