Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 2

Mana nih para "Ara" alias Ayangnya Caraka, coba sini muncul. Biar aku hapal orang-orangnya. Komen yaa kalian dari kota mana aja!

Selamat membaca dan bertemu dengan Caraka Mahawira

---

Anindita sampai di Jakarta pagi hari. Matahari baru saja terbit dari Timur. Dia menghirup udara ibukota. Bukan aroma garam yang terhirup melainkan debu dan asap polusi kendaraan. Bukan suara debur ombak yang menyapanya melainkan bising kendaraan. Bukan pula pemandangan nelayan sibuk mengambil jaring untuk bersiap naik ke perahu layar, melainkan orang-orang berpakaian rapi nan necis yang sibuk dengan ponselnya sambil menyeberang. Pantas saja ada istilah ibu tiri tidak sekejam ibukota, lihat saja baru jam 7 tapi aktivitas sudah padat merayap. "Kaaak, Kak Anin!" seseorang melambaikan tangan. Anindita samar-samar teringat wajahnya.

Pak Supri. Supir ayahnya.

Ayahnya juga sempat mengirimkan foto Pak Supri via Whatsapp, jaga-jaga seandainya Anindita terlupa.
Gadis itu mendekat sambil membawa satu dus bawaannya dan tas jinjing berukuran besar berisi baju-baju. "Selamat pagi, Pak. Wah udah lama banget nggak ketemu Bapak. Makin cakep aja nih, Bapak."

"Wuish, Kak Anin bisa aja. Terakhir kita ketemu, Kak Anin masih piyik. Gimana perjalanannya, Kak? Capek?"

"Capek, sih, tapi senang banget. Oh ya, Ayah di mana?"

"Di rumah, Kak. Yuk, kita langsung aja ke rumah. Sini Bapak bawain."

Anindita masuk ke mobil Fortuner seri terbaru milik ayahnya. Gadis itu tak henti-hentinya mengagumi kendaraan, tangannya mengelus pelan kursi mobil. Tidak membayangkan bisa memiliki kesempatan naik mobil mewah. Kendaraan itu lantas melaju. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Anindita melihat bagaimana perilaku warga ibukota. Mempelajari dalam diam agar dia bisa dengan mudah beradaptasi. Hingga akhirnya mobil itu memasuki sebuah gerbang besar. "Sampai di rumah, Kak," seru Pak Supri.

Perhatian Anindita terkagum melihat betapa mewah rumah yang terbentang di depannya, persis seperti rumah-rumah yang sering Anin tonton dalam televisi dan dia berandai-andai bagaimana rasanya menjadi anak dari orang kaya yang bangun pagi langsung disuguhkan sarapan sandwich serta segelas susu atau jus jeruk. Anindita berdecak menghitung deretan mobil mewah yang dia lewati begitu masuk ke lorong yang membawanya ke pintu.

"Permisi Pak, ini Kak Anin sudah datang." Pak Supri mengambil alih perhatian deretan orang yang duduk di balik sofa besar. Anindita melihat ayahnya—yang rambutnya terlihat memutih dan jauh lebih kurus dari kali terakhir dia lihat—sosok ayah yang sering ada dalam mimpinya saking rindunya Anin untuk dikunjungi. Lalu dia melihat seorang wanita yang berusia ibunya duduk di sebelah ayahnya, Anin bisa menebak dia pasti Nia, istri pertama ayahnya.

"Anin ...," ayahnya beranjak lalu memeluknya. "Udah besar kamu, Nduk." Dikecupnya kening Anindita—kecupan yang masih sama seperti bertahun-tahun lalu, kecupan yang dulu sering Anindita dapat ketika dia mau tidur—hingga akhirnya kecupan itu dipaksa menghilang ketika istri pertama ayahnya datang ke rumah, dan Anin harus menerima kenyataan bahwa dia harus berbagi ayah dengan orang lain.

Terdengar bunyi batuk Nia yang membuat ayahnya melepaskan pelukan.

"Pak Supri terima kasih sudah dibawakan, silakan kembali ke pos, dan kamu ..., siapa nama kamu?" Anindita bergegas bersalaman dengan Nia, yang segera ditepisnya keras.

"Anindita, Tante."

"Kamu kotor, sebaiknya segera bersih-bersih, kamar kamu ada di bawah tangga. Tolong dibersihkan sendiri, satu lagi, pembantu hanya untuk keluarga saya ... kamu statusnya orang lain di rumah ini, jadi tolong sadar diri."

"Nia—"

"Apa? Kamu sudah setuju dengan peraturan yang aku buat Mas, aku akan berbesar hati menampung anak dari wanita gatal itu, tapi dia harus menuruti semua peraturan aku sebagai Ibu di rumah ini."

"Nin, langsung istirahat aja ya, kamu pasti capek." Ayahnya memutuskan percakapan. "Ayah siang ini kebetulan ada jadwal ke luar kota, kita ketemu lagi minggu depan, ya."

Anindita mengangguk, memaklumi kesibukan ayahnya. "Ini ada hadiah dari Ibu."

"Buang saja ... baunya mengganggu hidung saya," ujar Nia merasa terganggu.

Anin bergegas mengangkat tas jinjing dan kardus bawaannya menuju ke ruang yang semula ditunjuk ayahnya; tepat di bawah tangga. Dia membuka pintu lalu menekan saklar hingga penerangan memenuhi ruangan. Kamar itu tidak buruk, ada lemari, kasur, dan meja belajar. Hanya butuh dibersihkan sedikit saja maka akan sangat layak ditempati. Jauh lebih layak daripada kasur reyot di rumahnya. Anin langsung menghempaskan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamar yang watt lampunya begitu terang.

Tidak ada suara debur ombak, hangatnya pasir membelai kaki, atau lumba-lumba bernama Ulin yang akan melompat kegirangan mengelilinginya yang duduk di batu karang setiap kali matahari tenggelam. Baru beberapa jam berada di ibukota membuatnya tersadar, kehidupan memang tidak se-sempit perahu layar dan juga tidak seindah dongeng-dongeng Ibunya.


****

Caraka Mahawira baru saja berdiri di depan bangunan studio latihan Aspire. Sebuah bangunan bertingkat dua yang didominasi warna putih. Lantai kedua khusus tempat rekaman, sementara lantai pertama adalah tempat latihan dan mengobrol. Ada ruang tamu, tempat lemari DVD, serta dapur. Ruangan yang nyaman untuk dijadikan markas, tak heran bantal-bantal di sana berbau iler. Tak heran karena dijadikan hotel bintang lima oleh beberapa personilnya.

Dia membuka pintu dan tubuh jangkungnya melangkah masuk. Matanya tertuju pada seorang cowok berambut kribo yang tertidur di sofa. Perkenalkan, namanya Bas, salah satu teknisi di Aspire. Tugas tambahan lainnya adalah menjadi badut sekaligus pembuat huru-hara. Caraka mendengus, dia mengambil sedotan di atas meja dan memasukkan air ke mulut Bas yang terbuka. Cowok itu kontan terduduk, disambut tawa terbahak-bahak dari personal lainnya.

"Besar amat tuh mulut, Bas, hamper gue keisep," celetuk Caraka sambil geleng-geleng kepala.

"Lebay kau, Bang! Baru aja aku tidur."

"Baru dari Hongkong, udah dari setengah jam lalu noh, Bang." Reijiro menambahkan. Nama lengkapnya Reijiro Damastara. Biasa dipanggil Reiji. Mahasiswa semester 3 jurusan manajemen sekaligus keyboardist Aspire.

"Lo harus tau Bang nggak ada lo, nih anak kerjaannya VCS-an mulu!"

Satu per satu aduan masuk, seperti anak yang mengadu ke Bapaknya.

"Berisik lo semua, baru juga gue tinggal sehari udah kocar-kacir." Caraka duduk di sebelah Bas.

"Coba cerita dulu deh, bisa-bisanya kau kemarin ketinggalan pesawat?" tanya Bas.

Bukannya bercerita tentang kesialannya karena tertinggal, Caraka bercerita satu kesialan yang lebih besar. Tentang gadis norak yang dia temui di bus dan membuat perjalanan pulangnya terasa seperti neraka. Kontan saja tawa lepas terdengar dari ruangan itu. "Bah, ternyata ada orang jauh lebih aneh dari Adiv! Mana ada orang mimpi jadi ikan asin?"

Adiv melirik Bas dengan jengkel.

"Jangan-jangan jodoh itu, Bang, lo tahu kan jodoh tuh asalnya bisa dari mana aja dan datang dari hal nggak terduga." Sahutan itu berasal dari Tenggara, nama lengkapnya Arghi Matteo Tenggara. Mahasiswa Semester 5 Harnus. Vokalis dari band Aspire.

Aspire yang berarti cita-cita, berisikan 7 orang dari berbagai fakultas, memiliki beragam sikap dan tabiat, tapi ada satu yang menyatukan mereka semua: cita-cita untuk memiliki sebuah band. Musik adalah sebuah bahasa universal tentang cinta. Itu sebabnya mereka terkumpul di sana. Mereka adalah Tenggara dan Kajev sebagai vokalis, yang duduk di sofa sambil memainkan gitar di atas pangkuannya adalah Semesta Auriga, sang gitaris. Cowok di pojokan yang sedang memutar stik dalam genggamannya adalah Rajavas Sadega, sang drummer. Satu cowok dengan mengenakan kaos bertuliskan "Aspire" yang sedang menenggak segelas Coca-Cola adalah Biru, sang basis.

Sementara Caraka adalah yang paling tua di antara mereka semua, semester 7. Paling telat karena dia mengikuti pertukaran pelajar setahun, jadi secara teknis dia harus mengulang kembali mata kuliah di semester 5. Lantas di sela kesibukan itu, dia harus pintar memanajemen waktu antara berkuliah sekaligus menjadi manajer dari band Aspire yang jadwalnya super sibuk.

Seperti halnya Brian Epstein, berkat tangan dinginnya lah bisa menyatukan empat orang ke dalam The Beatles, hingga kematiannya yang mendadak akibat overdosis membuat The Beatles kacau balau. Sama halnya dengan Aspire, bagi mereka semua, Caraka tidak hanya manajer. Dia adalah seorang kakak yang melindungi adik-adiknya. Dia adalah penengah di tengah adu otot dan urat jadi senjata. Dia adalah pemberi solusi di kala para anggota sedang berada dalam masalah. Dia seolah bapak sekaligus Ibu untuk Aspire. Bapak yang tegas, tapi juga Ibu yang penuh kelembutan dan perhatian ke setiap anaknya.

Suatu komplotan tidak akan ramai dan sempurna kalau tidak ada badut di dalamnya, tugas itu patut disematkan ke dua orang yang mulutnya kalau disatukan bisa menyamai sekumpulan ibu-ibu dalam satu kecamatan. Mereka adalah Adiv dan Bas. Keduanya duduk di semester 5 Jurusan Ekonomi. Seangkatan dengan Caraka. "Sepertinya semesta memang menakdirkan urang bertemu dengan gadis itu, Bang." Adiv, bertugas sebagai teknisi di Aspire bersama dengan Bas membantu mengangkat peralatan personil Aspire.

"Apa-apa semesta, berak lo tuh semesta." Bas, si cowok berambut kribo itu menyisingkan kemejanya sampai terlihat bulu keteknya yang aduhai mancay. Berbeda halnya dengan Adiv yang sunda pisan, Bas lebih menggebu-gebu.

Nama panjangnya Baskara Butar-Butar, berasal dari Medan. Si anak ekonomi yang juga ngefans berat dengan Che Guevara, seorang pejuang revolusi Kuba berhaluan Marxis. Sosok yang menjadi simbol perlawanan. Lihat saja tulisan di bajunya, mengutip ucapan dari Che Guevara, "daripada sibuk meluruskan rambut, kenapa tidak meluruskan hati?". Padahal itu hanya alibi karena dia berambut kribo.

"Urang nggak tahu karya sastra, ya. Itu kalimat puitis atuh." Adiv bersikukuh.

Adiv juga yang paling sering galau di antara mereka semua, playlist-nya aja isinya Nadin Amizah sampai Fiersa Besari. Tiap hari repost quotes di IG story atau coba aja buka Tiktok dari HP-nya Adiv. Semua FYP-nya penuh sama orang-orang mengeluhkan nasib dan bikin quotes mengharu biru.

Ponsel Caraka dalam kantongnya bergetar. Jemarinya bergegas mengecek Whatsapp dari Janitra. Teman kecilnya—yang sejak dulu selalu satu sekolah hingga kini mereka satu universitas, sama-sama di Harapan Nusa, dan satu jurusan untuk kesekian kali. Tidak hanya pintar akademis, Janitra juga pintar dalam melihat peluang. Dia punya ketertarikan di bidang fashion dan sudah memiliki sebuah clothing line yang brandnya lumayan terkenal di sosial media. Berkat tangan dinginnya pula, Caraka merekrutnya menjadi fashion stylist Aspire.

Ka, gue otw balik. Kita ketemuan di rumah, gue bawa beberapa contoh baju yang bisa dipake anak Aspire waktu Welcoming Party.

Welcoming Party adalah acara tahunan yang diadakan Universitas Harapan Nusa untuk menyambut para mahasiswa baru.

Caraka berdecak dan beranjak berdiri. Padahal dia masih ingin istirahat, paling tidak mendengarkan mulut berisik para personil Aspire jauh lebih baik daripada gelembung kesunyian di rumahnya.

"Mau ke mana, Ka?" tanya Tenggara.

"Kalian lanjut latihan aja, gue mau ke rumah Janitra, dia mau nunjukin beberapa baju yang bisa kalian pake buat Welcome Party nanti."

"Eh kita nggak mau pake kostum kayak prediksi? Jangan mau kalah dong sama bapak-bapak, mereka aja bisa pake kostum ular, kita harus lebih sensasional. Misalnya cosplay jadi pelayan seksi."

Sebuah tempeleng melayang ke kepala Bas. Rupanya dari Reijiro Damastra, keyboardist-nya Aspire. "Otak lo, Bas."

Caraka tertawa ngakak. "Khusus buat lo nanti gue cariin Bas, tapi lo harus pake ya, kan lo yang usulin."

"Macam-macam kau, kenapa jadi aku?"

Mendengar mereka berdebat tidak akan pernah ada habisnya, alhasil Caraka memilih bangkit. "Div, gue pinjem motor lo. Besok gue balikin, lo pake mobil gue dulu." Caraka mengambil kunci motor bergantung Hello Kity yang tergeletak di atas meja kaca dekat kaleng Coca Cola kosong dan menggantinya dengan kunci mobil dari saku kemejanya. "Gue mau nyari baju pelayan seksi yang mau dipake sama Bas."

"Ya nggak gitu Bang .... Bangg .... Bang ...," Belum sempat Bas merengek, Caraka sudah bergegas angkat kaki. Meninggalkan Bas jadi ceng-cengan di antara anak Aspire.

****

Caraka mengendarai motor menuju ke kediaman Janitra. Naik mobil di jam sibuk bukanlah pilihan bijak, apalagi Jakarta baru saja reda setelah diguyur hujan. Volume kendaraan memadati jalan, riuhnya klakson kendaraan memenuhi indera pendengaran. Setelah hampir setengah jam melalui perjalanan, sampailah dia di rumah teman kecilnya itu. Caraka memarkirkan motornya di garasi.

"Nyari Kak Janitra, Kak?"

"Iya."

"Belum balik, sebentar lagi kayaknya, mungkin kejebak macet. Tunggu aja di dalam."

"Ok deh, makasih Pak." Caraka melepas helmnya, meletakkan di atas spion motor lalu bergegas masuk. Dia sudah bersahabat dengan Janitra hampir 13 tahun lamanya. Semua berawal di kala mereka duduk di bangku SD, keduanya dijuluki rival sejati karena bahkan sampai SMA selalu saja saling bertukar posisi ranking. Kalau Janitra ranking dua, Caraka di posisi pertama. Kemudian seolah balas dendam, semester berikutnya, Janitra akan ada di ranking pertama sementara Caraka di posisi kedua.

Anehnya, dari sikap rival itu mereka jadi bersahabat. Semua berawal dari SD, keduanya kerap dikelompokkan di satu kelompok yang sama, sampai ada istilah di mana ada Caraka pasti ada Janitra. Ditambah lagi sikap Janitra yang temperamental, orang-orang tahu betapa jahatnya Janitra.

Sewaktu mereka duduk di kelas 4 SD, Janitra pernah bertengkar dengan satu teman sekelasnya. Penyebabnya karena sewaktu ujian, lembar jawabannya disontek. Janitra tidak pernah takut masuk ruang BK, dia tahu betapa berpengaruh orangtuanya, dengan uang tentunya sekolah akan bungkam. Tidak hanya berhenti di situ, ketika duduk di bangku SMA, pernah ada seseorang mencuri uangnya. Janitra membalas orang itu dengan menguncinya di gudang sekolah dan baru ketahuan keesokan harinya. Akibat perbuatan Janitra, dia diskors selama dua minggu karena hampir membuat seseorang kehilangan nyawa. Meskipun skorsnya hanya mampu berjalan 3 hari, karena Janitra adalah satu-satunya perwakilan sekolah di acara olimpiade Fisika. Tidak ada pilihan selain memaafkannya.

Seolah seperti aturan tidak tertulis, hanya satu orang yang bisa menahan Janitra agar tidak melakukan hal gila, yakni Caraka.

Kalau Janitra api, Caraka adalah airnya. Kalau Janitra asam, Caraka adalah basanya. Caraka adalah penyeimbang di kala Janitra naik pitam.

"Hei Caraka, baru muncul nih. Dari mana aja!" Tante Nia menyapanya.

"Sibuk, Tan, banyak kerjaan ... kuliah juga makin hectic."

"Nin! Anin! Mana sih anak itu ... Nin." Caraka mengernyit, setahunya asisten rumah tangga di rumah Janitra hanya satu, Bi Yuli. "Bentar ya," Tante Nia beranjak, terdengar suara amarahnya menggebrak pintu. "Malah tidur lagi, siapa yang nyuruh kamu istirahat? Mentang-mentang bapakmu pergi bisa enak-enak, ya. Buruan bikin teh, ada tamu tuh. Sekarang ya." Setelah mengungkapkan kemarahan yang bisa didengar Caraka, Tante Nia kembali ke sebelah Caraka.

"Asisten baru, Tan?"

"Yah anggap aja gitu."

Caraka mengernyit bingung mendengar jawaban Tante Nia yang seakan menggantung, anggap aja gitu ... itu jawaban yang belum pasti.

"Katanya baru dari Lampung ya?"

"Iya, mewakili Papa pesta di tempat rekannya."

Tante Nia mengangguk. "Papa gimana kabarnya, sehat?"

"Gitu deh Tan, sibuk terus."

"Emang ya Bapak-Bapak tuh gitu, sibuk terus. Eh bentar, Rahayu nelepon nih. Tunggu ya." Rahayu adalah adik dari Tante Nia.

Sementara Tante Nia berjalan menuju ke kolam renang di samping, Caraka kembali memusatkan pandangannya ke ponsel. Mengirim pesan ke Janitra untuk mengabarkan kalau dia sudah di rumah. "Oi, Caraka kan?" Caraka mendongak. Tatapannya seperti melihat hantu begitu menemukan siapa di depannya adalah Anindita Keshwari, si gadis norak yang membuat detik-detiknya di kapal dan bus terasa seperti neraka.

Caraka mengernyit. "Ngapain lo di sini? Buntutin gue lo, ya?" tanyanya penuh percaya diri.

"Dih pedenya level tinggi!"

"Terus ngapain?"

"SIAPA YANG NYURUH LO KE SINI?" Caraka dan Anindita menoleh begitu menemukan teriakan tertuduh ke arah Anindita. Detik selanjutnya yang Caraka lihat adalah Janitra baru saja datang, lalu dia terlihat seperti kesetanan. Matanya memelotot. Seolah Anindita adalah dendam bertahun-tahun yang dia simpan dan kini adalah waktu paling tepat untuk dimuntahkan. "Brengsek! Ngapain lo di sini!" dia kalap dan langsung menyerang Anindita.

Kelima jemari tangan kanannya terselip di rambut sebahu Anindita, menariknya keras sampai kulit kepala Anindita terasa sakit sekaligus nyeri di waktu bersamaan. Caraka melompat ke tengah, mengerahkan kekuatan yang dia punya untuk memisahkan dua orang itu.

"Pergi lo! Pergi lo anjing! Belum puas lo ngancurin keluarga gue? BELUM PUAS LO?! SEKARANG BERANI-BERANINYA LO MUNCULIN WAJAH LO DI SINI. LO MAU HANCURIN KELUARGA GUE LAGI?!!"

Tante Nia tergopoh-gopoh lari ke tengah ruangan. "Nitra, istighfar! Nitra." Wanita itu juga tampak kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa, dia tahu bahwa Janitra dengan kemarahannya bukan sesuatu yang mudah dihadapi. "Udah, Nak, cukup!"

"Pergi nggak lo? PERGI. GUE BILANG PERGI YA PERGI!"

Caraka memberi sinyal ke Anindita untuk pergi yang untungnya langsung ditanggapi gadis itu dengan sigap. Anindita sudah menghilang dari pandangan, Caraka melirik Janitra, memeluk sahabatnya itu erat. Emosinya yang semula meledak-ledak, perlahan pun reda seolah pelukan Caraka adalah obat penenang untuknya. "Ikan cucut campur kedondong, Janitra yang imut jangan marah dong."

Janitra spontan mencubit lengan Caraka jengkel. "Lagi sebel gini, malah dibecandain."

"Biar marahnya reda, Tra."

"Kita omongin urusan kita besok aja, deh, nggak kondusif situasinya." Janitra mengeluarkan ultimatum.

"Oke. Nggak apa-apa, lo tenangin diri dulu aja."

Janitra meninggalkan Caraka yang kini hanya berdua dengan Tante Nia. "Maaf ya, jadi ngelibatin kamu dalam hal ini."

"Nggak apa, Tante, saya balik duluan ya Tante. Permisi." Caraka bergegas naik ke motor, mengendarai kendaraan itu bergabung dengan hilir mudik jalan raya. Lalu matanya tertuju pada seseorang yang duduk di kursi halte sambil berlinangan air mata. Anindita sedang menangis sesenggukan sementara satu tangannya memegang tas besar. Orang-orang di sekitarnya hanya melirik aneh lalu pergi.

Caraka mengedikkan bahu. Merasa bahwa itu bukan urusannya sama sekali untuk ikut campur.

Namun, cerita dari Anindita berputar di kepalanya. Dia seorang gadis kampung yang kali pertama ke kota. Pasti tidak mudah untuknya beradaptasi di sebuah kota besar yang tidak pernah dia kunjungi sama sekali. Caraka akhirnya memilih menurunkan ego, memutar balik kendaraannya untuk menjemput Anindita. Paling tidak, ini bisa jadi salah satu cara penebusan dosa akibat hari-hari Caraka selanjutnya tidak lagi tertimpa hal sial.

****

A/N:

By the way kita belum kenalan, ya?

Kenalin aku Erisca Febriani, kali ini aku posting cerita di sini hehe jangan lupa follow instagramku yaaa dan bantu promosiin ceritanya di sosmed kamu.

So farrr, gimana nih sampai part 2?

Saran dan kritiknya aku tunggu, lhoooo!

Oya sebelum mengakhiri part 2, boleh deh spam komen jari metal ala Caraka Mahawira di sini.

Salam metal ala Caraka Mahawira. Babayyy!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro