Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Kiw, ketemu lagi sama Caraka Mahawira di sini.

Coba absen dong kalian baca ceritanya jam berapa?

Spam jari metal ala Caraka dulu dong sebelum baca,

Happy reading!



Caraka Mahawira terbangun dari tidur lelapnya begitu mendengar suara tawa seseorang gadis di rumahnya. Dia terkesiap, matanya terbelalak, tubuhnya terduduk secara refleks di atas ranjang. Kakinya menapak di lantai. Dingin. Dia lalu menekan remot yang otomatis membuka gorden kamar, cahaya masuk secara perlahan menyusup melalui gorden yang perlahan tersibak. Pria itu beranjak keluar lantas menemukan pemandangan langka di rumahnya. Rasanya begitu asing dan aneh melihat ada seorang gadis bisa tertawa terbahak-bahak di tengah rumahnya yang terasa seperti mati suri.

Ibunya meninggal tepat setelah melahirkan Ratih, sejak hari itu tidak ada lagi suara wanita memenuhi rumah, selain suara Teh Yati, pembantu rumah tangga yang akan datang di pagi hari dan pulang ketika seluruh tugasnya selesai atau Nenek dan Tantenya yang sesekali datang menjenguk. Biasanya Ratih selalu sendirian, adiknya itu homeschooling sejak kecil. Kebetulan lagi rumahnya berada di kompleks perumahan elit yang tidak banyak anak kecil, ada sih beberapa, tapi kebanyakan mereka pun jarang bermain. Ratih semakin terkungkung dalam gelembung.

Namun kini yang Caraka temukan di depannya adalah Ratih sedang berjoget ria di ruang tengah bersama Anindita. Mereka mengenakan syal sementara lagu Memandangmu milik Ike Nurjannah menjadi latar pengiring. Tak lupa di kepala Ratih memakai topi koboi berwarna pink lengkap dengan kacamata yang mencolok. Keduanya berjoget ria seolah menciptakan sebuah dunia di mana hanya ada mereka berdua di dalamnya.

"Memandangmuuuu .... Walau selaluu ... Tak akan pernah kuberi ... Jemu di hatiku." Suara Anindita yang seperti suara kambing kejepit itu melengking sambil memegang vas bunga kecil di tangannya. Berlagak seolah dia adalah rockstar di atas panggung. Bahkan menurut Caraka, suara kambing mengembek saja jauh lebih merdu didengar daripada suara menyanyi Anindita.

Ratih naik ke atas kursi, melompat-lompat. Gadis itu masih tidak sadar kalau abangnya sudah melipat tangan di depan dada dengan kaki tersilang. Begitu Ratih berbalik dan menemukan Caraka di belakangnya, kontan saja kakinya yang melompat segera mendarat bebas dengan kepala mencium lantai.

Caraka langsung berlari. "Aduuuh, sakit nggak?" dia mengusap kening Ratih. Memastikan keningnya tidak benjol. Lalu menggosokkan kepala Ratih dengan rambut gondrongnya.

"Abang ngapain di situ?" tanya Ratih dengan bahasa isyarat.

"Kamu yang ngapain? Pasti lo kan yang ngajarin?" Caraka melirik Anindita dengan tatapan jengkel, "baru sehari tinggal di sini udah bikin rese."

"Itu tuh alarm selamat pagi, tahu. Selamat pagi Kak Caraka!" Anin menyapanya dengan bersemangat. "Liat aku belajar apa," gadis itu menggerakkan tangannya dan mengucapkan sesuatu lewat bahasa isyarat. "Aku lagi belajar bahasa isyarat," geraknya. "Mulai hari ini aku mau kursus bahasa isyarat sama Ratih," lanjutnya.

"Kamu jelek dan pendek." Caraka menggerakkan tangannya. Ratih tertawa. Dia mengira Anin tidak mengerti, rupanya gadis itu cepat juga menangkap.

"Awas nanti kamu kena kutukan, jatuh cinta sama aku."

"Jatuh sama cinta sama elo? Nunggu matahari terbit dari barat noh!" balas Caraka tidak terima.

"Ulah hilap ka sarapan, jadi beuteung anjeun henteu kosong kawas jantung anjeun." Teh Yati menginterupsi dengan membawakan urap basah ke meja makan.

"Artinya apa, Teh? Aku mah nggak ngerti bahasa Sunda!" Anin menggembungkan pipi.

"Udah ayo kita sarapan, jangan sampai perutnya kosong kayak hati." Caraka yang mengartikan. Tentu saja dia paham, ibunya orang Sunda, sementara ayahnya orang Lampung. Tiap kali liburan terkadang dia sering main ke Bandung. Ibunya juga masih sering berbicara Sunda dalam bahasa sehari, itu sebabnya Teh Yati memanggilnya 'Aa' dan Ratih dengan sebutan 'Eneng'.

"Teteh nih paham banget kayaknya ...," Anin setia mengangguk-angguk sampai tidak sadar ponsel bututnya di atas meja bergetar.

"Ponsel lo tuh berisik." Caraka melemparkan tatapan pada sebuah benda butut yang teronggok di atas meja seolah benda itu adalah sebuah benda yang menyebabkan peperangan di dunia dan sudah seharusnya dibuang ke neraka.

Mendengar peringatan Caraka, barulah Anin meraih ponselnya dan melihat nama ayahnya muncul di layar. Dia menempelkan benda tipis itu di telinga. "Halo ... Nduk?" terdengar suara serak ayahnya di seberang, "Ayah dengar tentang berita semalam, Ayah masih ada proyek, Nduk, belum bisa pulang. Tapi Caraka sudah telepon ayah, Nduk, Ayah sudah bilang ke dia titipin kamu sebentar selama Ayah belum pulang."

"Iya, Yah. Nggak lama-lama kan, Yah?"

"Insya Allah, ndak. Coba kasih teleponnya ke Caraka, Nduk, Ayah mau ngomong." Anin menyerahkan ponselnya.

"Apaan?"

"Ayah mau ngomong."

Caraka mengambil ponsel Anin. "Halo Om? Oh iya Om, siap ... iya nggak apa, Om. Nanti saya antar di ke Harnus. Iya, Om, siap saya jagain." Sambungan terputus. Caraka lantas memasukkan nomor ponselnya ke kontak di ponsel Anin. "Gue save nomor gue, kalau ada apa-apa chat gue aja," lugasnya sembari mengembalikan ponsel Anin.

"Siap, Bos!" Anin melakukan posisi hormat, menempelkan tangan ke kening. "Aku tidur malam ini nyenyak banget. Makasih ya. Kamu gimana istirahatnya, nyenyak nggak?" tanya Anin di sela dia mengunyah.

"Nggak nyenyak gara-gara kemarin tiba-tiba ada hama nempel yang harus dibantuin."

"Hama kok dibantuin? Hama mah dibasmi. Tapi jenis hama-nya apa? Tikus? Wereng? Kepik hijau? Siapa tahu aku bisa bantu, gini-gini aku tuh sering nongkrong di sawah jadi tau. Kalau kepik hijau biasanya lebih ampuh kalau disemprot pestisida, tapi ada efek sampingnya sih—"

"Elo hamanya, Nin. Elo." Caraka mengungkapkan itu dengan mata melotot, seolah dia ingin ikut melahap Anindita masuk ke perutnya supaya tubuhnya itu musnah bersama asam dalam lambung. "Habis ini gue anter lo ke kampus. Gue mandi dulu."

"Kakak mau antar aku?"

"Emang lo udah ngerti jalanan di Jakarta?"

Gelengan kepala Anin sudah menjawab keraguan Caraka kalau gadis itu bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang Jakarta. Caraka menyudahi sarapannya dan bergegas ke kamar untuk bersiap-siap. "Eh, makanannya nggak dihabisin? Kamu tuh nggak bersyukur banget, sih, kalau dibuatin sarapan ya harus dihabisin dong. Kamu tahu kan di luar sana ada banyak orang nggak bisa makan enak, ada yang ngemis demi bisa makan, kok kamu malah seenaknya ngebuang makanan?"

Giliran Ratih dan Teh Yati yang ternganga melihat Caraka dibentak oleh seseorang. Masalahnya, tidak pernah ada yang bisa memarahi Caraka. Cowok itu terlalu mandiri untuk dimarahi sampai rasanya orang-orang segan memberitahu karena dia sudah dewasa sebelum waktunya. Anehnya, Caraka menurut. Dia langsung menghabiskan makanannya tanpa sisa dan membuat Ratih menahan tawa melihat kakaknya tidak berkutik. "Udah tuh habis, puas lo?" balas Caraka lalu pergi ke kamarnya untuk berganti baju.

"Dia emang suka marah-marah," balas Teh Yati.

"Iya biarin aja dia cepat tua," Anin menjawab sambil melahap sarapan nikmat yang dibuat oleh Teh Yati.

****

"Buku sidu?"

"Udah."

"Pensil, pena, penggaris?"

"Udah."

"Busur?"

"Udah."

"Peta kampus?"

"Udah."

Sepertinya seolah sudah ada gelar tak terlihat di atas kepala Caraka sebagai "manajer" di mana-mana dia seolah dituntut untuk mengecek perlengkapan, kalau di kampus ada para personil Aspire yang harus selalu dicek perlengkapannya. Kini di rumah ada Anin yang akan mengikuti ospek di kampus.

Pasalnya, bisa-bisanya gadis itu tadi berniat berangkat dengan cuma pakai kaus oblong dan rok bunga-bunga. Dikiranya sekolah milik nenek moyangnya kali, ya? Tentu saja Caraka naik pitam dan menyuruhnya ganti baju dengan kemeja putih dan rok hitam.

Caraka melihat sesuatu dalam tas Anin dan mengeluarkannya. "Ini apaan?"

"Hehe, itu slime." Anin menjawab dengan cengegesan. "Kamu pernah main slime nggak? Seru tau, Kak."

"Lo mau jadi anak mahasiswa apa paud? Bisa-bisanya bawa slime!" Caraka mendengus, tapi juga tidak ada hak melarang. Anindita itu seperti seorang anak kecil yang terjebak dalam tubuh gadis remaja. "Ya udah lengkap semua," ujar lelaki berambut gondrong itu.

Anin memasukkan barangnya ke dalam tas. Ratih sejak kecil sampai kini duduk di bangku SMA selalu homeschooling, jadi Caraka tidak pernah merasakan bagaimana rasanya punya adik yang harus diperhatikan barang bawaannya untuk mengikuti Ospek. Kini dia merasakannya lewat Anin.

"Yuk berangkat." Anindita persis seperti anak SD yang kali pertama berangkat sekolah, begitu bersemangat dan penuh antusias. Caraka sudah berjalan lebih dulu dan ada di dalam mobil Honda Civic hitam miliknya. "Kok naik mobil? Kemarin kayaknya kamu naik motor?"

"Itu motor teman, semalam udah dibalikin."

"Ooo."

"Hati-hati, Neng, A." Teh Yati dan Ratih melambaikan tangan.

"Berangkat yaaa ... doakan aku berhasil!"

"Lebay, kayak mau ngapain aja!" Caraka bersungut. "Udah buruan naik. Tutup yang keras pintunya, itu belum rapat. Pakai seatbelt."

Melihat Anindita yang kesusahan, Caraka mendengus dan membantunya menarik seatbelt sampai Anindita refleks memundurkan tubuh begitu menyadari jarak yang memupus di antara mereka berdua. Dia bahkan bisa mencium aroma parfum Caraka, segar dan maskulin. Caraka memasang seatbelt hingga terdengar bunyi 'klik'. "Gini aja nggak tahu."

"Ya maaf, aku jarang naik mobil." Dia pernah naik mobil sekali, milik Pak Aga. Biasanya kalau akan membeli barang yang sudah habis, Pak Aga akan berangkat ke kota sambil naik mobil pick up. Itu pun tidak usah repot pakai seat-belt segala. Kadang Anindita duduk di bak belakangnya yang berbau telur busuk sambil memegangi barang-barang agar tidak mengelundung ketika mobil melewati jalanan yang mirip seperti kubangan berlumpur.

"Okee, ayo berangkat." Anindita bersorak.

"Kelakuan lo tuh kayak anak-anak, nggak sesuai sama umur."

"Emang kenapa sama anak-anak? Anak-anak tuh jauh lebih pintar dari orang dewasa, tahu."

"Kenapa bisa gitu?" Caraka melajukan kendaraan.

"Anak-anak itu jauh lebih pintar dari orang dewasa karena kalau mereka ingin sesuatu, mereka gigih mendapatkannya. Anak-anak tahu apa yang mereka mau, kalau mau permen mereka bilang permen. Meskipun disodorkan boneka, mereka nggak akan terkecoh dan tetap mau permen. Coba kalau orang dewasa? Biasanya mudah bingung, terlalu banyak yang orang dewasa mau sampai nggak tahu apa yang sebenarnya mereka cari." Anindita menjelaskan panjang lebar.

Caraka menoleh, tidak menyangka kalimat itu akan dia dengar dari mulut seorang jenaka seperti Anindita. Sepertinya dia tidak bisa menyepelekan gadis itu begitu saja. Dia melirik gadis itu mengeluarkan notes kecil dari sakunya, seperti mencatat sesuatu. "Nulis apaan?"

"Pengeluaran."

"Hah?"

"Semua pengeluaran itu harus dicatat, tauk. Biar kelihatan uangnya pergi ke mana. Lagipula kata Ibu, seseorang yang dewasa dituntut untuk pintar dengan angka-angka atau dia bakal celaka." Setelah mencatat sesuatu dari notes-nya, Anindita kembali mendongak. Melihat jalan raya. Suara klakson saling bersahutan dan tidak sabaran. Seharusnya orang akan kesal jika bersentuhan dengan macet, tapi Anin tidak. Seakan itu merupakan pengalaman pertamanya, seperti bayi yang baru pertama melihat dunia. Matanya berbinar dan bibirnya berkali-kali mengucap "woaaah!".

Caraka menghentikan mobilnya di pinggir jalan, beberapa meter sebelum masuk gerbang. "Turun di sini."

"Kok ... di sini?"

"Kalau kakak tingkat tahu lo ada urusannya sama gue, bisa jadi bulan-bulanan ntar lo. Jadi selama di kampus, anggap aja lo nggak kenal gue sama sekali. Paham?"

"Kenapa harus gitu?" Belum sempat pertanyaan Anin terjawab, Caraka sudah lebih dahulu melaju pergi. Menyisakan Anindita terbingung-bingung dengan sikapnya. Gadis itu mengeluarkan peta dari dalam tasnya yang sengaja sudah di-print oleh Caraka.

Dia mendongak, memastikan posisinya saat ini. Gerbang masuk Harapan Nusa University terlihat megah di hadapannya. Gadis itu melangkah ke dalam, memerhatikan taman megah menyambutnya. "Woaaaah ...," untuk kesekian kali dia berdecak penuh kekaguman.

Dia mengikuti segerombolan mahasiswa yang berpakaian sama sepertinya; seragam putih dan rok hitam. Mereka berhenti di halte dan sebuah bus listrik berhenti. Melihat yang lainnya naik, Anindita mengekor. Bus itu berkeliling memperlihatkan deretan gedung-gedung tinggi nan modern. Anindita seperti berada di dunia berbeda, teringat betapa jomplangnya kehidupan di kota dan di kampung. Kalau di kampungnya, bahkan ingin ke minimarket harus menempuh perjalanan setengah jam melewati jalanan yang penuh lubang dan motornya akan berhadapan dengan kubangan lumpur setiap kali habis hujan.

Namun di kampusnya, hanya berjarak beberapa meter ada minimarket besar, danau, dan banyak mahasiswa menggunakan sepeda.

"Fakultas Ekonomi?" seorang petugas menginfokan dengan interkom.

Anindita beranjak dan turun. Dia berdiri di depan gedung yang akan menjadi rumahnya selama beberapa tahun ke depan.

Dia bergegas video call ke ibunya. "Bu ... liat aku di mana!" Anin berteriak heboh lalu menunjukkan ke ibunya bagaimana canggihnya kampus yang akan menjadi tempatnya menempuh pendidikan. "Ning ... liat anakku!!" Ibunya sedang ada di atas perahu, beberapa detik berikutnya, ponsel ibunya berpindah-pindah. Dari satu mata bergantian ke mata lain. Mereka berdecak kagum sambil geleng-geleng kepala.

Anin melihat ibunya menangis. "Belajar yang benar ya Nak di sana, Ibu doain kamu sukses."

"Heh kamu, maba. Sini buruan baris!" Seorang cewek berambut panjang berkacak pinggang sementara matanya menatap Anin seperti hewan buas. Seolah ingin menerkamnya. Anin mematikan ponsel, memasukkannya ke dalam saku dan bergegas bergabung dengan kerumunan mahasiswa yang mengenakan seragam serupa. "Bukannya baris malah asik teleponan. Nama kamu siapa?"

"Anindita Keshwari, Kak."

"Asal?"

"Krui."

"Di mana tuh?"

"Hm ... di ...," Anin berusaha menjelaskan, "daerah pesisir Lampung, Kak."

"Oooh anak laut, dong?" sindirnya dan meledaklah tawa anak-anak di sekitarnya.

Anin mendengus, ingin rasanya dia menjelaskan kalau kampungnya tidak seburuk itu.

"Udah diam semua. Ok, kenalin nama aku Tina. Panggil aja Kak Tina, aku semester 5 dari Fakultas Ekonomi, jurusan Manajemen. Selama Masa Orientasi Universitas, aku yang akan mengawasi kalian. Sekarang berbaris masuk ke auditorium, ya. Ruangannya di ujung itu." Jemarinya menunjuk ke sebuah ruangan berpintu luas yang ada di seberang.

****

Auditorium Fakultas Ekonomi Harnus sepertinya untuk Anin luasnya seperti lapangan sepak bola di kampungnya yang sering dijadikan tempat upacaranya para warga atau lokasi untuk diadakan lomba perayaan 17 Agustus. Kursinya berundak-undak seperti terasering. Anin duduk di bagian tengah. Semua mahasiswa baru sudah duduk di posisi masing-masing hingga ruangan penuh. Tak lama, satu per satu kakak kelas yang akan meng-ospek mereka masuk.

"Aku ucapkan selamat ya buat adik-adik semua yang berhasil masuk ke Harapan Nusa University. Sebelum memulai acara, kita perkenalan diri dulu ya. Tadi sudah berkenalan dengan aku, kan, masih ingat namaku siapa?"

"Kak Tina ..."

Setelah perkenalan dari para pengurus yang berada di dalam kelas, selanjutnya beberapa anak ditunjuk untuk ditanya alasan mereka masuk Fakultas Ekonomi. Salah satunya Anin. Tentu saja dia menjawab dengan jujur. "Aku mau masuk Ekonomi karena di kampungku banyak nelayan jadi korban pemerasan tengkulak, mereka nggak bisa hitung-hitungan, mereka nggak ngerti bisnis. Yang mereka tahu cuma jual ikan, dengan harga serendah-rendahnya supaya besok bisa makan. Jadi aku mau nanti pulang ke kampung, ilmuku berguna dan bikin warga di kampungku nggak lagi dibego-begoin sama tengkulak-tengkulak itu."

Jawaban Anindita mengundang tepuk tangan, gadis itu tersenyum lebar. Tidak menyangka akan mendapat respon demikian.

Beberapa jam Ospek di hari pertama dibuka dengan perkenalan fasilitas kampus dan fakultas, mereka ditunjukkan mengenai akreditasi, jenis mata kuliah yang akan mereka pelajari, nama-nama dosen, serta bentuk kegiatan mahasiswa yang selanjutnya bisa mereka ikuti.

"Dalam fakultas ekonomi juga ada pertukaran pelajaran, salah satunya pertukaran ke Jepang, ada dua program yaitu Winter dan Summer." Tina menjelaskan dan Anin terkejut begitu melihat foto Caraka terpampang di sana. "Ini salah satu kakak kelas kalian, Caraka Mahawira, mahasiswa semester 7. Salah satu mahasiswa kebanggaan Fakultas Ekonomi di Harnus. Dia yang di semester 4 mendapatkan pertukaran pelajar di Jepang, bahkan program research-nya mendapat nilai sempurna."

"Ganteng!" Anin mendengar teman-teman di sekelilingnya histeris sendiri, terutama perempuan.

"Di awal tahun 2022, dia juga mendapat penghargaan mahasiswa berprestasi di Harnus karena memenangkan debat internasional mengenai kebijakan ekonomi dan politik internasional di Korea Selatan." Kemudian layar bergulir lagi. Memperlihatkan berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa di universitas.

"Di sini tidak hanya mengasah akademik, teman-teman juga dituntut untuk mengikuti kegiatan di luar akademik, salah satunya mengikuti UKM. Kalian bisa ikut public speaking, tari, paduan suara, atau ...," layar menunjukkan sebuah foto sekumpulan anak laki-laki sedang tampil. "Ada yang kenal mereka siapa?"

"Aspire!" teriak salah satu murid dan mendadak suasana menjadi riuh.

"Pasti sudah ada beberapa yang kenal ya, mungkin pernah melihat Aspire tampil di festival musik, atau tampil di SMA-SMA di Jakarta. Bagi yang belum kenal dengan Aspire, nanti setelah ini ada Club Exhibition di luar ... ada penampilan dari para UKM. Aspire itu adalah salah satu band yang terbentuk melalui UKM band di Harnus. Dan Kak Caraka juga mengemban tugas sebagai manajer Aspire."

"Gila, udah cakep, pinter, manajer band juga ...," Anin mendengar teman sebelahnya berdecak.

"Jadi nggak ada alasan kan kuliah bikin kalian sibuk sama tugas, buktinya Kak Caraka ... selagi kalian bisa memanajemen waktu dengan baik, semua bisa jalan berbarengan."

Rasanya Anin ingin protes bahwa nggak semua orang punya waktu 24 jam yang setara, misalnya Dian, temannya di kampung itu—selama duduk di bangku SMA dia anak yang pintar dan ingin sekali ikut organisasi, sayangnya dia tidak bisa memenuhi keinginannya—karena dia punya adik kecil yang harus dijaga sepulang sekolah, berganti shift dengan ibunya yang harus berjualan di pasar ikan. Mungkin ada orang memiliki ambisi serupa, tapi sayangnya tidak semua orang memiliki takdir yang sama.

"Permisi." Sebuah suara berat terdengar.

"Huwaaaa Kak Caraka, kan?" Ketika Kak Tina sibuk menjelaskan, tahu-tahu muncul cowok jangkung dengan matanya teredar ke seluruh ruangan hingga akhirnya mata itu bertemu ke Anindita. Dia mendekati Anindita, mengembalikan notes kecil miliknya. "Ketinggalan, siapa tahu dibutuhin."

Lalu cowok itu pergi diikuti tatapan terkagum-kagum dari para angkatan baru dalam kelas seolah mereka baru saja melihat sosok yang datang dari kayangan. "Kamu kenal sama Kak Caraka?" tanya Ute, teman seangkatannya.

"Nggak tahu, nggak kenal." Padahal kan, tadi Caraka sendiri yang bilang supaya dia jangan pura-pura kenal atau akan di-bully oleh kakak angkatan? Gimana, sih, nggak konsisten!

"Husst. Sudah, sudah. Fokus adik-adik! Oke, perkenalan di kelas hari ini selesai, selanjutnya kalian ke lapangan." Kak Tina kembali mengambil alih situasi yang semula gempar. "Kali ini kalian kuserahkan dengan Kak Janitra yang bertindak sebagai Komdis." Anin terbelalak begitu mendengar nama itu. Lalu seseorang muncul dari balik pintu.

Janitra berdiri di depan auditorium dengan mengenakan almamater berwarna merah dan slayer bertuliskan 'Komdis' di lengan kanannya.

"Halo adik-adik semua ... udah siap ke lapangan?"

Bahkan baru mendengar ucapan itu, bulu kuduk Anin seketika merinding. Suer deh, Anin lebih memilih ketemu hantu daripada bertemu dengan Janitra.

***

A/N:

Sooo, kamu ada di tim Anindita - Caraka atau Janitra - Caraka, niiiih?

Atau tim Caraka - Ara aja? wkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro