Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3

Kiw, ketemu lagi sama Caraka Mahawira di sini.

Coba absen dong kalian baca ceritanya jam berapa?

Spam jari metal ala Caraka dulu dong sebelum baca,

Happy reading!

***

Janitra masih ingat bagaimana sebuah kejadian terjadi di rumahnya satu bulan lalu. Waktu itu keluarganya sedang makan malam, dia, ibu dan ayahnya di sebuah restoran mewah di salah satu hotel bintang lima di tengah pusat kota Jakarta. Tiba-tiba saja ayahnya membuka percakapan yang membuat dia dan ibunya marah. "Kalian masih ingat kan dengan Anindita?"

Tanpa tanda-tanda, ayahnya mengungkap satu nama yang dianggap selayaknya hama dalam keluarga. Anindita. Nama anak dari seorang wanita yang akan selamanya Janitra anggap sebagai wanita genit yang menghancurkan keluarganya. Janitra masih ingat bagaimana patah hatinya dia begitu mengetahui ayah yang dia tahu sebagai pelindung keluarga ternyata mengkhianati kepercayaannya.

Entah siapa yang salah, waktu itu dia baru saja pulang sekolah, ibunya menjemput Janitra, membawanya ke luar kota. Lalu mengunjungi sebuah pedesaan yang jauh sekali jaraknya hanya untuk menunjukkan sebuah pemandangan yang selamanya akan menjadi memori menyakitkan di sudut kepala Janitra. Dia melihat ayahnya itu sedang ada di sebuah rumah bersama dengan seorang wanita dan juga anak perempuan yang lebih muda darinya, terlihat tertawa, begitu bahagia.

Semenjak itu dia tumbuh dengan pertanyaan dalam kepalanya, apakah dia belum berhasil menjadi sosok anak membanggakan untuk ayahnya sampai akhirnya ayahnya itu memiliki seorang anak lain dan terlihat sangat bahagia di keluarga keduanya?

Padahal Janitra sering mendengar cerita bagaimana usaha kedua orang tuanya agar dia dapat lahir setelah menunggu waktu lima tahun bahkan pernah mencoba satu kali bayi tabung yang ujungnya gagal, rupanya di tahun ke enam pernikahan, ibunya hamil. Sempat juga terlintas di kepala Janitra, apakah justru karena kelahirannya yang menyebabkan ayahnya tidak bahagia?

Puncaknya ketika Janitra usia 10 tahun, selama dua tahun ayahnya menghilang. Dia yang seharusnya bisa menikmati masa bermain harus sering berada di rumah karena kondisi mental ibunya tidak stabil. Dia menemani ibunya menangis, dia menjadi saksi bagaimana ibunya berdoa setiap malam agar ayahnya kembali sampai akhirnya doa ibunya seolah didengar. Ayahnya bangkrut dan barulah dia pulang, keluarga ibunya terlalu baik hati untuk kembali menerima ayahnya dengan persyaratan dia harus menceraikan istri keduanya itu. Namun kembali ayahnya ke rumah tidak berhasil menyatukan kembali ruang kosong dalam hati Janitra.

Kemudian memori menyakitkan itu muncul lagi, ketika Janitra merayakan ulang tahun ke 17. Hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan seumur hidupnya justru dihancurkan kembali dengan ayahnya yang membawa Anin ke perayaan.

Tentunya begitu mendengar keinginan bahwa ayahnya akan membawa anak dari wanita brengsek itu, Janitra yang paling pertama menolak. Dia langsung menghentikan makannya. "Aku nggak setuju."

"Dia juga adik kamu, Nitra. Kehidupan kamu tuh jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan dia, dari kecil dia sudah hidup susah, sedangkan kamu—"

"Oh ya? Kehidupan aku jauh lebih baik dari dia? Ayah tahu apa sih tentang aku?!" Janitra berteriak.

"Janitra ....,"

Melihat Janitra marah, ibunya tidak bisa berkutik. "Aku nggak setuju, apa pun alasan Ayah buat narik anak pembawa sial itu, aku nggak mau satu rumah sama dia!" Lalu Janitra pergi.

Kemudian hari ini, Janitra melihat di depan kepalanya sendiri kalau seorang Anindita ada di rumahnya. Rupanya ayahnya, untuk kesekian kalinya tidak mengindahkan permintaan Janitra.

"Brengsek! Ngapain lo di sini—" seperti melihat setan, Janitra jadi kalap. Dia berniat menyerang Anindita, untung saja Caraka yang ada di sana langsung merangsek ke tengah. Menyerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan Janitra. "Pergi lo! Pergi lo anjing! Belum puas lo ngehancurin keluarga gue? BELUM PUAS LO?! SEKARANG BERANI-BERANINYA LO MUNCULIN WAJAH LO DI SINI. LO MAU HANCURIN KELUARGA GUE LAGI?!!"

"Nitra .... istighfar!" Ibunya terlihat kebingungan, dia juga membenci Anin, dia tidak suka kalau Anin ada di rumahnya. Namun ibunya pun tahu Janitra dalam kondisi marah kadang sukar untuk dikendalikan.

"Pergi nggak lo?"

"PERGI. GUE BILANG PERGI YA PERGI!" Anindita lari ke kamar, membereskan barang-barangnya dengan air mata berlinangan di pipi. Dia ketakutan dan tidak ada satu orang pun yang bisa melindunginya. Ayahnya sedang ke luar kota. Tidak ada yang bisa melindunginya di sini. Tidak ada ibunya. Dia hanya ingin pulang.

Anindita memasukkan baju-baju yang sudah dia letakkan di lemari kembali ke dalam tas usangnya dengan tangan gemetar dan dingin.

Anindita langsung pergi dari rumah melalui pintu belakang.

Dia masih menyimpan uang simpanan, dia akan pulang dengan uang itu. Kalau memang dia tidak bisa lanjut kuliah dan harus pulang ke desa kemudian menjadi nelayan seumur hidupnya, menghabiskan seluruh waktunya berada di pesisir pantai pun tidak apa-apa.

Seandainya takdir bisa dipilih, Anindita juga akan bilang kalau dia pun tidak mau lahir sedemikian rupa. Sejak Anindita kecil, dia selalu jadi bulan-bulanan di desa. Para ibu di kampung mengingatkan agar mereka tidak berdekatan dengan Anin, Anin masih ingat ucapan mereka. "Jangan dekat-dekat sama dia, Nak, ibunya itu genit. Suka menggoda suami orang. Apalagi ibunya sekarang janda. Kamu mau bapakmu tergoda?"

Waktu itu Anindita tidak mengerti apa itu janda, kenapa konotasinya seolah begitu buruk? Di kepala Anindita kecil, melihat ekspresi ibu dari teman-temannya mengucapkan janda seolah itu adalah hantu. Seiring Anindita dewasa, dia paham bahwa mereka yang disebut janda justru wanita hebat yang bisa berdiri di kaki sendiri meskipun tidak ada pria yang berdiri melindungi mereka. Ibu Anindita contohnya. Bersikap selayaknya ibu yang teduh, tetapi juga di waktu bersamaan menjadi sosok pelindung. Ibunya itu wanita paling lembut, tapi dia bisa bersikap menyeramkan pada siapa pun yang menyakiti Anindita. Contohnya saja ke Yudi, teman sekelas Anindita waktu SMP yang pernah mengajak Anin ke kota sampai larut malam.

Ketika Yudi mengantarkan Anindita pulang, ibunya berteriak seperti orang kesurupan, dia memperingati Yudi kalau sesuatu terjadi pada anaknya maka dia tidak akan tinggal diam.

Saat itu Anindita malu sekali, kesal kenapa ibunya bersikap berlebihan, tapi setelahnya ibunya memeluk dirinya erat sambil menangis tersedu-sedu, dia bilang. "Ibu nggak mau nasib kamu kayak Ibu, kalau bukan Ibu yang ngelindungin kamu, siapa lagi? Dengar ya, Nin, meskipun Ayah nggak di sini, Ibu nggak mau kamu diperlakukan semena-mena sama cowok. Ibu nggak mau kamu dirusak sama mereka. Ibu bahagiain kamu susah payah, Ibu nggak terima kalau mereka menyakiti kamu."

Ada banyak hal yang ibunya perjuangkan untuk membesarkan dirinya. Namun tetap saja label dari orang-orang menyebutnya sebagai "perebut suami orang". Namun apa pun perkataan mereka, Anindita tidak pernah mau menyalahkan ibunya. Ibunya pun sudah terkena sanksi sosial, dia tidak mau menambahkan beban dengan ikut-ikutan menumpukan seluruh kesalahan ke ibunya. Lagipula, manusia mana sih di dunia ini yang terlepas dari dosa? Semua orang pasti memiliki dosa, hanya jenisnya saja berbeda. Ada yang berdosa sebagai maling, ada berdosa sebagai pengkhianat, ada berdosa karena selingkuh, ada yang berdosa karena menghina anak yatim. Coba jelaskan, manusia mana yang tidak pernah melakukan dosa? Tapi terkadang manusia bersikap menghakimi bahkan menggantikan posisi Tuhan.

Sebenarnya bukan hanya warga di desa yang berlaku demikian, bahkan kakek-nenek, paman dan tantenya—yang notabene adalah kakak dari ibunya juga ikutan menyalahkan. Mereka bilang ibunya bodoh, wanita gatal, kalau acara keluarga pun, ibunya itu selalu berada di dapur, sendirian.

Sementara yang lainnya sibuk memamerkan cerita keluarga bahagia versi mereka. Berhasil membeli sawah, merenovasi rumah, membeli sapi dan kambing. Padahal menurut Anindita, keluarga seharusnya saling merangkul, kan? Bukan menjatuhkan si miskin, bukan menyudutkan salah satu keluarga yang nasibnya paling buruk. Karena di saat seluruh orang menjatuhkan, benteng paling utama untuk melindungi adalah keluarga, tapi hebatnya lagi ibunya tetap kokoh berdiri.

Ibunya itu justru mengajarkan Anindita agar berdamai dengan takdir. Jadi Anindita berusaha berdamai, dia tidak pernah mengeluh kalau ada temannya merundung Anindita yang sepatunya sudah sobek atau bajunya paling kuning di tiap kali ajaran baru sekolah, di mana seharusnya para anak-anak berlomba datang ke sekolah memamerkan tas baru, kotak pensil baru, sepatu dan seragam yang juga baru. Anindita selalu datang dengan memakai seragam dan perlengkapan lama.

Anindita tidak pernah takut kalau dirinya berusaha dijatuhkan, karena tiap kali dia pulang, selalu ada ibunya yang membesarkan hati Anin. Membuat Anin yakin kalau selama ada ibunya maka dunia akan selalu baik-baik saja.

Lagipula, bagaimana Anin bisa sedih kalau ibunya itu adalah wanita serba bisa? Sewaktu ikan-ikan sedang sedikit, dia memanjat pohon kelapa, membuat sapu dari sabutnya untuk bisa dijual ke kota sehingga mereka punya uang untuk membeli lauk makan. Katanya superhero tidak ada dalam dunia nyata, tapi Anin melihat sosok itu dalam diri ibunya. Seorang wanita tangguh yang jarang mengeluh. Ibunya juga pendongeng yang andal, masa kecil Anin meskipun tidak punya banyak mainan, dia sudah terhibur dengan imajinasi dari ibunya.

Namun kini kondisinya berbeda, tidak ada ibunya di sini, Anin sendirian di sebuah kota yang besar dan penuh orang-orang tidak dikenal. Kota anomali karena Anin merasa begitu tragis.

Anin melihat ponselnya—yang jauh ketinggalan zaman daripada model ponsel di tahun sekarang. Bertahan dengan Samsung Galaxy Trend II Duos di tengah gempuran I-phone dan jenis android canggih lainnya. Itu pun dibeli ketika Anin SMP dengan menabung selama setahun lamanya. Ponselnya itu baterainya sudah menggelembung dan harus ditahan dengan karet agar bagian penutupnya bisa menyatu.

Dia duduk di salah satu kursi besi yang ada di trotoar, membuka Whatsapp yang belum terbaca, ada dari Dian.

Gimana Jakarta? Asik, tho? Nanti kalau udah sukses ajak-ajak aku, lho! Kamu janji kalau udah punya duit sendiri mau ajak aku jalan-jalan. Bawa aku biar ngerasain naik pesawat.

Jemari Anin membalasnya. Dia memotret jalanan.

Ruame pol, Rek. Banyak mobil mewah di sini. Jam segini masih rame beda ama suasana kampung wkwk. Nanti kalau aku udah punya uang banyak, aku bawa kamu ke luar kota. Kita jalan-jalan yo, Rek.

Tanpa sadar setetes air mata Anindita mengalir. Teringat dengan Dian, begitu tahu dia akan berkuliah di luar kota, Dian sempat-sempatnya memberikan uang tabungannya. Bahkan para warga kampung yang biasanya mencemooh, menjulidi ibunya, mereka justru datang di kala Anindita akan pergi ke kota. Dia bisa melihat wajah bangga terpancar begitu jelas dari pandangan ibunya. Pertama kali setelah sekian lama menunduk, ibunya bisa mengangkat dagu. Setidaknya dari gelar buruk yang banyak orang sematkan, dia memiliki satu kebanggaan karena Anin menjadi anak pertama di kampung yang bisa berkuliah di daerah Jawa.

Kalau dia pulang, dia membuat ibunya kecewa. Ibunya akan kembali menjadi cemoohan.

Tiba-tiba terdengar sebuah klakson. Anin mengusap air matanya dan menemukan Caraka—cowok yang sempat seduduk dengannya di bus sekaligus anehnya ada di rumah kakaknya dan melihat adegan dramatis itu. Sekarang dia menekan klakson dengan heboh. Anin akhirnya mendekat sambil mengusap air matanya.

"Kamu manggil aku?"

"Naik."

"Naik ke mana?"

"Naik bintang kecil di langit yang biru, Nin," jawab Caraka dengan ekspresi jengkel.

"Mana ada bintang di siang hari! Salah tuh lagunya. Harusnya bintang kecil di langit yang cerah, amat banyak menghias angkas—"

"Woi! Mau naik ke boncengan gue atau nggak?"

"Kamu mau antar aku balik kampung?"

"Ha? Ya enggak. Nggak sebaik itu juga sih gue."

"Terus?"

"Gue kenal baik sama Om Naladipa, jadi sementara lo bisa tinggal di tempat gue dulu."

"..."

"Woi kok diem? Mau nggak? Ini tawaran nggak akan gue tanya dua kali. Kalau nggak mau ya udah, selamat menginap di pinggir jalan, kabarnya sih kalo tengah malem suka ada genderuwo berambut gimbal suka keliling kota. Lo tahu patung pancoran, kan? Itu kalau jam 1 malem ke atas bisa terbang neror penduduk kota. Terus ditambah lagi sekarang tersebar komplotan pencuri organ tubuh, mereka yang tidur di jalanan bisa dimutilasi terus dicari deh organ-organnya buat dijual. Kalau gue liat, lo lumayan deh. Dua ginjal kalau dijual bisa beli satu rumah besar di Jakarta."

Mendengar cerita dari mulut Caraka, Anindita jadi membayangkan Jakarta seperti kota mengerikan yang penuh orang berotak jahat.

Anindita mendengus mendengarnya. Dikiranya anak kecil apa yang bisa dibohongi dengan cerita begitu?

"Kamu kayak Ibu-Ibu di kampung aku! Kerjaannya nakutin anak bakal ditangkep polisi atau nggak disuntik sama dokter." Anindita geleng-geleng kepala. "Karena nggak ada pilihan, oke deh, aku bareng kamu. Tapi bener ya ke rumah kamu, kan?"

"Emang mau ke mana?"

"Jangan bawa aku ke hotel, kata Ibu kalau ada cowok-cowok ajak ke hotel, jangan mau, nanti aku hamil."

"Dih?"

"Ada siapa aja di rumah kamu? Kamu nggak sendirian, kan?" tanya Anindita waswas.

"Ada adek gue sama Teteh yang kerja di rumah. Lo beneran mau gue tinggal, ya? Gini nih tipikal manusia dikasih hati minta jantung."

"Iya, iya maaf, kan jaga-jaga juga bentuk kita melindungi diri. Oh iya aku belum minta maaf sama kamu tentang kelakuan aku yang kemarin nyusahin, nggak nyangka ternyata kita ketemu lagi, emang deh dunia nggak selebar daun pisang."

"Daun kelor," ralat Caraka. "Ini lo mau naik atau nggak?"

"Iya iya!"

Anin akhirnya naik sembari memakai helm yang diberikan ke arahnya. Dia memeluk tasnya erat-erat sementara kendaraan akhirnya melaju. Sepertinya tekad Anin sudah bulat, apa pun yang terjadi, Anin akan bertahan. Dia bahkan tahan menghadapi cemoohan di kampung, Anin tidak akan keberatan untuk melakukan hal itu lagi.

****

"Woah ... orang Jakarta tuh pada kaya-kaya, ya? Rumahnya apik-apik tenan, pada kerja apa sih kok rumahnya sebagus ini?" Anindita terlihat takjub ketika motor Caraka berhenti di depan sebuah rumah bertingkat tiga yang begitu terang benderang dari luar.

Masalahnya kalau di kampung, ada yang punya rumah besar pasti akan digosipkan aneh-aneh. Mulai dari pesugihan, tumbal, dan berbagai hal mistis lainnya. Bagi warga di kampungnya, bekerja keras sampai punya uang banyak itu sesuatu yang jarang. Ya ada sih yang memang kaya betulan, misalnya Pak Aga, pemilik toko kelontong di kampung sekaligus bos tempat Anindita bekerja.

"Lampunya banyak banget ... nggak takut bayar listriknya mahal, ya?"

Caraka tidak menjawab pertanyaan Anin yang menurutnya konyol.

Mata Anindita melihat seorang gadis berambut panjang muncul, kulitnya seputih kapas, bibirnya pink dan matanya teduh. Dia memandang Anin bingung. "Kenalin dia Ratih, adik gue." Caraka memperkenalkan gadis berperawakan manis di depan Anin.

"Hai aku Anin."

Ratih menggerakan tangannya.

"Dia tunawicara, tapi dia nggak tuli. Jadi dia bisa ngerti lo ngomong apa. Kata Ratih salam kenal."

"Oooh, salam kenal juga Ratih. Kamu cantik, kayak artis Korea yang sering aku tonton di TV."

Ratih kembali menggerakkan tangannya.

"Dia bilang apa?" tanya Anin bingung sembari menatap Caraka.

"Makasih, kamu juga cantik ... kayak boneka susuk."

"Kok boneka susuk?" Anin mengernyit, lalu Ratih melambaikan tangan. Ekspresinya seolah ingin bilang 'aku nggak ngomong gitu'.

"Bibi mana?" tanya Caraka.

Tangan gadis itu bergerak, Anindita tidak mengerti maknanya. "Iya udah, kamu tidur duluan aja. Nanti besok kesiangan." Caraka mengusap lembut rambut Ratih.

Ratih melambaikan tangannya sambil berlalu ke kamar yang dibalas Anin dengan senyum lebar dan lambaian tangan yang tak kalah bersemangat.

"Lo kuliah di Harnus, kan?" tanya Caraka sambil menenteng tas milik Anindita.

"Ehm-hm."

"Besok gue tunjukin kampusnya. Gue juga kuliah di sana. Lo masuk jurusan apa?"

"Ekonomi."

"Serius ... masuk ekonomi?"

Anin mengangguk.

"Gue juga ekonomi."

"Kalau gitu kamu kakak kelas aku ya?! Waaah!!!" Anin berseru heboh.

Caraka mengusap telinganya. "Lo bisa nggak kalau ngomong tuh dikecilin dikit suaranya ... ini nggak lagi di kampung apalagi di hutan."

"Hehe iya iya ... kebiasaan kalau di kampung, soalnya kalau nggak keras, suaranya bakal kalah sama ombak."

"Ya tapi ini lagi nggak di laut."

Gadis itu menggembungkan pipi. "Iya deh, maaf."

"Sini gue tunjukin kamar lo." Caraka mengajaknya naik ke lantai dua, lalu membuka salah satu kamar. Dia menghidupkan saklar hingga penerangan memenuhi ruangan. Anin terkesiap, mulutnya menganga seperti sedang melihat hantu. Lalu dia menjatuhkan tasnya tanpa sadar.

"Ini tuh kamar? Tahu nggak ini ukurannya kayak kamar, dapur sama ruang tamu di rumahku dijadiin satu! Gueeede buanget .... Rumah segede gini ada hantunya nggak, sih? Tapi hantu kan nggak mau kalau sama rumah yang terang, ya, untung lampunya banyak. Kalau di sini pernah mati lampu, nggak?"

Ingin sekali rasanya Caraka menyumpal bibir Anin supaya berhenti bicara karena sejak tadi dia bicara terus tanpa henti seperti robot yang baru diisi baterai. Energi-nya full. "Kalau ada apa-apa, panggil gue aja." Caraka tidak berniat menjawab pertanyaan Anin dan segera menutup pintu lantas turun ke bawah. Lelaki itu menuju kulkas, berniat mengambil minum. Hari ini begitu melelahkan dan mengambil banyak energinya tanpa sisa. Yang ingin dia lakukan hanyalah beristirahat. Baru saja Caraka memegang pintu kulkas, terdengar teriakan dari atas.

Caraka langsung berlari, dia kembali membuka pintu kamar ruang tamu. Didengarnya teriakan Anin dari toilet. Refleks tangannya memutar knop pintu dan menemukan Anin basah kuyub. Cepat-cepat dia mematikan keran shower. "Apaan sih teriak-teriak?"

"Kaget, tiba-tiba airnya hidup."

Caraka berkacak pinggang.

"Lo hidup di dunia mana, sih? Alien lo?"

"Di kampung nggak ada yang kayak gini!"

Caraka mendengus, berusaha menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun. "Untung lo adiknya Janitra, kalau nggak, udah berubah jadi ayam geprek kali. Ngerti nggak lo?" Anindita berdecak sambil geleng-geleng kepala melihat punggung Caraka yang selanjutnya berbalik pergi, kembali meninggalkannya sendirian, termenung melihat benda canggih tepat di depan matanya sendiri. "Apa sih, masa mau jadiin aku ayam geprek? Dasar cowok kanibal."

****

Sepertinya Tuhan memang masih ingin terus menguji kesabaran Caraka. Dia berpikir bahwa setelah insiden kesialannya di bus tempo hari, semua akan selesai. Rupanya tidak semua berjalan begitu, manusia memang bisa berencana, tapi tetap Tuhan menentukan. Siapa sangka si cewek norak yang Caraka harap tidak pernah dia temui lagi rupanya adalah adik dari sahabatnya sendiri dan kini justru berakhir menginap di rumahnya. Kalau bukan karena dia sudah mengenal baik Om Naladipa, mungkin dia harus berpikir dua kali bisa menampung cewek bermulut kaleng rombeng itu ada dalam kediamannya.

Tapi paling tidak setelah mandi, dia merasa dirinya semakin tenang. Air hangat mampu membuatnya rileks sejenak. Kini masih dengan rambut setengah basah, mengenakan bokser kotak-kotak selutut dan handuk tergantung di leher, cowok itu keluar dari kamar menuju ke ruang tengah. Dia menghidupkan musik di ruang tengah hingga suara milik Rhoma Irama terdengar seantero ruangan.

Kadang kalau di studio, dia suka dicemooh, tampilan aja yang modern, musiknya kadang jadul. Caraka Mahawira ingin menulari banyak orang kalau dangdut itu salah satu karya musik yang harus dilestarikan secara turun temurun. Meskipun sebenarnya daftar band pertama dalam musisi paling Caraka sukai tetap The Tielman Brothers yang paling utama, kedua The Beatles, barulah ketiga diisi oleh Rhoma Irama.

Dia duduk di sofa sambil mengeringkan rambut gondrongnya. "Aww!" terdengar bunyi gedebuk seperti tulang beradu tembok. Caraka mendongak, lalu dilihatnya Anindita mengaduh kesakitan sambil mengusap bahunya.

Caraka mendengus. Padahal baru saja dia meratapi ketenangan. Kali ini dia melihat cewek itu berjongkok sambil memejamkan mata dan mengusap bahunya. "Woi! Kenapa lo?"

"Nggak, aku nggak liat apa-apa, sumpah ... liat sih sedikit, tapi dikiiiit aja, nggak banyak."

"Liat apa?"

"Kata Ibu kalau liat cowok nggak pake baju bisa bikin bintitan, hiks, aku nggak mau mata aku bintitan."

Caraka menahan diri untuk tidak tertawa ngakak. Dia justru berjalan mendekat. "Kenapa, sih?"

Anindita membuka matanya, lalu seperti melihat pocong, dia kembali tutup mata dan bibirnya komat-kamit. "Ya allah ... maafin Anin ya Allah ... kamu sana dulu, gih, aku mau ke kamar!"

"Nggak mau."

Cewek itu akhirnya memutar tubuhnya dengan posisi masih berjongkok, terlihat seperti pinguin yang baru belajar berjalan. Setelah memastikan posisinya sudah berbalik, dia baru buka mata dan berlari terbirit-birit menuju ke lantai dua. Tawa Caraka akhirnya pecah dan menggema. "Kalo besok bintitan kasih tahu gue, ya!" teriaknya.

"Dasar cowok nggak jelas," teriak Anindita ikut menyahut.

Cowok itu kembali terdiam, lagi-lagi hanyut dalam keheningan yang seperti kepompong. Biasanya malam bagi sebagian orang adalah waktu untuk beristirahat, tapi bagi Caraka, malam seperti halnya sebuah gelembung yang membatasinya dari dunia luar. Kembali ke dalam sebuah rumah yang sepi, di mana hanya dia dan Ratih di dalamnya. Ah, tapi peduli apa? Toh kesepian kan hanya ilusi. Caraka lalu menghidupkan pemutar musik yang selanjutnya berganti dengan suara Fahmi Shahab, lalu bersama dengan suara Fahmi Shahab, dia melantunkan liriknya.

"Kalau kupandang kerlip bintang nan jauh di sana.... Sayup kudengar melodi cinta yang menggemaaa ..."

***

A/N:

Hai haaaiii makasih banyak udah baca cerita ini.

Oh ya kalau kalian mau ngobrol sama Caraka, boleh add bot-nya di Telegram "Caraka Mahawira" dan add channel Telegram "Cita Cinta Caraka" untuk liat keseruan Caraka dan Anindita.

Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro