Part 1
Gadis itu memakai jas hujan berwarna merah- berdiri di ujung dermaga. Hujan yang tak terlalu deras, tapi mampu memuat ombak yang menghantam jembatan beton yang sedang di pijak gadis itu. Matanya sembab, bibirnya pucat, rambutnya basah karena hujan. Di tangannya terdapat setangkai bunga mawar putih. Dia tatap bunga itu beberapa saat dengan tatapan hampa. Lalu ia buang ke laut di depannya.
Dia menghela nafas panjang. Menutup mata. Dan mengepalkan tangannya yang berkeringat. Kakinya melangkah ke depan. Di mana tak ada lagi tempat berpijak di sana. Dia memajukan tubuhnya ke depan, dan…
Byuuuur…
(ʘᴗʘ✿)(ʘᴗʘ✿)(ʘᴗʘ✿)
'Mereka tertawa memakai baju berwarna dan berpegangan tangan. Sedangkan aku menangis berpakaian serba hitam di samping nisan'
Pemuda itu berdiri di balik jendela kaca yang besar. Menatap sekelompok lansia sedang berkumpul membentuk lingkaran. Dan seorang wanita yang masih terlihat muda duduk di tengahnya. Beberapa dari lansia itu tertawa sambil mengikuti gerakan si wanita. Sisanya sibuk dengan pikiran dan khayalan mereka sendiri.
"Vito kau datang berkunjung?" Tegur seorang pria bejas putih memakai kacamata. Di sakunya terdapat name tag bertuliskan Achandra Sp.KJ. Jelas pria itu adalah seorang dokter kejiwaan. Dan tempat ini adalah rumah sakit jiwa.
"Pagi pak Chandra," sapa Vito dengan senyum simpul.
Pak Chandra terkekeh, ia mendekati Vito lalu menepuk pundaknya.
"Bagaimana, kamu suka?" Tanya dengan jari telunjuk mengarah ke sisi lain kaca jendela itu.
Vito kembali menatap ke sana. "Itu adalah terapi kami untuk penderita Skizofrenia. Kelompok pendukung, semoga dengan ini pasien sedikit membaik," jelas pak Chandra.
"Amin pak," jawab Vito singkat.
"Oh iya, ngomong-ngomong kamu mau masuk kuliah ya? Waktu cepat sekali, kemarin kamu masik anak SMP yang merengek karena di pisah dari orang tua, sekarang sudah dewasa mandiri dan tegar… wahahaha…."
Vito menyengir dan menyipitkan matanya. "Anda berlebihan."
"Kamu mau kuliah di mana?"
"Saya sudah mendaftar universitas kota ini. Pengumumannya besok," ujar Vito.
"Wah pasti deg-degan sekali ya?" Celoteh Pak Candra.
Vito menampilkan ekpresi yang sama lagi.
Pak Chandra mendekat ke Vito, dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Jangan tersenyum seperti itu, mirip joker, seram!"
Vito langsung kembali berwajah datar. Dan pak Chandra yang tersenyum lebar ke Vito. "Jika kamu kuliah di kota ini, itu bagus. Dengan begitu kamu lebih sering berkunjung ke sini. Dan semoga ibu mu segera mengingatmu."
Vito dan oak Chandra secara bersamaan menatap ke ruangan yang di batasi jendela kaca itu. Ada seorang wanita paruh baya dengan rambut panjang beruban putih di gulung- dia sedang melamun sambil duduk diam di kursinya. Tak peduli di sampingnya siapa, atau yang lainnya sedang apa. Bahkan tak tahu bahwa anaknya- Vito sedang memperhatikannya.
Vito meluruskan bibir, dan menghembuskan nafas dari bibirnya. Bahkan setelah hampir 5 tahun berlalu, pikiran selalu buyar ketika melihat ibunya yang tak mengingatnya.
Kejadiannya saat dia masih duduk di bangku SMP. Keluarganya sangat sederhana, dan pada awalnya semua damai. Tapi semua hancur karena sebuah pengkhianatan.
Ayah Vito selingkuh dengan wanita kaya raya. Dan akhirnya memilih meninggalkan ibu Vito- Sindy, dengan alasan dia muak hidup susah. Syok karena kehilangan suaminya, terlebih ia ditinggalkan dengan utang yang sangat banyak- Sindy pun menjadi gila. Awalnya dia hanya sering marah-marah. Lalu mulai memukuli Vito. Berlanjut sering berhalusinasi, tertawa dan berbicara sendiri. Lama-lama Sindy semakin beringkah aneh. Puncaknya dia mengamuk. Semua barang di sekitarnya dia hancurkan. Saat itu Vito baru pulang sekolah, ia terkejut melihat rumah seperti kapal pecah. Dia lebih terkejut lagi ketika ibunya lah pelalunya.
Saat Sindy melihat Vito, tanpa pikir panjang dia menerkam anaknya itu. Dan mencekik leher Vito. Seperti hewan buas yang tak mengenal siapa-siapa. Bahkan anaknya sendiri. Jika bukan pertolongan warga yang mendengar keributan, pasti Vito sudah tewas di tangan ibunya sendiri saat itu.
Sejak itu, Sindy di bawa ke rumah sakit jiwa. Ayah Vito diketahui sudah tidak lagi tinggal di Indonesia, dia pergi keluar negeri dengan keluarga barunya. Akhirnya Vito tinggal dengan bibinya. Rumah sakit jiwa tempat ibunya di rawat, berbeda kota dengan tempat tinggal Vito yang sekarang. Membuat Vito mungkin hanya setahun 3 kali bisa menjenguk ibunya. Dan sudah 5 tahun berlalu, kondisinya masih sama.
Tahun ini Vito memutuskan kuliah satu kota dengan Rumah sakit Jiwa Kotak Pelangi, tempat Sindy berada. Jurusan yang ia pilih adalah psikolog, dengan itu ia berharap bisa membantu orang-orang agar tak senasib sama dengan ibunya dan dia saat ini.
(◕ᴗ◕✿)(◕ᴗ◕✿)(◕ᴗ◕✿)
Apartemen kecil ini cukup untuk tempat tinggalnya selama masa kuliah. Berkat pak Chandra, Vito mendapat tempat tinggal nyaman dengan uang sedikit. Pak Chandra bagi Vito bukan hanya sekedar dokter kejiwaan yang merawat ibunya, tapi pengganti ayah baginya. Kamar no 12E di lantai 5.
Jam 7 pagi, Vito sudah sibuk naik turun lift mengangkat kotak-kotak yang bersisi barangnya. Semua di kerjakan sendiri demi menghemat biaya angkut. Lagipula barang Vito tak terlalu banyak.
Gedung apartemen temen ini sepi. Karena rata-rata isinya mahasiswa yang sibuk dengan urusan mereka masih-masing. Tak ada sapa menyapa penghuni baru seperti halnya di kostan. Tapi suana sunyi seperti ini yang paling di sukai Vito. Itu sebabnya Vito lebih memilih tinggal di apartemen dari pada kost biasa.
Soal uang? Walau ayah Vito tidak mau menampung Vito, tapi dia tetap wajib memberi Vito nafkah sesuai surat pengadilan. Selama ini Vito tidak pernah menggunakan uang yang di beri ayahnya. Dia kerja part time di cafe-cafe untuk jajan dan keperluan lainnya. Untuk sekolah, dia dapat dari angsurasi pendidikan yang dulu sempat ibunya urus untuknya.
Dan kini uang dari ayahnya yang sudah terkumpul banyak, akan ia gunakan untuk membayat sewa apartemen dan biaya kuliah. Sisanya jika kurang, ia akan gunakan waktu luang untuk part time seperti dulu.
Lift berhenti, Vito buru-buru masuk sambil membopong kotak terakhir barangnya. Di dalam lift sudah ada seorang gadis memakai sweater pink dengan gambar kuda poni di tengahnya, rok pendek di atas lutut, dan sepatu kets. Rambut gadis itu di cat berwarna pink- panjang dan lurus. Dia berdiri di samping Vito, dan terlihat tak peduli ada seseorang di sampingnya.
Gadis itu menekat nomor lift, yang ternyata sama dengan lantai yang kamar Vito. Setelah lift itu naik, suasana terasa canggung. Vito sesekali menatap ke arahnya. Matanya sembab, kulitnya putih pucat, dan gadis itu hanya sebahu Vito.
Lift terbuka, dan secara bersamaan mereka keluar dari lift. Gadis itu ada di depan Vito. Dia berjalan lurus di lorong yang panjang. Kamar Vito ada di paling ujung. Vito heran kenapa gadis itu tak kunjung berbelok.
Vito sampai di depan pintu kamar. Ia memicingkan mata, dan melihat si gadis berhenti di sebelah kamarnya. Vito menaruh kotaknya di depan pintu, lalu mengaruk kepala. Dia ingat, ada satu kamar lagi di sebelahnya. Kamar no 13E.
Gadis itu membuka pintu kamarnya dengan sangat kasar. Dan menutupnya dengan keras. Membuat Vito mengecap lidah dan menggelengkan kepala mengetahui dia akan bersebelahan kamar dengan gadis seperti itu.
"Jangan hiraukan, anak itu memang seperti itu." Suara asing masuk ke telinganya.
Vito menoleh sumber suara. Dan mendapati seorang gadis cantik, dengan rambut terkucir satu, mengenakan kemeja biru yang ia masukan ke rok panjang berwarna putih.
"Kamu baru ya di sini?" Tanyanya dengan nada ramah.
Vito tersenyum simpul. "Iya, baru pindah tadi pagi."
"Aku Keke," ujarnya tanpa di tanya lebih dulu. Keke memperhatikan atas sampai bawah Vito. "Maba Universitas Orion juga ya?"
Vito mengkekeh ringan. "Iya nih."
Keke tersenyum memamerkan gingsul sebagai pemanis wajahnya. "Sama dong, namamu siapa? Jurusan apa?" Tanya keke berturut-turut.
"Vito, psikologi," jawab Vito singkat tapi jelas.
Senyum Keke semakin lebar, dia terlihat sedikit terkejut tapi juga senang. "Wah sama dong. Aku juga mana Psikolog. Wah bisa ngerjain tugas bareng nih."
"Iya kalo sekelas, hehehe."
"Mampir ya kapan-kapan, aku mau ke kampus ngurus administrasi. Bye Vito." Keke pergi sambil melambai ke arah Vito.
Vito menyengat dan membalas lambaian Keke. Setelah Keke masuk ke lift, Vito kembali mengangkat kotaknya dan masuk ke kamarnya.
.
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro