Chapter 23
Siapin tisu ya waktu baca part ini, aku rekomendasiin setel lagu Remember Me ost Coco. Okee? Selamat membaca!
***
Selama acara berlangsung, Anindita dan Caraka memilih untuk menepi dari keramaian. Mereka berdua berada di atap gedung, menikmati bagaimana cahaya bulan menerangi kota dari balik awan. Melihat bagaimana gemerlap cahaya gedung-gedung tinggi menjadi pengganti cahaya bintang. Caraka menoleh, melihat bagaimana embusan angin menerbangkan helaian rambut pendek Anindita. "Kenapa sih ngeliatin gitu? Naksir nanti!"
"Kan emang udah naksir?" jawab Caraka santai, "tau nggak kenapa bulan malam ini sembunyi di balik awan? Karena kalah cantik sama kamu, Nin."
"Huek." Anin berpura-pura mual dan meninju lengan Caraka jengkel.
Caraka terkekeh, tangannya kembali mengacak lembut rambut Anindita. "Tadi kenapa nangis?" tanyanya, "tapi kalau nggak mau cerita nggak apa-apa, kok, cuma aku mau tahu aja apa yang bikin pacarku sedih ... takut kalau aku nggak sengaja ngelakuin kesalahan."
"Bukan karena kamu, kok."
"Terus?"
"Keinget pengalaman sedih waktu SD," Anindita menyerongkan tubuhnya menghadap Caraka, "dulu tiap kali pembagian kelompok, aku selalu jadi orang yang tersisihkan, nggak ada satu pun orang mau sekelompok sama aku ... aku nggak punya teman semenjak Ibu dilabrak sama Tante Nia. Gosip kalau Ibu jadi istri simpanan tersebar, semua orang menjauhi aku sama Ibu." Anindita mendongak, menatap langit, pikirannya berkelana mundur. "Sampai akhirnya waktu SMP, ada tetangga baru dan punya anak seusia aku, namanya Dian. Sejak itu dia selalu jadi temanku."
Caraka fokus mendengarkan, mata dan telinganya terfokus hanya untuk Anin.
"Dian punya adik, makanya kalau liat Dian, aku sering keinget sama Kak Janitra ... aku pengin punya hubungan yang baik sama dia. Aku pengin ngerasain gimana ya punya seorang Kakak yang bisa dimintai pendapat, punya Kakak yang bajunya bisa aku pinjam, main bareng, jalan-jalan. Tapi kayaknya nggak mungkin banget, ya?"
"Kenapa nggak mungkin?"
"Ya karena Kak Janitra benci banget sama aku."
Caraka memegang tangan Anindita. "Nin pernah dengar nggak pepatah kalau batu bakal rapuh kalau terus ditetesi air?"
"Hati dia mah bukan batu lagi tapi beton!" celetuk Anindita yang membuat keduanya tertawa ngakak.
"Aku bantuin Nin biar bisa dekat sama dia."
"Bener? Mau bantuin aku?"
"Apa pun, buat pacarku."
"Pacarku? Apaan tuh?" tahu-tahu Bas muncul diikuti dengan seluruh personal Aspire dan Janitra. Anindita terenyak, seperti ketahuan melakukan tindakan kriminal. Buru-buru dia melepaskan tangan Caraka yang semula menggenggamnya. "Ada hubungan apa nih? Jadi kalian udah resmi pacaran? Nggak bilang-bilang kami semua? Gila ya, kukira hubungan kita spesial, Bang." Bas tampak hiperbola.
"Ngg—nggak, nggak ada apa-apa." Anindita berusaha mengelak, lalu melirik Caraka, emminta penjelasan tapi cowok itu malah menarik tangan Anindita dan menggenggamnya erat. Anindita meronta sambil melotot.
"Iya ... kami pacaran," Caraka menjawab sementara satu tangannya menarik bahu Anindita merapat lebih dekat.
"Kak—"
"Nggak apa, ngapain sih nutupin dari mereka? Nggak perlu ditutup-tutupin, Nin."
Lalu sorak-sorai terdengar, kehebohan yang melebihi suporter bola satu stadion GBK. Pipi Anindita memerah. Di antara euforia yang tercipta, gadis itu melirik Janitra. Tidak ada senyum muncul di bibirnya, yang ada adalah sorot mata kecewa. "Gue balik dulu," ujarnya berbalik pergi. Meninggalkan keriuhan yang tercipta.
"Makan-makan dong, Bang."
"Iye, nggak ada pajak jadian nih?"
"Makan-makannya nanti ya? Malam ini gue mau ngajak Anin kencan dulu." Sorak sorai semakin heboh sampai Anindita kembali melirik Caraka jengkel.
****
Caraka mengajak Anindita menjelajahi dunianya. Sebuah dunia yang biasanya dia sembunyikan dari orang-orang. Sebuah dunia yang selalu berhasil membuat Caraka menyepi dari keramaian meski hanya sejenak. Sebuah dunia yang seolah menjadi tameng bagi Caraka untuk bisa menenangkan diri sekaligus melepas topeng.
Dunia itu berada di sebuah gang kecil yang ada di Jalan Cikini. Pemilik awalnya adalah Pak Nani, seorang veteran yang memutuskan mencari ketenangan lewat musik. Dari uang pensiunannya, dia memutuskan untuk membuka sebuah toko musik bertingkat dua. Tidak banyak orang tahu tempat itu, makanya tempat itu menjadi otentik bagi Caraka.
Kini tempat itu berganti pemilik ke anak Pak Nani, Mas Jarwo namanya. Seorang cowok berambut gondrong dengan banyak tatto sungguhan tergambar di lengannya. Beliau dulunya pensiunan petrus alias penembak misterius di era pemerintahan Suharto. Setelah lengser, dia memilih mengabdikan diri di toko kaset milik ayahnya. Caraka menyapa Mas Jarwo dan memperkenalkan Janitra. "Tumben bawa cewek?"
"Iya nih."
"Udah disediakan tempat sepi sesuai pesanannya lo."
"Thanks, Bang!"
Caraka tersenyum lalu dia mengajak Anindita menyusuri bagian dalam toko. Mereka menyusuri tempat di mana dia mencari inspirasi dalam bermusik. Caraka memperkenalkan Anindita pada musisi favoritnya, The Tielman Brothers, Koes Plus, The Beatles, sampai Go Go Dolls.
Dia bagi separuh dunianya yang selama ini dia simpan sendiri ke Anindita. Caraka meletakkan piringan hitam di turntable. "Ini tempat yang nggak pernah aku bagi ke orang lain, karena di sini biasanya aku nyari inspirasi, bikin lagu, buat lirik. Tapi aku mau bagi ke kamu karena aku mau berbagi duniaku."
Mendengar itu Anindita merasakan sesuatu bergejolak di perutnya, seperti ada sekumpulan sayap kupu-kupu yang halus sedang beterbangan.
Mereka duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan meja kayu panjang berisi buku-buku. Tangan Caraka masuk ke dalam sakunya, mengeluarkan sesuatu. Sebuah kertas yang sudah dilipat-lipat. Ada banyak coretan tangan di sana. "Itu apa?" tanya Anindita bingung.
"Contekan?"
"Dih mana ada," Caraka menyentil kening Anindita yang membuat cewek itu mengusap keningnya sambil meringis. "Ini lirik lagu buat single-nya Aspire."
Anindita mulai membacanya.
"Tentang meraih mimpi. Tapi aku nggak ngerasa relate waktu nulisnya."
"Kenapa?"
"Karena aku nggak punya mimpi, Nin. Dari kecil sampai sekarang, aku lakuin semuanya kayak air. Kamu pernah dengar nggak ada orang-orang jenius yang tanpa berusaha keras dia bisa berhasil? Aku ngerasa kalau aku tuh begitu. Aku belajar juga nggak sering-sering banget, tapi sering ranking satu. Makanya aku nggak tahu mimpi aku itu apa. Bantuin aku dong nyari ide."
"Tentang meraih mimpi, ya?"
"Ehm-hm."
Tangan Anindita mengambil pena di meja dan, menulis sesuatu di kertas. Dia teringat pada Dian yang tidak bisa melanjutkan kuliahnya karena harus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Kutahu ini tak mudah
Menengok langit pun terasa berat
Bintang sulit diraih
Anindita teringat ibunya yang tidak pernah memiliki kesempatan dalam mengejar cita-citanya dan berpikir selamanya dia akan terjebak di sebuah kampung pesisir menjadi seorang nelayan. Ibu memiliki begitu banyak cita-cita, sayangnya tidak punya sebuah anak tangga yang bisa dia daki untuk mengantarnya naik ke atas. Tangan Anindita kembali bergerak menulis.
Yang berani bermimpi hanya yang terpilih
Seolah tak bisa saling menjamah
Bayangan Anindita menangis sewaktu mengikuti Ujian Nasional melintas di kepalanya. Saat itu dia kelas 3 SMA. Malam sebelum UN, dia menangis terisak-isak karena bingung dalam mengikuti pelajaran. Tetapi, segelas teh hangat dan pisang goreng yang disajikan ibu untuk menghibur hati anaknya yang sedih mampu menjadi pemecut agar Anindita bersemangat.
Kini hanya terasa lelah dan ingin menyerah
Gantunglah mimpi setinggi langit
Anindita teringat wajah ibu. Ibu yang rela bangun tiap malam untuk salat sambil menangis dan meminta ke Tuhan agar anaknya diberi kesempatan kuliah.
Tepati janji pada diri
Bawalah semua mimpi hingga terbang tinggi
Menjadi sayap-sayap dan bawaku pergi
Anindita menoleh, menatap mata cokelat Caraka.. Dia punya dekik di pipi kirinya ketika tersenyum.
"Wah, gila, aku kira kamu bercanda waktu bilang kamu suka dongeng. Sekarang aku percaya sih, kamu emang berbakat jadi penulis," Caraka berdecak, mengagumi Anindita sambil mengusap kepalanya lembut.
"Belum selesai, masih ada yang kurang."
"Apa? Liriknya?"
Anindita mengangguk, dia menambah satu kalimat lagi.
Ke tempat ada aku, impianku, dan kamu di sana.
"Cita-citaku tuh pengin jadi penulis dongeng sekaligus pengusaha yang bisa bantu para nelayan di kampung, biar bebas dari rentenir. Tapi sekarang cita-citaku nambah satu."
"Apa itu?" tanya Caraka penasaran.
"Aku mau ada kamu di dalamnya. Temenin aku buat raih mimpi-mimpi aku."
****
Anindita pulang dengan senyum lebar tak lepas dari wajah. Gadis itu turun dari mobil Caraka. "Aku perlu antar sampai pintu, nggak?"
"Nggak usah, dah sana. Udah malem. Dadah!"
"Oke, mimpi indah ya?"
Anindita melambaikan tangan. Melihat mobil Caraka kian menjauh, Anindita mengetuk pintu rumah. Rupanya pintu rumah belum dikunci, dia mendorongnya. Janitra sedang duduk di ruang tengah. "Baru balik lo?"
"Kakak belum tidur?"
Janitra terkekeh. "Nggak capek lo pura-pura baik?" gadis berambut panjang itu maju. "Nggak capek lo selama ini bikin hidup gue hancur? Hidup gue udah rusak waktu tahu Ayah punya anak selain gue. Dan elo—tanpa tahu malu, datang ke sini, dengan senyum lo yang sok polos itu tanpa merasa bersalah sedikit pun!" Janitra terlihat meradang, matanya sampah memerah dan berkaca-kaca. "Apa perlu gue kasih tahu ke semua orang kalau lo itu anak haram, Anindita? Ayah bahkan nggak punya hak buat menafkahi lo!" Janitra menoyor kepala Anindita.
Anindita masih diam saja, membiarkan seluruh amarah dalam hati Janitra diluapkan.
"Bahkan waktu lo nikah, Ayah nggak bisa jadi wali lo. Terus lo mau apa? Lo kenapa ke sini?" Janitra berteriak. Masih belum puas dengan ucapannya, dia menjambak rambut Anindita dan menamparnya keras. "Sekarang lo juga mau narik Caraka masuk ke dalam hidup lo yang berantakan itu? Apa lo nggak mikirin gimana Nasib Kak Caraka kalau keluarganya tahu dia punya pacar anak haram—seandainya hubungan kalian langgeng sampai ke pernikahan dan lo nggak bisa nikah diwakili sama Ayah, orang pasti bertanya-tanya, kenapa lo nggak diwakili sama Ayah, akhirnya orang pun tahu kalau lo anak haram. Bayangin seumur hidup Kak Caraka bakal dapat label suami dari seorang anak haram." Janitra terus mengucapkan kalimat yang membuat hati Anindita seperti ditusuk-tusuk.
"Hidup Caraka tuh udah susah, Nin, dia udah ditinggal ibunya dari kecil, dia pantas dapat seorang cewek yang bisa melengkapi hidupnya. Bukan seseorang yang malah bikin hidupnya makin susah kayak lo."
"Cukup, Kak!" Anindita akhirnya bereaksi.
Janitra tersenyum getir. "Lo nggak mikir sampai ke sana, ya?"
"Keputusan nyokap lo buat tetap ngelahirin lo ke dunia tuh bikin susah banyak orang, lo tahu nggak? Nyokap lo harus menanggung malu seumur hidupnya karena ngelahirin lo—"
"Aku juga nggak mau dilahirin jadi anak haram!" Anindita berteriak, air matanya akhirnya mengalir. "Aku juga mau hidupku normal, punya ayah dan ibu yang lengkap, aku nggak mau kayak gini ... aku harus gimana?"
"Lo tahu jawabannya, menghilang dari hidup gue, hidup Ayah, hidup Caraka. Balik kembali ke kampung lo."
Padahal Anindita sudah berusaha menjadi anak yang baik, anak yang tidak pernah berbuat nakal, anak yang selalu membantu orang lain, anak yang tidak pernah menyusahkan orang tua, anak yang selalu menolong ibunya, tetapi rupanya itu masih belum cukup menghapus gelarnya sebagai anak haram. Itu akan menjadi gelar yang selamanya disematkan untuknya. Benar kata Janitra, gelar itu bahkan akan ditanggung oleh seseorang yang akan menjadi calon suaminya kelak, menanggung aib seumur hidup karena memilih pasangan hidup seorang anak haram.
Anindita akhirnya masuk ke kamar, memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas jinjing. Air matanya kembali mengalir. "Besok aku bakal balik ke kampung, tapi untuk malam ini, aku masih boleh kan menginap semalam aja? Nggak ada bus ke kampung di jam segini," dia menatap Janitra yang masih melemparkan tatapan permusuhan.
****
Janitra terbangun keesokan sian dengan suara ketukan heboh di pintu. Dia membukanya dan melihat Caraka. "Apaan sih," balas Janitra jengkel, "lo ganggu gue tidur aja."
"Anin mana?"
"Mana gue tahu."
"Dia chat gue gini." Caraka menunjukkan chat-nya dari Anin yang isinya, 'aku pamit pulang ya, makasih udah temenin aku selama di Jakarta, semoga ke depannya hari kamu selalu menyenangkan'. "Anin ke mana?"
"Gue nggak tahu!"
"Bohong, kata Bi Yati semalam lo ribut besar sama dia."
Janitra mendengus. "Iya, gue usir dia."
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Dia salah apa, Tra?"
"Oooh banyak, salah satu kesalahan dia adalah kenapa dia lahir di dunia."
"Lo udah gila? Lo nyalahin takdir Tuhan? Tra, lo bukan satu-satunya orang yang tersakiti di sini ... kalau lo mau tahu kondisi Anin, kehidupan dia jauh lebih menyedihkan dari lo. Dia nggak punya Ayah yang menemani dia tumbuh, dia hidup miskin dan serba kekurangan, dia nggak punya teman karena orang-orang tahu dia anak haram, dia hidup dengan penuh ejekan, cercaan, tapi apa pernah dia marah ke dunia? Nggak, dia jalani semuanya dengan ikhlas. Itu sebabnya dia selalu bahagia, padahal dia punya seribu alasan buat bersikap jahat, lo harusnya belajar dengan dia."
"Oh iya, emang Anin yang serba segalanya, dia serba sempurna, serba hebat, serba—"
"Lo tahu kenapa dia pengin banget ke Jakarta, Tra? Karena dia pengin dekat sama lo, dia sangat mengidolakan lo sebagai kakaknya, dia sayang banget sama lo."
"Bullshit."
"Susah emang ya ngomong sama seseorang yang hatinya tertutup kayak lo." Caraka menyudahi percakapan dengan Janitra.
"Lo mau ke mana?"
"Mau nyari Anin!"
****
Anindita sudah duduk manis di angkutan umum yang akan membawanya ke stasiun Gambir untuk naik Damri menuju ke kampung kelahirannya. Lalu dia melihat seorang ibu berpakaian kebaya naik angkutan umum. "Mau ke mana, Bu, ada pesta?"
"Mau datang ke wisuda anak Ibu, haduuuh ini kelamaan dandan, mau pulang dulu ganti baju kebaya."
"Waaah, pasti bangga sekali ya Bu akhirnya bisa wisuda, selamat ya Ibu." Wanita lain menambahkan.
Anindita tersenyum, membayangkan kalau itu ibunya pasti akan bangga sekali bisa menemani anaknya hingga ke jenjang wisuda. Kini Anindita harus dipaksa menerima realita, mungkin nasibnya memang hanya berada di kampung. Anindita akan menyiapkan mental seandainya Bude, tetangganya saling bertanya mengapa dia memutuskan untuk kembali ke kampung, tidak melanjutkan kuliahnya di kota, dia akan bilang, "Susah kuliahnya, kayaknya emang nasibku tuh jadi nelayan aja deh, kayak Ibuuu, kan asyik juga bisa sambil minum air kelapa di pinggir pantai."
Dia tahu keputusannya pasti akan dicibir banyak orang, tapi setidaknya keputusan itu tidak melukai siapa-siapa selain dirinya sendiri. Anindita menghidupkan layar ponsel, melihat rekaman video yang pernah dia ambil. Video Janitra sedang marah-marah. Video ketika dia berada di mal bersama Caraka dan Ratih. Video Aspire sedang latihan. Sekumpulan montase itu terputar dan membuat Anindita tersenyum.
Sementara matanya sedang menonton video, tahu-tahu terdengar sebuah bunyi keras dari arah kanan. Angkutan umum yang dia tumpangi ditabrak keras oleh sebuah mobil Avanza. Sesuatu menyentak kepala Anin sampai telinganya berdenging hebat dan semuanya gelap, sementara ponsel Anindita masih setia memutar video Janitra.
"Nin apa sih lo rekam-rekam gue, nge-fans lo?"
"Emang nggak boleh?"
"Nggak!"
"Ya kan buat kenang-kenangan, Kak, kalo aku balik ke kampung mau aku tunjukin ke orang-orang kalau aku punya Kakak yang super keren!"
"Najis. Nggak sudi banget gue punya adik kayak lo."
"Padahal aku ini adik yang baik hati dan rajin menabung loh."
"Hapus nggak?"
"Iya iya aku hapus, tapi kalo nggak lupa ya!!"
"ANIIIN!!!! NYEBELIN BANGET LO!!!"
Video itu terputar, mata Anindita sudah terpejam dan setetes air mata mengalir di benaknya. Akhirnya dia bisa menuruti keinginan Janitra yaitu menghilang dari kehidupannya.
----
A/N:
Haaai pembacaku semua aku mau ngucapin selamat lebaran ya, mohon maaf kalau selama ini aku ada salah. Oiya jangan lupa bantu ikut vote kover CCC di akun IGku @eriscafebriani
Sama aku minta testimoni kalian dong selama baca cerita ini, ada beberapa yang nanti akan kuabadikan di novelnya. Kalian bisa komen di sini ya pengalaman kalian selama membaca cerita ini.
Bye, sampai jumpa di part berikutnya. Sebentar lagi selesai nih, jadi jangan lupa nabung, THR-nya disisihin ya buat beli novel di awal Mei karena paket pre – ordernya terbatas!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro