Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18

Anindita baru saja sampai di rumah setelah diantar oleh Caraka, sebelum turun dari mobil, cowok itu menahannya dan bilang. "Nin, soal perasaanku itu urusanku, aku nggak mau kamu merasa terbebani. Bersikap biasa aja, kalau memang kamu nggak bisa balas perasaanku ya nggak apa-apa. Aku cuma mau tahu kalau aku suka sama kamu." Begitu katanya. Anindita tidak menyangka kalau Caraka bisa romantis juga.

Membayangkan Caraka dan kata romantis dalam suatu kalimat saja adalah sesuatu yang berada di luar nalar sekaligus bikin merinding. Hiy!

Ketika dia pulang, Janitra masih belum pulang. Hanya ada Tante Nia sedang duduk menonton televisi. "Malam, Tante." Dia menyapa sambil menunduk.

"Diantar Caraka kamu, hm?"

"I-iya, Tante."

"Mau goda-goda Caraka kamu, ya? Dengar ya, kamu nggak cocok sama dia. Anak kampung kayak kamu kok berani-beraninya menggoda Caraka. Saya tahu dia karena dia berteman dengan anak saya sejak SD. Orangtuanya terhormat, bebet-bibit-bobotnya jelas, jangan kamu perangkap Caraka seperti ibumu yang gatal itu menjebak suamiku." Kalimat Tante Nia begitu menusuknya. Biasanya Anindita akan bersikap biasa saja, tapi kali itu entah kenapa dia jadi sensitif, dia sedih karena semua yang diucapkan oleh Tante Nia adalah sebuah kebenaran mutlak.

Anindita mandi, berganti baju, lalu tertidur di atas ranjangnya. Dia bermain ponsel sebentar, mengirim chat ke Dian serta ibunya. Lalu dia tertuju ke Whatsapp Caraka. Cowok itu sedang online. Aneh! Kenapa melihat-nya sedang online saja berhasil membuat jantungnya berdebar?

Caraka

Blm tidur?

Oh tidak! Pesan yang dikirim Caraka langsung terbaca karena Anindita memang sedang melihat pesannya.

Caraka

Cie ada yang mantengin profil aku ternyata,

nungguin di-chat ya Bu?

Anindita

Nggak! GR banget kamu huu.

Caraka

*sends a photo*

Baru aja mandi nih.

"Ngapain juga kirim-kirim foto, kepedean," sindir Anindita, anehnya dia menge-zoom foto itu dan tanpa sadar tersenyum melihat Caraka dalam rambut basah baru mandi.

Anindita

Stop deh tebar pesona.

Caraka

Padahal aku cuma kirim foto

Kalo kamu bilang gitu berarti kamu emang lg terpesona


"Caraka nyebelin!"


Caraka

Tidur dulu ya

G night.

"Gitu yang katanya mau pendekatan? Masa tidur duluan?" gerutu Anindita, tapi detik berikutnya dia menyadari kalau bukan hanya Caraka yang bingung. Dia juga. "Ini nggak adil!" balasnya, nggak adil karena Caraka yang menyatakan perasaan, tapi Anindita harus menanggung beban. Dia jadi tidak bisa tidur, sementara Caraka justru tertidur? Huh.

Sewaktu Anindita meletakkan ponsel di meja. Terdengar bunyi kelontang dari luar, padahal jam sudah menunjuk pukul 12 malam. Gadis itu keluar, memastikan apakah ada kucing. Rupanya suara itu berasal dari Janitra. Dia masih bekerja sedang memotong bahan dengan gunting.

"Kak, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya ragu-ragu.

Janitra seperti tertarik dari dunianya. Gadis itu mendongak, menatap Anindita dari cahaya ruang tamu yang remang-remang.

"Nggak perlu." Nadanya terdengar dingin seperti biasa, tapi Anindita bisa menangkap mata Janitra sudah sayu.

"Aku bikinin susu, ya." Tidak ada jawaban dari Janitra, yang berarti 'ya'. Jadi yang selanjutnya dilakukan Anindita adalah menuju ke dapur lalu membuatkan Janitra susu. Dia juga memotong buah melon yang ada di kulkas. Dia kembali mendekati Janitra sambil meletakkan gelas dan piring di atas meja. Gadis itu duduk di samping Janitra, melihatnya memotong bahan yang sudah ditandai dengan spidol berwarna perak.

Masih ada banyak bahan belum digunting tapi sudah ditandai. "Boleh aku bantuin?"

"Buat apa? Nggak perlu."

"Mau aku temenin?"

"Nggak, udah deh lo berisik, malah ganggu gue kerja. Sana pergi!" bentak Janitra.

Anindita akhirnya berbalik ke kamarnya. Dia kembali mengecek Whatsapp. Rupanya Caraka benar-benar tertidur. Last seen-nya ada di pukul 23.15. Tepat ketika dia mengucapkan selamat malam. Anindita berusaha memejamkan mata, tetapi tubuhnya memang tidak bisa dikompromi. Dia akhirnya keluar lagi sejam setelahnya dan menemukan Janitra tertidur di samping bahan yang menggunung dengan gunting masih berada di jemari telunjuk dan kelinkingnya. Anindita mengambil gunting itu perlahan, lalu dia menggantikan pekerjaan Janitra.

Tadi dia sudah melihat cara gadis itu bekerja, hanya menggunting sesuai dengan garisnya, itu bukan masalah besar.

****

Lantai yang terasa dingin spontan membuat kelopak mata Anindita terbuka. Gadis itu mengerjapkan mata, menemukan dirinya masih teronggok di lantai dengan bahan yang sudah digunting sempurna semuanya. Dia melirik sebelahnya, Janitra sudah tidak ada, tapi sebuah keajaiban Janitra tidak menyiramnya dengan air. Anindita terburu-buru menuju ke kamar, dia menemukan Janitra sudah duduk manis di ruang tengah dengan kepala terbungkus handuk, habis keramas.

Dia hanya melirik Anindita, tidak berbicara apa-apa.

Hal pertama yang Anindita lakukan ketika di kamarnya bukannya bergegas mandi justru melihat ponsel. Dan anehnya lagi, dia justru mengecek ponsel Caraka. Mengecek last seen. Cowok itu mengecek Whatsapp 30 menit lalu, tapi tidak mengirim chat apa-apa. Atau perasaannya sudah berubah? Semalam Caraka mendapatkan mimpi, hidayah, atau penerawangan bahwa perasaannya untuk Anindita bukanlah apa-apa.

"Ya bagus dong!" Anindita menjawab keraguan dalam hatinya.

Dia mengambil handuk lalu mandi. Dia bercermin, melihat dirinya dalam balutan kemeja bunga-bunga serta sweter sulaman berwarna oranye hasil buah tangan ibunya. "You go girl!" Anindita menyemangati diri sendiri.

Anindita berniat berangkat, tapi dia baru ingat kalau kelas pertamanya baru dimulai pukul 10. Ponselnya bergetar, secepat kilat Anindita mengecek benda itu. Rupanya pesan dari ibunya yang mengirim pesan terusan berupa berita hoaks. Huh, kenapa ya ibu-ibu selalu begitu? Mudah sekali mengirim pesan hoaks, padahal sudah berkali-kali Anindita mengingatkan agar tidak mudah percaya. Anindita pernah menegur ibunya perkara pesan hoaks berupa pesan berantai pembunuhan.

Gadis itu mendengus lalu bersiap-siap menuju ke kampusnya. Rupanya ketika di kampus, dia berpapasan dengan Caraka. Cowok itu hanya tersenyum singkat dan tidak menyapanya sedikit pun, apa-apaan itu? Kenapa dia sombong sekali. Anindita mendengus. Dia berjalan menuju kelasnya dengan ekspresi tertekuknya sampai ponselnya bergetar lagi, kali ini memang dari Caraka Mahawira.

Caraka

Knp cemberut?

Aku salah lg?

"Kamu nanyaaa? Ya iyalah salah!" Anindita hanya bisa menjawab lewat mulut. Nyalinya terlalu ciut untuk jujur dengan Caraka.

Anindita

Nggak.

Caraka

Kamu sendiri yg nyuruh aku nyembunyiin perasaan aku?

Kamu jgn bikin aku bingung gini, dong, Nin.

Anindita

Udah ah aku mau mulai kelas

Bye!

****

Anindita baru tersadar bahwa ada yang berbeda dari tiga hari belakangan. Bukan Pak Anwar yang menjaga shift pagi di Fakultas Ekonomi. Gadis itu berpikir mungkin saja dia berganti ke-shift sore. Namun sepanjang berkuliah, Anindita jadi terpikir dengan Pak Anwar. Pak Anwar. Caraka. Pak Anwar. Caraka. Begitulah mereka berdua mengambil alih konsentrasinya. Alhasil begitu jam makan siang tiba, Anindita berlari menuju ke pos. Melihat seorang satpam dengan nama 'Tio' tertulis di badge-nya. "Siang, Pak."

"Siang Kak, ada apa?"

"Pak hm ... Pak Anwar di mana, ya? Apa dia ganti shift? Udah tiga hari nggak keliatan."

"Ooh Pak Anwar... udah berhenti, Kak."

"Berhenti kenapa, Pak?"

Pak Tio terlihat ragu, tapi setelah menunggu beberapa detik, akhirnya dia menjawab. "Kena stroke, Kak, jatuh dari kamar mandi, itu udah yang ketiga kali. Dari tangan kanan sampai ke kaki jadi lumpuh nggak bisa digerakkan. Bahkan mulutnya terserang pelo."

Anindita teringat Pak Anwar sempat bercerita padanya kalau dia masih memiliki 2 anak yang masih kecil dan mereka kembar. "Terus Pak Anwar nggak kerja lagi?"

"Sepertinya begitu, Kak, mungkin sampai stroke-nya sembuh."

"Hm, boleh saya minta alamatnya Pak Anwar?"

"Oh iya Kak, boleh." Pak Tio mengeluarkan kertas dan pena lalu mencatat alamatnya di sana.

"Makasih ya, Pak."

Gadis itu tak ingin mengulur waktu, kebetulan jam kuliahnya berakhir hanya ketika makan siang. Dia menggunakan waktu itu untuk pergi menuju ke rumah Pak Anwar, tidak menghiraukan ponselnya yang bergetar dan memunculkan nama Caraka di sana. Dia sempat membeli buah jeruk di pedagang kaki lima sebelum tiba di rumah Pak Anwar. Tidak susah mencari rumahnya meskipun masuk di sebuah gang terpencil. Rupanya di Jakarta masih ada area-area gang yang kumuh. Dia masuk ke dalam melihat gang tersebut mungkin hanya cukup dimasuki 1 motor saja mengingat betapa sempitnya.

Seekor kucing mengeong dan mengibaskan ekor begitu melihat Anindita seolah ingin menunjukkan area teritorialnya. Anindita berhenti di depan sebuah rumah No 25. Sesuai alamat yang diberikan Pak Tio. "Assalamualaikum, selamat siang!"

"Aku aja yang buka pintu!"

"Aku!"

"Iiih akuu!"

"Sudah-sudah biar Ibu yang buka." Terdengar suara cempreng anak-anak berlarian dan berteriak dari depan pintu, sampai akhirnya pintu terbuka dan seorang wanita berjilbab tersenyum ramah pada Anindita. "Walaikumsalam, iya Mbak? Ada apa, ya?"

"E ... selamat siang Ibu, aku Anin, mahasiswa di kampus Harnus."

"Ooh mahasiswa Harnus." Begitu mendengar itu, raut wajahnya berubah sedih. "Tapi Pak Anwar nggak kerja di sana lagi, Mbak, maaf ya."

"Iya, Bu, saya dengar Pak Anwar sakit. Saya mau jenguk."

"Oh iya, silakan Mbak, silakan. Aduh maaf kelamaan di luar, yuk duduk di dalam, Mbak." Pintu dibuka lebar. Anindita melangkah masuk sambil melepaskan alas kakinya di depan pintu. Rumah itu sederhana. Sebuah sofa berwarna merah ada di tengah ruangan. Foto-foto keluarga dipajang di sebuah tembok. "Mau minum apa, Mbak?"

"Apa aja, Bu yang nggak merepotkan. Oh ini ada buah, Bu."

"Ya ampun, terima kasih lho, Mbak. Saya buatkan dulu, ya."

Sementara sang Ibu ke dalam, Anindita menyapa anak-anaknya Pak Anwar. Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka kembar. "Aku tebak kamu pasti Aldi dan ini Alda."

"Kok Kakak tahu?"

"Iya Bapak suka cerita sama Kakak. Katanya di rumah ada anak yang lucuuuu sekali dan pintar."

"Itu aku, kalau Alda tuh nakal, Kak, kerjaannya ngompol terus bikin Ibu susah."

"Enak aja, kamu juga kok."

"Hust sudah sudah, malah berisik, sana masuk ke dalam. Main di sana aja." Bu Anwar datang sambil membawakan nampan berisi segelas teh, sekaleng biskuit, dan sepiring jeruk dari Anindita. "Silakan dinikmati, Mbak. Saya baru ingat, ini Mbak Anindita, ya? Bapak kalau pulang sering ceritain Mbak lho, katanya di kampusnya ada mahasiswi yang selalu nyapa dia setiap pagi dan bilang makasih kalau udah diseberangi. Oh iya, kalau mau lihat Bapak ada di kamar. Yuk, Mbak."

Bu Anwar beranjak dan Anindita membuntuti. Wanita itu menggeser tirai pintu dan terlihatlah seseorang tertidur di atas ranjang. Anindita membeku sejenak. Pak Anwar yang beberapa hari lalu segar-bugar, kini sudah terbaring lemah di ranjangnya. "Pak, ini ada Anindita, mahasiswi kesayangan Bapak ya?"

"Halo Pak Anwar! Beberapa hari ini kampus rasanya beda nggak ada Bapak, cuma ada Pak Tio. Dia satpam baru ya, Pak? Soalnya kerjanya nggak segesit Bapak." Anindita terkekeh. "Aku mau Bapak segera sehat, aku nggak ada teman ngobrol nih kalau di kampus."

Pak Anwar terlihat ingin berbicara, tapi bibirnya tampak susah terbuka. "Iya udah Bapak istirahat dulu, ya, yuk Nin lanjut ngobrol lagi di luar." Bu Anwar mengajak Anindita kembali ke sofa ruang tengah. Keheningan tercipta di antara keduanya. Anindita masih memproses keadaan Pak Anwar dalam kepalanya. Bagaimana mungkin sosok yang sangat gagah bisa terlihat sedemikian tidak berdaya?

"Sepertinya Bapak juga nggak akan bekerja lagi di kampus, Kak. Kampus sudah memensiunkan Bapak." Lalu air mata bergulir dari sudut mata Bu Anwar yang segera disekanya. "Bapak bisa sembuh kalau diterapi, Mbak, tapi Ibu bingung ... kalau uangnya dipakai terapi, gimana nanti Aldi dan Alda masuk sekolah. Dua bulan lagi mereka mulai masuk SD."

Anindita mendekat dan mengusap punggung Bu Anwar, dia tidak bisa melakukan apa-apa, tapi berharap itu saja sudah cukup.

****

Sebelum jam kerjanya tiba, Anindita sudah ada di kampusnya. Dia menghampiri Caraka yang sudah menunggunya di danau Harnus. Mata cowok itu terlihat cekung seperti kurang tidur. Padahal bukannya dia semalam tertidur nyenyak, ya?

"Kamu nggak tidur semalem?" tebak Anindita tepat sasaran.

"Keliatan banget?"

"Ya iyalah, mata kamu udah kayak panda. Ngapain, sih? Bukan karena mikirin aku, kan?" Anindita merutuki mulutnya yang terlalu pede itu, tapi nasi sudah menjadi bibir. Perkataannya sudah terucap dan reaksi Caraka adalah tertawa.

"Salah satunya itu."

"Terus alasan lain?"

"Ngatur jadwalnya anak-anak, ada yang baru ngabarin kalo mereka ada acara keluarga, tahu deh. Padahal aku udah bilang sama mereka untuk bulan ini fokus latihan dulu karena waktunya mepet."

"Bandel banget mereka." Anindita menggerutu. Lalu melihat apa yang ada di tangan Caraka. Bungkusan makan sore. "Sini aku bawain."

"Aku aja. Yuk, udah ditungguin. Kamu tunggu sini, aku ambil mobil." Beberapa menit berikutnya Anindita naik ke mobil Caraka. Mereka menuju ke studio. Rupanya para personil sudah berkumpul. Anindita mengekor di belakang Caraka. Cowok itu terlihat mendesah berat begitu menemukan bungkusan makanan bertebaran di dekat pintu, tak lupa ada puntung rokok di dekat meja.

"Kalian makan dulu baru latihan." Caraka memecah suasana.

"Oya Bang, aku baru inget banget nih, lusa aku nggak bisa ikut latihan ... Bunda ajak jalan ke Bandung. Aku nggak ikut sehari nggak apa ya, Bang?" tanya Adiv.

Caraka tidak menjawab.

"Yah ... pizza lagi? Kemarin udah pizza? Gue beli makan sendiri, deh." Bas tampak bosan. "Ada yang mau nitip, nggak?"

"Boleh deh, siomay ya."

"Gue mau burger."

"Pecel lele kemarin enak, tuh."

"Oke." Bas mengambil jaket. Sebelum cowok itu pergi, Anindita langsung menutup pintu. Tidak mempersilakannya keluar. "Kenapa kau tutup pintunya?" tanya Bas heran.

"Enggak. Caraka udah beliin kalian semua makanan."

"Ya nanti kami makan, tapi ini kami bosan makan pizza terus."

"Kalian tuh egois semua, ya? Ini yang katanya band? Yang katanya penuh kekeluargaan?" seru Anindita membuat ruangan yang semula berisik pun jadi hening. "Kalian tahu kan nyusun jadwal tuh nggak gampang, harus dicocokin jadwal satu sama lain sampai ketemu hari yang pas. Terus, kalian seenak udelnya ganti jadwal cuma karena acara keluarga? Bukannya Kak Caraka udah bilang ya, kalian sebulan ini fokus latihan buat Welcoming Party. Terserah itu bebas, kalian bisa bikin acara setelah itu. Asal kalian tahu selagi kalian komplain tentang jadwal, manajer kalian itu nggak tidur semalaman karena harus cocokin jadwal kalian lagi!"

Anindita terlihat kesal.

"Ini studio juga udah dibersihin, tempat sampah udah disediain, apa susahnya sih buang sampah pada tempatnya? Ngerokok juga bisa di luar, kan? Kalian nggak kasian sama Tenggara, dia tuh alergi debu!"

Tenggara yang tadi tertunduk pun menoleh. Terkejut melihat Anindita mengetahui tentang dirinya.

"Kita tuh sama-sama mahasiswa di sini, semuanya punya kesibukan yang sama, selain tugas dan kampus. Jadi tolong kerja samanya. Makan apa yang dibeli, atau besok, nggak usah ada jatah makan sama sekali. Duduk semuanya di kursi, biar aku ambil gelas minum." Seperti anak-anak yang baru dimarahi ibunya, mereka semua duduk diam. Tidak ada adegan berisik selayaknya anak kucing yang bertengkar ketika makan. Bas yang tadinya ingin pergi pun mau tak mau seperti kucing disiram air. Diam tak bergerak.

Caraka yang masih berdiri di ujung ruangan ikut melongok, tidak menyangka Anindita bisa memarahi mereka semua. Sebenarnya Caraka bukan tidak mau marah, dia hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk memperingatkan mereka.

Anindita menyiapkan gelas dan mencium aroma yang familier di hidungnya. Caraka kembali berdiri di sebelahnya. Entah kenapa semenjak cowok itu menyatakan perasaan, semua tidak lagi sama. Kebersamaan mereka berdua kini terasa seperti kapsul yang menjebak Anindita sampai kesulitan bernapas. Dia tidak berani menatap Caraka. Dia menatap Caraka yang kini menatapnya lekat.

"Hari ini aku udah yakin sama perasaan aku."

"Apa?"

"Perasaanku nggak bisa bohong, aku emang suka sama kamu."

Mendengar itu Anindita ingin rasanya pingsan di tempat, semula dia memarahi personil Aspire, jangan sampai seluruh kemarahan itu kembali berbalik ke arahnya karena mengetahui manajer mereka memiliki perasaan pribadi untuknya.

Mulai part depan kita bakal liat Caraka Bucin Mahawira, siap-siap!

Tembusin 1000 komen dong buat part ini!

Spam love di sini <3

Anyway, jangan lupa nabung loh, nanti akan ada novelnya dan versi novelnya lumayan banyak yang beda serta banyak adegan yang lebih nyelekti </3 hehe. Sisihin uangnya dari sekarang ya buat memeluk Ayang Caraka <3

Sampai jumpa di part berikutnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro