Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7

Kelopak mata Caraka terbangun dan hal pertama yang dilihatnya adalah potret John Lennon bersama dengan Yoko Ono. Keduanya duduk di sofa sambil memegang bunga tulip. Foto yang dia sukai, meskipun banyak orang membenci Yoko Ono, menurut Caraka, Yoko Ono adalah salah satu orang yang berhasil mendorong John Lennon menciptakan karya terbaiknya. Contohnya lagu War is Over.

Pagi itu berbeda, tidak ada lagi suara berisik terdengar dari luar. Kembali seperti pagi-pagi biasanya yang sunyi dan tidak berbeda dari hal lain.

Caraka pernah membaca sebuah jurnal mengapa banyak manusia merasa waktu begitu singkat, penyebabnya karena orang tersebut melakukan hal secara repetisi sehingga otaknya tidak bisa membedakan hari-hari tersebut. Apakah hal itu terjadi kemarin atau dua hari yang lalu karena semuanya adalah bentuk pengulangan. Begitulah hari-hari Caraka.

Dia melihat Ratih meminum segelas susu.

Lelaki itu menguap sambil menarik kursi mundur. Segelas susu almond disediakan di atas meja. "Buat aku, Teh?"

"Iya."

"Kenapa nggak kopi?"

"Tadi teh sebelum Neng Anin dijemput sama ayahnya, dia bilang kalau A'a kalau pagi asam lambungnya sering kumat. Makanya jangan keseringan minum kopi atuh, A. Kenapa nggak bilang ke Teteh? Kan nggak bakal Teteh buatin kalau tau begitu."

Caraka mengernyit, dari mana Anin tahu kalau setiap pagi asam lambungnya sering kumat. Apakah gadis itu bisa membaca pikiran atau punya kemampuan membaca aura sehingga bisa melihat penyakit seseorang dalam sekali pandang?

"Anin udah dijemput?"

"Iya, tadinya sih mau pamit ke Aa', cuma diketuk-ketuk pintunya, Aa nggak bangun. Jadi dia nitip salam ke Bibi aja."

"Hm." Caraka mengangguk sambil meneguk susu almondnya. Rasa hangat mengaliri perutnya. Lalu dia menoleh ke Ratih, adik perempuannya itu kembali murung. Kembali seperti Ratih yang biasanya.

"Kenapa Kak Anin nggak tinggal di sini aja?" Ratih menggerakan tangannya.

"Dia harus balik, nggak mungkin Kak Anin di sini."

"Aku sendirian lagi."

"Memang biasanya gimana? Jangan bergantung sama orang, kamu udah dewasa. Terlalu mengandalkan orang lain juga nggak baik."

Ratih menggebrak meja lalu menuju ke kamarnya dengan membanting pintu. "Eh konde ... eh konde ... aduuh untung jantung Teteh nggak copot," Teh Yati spontan latah sambil mengusap dada saking terkejutnya. Caraka membuka layar ponselnya, melihat status Whatsapp. Nama Anin muncul di daftar teratas. Jemarinya menge-klik layar itu. Gadis itu sedang ber-selfie di kamarnya dengan caption: welcome home.

Sudut hati Caraka diam-diam merasa bersalah, dia membalas story itu.

Caraka.

Maaf ya kalo semalem sikap gue nggak ngenakin.

Tak lama terkirim, Anindita langsung membalasnya.

Anindita.

Gpp, tinggal tambah sedikit garem udah enak kok.

Cowok itu tertawa geli.

Caraka.

Balik ga bilang2 gue nih?

Anindita.

Sengaja, biar kangen hehe.

Makasih ya udah ngurusin aku selama di sana.

*sends a sticker*

titip cinta buat Ratih sama Teh Yati.

****

Hari Sabtu. Tidak ada kuliah hari itu. Ketika Anindita pulang, sudah banyak makanan tersaji di meja. Ayahnya membantu memasukkan barang milik Anindita kembali ke kamar. "Selesai ganti baju ke meja makan ya, kita sarapan sama-sama," ucapnya.

"Oke, Yah."

Anindita masih sibuk membalas chat Caraka sampai ayahnya memanggil kedua kali.

"Nin?"

"Iya, Yah."

"Ayo sarapan, Nduk."

Gadis itu meletakkan ponselnya di dekat kasur lalu berlari menuju ke ruang makan. Sudah ada ibu tirinya dan Janitra duduk di kursi. Dia bisa merasakan Janitra menghunusnya dengan tatapan tajam. Anindita menarik kursi di ujung, merasa canggung untuk dekat-dekat. Lalu dia melihat ada banyak sekali makanan terhidang di meja. Biasanya kalau bersama ibunya, tiap kali sarapan mereka akan duduk lesehan di atas tikar karena rumah mereka terlalu kecil untuk diletakkan meja makan. Sementara lauk dan sayurnya hanya ada satu pilihan. Namun kali ini ada banyak sekali.

Dia jadi teringat dengan ibunya, dia sudah makan belum, ya?

"Ayo dimakan."

"Sini Kak, aku ambilin."

"Nggak perlu, gue bisa ambil sendiri." Janitra menolak pertolongan Anindita dengan dingin.

Ayahnya hanya bisa menghela napas melihat kelakuan putrinya. "Nanti malam kita ke rumah Nenek, ada acara makan-makan di sana."

"Anak ini ikut?" tanya Nia menatap Anindita enggan.

"Iya."

"Kamu jangan bikin ulah selama di sana." Nia memperingati Anindita.

"Gimana kuliahnya? Asyik?" Naladipa, ayahnya itu bertanya di sela aktivitasnya mengunyah makanan.

Anindita menoleh, memastikan apakah pertanyaan itu untuknya, melihat ayahnya sedang melirik dirinya. Anindita mengangguk. "Asyik, Yah. Temannya baik-baik."

"Cerita dong tentang lo yang ngambil dompet anak sekelas." Janitra tahu-tahu mengungkit itu dan membuat kedua orangtuanya menatap terkejut. "Nggak cerita, ya? Anak kesayangan Ayah ini bikin malu angkatan, dia ketahuan nyembunyiin dompet teman sekelasnya ke dalam tas. Untung aja ada penggeledahan jadi terbongkar deh di mana dompetnya. Kebiasaan miskin ya di kampung, jadi kaget hidup di kota?" kakaknya itu menyindir telak.

"Bukan aku yang ambil, aku nggak tahu kenapa dompet itu dalam tasku. Mungkin ada yang jebak aku."

"Maksud lo gue yang jebak lo?" Janitra membalas sarkastis.

"Aku nggak bilang gitu."

"Iya lo bilang gitu, lo pengin bilang karena gue Komdisnya, gue bisa aja naruh itu di tas lo kan?" Janitra berkata tepat sasaran.

"Kakak baru aja ngaku kronologis aslinya gimana."

"Lo—"

"Kamu jangan sembarangan ya, Anin. Bisa-bisanya menuduh anak saya menjebak kamu. Kamu baru balik ke sini udah berani-beraninya bilang begitu. Diajari ibumu, ya? Mau menghancurkan keluarga saya lagi?" Nia ikut tidak terima.

"Sudah sudah jangan diperpanjang. Tolong pembicaraan ini jangan dibawa ke meja makan, Ayah capek, cuma mau makan dengan tenang." Ayahnya menyelesaikan dengan tegas. "Pokoknya nanti malam, jam setengah 7 semua harus sudah berangkat."

Kemudian tidak ada lagi suara terdengar sampai sarapan selesai. Ayahnya yang lebih dulu bangkit, kembali ke ruangannya untuk mengerjakan pekerjaan yang belum usai. Bi Yuli membantu membereskan. "Biar Anin yang cuci piring semuanya, Teteh kerjakan yang lain saja," interupsi Nia.

Janitra kembali ke kamar setelah sebelumnya menghentak bahu Anin keras. Anin akhirnya membereskan piring-piring. Lalu dia melihat masih ada ayam milik Janitra yang tidak tersentuh, sejak dulu ibunya selalu mengajarkan Anin agar selalu menghabiskan makanan alhasil kebiasaan itu tertanam hingga saat ini. Anin mengambil ayam itu, menghabiskan bekas makanan milik Janitra masuk ke perutnya.

****

Setiap kali ada seseorang berbuat jahat kepada Anindita, Anin selalu teringat dengan perkataan Ibunya. "Nin, meskipun ada orang berbuat jahat ke kamu, jangan dibalas. Teruslah berbuat baik, karena kamu nggak akan tahu, Nduk, kebaikan kamu yang mana yang nanti akan mengetuk hatinya." Alhasil Anindita tidak pernah membalas kalau teman-temannya jahat kepadanya. Mulai dari mereka yang merundungnya, merundung ibunya, sampai rupanya dia kebal sendiri dengan segala bentuk sikap tidak menyenangkan.

Anin ingat dengan buku Tan Malaka yang dibacanya waktu SMA, ada kalimat "terbentur, terbentur, terbentuk." Begitulah yang dia rasakan.

Bahkan perlakuan Janitra tidak ada apa-apanya, Anindita sudah pernah merasakan dirundung sampai ke fisik. Masa lebaran adalah hal yang selalu ditunggu-tunggu karena akan ada kumpul keluarga adalah hal yang ditakuti, karena pasti hanya dia dan ibunya yang bajunya tidak seragam. Ketika foto keluarga pun, yang lainnya foto bersama, Anindita seolah tim buangan, dia yang selalu diminta memotret karena keluarganya yang tidak lengkap.

Jadi, perilaku Janitra tidak akan membuat Anindita sakit hati. Dia sudah sangat kebal.

Bukanlah seseorang yang paling hebat adalah seseorang yang pernah merasakan titik paling bawah kehidupan? Saking berada di titik paling bawah, jadi satu-satunya pilihan yang dimiliki adalah bertahan atau naik ke atas.

Pikiran Anindita berkelana panjang selama di mobil. Langit berubah gelap, jalanan Jakarta terlihat ramai dan indah. Sesuatu yang jarang Anin temukan saat di kampung. Sesuai dengan permintaan ayahnya ketika sarapan tadi, pukul setengah tujuh malam mereka semua bersiap untuk berangkat ke rumah Nenek. Kali terakhir Anindita bertemu dengan Nenek sudah lama sekali, waktu perayaan ulang tahun Janitra ke 17 tahun.

Anindita kemudian mengeluarkan ponsel bututnya, dari balik kameranya yang tidak lagi jernih itu dia merekam pemandangan di luar kaca. Direkam momen itu sebaik-baiknya, mulai dari pemandangan di jendela, lalu kamera bergerak ke depan, merekam ayah dan ibu tirinya dan beralih ke Janitra. "Apaan sih lo, jangan rekam-rekam gue!" Janitra terlihat tidak suka, "matiin nggak? Mau gue rusakin tuh ponsel butut lo?"

Ayahnya melirik dari spion tengah dan hanya bisa mendengus pasrah.

Anindita menggembungkan pipi. "Galak banget, sih," gerutunya pelan.

"Lo bilang apa?"

"Nggak aku nggak bilang apa-apa."

"Lo bilang gue galak?"

"Kakak aja yang salah dengar, orang aku nggak bilang apa-apa, kok." Anindita kembali memutar kameranya ke jendela lalu senyumnya merekah. Janitra hanya bisa mengernyit, padahal di luar hanya pemandangan jalanan biasa yang terlihat semrawut dan menyebalkan karena klakson kendaraan tidak hentinya bersahutan. Bisa-bisanya Anindita terlihat bahagia dengan itu.

"Dasar freak," gerutu Janitra jengkel.

Sementara ayahnya yang sibuk menyetir, diam-diam memperhatikan Anindita. Sudut hatinya tersentuh, di tengah dunia di mana semua orang sibuk menjadi elang, anak gadisnya itu memilih menjadi siput yang berjalan pelan dan melihat dunia melalui mata anak-anak; yang selalu merasa bahagia bahkan dari hal-hal sederhana.


****

Setelah menempuh perjalanan selama hampir 45 menit, mobil Fortuner itu akhirnya masuk ke sebuah gerbang dengan halaman parkir luas. Sebuah rumah bergaya ala Belanda menyambut mereka. Sudah banyak mobil ikut terparkir di dalamnya. Anindita pun turun, mengekori Janitra yang dibalas gadis itu dengan tatapan tajam sekaligus peringatan untuk tidak dekat-dekat dengannya. "Ayo, Nduk." Tangan ayahnya menyentuh punggung Anindita, mengerti keraguan yang dirasakan anaknya itu.

Anindita melepas sepatunya. "Ndak usah dilepas, Nduk, dipakai aja," bisik ayahnya.

"Nggak Yah, aku lepas aja." Anindita terbiasa tidak memakai sandal dalam rumah, kalau di kampungnya, tiap kali ada tamu pakai sepatu ke dalam rumah itu kurang sopan.

Rupanya semua sudah berkumpul di taman. Tepat di bagian sayap kiri rumah ada sebuah pintu luas lebar yang berhadapan langsung dengan taman. Pun ada kolam renang di sana. Ramai sekali. Semua orang memperhatikan Anindita. "Anin?" Anin ingat siapa yang menyapanya itu—adik ayahnya, Om Kirana. Dia terlihat lebih buntal dari sebelumnya. "Ya ampun, udah besar kamu sekarang ya."

"Iya, terakhir ketemu kayaknya belum setinggi ini." Satu lagi adalah Tante Nirmala. "Kamu tuh mirip banget lho sama Tante waktu kecil."

Ayahnya memiliki tiga bersaudara, ayahnya yang paling tua, disusul Om Kirana dan Tante Nirmala. "Salam dulu ke Oma." Naladipa mengajak keluarganya menemui seorang nenek tua yang sudah duduk di kursi roda. Anindita terlihat ragu, seingatnya pertemuannya terakhir dengan Oma pun tidak baik. Omanya itu tidak suka dengannya. "Bu, apa kabar?" Naladipa mengecup pipi kanan dan kiri ibunya.

"Janitra, Anin, salim ke Oma."

"Nek, kangen banget." Janitra memeluk Oma.

"Alhamdulillah ...," Oma membalas pelukan Janitra dan Nia, lalu melirik Anindita.

"Ini Anin, Bu, masih ingat?"

"Ngapain dia di sini?"

Janitra dan ibunya saling berpandangan lalu tersenyum melihat reaksi Oma.

Anindita merasa ciut. Dia jadi teringat perlakuan dari keluarga ibunya yang juga tidak baik padanya. "Dia kuliah, Bu, aku kan udah cerita sama Ibu."

"Naladipa!" seseorang memanggil ayahnya.

"Tio! Sebentar, aku ke sana dulu, Bu."

Setelah ayahnya pergi, satu per satu yang lain mengikuti. Hanya tersisa Anindita sendirian bersama dengan neneknya. Anindita kebingungan, di sisi lain dia ragu, tapi sisi hatinya yang lain seolah mendorongnya untuk mendekat. Dia melihat Oma duduk di kursi roda sementara matanya memandang ke taman, melihat keluarganya bercengkrama satu sama lain. "Oma mau apa? Mau minum, Oma?"

"Nggak perlu."

Anindita akhirnya duduk di sebelah Oma, karena bingung harus melakukan apa, dia bersenandung sendiri. Menyanyikan lagu yang dinyanyikan ibunya kalau sedang menyulam. "Cublak cublak suweng ... suwenge ting gelenter ... mambu ketundung gudhel." Sewaktu Anin menyanyi, neneknya melirik. Gadis itu langsung bungkam, berpikir jangan-jangan neneknya terganggu. Kebiasaan buruknya kalau sedang melamun, seringkali dia bersenandung tanpa sadar.

"Kenapa berhenti? Ayo lanjutin lagi nyanyinya, itu lagu Cublak Cublang Suweng, kan?" Tanpa Anin mengerti, neneknya tidak sedingin semula. "Cepat lanjut, teruskan lagunya sampai selesai."

"Pak Empong lerak-lerek ... Sopo ngguyu ndelekakhe ... Sir-sir pong dele kopong

Sir-sir pong dele kopong..." Anindita menyelesaikan lagunya dengan suara yang mirip seperti tikus kejepit. Oma menyuruhnya mengulangi lagi kali ini tangan kanan dan kiri Oma ikut bergerak, menyelaraskan dengan suara Anindita. Gadis itu yang semula ragu-ragu pun mulai berani bernyanyi dengan percaya diri. Dia terus bernyanyi dan mengulangi sampai Oma puas, kali ini lebih ekspresif. Benar-benar menjadi seorang Anindita Keshwari yang urat malunya hampir putus.

"Tahu dari mana kamu lagunya?"

"Dari Ibu, kalau Ibu nyulam biasanya suka nyanyi itu."

"Itu lagu yang sering Oma mainin. Oma kan kampungnya di Jawa Timur. Dulu, Oma sama kawan-kawang Oma waktu masih kecil main Cublak-Cublak Suweng."

"Emang ada permainannya, Oma?"

"Iya, cara mainnya satu orang menunduk, nanti teman lainnya mengangkat tangan dan taruh di atas punggung teman yang menunduk tadi." Oma terdengar antusias sekali sewaktu bercerita. "Dulu seru sekali main ini, kalau di rumah, Buyut juga suka tanya ke anak-anaknya siapa yang bisa nyanyi Cublak Cublak Suweng nanti dikasih uang."

"Kampung Oma di Surabaya?"

"Iya, waktu pertempuran Surabaya, Oma usianya 6 tahun."

"Oh ya? Ceritanya gimana, Oma?"

"Setelah Indonesia merdeka, nggak serta merta semua tentram. Masih ada sebagian tentara yang tetap menyerang, puncaknya itu pada 30 Oktober 1945 ada Pimpinan Tentara Inggris di Surabaya yang meninggal tertembak, namanya Mallaby. Kematian Jenderal Mallaby ini yang bikin Inggris meradang, mereka mengeluarkan ultimatum menyuruh semua pimpinan bangsa Indonesia dan pemuda Surabaya untuk datang ke mereka. Ultimatum itu nggak dipatuhi, akhirnya Surabaya diserang."

Oma menggerakkan tangannya, menjelaskan serangan datang dari berbagai arah. "Ada 150 ribu warga yang akhirnya diungsikan dari Surabaya, termasuk keluarga Oma. Kami semua pindah ke Jakarta, karena itu Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan karena perjuangan warganya."

"Itu sebabnya 10 November diperingati jadi Hari Pahlawan ya, Oma?"

Oma mengangguk. Oma terus bercerita, tentang masa kecilnya, tentang situasi remaja di zaman dulu, artis kesukaan Oma sampai cinta pertama Oma. "Seru banget dengar Oma cerita, nanti kapan-kapan Oma cerita lagi ya! Aku mau dengar lanjutannya."

"Makasih ya udah mau dengar Oma cerita, biasanya kalau ada acara gini yang lain sibuk sendiri. Kamu liat aja, yang muda ketemu sama yang muda, cucu-cucu berkumpul sama yang lain. Anak-anak Oma sibuk dengan relasi. Oma kayak disisihkan, mungkin karena obrolannya juga nggak bakal nyambung. Atau mereka pikir cerita Oma kurang menarik daripada gosip terkini." Anindita memegang tangan Oma. Tembok tinggi yang semula terbangun perlahan runtuh.

Dari kejauhan, Janitra melihat pemandangan itu dengan tangan terkepal, tidak suka melihat Oma sedekat itu dengan Anindita.

A/N:

Jeng jeng, apa Caraka sudah ada pihak Janitra?

Silakan tunggu di bab berikutnya. Makasih ya udah setia baca cerita ini, kalau kalian baca jangan lupa share di Instastory terus tag ke akun aku, @eriscafebriani, @carakamahawira dan @citacintacaraka

Boleh deh spam jari Metal Ala Caraka di sini

See you on the next part, Araaa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro