Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 17


PS: ini juga part favoritku, jangan lupa votes ya dan ramaikan setiap paragrafnyaaaa, okeeee?!!! Selamat membaca.

***

Sebenarnya acara ngambek Caraka tidak berlangsung lama. Mungkin hanya tiga menit saja, selanjutnya dia sudah kembali adu debat dengan Anindita. Rupanya sore harinya dia punya janji bertemu dengan Janitra di mall yang sama. Anindita ingin sekali rasanya pergi, tapi Caraka menahannya. "Ngapain lo ngajak Anindita ke sini? Yang ada dia bakal malu-maluin lo." Untuk Anindita, kali ini level mulut Janitra jauh lebih pedas dari Caraka.

"Nggak kok, dia punya sense of fashion yang bagus. Lo liat gaya rambut gue? Ini dia yang nyaranin."

"Serius deh, bercanda lo nggak lucu." Janitra memandang Anindita dengan tatapan meremehkan, lalu dia melihat dari ujung kepala sampai ujung kaki bagaimana Anindita berpakaian. "Kecuali kalau yang lo omongin barusan itu adalah anonim, baru gue setuju."

Anindita mengikuti arah pandangan Janitra, ya memang sih kalau dibandingkan cara berpakaian Janitra, tentu saja Anindita kalah jauh. Janitra terlihat keren dalam balutan celana jins dan jaket kulit serta sepatu boots yang tak kalah mentereng, sementara Anindita hanya mengenakan kemeja kusam serta celana dasar hitam. Tapi Anindita tak peduli, yang penting dia nyaman dan jadi dirinya sendiri.

"Gue mau ngobrol sama lo, jadi plis, bisa suruh dia pergi?"

"Kalau dia pergi, yang ada bakal bikin kita berdua repot. Lagian dia juga lagi magang, masa percobaan jadi asistennya Aspire."

"Are you even kidding me, setahu gue lo tuh orang paling berisik soal kompetensi seseorang dan lo mau nge-hire dia jadi asisten manajer Aspire? Plis deh, Ka, are you out of your mind?"

"Ini tuh sebetulnya pertemuan berkedok buat menghina aku, ya?" tanya Anindita memecahkan obrolan Janitra dan Caraka yang seolah menganggapnya kasat mata.

Caraka menoleh dan terkekeh geli, sementara Janitra mendengus.

Caraka dan Janitra lalu sibuk mengobrol mengenai perkembangan bisnis mereka selanjutnya—tak lain dan tak bukan mengenai perkembangan baju yang akan dipakai personil Aspire di acara Welcoming Party, lalu berakhir dengan Caraka yang mentransfer sejumlah uang yang akan digunakan Janitra sebagai modalnya. Setidaknya itu yang Anindita tangkap.

"Kalau ada apa-apa, hubungi gue aja." Caraka beranjak, Anindita pun membuntuti. "Nggak mau bareng aja sama Janitra?" tawarnya.

"Nggak bisa, gue nggak mau mobil gue di-dudukin sama kutu busuk."

"Iya udah, oke bareng gue aja." Caraka tidak ingin ada perdebatan heboh terjadi di sana dan 

kemudian besok harinya mereka akan viral di sosial media. Apalagi zaman sekarang semua manusia menghamba konten, seolah merekam wajah orang adalah bagian dari kehidupan, bukan lagi bentuk sebuah pelanggaran privasi. "Yuk, Nin." Caraka melangkah di samping Anindita.

"Aneh banget, mulutnya kayak nggak disekolahin." Anindita menggerutu. "Kok kamu betah sih Kak berteman sama dia?"

"Gue sama Janitra tuh punya persamaan, Nin, kami sama-sama orang yang dijauhin di sekolah, tapi bukan karena kami di-bully."

"Terus?"

"Karena kami dianggap sebagai anak jenius di sekolah, teman-teman enggan buat berteman. Selalu aja ada ruang serta jarak, ditambah lagi gue sama Janitra bukan tipe orang yang pintar mencari kawan. Alhasil kami terjebak berdua di dalam sebuah ruang yang akhirnya bikin kami berdua sama-sama kesepian." Anindita berusaha mencerna lalu mengangguk.

"Ya ampun, bikin aku keingat sama temanku! Aku juga punya pengalaman yang sama, waktu aku SMP. Aku punya teman namanya Dian, dia anak paling pintar di kelas dan dia nggak punya teman. Nggak ada satu pun berani dekatin dia, karena orang-orang pikir dia butuh ruang supaya nggak diganggu. Terus karena aku tuh pengin banget berteman sama dia, alhasil tiap kali ganti baju olahraga di kelas, aku selalu tungguin dia karena yang lain pasti memilih buat pergi duluan di lapangan. Tiap kali istirahat, aku duduk di samping dia. Lama-lama kita berteman, deh."

Mereka kini sudah berada di mobil dan kendaraan melaju, bergabung dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Tiba-tiba perut Anindita berbunyi. Gadis itu meringis sambil memegang perutnya. "Ups hip hip horeeee," katanya memecahkan suasana yang canggung.

"Udah laper ya? Mau makan apa?"

"Tadi Teh Yati bilang ke aku jangan makan di luar, Teh Yati udah masak."

"Ok, tapi bisa tahan sebelum sampai rumah?"

"Bisalah, emangnya aku bayi yang bakal ngerengek kalau kelaparan?"

Caraka tertawa. "Nah itu sadar."

Selagi mobil melaju menuju ke arah pulang, mata Anindita menangkap seorang kakek-kakek sedang mengangkat kotak berisi cobek di dalamnya. Tubuhnya terlihat ringkih. "Kak, berhenti sebentar dong."

"Mau ngapain?"

"Sebentar aja."

"Oke, aku cari yang aman dulu buat parkir." Caraka menepikan kendaraannya di pinggir jalan. Anindita keluar, Caraka mengintip dari spion, menebak apa yang gadis itu lakukan. Rupanya dia menghampiri seorang Kakek untuk membeli cobek. Beberapa menit kemudian, dia kembali ke mobil. "Ngapain beli cobek? Lo mau masak?"

Bukannya menjawab, mata Anindita justru berair. "Gue salah tanya, ya?"

"Nggak, aku sedih liat kakek-kakek itu. Tangannya udah gemetaran gitu tapi harus tetap kerja, harusnya kan kalau udah tua itu waktunya istirahat di rumah? Dia cerita katanya anak-anaknya juga pada merantau, ninggalin dia sendirian sama istrinya di rumah dengan makan pas-pasan."

"Emang lo butuh cobek ini? Kan kalau nggak kepake malah sayang, Nin."

"Mungkin bagi aku nggak penting, tapi uang dari aku bisa jadi untuk makan si Kakek sama istrinya selama dua hari." Caraka menoleh, melihat Anindita masih menyusut air matanya. Dia akhirnya mengambil beberapa lembar tisu, mengangsurkan benda itu ke gadis yang terduduk dengan kepala tertunduk di sebelahnya.

"Jangan nangis, gue nggak ada permen."

Anindita merengut, "Kamu tuh bisanya emang merusak suasana dramatis, ya?"

****

Lama kelamaan Anindita mulai beradaptasi, dia mulai menyukai denyut nadi kehidupan di Jakarta setiap pagi. Dengan segala kesibukan serta hiruk pikuk area perkotaan. Anindita suka suasana pagi di kampusnya ketika sekumpulan ibu-ibu tua berjilbab secara serempak menyapu dedaunan seolah sedang menari harmoni dengan ayunan batang pohon. "Selamat pagi, Bu!" seperti biasa, dia jadi orang yang rutin menyapa sampai beberapa ada yang kenal dengannya.

"Selamat pagi Kak, Anin!"

Anin terlihat percaya diri dari balutan sweter hijau serta rok bunga-bunga miliknya.

Dia juga melihat Pak Anwar, salah satu satpam tua di Fakultas Ekonomi sedang berjaga-jaga. Satpam yang sering kali Anin sapa karena dia dapat jadwal shift pagi, sekaligus satpam yang sangat ramah, dia yang memberitahu Anindita rute-rute bus di dalam kampus. Orang yang juga berjasa sepanjang Anindita beradaptasi selama di kampus. "Selamat pagi Bapak."

"Selamat pagi juga Kak Anin, wah masih cantik aja, nih."

"Hehe si Bapak bisa aja."

Selanjutnya perkuliahan berjalan seperti biasa. Tidak ada yang benar-benar menarik, sampai akhirnya hari itu Fakultas Ekonomi dikejutkan dengan sebuah berita menggeparkan. Ya sekali lagi, perjelas bahwa ada berita menggemparkan tersebar. Apalagi Ute, salah satu temannya yang paling berisik di kelas sekaligus informan yang dapat diandalkan. "Lo tahu nggak, gue tadi papasan sama Kak Caraka. Pangling gue, dia potong rambut."

"Whatttt? Rambut gondrongnya dipotong? No no nooooo, gue suka banget sama gaya rambutnya."

"Tapi tetap cakep, terus dia pake sepatu berwarna, aneh nggak sih? Biasanya mah pake sepatu hitam atau nggak abu-abu."

Anindita hanya bisa menguping. Ketika jam makan siang tiba-tiba, seperti biasa kantin selalu penuh. Hari itu Anindita ingin sekali makan ayam krispi yang konon katanya terkenal enak, tapi masih dalam harga terjangkau dibanding makanan lain.

Pesanan Anindita tiba. Gadis itu baru saja ingin mencoba se-suap dan sudah dikejutkan dengan kehebohan Bas dan Adiv yang tahu-tahu duduk di hadapannya. "Makan sendirian nih, nggak ajak-ajak." Adiv menyapa.

"Makan, Kak," Anindita tersenyum lebar.

"Kau sudah lihat Caraka belum? Aku ketemu dia tadi di lorong, sumpah, aku kira bukan Caraka. Sebentar tadi sempat aku foto." Bas mengeluarkan ponsel, menunjukkan foto Caraka duduk di lorong sambil membaca sebuah buku. Emang ya kalau orang tampan, difoto tidak sengaja saja seperti foto model, pikir Anindita. Mata Anindita melihat layar ponsel Bas yang menunjukkan Caraka mengenakan kemeja berwarna krim pilihannya yang lengannya digulung sampai ke siku dipadu jins. "Kau lihat rambutnya ... rambutnya dipotong, Bah!"

"Emang kenapa deh heboh banget?" tanya Anindita heran, baginya reaksi orang-orang terlalu berlebihan.

Memang sih, biasanya anak pintar dan tampan akan selalu jadi pusat perhatian, tapi ya nggak begitu juga, dong.

"Masalahnya ini Bang Caraka, di mana rambut gondrong udah kayak trend setter." Anindita baru sadar kalau ada beberapa orang yang memang rambutnya menyerupai Caraka, tapi ya bisa jadi itu kan memang kebetulan, bukan karena Caraka. "Terus juga dia tuh paling ogah pake kemeja, ke kampus biasanya sweter hitam, apa nggak kaos dipadu jaket yang warnanya nggak jauh dari hitam. Lah ini, pake kemeja, krem pula! Dan kau liat sepatunya, dia pernah ejek aku karena pake sepatu berwarna. Lah ini apa? Apa dia kesurupan, ya?"

"Ooh gitu." Anindita mengangguk.

"Eh, kenapa kau nggak excited?"

"Soalnya kemarin waktu beli-beli baju kan Kak Caraka ngajak aku, dia bahkan yang nyuruh aku pilihin baju, sepatu, sampai potongan rambut," jawabnya sambil mengunyah paha ayam, seolah informasi yang dia sampaikan barusan tidak berarti apa-apa dan tidak membuatnya terdistraksi sedikit pun.

Mengabaikan fakta bahwa kini Bas dan Adiv yang ternganga. "Sebentar, Bang Caraka nyuruh kamu yang milihin baju? Jadi ... kemeja krim, sepatu merah, sama potongan rambut Bang Caraka, itu pilihan kamu?" tanya Adiv dengan nada suara lirih, berusaha memastikan kalau apa yang dia ucapkan itu adalah fakta.

"Iya, tapi bagus kan? Kalau orang ganteng, diapa-apain juga pasti cakep! Kayaknya aku harus minta gaji tambahan nih buat fashion stylist pribadi dia."

"Nin, kau tidak sadar sesuatu?" Bas geleng-geleng kepala, "kau nggak merasa aneh dengan sikapnya yang begitu?"

"Aneh kenapa? Hmm nggak sih, Ibu juga kalau ke pasar suka ngajak aku."

"Masalahnya dia bukan ibumu."

"Terus anehnya di mana?"

"Lo berdua lagi ngospek Anin, ya?" Bas dan Adiv terkejut begitu menemukan Caraka sudah berdiri di belakangnya dan tiba-tiba duduk di sebelah Anindita. Cowok itu tersenyum. Senyum yang membuat Bas seolah terpanah.

"Apa aku nggak salah liat ini kau senyum barusan?" buat Bas, yang sudah mengenalnya hampir dua tahun, Caraka itu memang santai, tapi dia jarang sekali mengumbar senyum apalagi ke perempuan. Dan sekarang Bas bisa melihat itu secara cuma-cuma.

Adiv mencubit pinggang Bas, memberinya peringatan untuk tidak bereaksi berlebihan. Temannya itu memang suka drama. Kalau ada gelar raja drama, itu pantas disematkan ke Bas. Mungkin cita-cita tersembunyinya dia ingin menjadi penulis skenario drama opera sabun.

"Kau kesambet apa lah Bang, penampilan kau ini penuh warna, kayak orang lagi jatuh cinta."

"Emang orang jatuh cinta penampilannya penuh warna? Aku nggak, tuh," jawab Anindita sambil melirik pesanan ayam milik Caraka. "Kamu juga pesan ayam?"

"Otak lo tuh cinta-cintaan terus, nilai lo tuh pikirin." Caraka menskakmat Bas dan melirik Adiv, seolah mereka berdua adalah parasit yang tiba-tiba menempel di inang.

"Bas, aku baru ingat catatanku ketinggalan di kelas, temani aku ambil lah!" Adiv menarik lengan Bas secara paksa. "Ayo lah, Bas," dia susah payah menarik Bas, yang akhirnya mau tak mau menurut juga.

"Janitra mana? Nggak kelihatan dia hari ini."

"Kata Bibi hari ini bakal ada mesin jahit diantar ke rumah, terus ruang di samping kamarnya udah dijadiin gudang buat stok barang-barangnya. Kayaknya sih dia nggak ke kampus," jawab Anindita.

"Oh gitu," gumam Caraka sambil memisahkan kulit ayam krispi dengan dagingnya, lalu tiba-tiba dia memberikan kulit ayam itu ke piring Anindita. Gadis itu sampai menoleh, semudah itu Caraka memberinya kulit ayam krispi, yang mana menurut Anindita itu adalah bagian paling enak sekaligus pengalaman yang dicari ketika makan ayam krispi?

"Kamu nggak mau?"

"Makan aja, ekspresi lo kayak gorilla kelaperan."

"Hiks, ngasih tapi berkedok nyindir, tapi nggak apa deh. Makasih banget, ya. Kamu orang kedua yang ngasih aku kulit ayam krispi secara cuma-cuma."

"Kok kedua? Yang pertama siapa?"

"Dafa, mantan aku waktu SMA." Anindita menjawab itu sambil senyum-senyum seolah dia sedang memutar sebuah kenangan manis di kepalanya. Mendengar itu, Caraka kembali mengambil kulit ayamnya dan memakannya. "Yaaah, kok diambil sih? Kan kamu udah ngasih aku? Kata Ibu, kalau udah ngasih terus diambil lagi nanti sikunya borokan, lho!"

"Gue nggak mau ngasih sesuatu yang bikin gue jadi nomor dua, gue harus ngasih apa biar bisa jadi yang pertama buat lo?"

Anindita mengernyitkan kening. "Kak, kamu lagi nggak kesambet setan apa-apa, kan?"

****

Hari itu Anindita selesai kuliah lebih cepat dari biasanya. Kebetulan dia memang tidak mengambil SKS terlalu banyak. Dia sadar kapasitas otaknya, lebih baik sedikit tetapi berkualitas, daripada mengambil banyak SKS tapi kewalahan. Alhasil dia memilih untuk ke studio Aspire. Rupanya masih kosong. Belum ada yang datang. Tentu saja yang lain pasti masih berkuliah. Dia mengedarkan pandangan. Tebersit keinginan untuk bersih-bersih saja.

Jadi selanjutnya yang dia lakukan adalah mengambil kemoceng dan sapu. Urusan bersih-bersih, Anindita sudah terbiasa. Gadis itu mendorong kursi yang menempel di tembok, membersihkan sawang-sawang di belakangnya. Rupanya banyak puntung rokok, pasti kerjaan Kajev. Tak heran Tenggara suka bersin-bersin kalau studionya sekotor itu.

Selagi dia asyik bersih-bersih, muncul Bas. "Hei adik kecil, sudah datang kau? Nggak ada pelajaran kah hari ini?"

"Udah selesai, Kak."

"Nggak bolos kan, kau?"

"Ya nggaklah!"

Bagus, jangan kayak aku. Siapa yang suruh kau beres-beres? Bang Raka?"

"Nggak, aku aja yang mau. Habis daripada bingung nggak ada kerjaan, lagi pula, biar jadi perhitungan Kak Caraka supaya dia mau menerima aku kerja jadi asisten manajer Aspire."

"Magang itu cuma formalitas, kau pasti diterima."

"Nggak, aku tahu dia gimana, kalau setan ada wujudnya itu pasti Kak Caraka."

"Kau ini nggak sadar atau pura-pura bodoh?"

"Ha?" Anindita menoleh, menghentikan gerakannya membersihkan meja dengan kemoceng.

"Gini ya adik kecil, coba kau perhatikan gerak-gerik Caraka, apa kau nggak heran melihat dia?"

"Emang dia kenapa? Pedofil? Maniak seks? Playboy? Kenapa? Aku nggak ngerti!"

"Kau ini!" Bas gemas sendiri, "malah kau sebut yang aneh-aneh, otak kau tidak sepolos yang kukira ternyata. Dia itu jatuh cinta sama kau."

Reaksi Anindita selanjutnya adalah tertawa terbahak-bahak seolah itu lelucon paling lucu yang pernah dia dengar. Sebentar, Bas bilang kalau Caraka jatuh cinta dengannya? Tentu saja itu adalah perkataan paling konyol. "Kak kalau mau ngelawak coba lagi, nggak lucu. Coba yang lain, deh, misalnya Caraka jatuh cinta sama Kak Janitra, atau Caraka itu mau ngerjain aku, nah itu lebih masuk akal."

"Aih kau ini ya nggak percaya sama aku. Biar kusebut satu per satu, pertama, Caraka nggak suka kami bawa lele, tapi dia mau bawa pecel lele ke ruangan ini karena kau yang minta. Kedua, dia khawatir waktu liat kau hampir ketabrak—"

"Ya kalau hampir ketabrak manusiawi, deh, coba bayangin kalau waktu itu aku mati, dia pasti merasa bersalah karena dia yang bawa aku," Anindita berusaha menjelaskan dengan logika dalam kepalanya.

"Nggak gitu konsepnya, adik kecil, aku waktu itu hampir mati juga waktu photoshoot dengan Aspire di atap. Aku mundur terlalu belakang sampai nggak sadar di ujung gedung, untung ada Caraka yang langsung tarik baju aku. Reaksi dia? Dia marah-marahi aku, maki aku, dia bukan tipe yang khawatir begitu. Aku tahu bedanya. Ketiga, dia ajak kau memilih sesuatu yang paling penting untuk dia. Nin, buat laki-laki, rambut itu aset paling berharga. Kau lihat rambutku yang gimbal ini, jangankan meminta saran seseorang untuk memilih tipe rambut, orang pegang-pegang rambutku aja, aku marah." Bas menjelaskan dengan berapi-api, diikuti logat bataknya yang kental.

Anindita terdiam mendengar penjelasan Bas.

"Dia bahkan suruh kau pilihkan baju yang kau suka, laki-laki kalau begitu berarti ingin menunjukkan ketertarikannya, Nin."

Seperti dihantam sesuatu, Anindita teringat bagaimana Caraka bertanya "lo suka?" kemarin, seolah-olah jawaban Anindita adalah sesuatu yang penting untuknya. Atau bagaimana Caraka marah ketika mendengar Anindita memilih minumannya dibayarkan cowok lain daripada menggunakan uangnya, atau ketika Caraka memberikan kulit ayam krispi cuma-cuma dan mengambilnya lagi ketika dia mengungkit mantannya.

"Emang iya? Nggak mungkin!" Anindita menggeleng kuat.

"Kenapa nggak mungkin? Nggak ada yang nggak mungkin di dunia kecuali seseorang makan kepalanya sendiri."

"Tapi Caraka, suka sama aku? Itu bahkan nggak masuk dalam logika aku." Caraka, si anak berprestasi di fakultas yang punya banyak segudang penggemar, ditambah lagi Caraka itu cerdas, dia tidak mungkin sembarangan menaruh perasaannya. "Kalian lagi mau ngerjain aku, ya? Caraka naksir aku itu cuma dongeng, udah ah aku mau kerja lagi. Aku butuh pekerjaan ini."

Anindita tidak lagi mendengarkan kalimat serta serentetan omelan Bas selanjutnya yang karena yang dia lakukan adalah menghitung domba dengan suara keras agar kalimat Bas tidak masuk ke telinganya.

****

Meskipun sekuat apapun Anindita berusaha mengenyahkan kalimat Bas dalam sudut kepalanya, tetap saja dia jadi kepikiran. Ah. Gadis itu mendengus berharap waktu bisa diputar ulang, dia tidak perlu kerajinan datang ke studio dan akhirnya menjadi korban cuci otak Bas. "Nggak nggak, nggak mungkin," Anindita menggelengkan kepalanya. Dia menatap sekeliling, ruangan sudah rapi.

Lantai pun sudah kinclong saking bersihnya sampai ketika berjalan menimbulkan suara berdecit. Bantal di sofa tersusun rapi. Susunan koleksi DVD yang semula tersebar pun sudah berada di lemari. Anindita menyeringai lebar dan bertepuk tangan atas kehebatannya yang tidak dia sangka. "Waah ini lo semua yang ngerjain?" suara itu milik Kajev yang masuk sambil celingak-celinguk.

"Emang juara banget deh, lo." Biru mengacungkan jempol.

Reijiro berdiri di depan pintu sambil mengangguk-anggukkan kepala seolah dia baru saja mendapatkan sebuah ide baru ketika melihat studio jadi lebih rapi. Semesta mengeluarkan ponsel, mengabadikan foto studio—seakan-akan itu menjadi artefak yang akan dia simpan, kalau keesokan hari studio sudah berubah lagi tidak berbentuk.

Yah, apa sih yang diharapkan dari sekumpulan anak laki-laki yang menjaga studio? Pasti butuh sentuhan perempuan agar semuanya jadi manusiawi.

Para personil Aspire sudah berada di dalam, mereka duduk di sofa sambil menatap bagian dalamnya dengan seksama seolah-olah studio itu baru saja mengikuti program bedah rumah. Tenggara menutup tangannya terharu, akhirnya dia bisa latihan dengan nyaman tanpa harus dihantui ketakutan akan bersin-bersin akibat ulah bekas rokoknya Kajev.

"Ini seriusan studio Aspire?" suara itu. Suara yang sekarang ingin sekali Anindita jauhi. Semua orang menoleh ke belakang dan ternganga melihat perubahan penampilan Caraka.

"Bang, lo kenapa?"

"Ini serius Bang Caraka? Ajegila gue kira aktor dari mana."

"Cailah, gue pikir anggota BTS!"

"Lo kena pukul apa, Bang? Kenapa tiba-tiba potong rambut?"

"Padahal gue mau rambut gue kayak lo, kenapa lo potong, Bang?"

Yah bisa ditebak bagaimana reaksi personil Aspire begitu melihat Caraka.

"Berisik, waktunya makan." Caraka meletakkan sebuket ayam di atas meja yang langsung diserbu mereka semua, tapi ada satu kotak lain yang khusus. Bas berniat mengambilnya, tapi ditepis Caraka. Cowok itu menghampiri Anindita. "Buat lo."

Biasanya Anindita akan terharu atas kebaikan hati Caraka yang tiba-tiba itu, tapi kali ini tidak. Dia kembali dihantui kalimat dari Bas. "Ngg ... nggak, aku makan sama yang lain aja."

"Nggak. Lo makan ini." Caraka mengucapkan itu dengan tegas. "Ada sayur di dalamnya. Perbaikan gizi, Nin," lanjutnya dengan penekanan dan tidak bisa ditolak.

Anindita akhirnya terduduk lemas, tidak bisa menolak. Dia membuka kotaknya, ada kentang serta salad di sana.

"Curang, masa Anin dikasih khusus?" Bas seperti biasa menjadi orang yang protes kali pertama kalau ada sesuatu berjalan di luar kebiasaan.

"Itu buat menyambut asisten baru kita, Anindita."

"Wohooo whoof whoof!"

"Selamat bergabung! Semoga nggak kapok ngurusin kita semua." Biru bertepuk tangan disusul oleh yang lainnya bersiul ria.

Gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum lebar. Harusnya dia senang, kan? Karena tidak ingin membuat mereka semua kecewa, Anin balas bertepuk tangan. "Wohooo, terima kasih. Mohon kerjasamanya, ya." Lalu dia melirik Caraka yang tersenyum padanya. Jenis senyum yang berbeda, begitu tulus dan hangat. Sialnya, jantung Anin berdebar keras melihat itu.

Anindita menunduk, mengalihkan pikirannya dengan makan yang banyak, tapi rupanya itu membuatnya tersedak saking terburu-buru. Caraka langsung menepuk pundaknya sampai Anindita mengeluarkan lagi kulit ayam yang semula tersangkut. Rajavas mengangsurkan segelas minum yang langsung diteguk habis oleh Anindita. Kali ini gadis itu tersedak lagi merasakan tangan Caraka mengusap punggungnya. "Pelan-pelan, Nin."

Biasanya Anindita akan bersikap biasa saja tiap kali Caraka melakukan itu, tetapi kali ini berbeda. Ya ampun, apa sih yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya? Anindita menundukkan wajah kian dalam tersembunyi dari balik poninya, berharap Caraka tidak menemukan pipinya yang sekarang memerah panas.

****

Caraka menulis jadwal di papan tulis spidol yang berada di ujung ruangan. Jadwal mereka latihan. "Selama beberapa hari ini kita akan fokus latihan menuju ke kegiatan Welcoming Party. Dimohon keseriusan teman-teman ya, kalau ada yang datang telat, kabari segera. Gue harap sih jam ngaretnya tolong dikurangi, kasian yang lain kalau saling nunggu." Caraka menjelaskan dengan mengetukkan spidolnya ke papan tulis.

Kalau dalam mode serius begitu dia terlihat seperti dosen galak, tapi juga di waktu bersamaan terlihat rupawan. "Bas dan Adiv, gue minta kalian juga perhatiin alat musiknya anak-anak, dan buat Anin," Caraka melirik Anin.

"Ya?"

"Gue minta lo cepat beradaptasi, ya."

"Siap, Kapten!" Anindita mengacungkan jempol dan membuat semua orang di dalam ruangan tersenyum, memecah ketegangan yang tercipta.

"Oke itu aja, sekian latihan hari ini. Kalian bisa balik terus istirahat. Makasih buat kerjasamanya hari ini." Caraka menyemangati teman-temannya. "Jev, gue minta lo kurangi rokok lo, paru-paru lo tuh kasian," dia berbicara empat mata dengan Kajev tetapi masih bisa didengar oleh telinga Anindita karena jaraknya yang dekat.

Anindita membereskan gelas-gelas di meja lalu membawanya ke dapur. Dia mencuci gelas, piring, dan sendok yang semula dipakai anak-anak untuk makan. Pikirannya kembali terdistraksi dengan wajah Caraka yang mendadak melintas di kepalanya. "Mikirin apa, sih?" gelas di tangan Anindita yang masih dilapis busa nyaris terjatuh bebas di lantai kalau tangan Caraka tidak dengan sigap menangkapnya.

"Wahh!" Anindita menutup mulut. Terkejut dengan tindakan Caraka. "Wah kamu hebat banget, jangan-jangan kamu superhero?"

"Fokus Nin, fokus," ujar Caraka sambil berdiri di sebelah Anindita. Berdiri sebelahan begitu, Anindita baru menyadari kalau Caraka tinggi sekali seperti genter. Tubuhnya hanya seleher Caraka. Cowok itu tiba-tiba menjulurkan tangan melewati bahu Anindita, sampai gadis itu harus memundurkan wajahnya ke belakang. Rupanya Caraka ingin mengambil lap kering.

Kenapa juga dia harus berpose sedekat itu? Padahal kan bisa minta tolong?

Anindita mendengus.

"Kenapa?"

"Ooo, nggak."

Keheningan menyeruak. Keheningan yang seperti bom waktu seiring dengan suara jantung Anindita yang turut berdebar-debar. Lalu tiba-tiba dia mendengar Caraka bersenandung, untuk kali pertama Anindita mendengar Caraka bernyanyi. Suaranya berat, tapi rupanya enak didengar. "Sepotong kayu lebat bunganya serta buahnya ... walaupun hidup seribu tahun kalau kita tak jadian apa gunanya?" Tunggu, kenapa liriknya harus begitu, ya?

"Kok liriknya gitu?" tanya Anindita bingung.

"Ya pengin ganti aja, Nin, emang kenapa? Nggak boleh?" tanya Caraka sambil mengerling jahil.

Ini aneh! Anindita merasa tersiksa sendiri dengan pikirannya. Kalau begini kan harusnya dia tidak tahu, coba saja Bas tidak bilang apa-apa, dia pasti tidak akan tersiksa. Anindita menyelesaikan pekerjaannya. "Aku balik dulu, ya." Rupanya studio sudah kosong, semuanya pergi, lenyap seperti asap.

"Gue anter."

"Nggak usah, bisa naik angkot atau ojek online."

"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba.

"Hah?" Anindita mendongak dan menyadari Caraka sudah berdiri di depannya, begitu dekat, sampai Anindita baru menyadari bahwa warna bola mata Caraka cokelat terang. Kali ini tidak ada rambut gondrong yang menutupi wajahnya dan Anindita bisa melihat lebih jelas bentuk wajahnya. Anindita bukan tipe cewek yang mendambakan ketampanan, tapi tidak bisa memungkiri bahwa manusia kan makhluk visual yang akan menilai dari penampilan, dan Caraka masuk dalam kategori cowok ganteng yang pernah dia temui.

"Kamu kenapa?" kali ini dia pakai kamu.

Cukup. Anindita harus membuat ini lebih jelas.

"Tadi siang Kak Bas bilang ke aku, katanya ...," Anindita seolah tercekat.

"Katanya apa?"

Anindita menggeleng. "Nggak jadi, lupain aja deh, Kak. Aku mau balik. Aku ngantuk."

"Nggak, kamu bukan ngantuk, kamu mau menghindari aku." Aku. Dia pakai aku, dan nada suaranya melembut. Ini bukan Caraka yang biasa.

"Kak Bas bilang katanya kamu suka sama aku! Dia baca gerak-gerik kamu sebagai sesama laki-laki dan gestur kamu itu seolah nunjukin kalau kamu suka sama aku, itu salah kan? Emang Kak Bas itu asal banget ngomongnya. Aku mau jelasin semuanya biar nggak salah paham. Itu nggak benar kan, Kak?" kali ini Anindita kembali menatap Caraka.

"Ternyata keliatan banget, ya?"

"Hah?"

"Keliatan banget kalau aku suka sama kamu?" Nggak. Anindita pasti salah dengar, mungkin ini efek karena dia sedikit mengantuk jadi kepalanya sedikit berhalusinasi.

"Kamu lagi mau ngelawak, ya? Kayak biasanya? Ha-ha-ha lucu banget deeeh! Kamu cocok jadi srimulat." Anindita tertawa garing, tapi lawan bicara hanya menatapnya serius. Tidak ada ekspresi bercanda tergambar di wajahnya. Bahkan matanya memandang lurus Anindita seolah hanya ada gadis itu di dalamnya. Tatapan yang kalau diibaratkan samudera, mungkin Anindita sudah tenggelam saking dalamnya. "Kamu nggak bercanda?"

"Aku keliatan kayak bercanda, Nin?"

"Tapi kenapa?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa bisa suka sama aku?"

"Emang kenapa aku nggak bisa suka sama kamu? Kamu gadis yang menyenangkan."

Gadis menyenangkan katanya? Ha-ha. Ini jauh lebih lucu dari acara lawak di televisi.

"Kak Caraka yang jenius, dengar ya, aku pernah cerita kan sama kamu kalau aku pernah diputusin mantanku karena aku cewek yang berisik, aku cewek aneh karena suka dongeng, seleraku juga norak. Satu lagi, aku nggak sejenius kamu."

Kali ini reaksi Caraka justru tertawa. "Hello? Kok malah ketawa, sih? Sekarang aku serius dan nggak lagi ngelucu."

"Iya aku tahu. Karena kamu cewek berisik, makanya aku suka. Karena kamu suka dongeng, aku jadi suka. Dan kamu bilang seleramu norak? Justru itu, meskipun orang bilang norak, kamu tetap nggak peduli."

Anindita masih tidak mengerti. "Aku nggak ngerti sama alasan kamu. Itu tuh hal-hal yang harusnya dibenci."

"Anin, dengar ya, selama ini duniaku terlalu sepi ... sangat sepi, Nin, sampai kadang aku sendiri tercekik sama rasa kesepian itu, lalu kamu datang dengan ocehan kamu yang berisik, tapi aku suka. Aku suka berisiknya kamu karena itu bikin duniaku terasa hidup. Aku juga suka dengar kamu berdongeng. Aku ditinggal ibuku dari kecil, jadi aku juga mau tahu dongeng apa yang biasanya seorang Ibu ceritakan ke anaknya karena aku nggak mendapatkan itu. Lalu kamu datang, kamu bercerita sama aku tanpa canggung." Mendengar jawaban itu, jantung Anindita kembali menggedor cepat seperti anak-anak usil di kampung berebutan memukul bedug sebelum azan.

Kali ini di hadapannya dia tidak melihat Caraka yang dingin, Caraka yang menyebalkan, Caraka yang keras kepala, tetapi justru sebaliknya, sampai Anindita harus meyakinkan dirinya kalau dia tidak bermimpi. Namun, sepasang mata cokelat terang yang menatapnya dalam itu meyakinkan Anindita kalau itu bukanlah mimpi.

"Aku nggak bisa."

Aku nggak minta jawaban kamu."

"Hah?" coba hitung berapa kali Anindita bereaksi "hah" karena semuanya terlalu terburu-buru.

"Aku cuma mau kamu tahu kalau aku suka kamu, that's it. Aku juga tahu kamu bakal nolak aku, makanya aku nggak minta jawaban kamu. Pelan-pelan, ada yang namanya fase pendekatan, kan?"

"Nggak! Aku juga nggak mau pendekatan!" Anindita menggeleng, kenapa perasaan itu tumbuh di kala Anindita sangat butuh pekerjaan, di kala dia baru saja diresmikan hari pertama bekerja menjadi asisten pribadi untuk Aspire? "Aku nggak mau dicap sebagai pekerja nggak professional, aku nggak mau dicap cewek genit sama anak-anak. Aku harus pro-fe-si-o-nal." Anindita mengeja tiap suku kata dengan penuh penekanan, itu kembali membuat Caraka tertawa. "Hey, Anda, kenapa kamu ketawa terus? Aku tuh serius."

"Oke, jadi kamu mau gimana?"

Stop, jangan pakai kamu, itu bikin aku merinding. Balik lagi Caraka kayak dulu, pakai lo-gue."

"Terus?"

"Jadi Caraka yang biasanya."

"Emang kamu pikir ini aku lagi akting? Justru kalau aku pura-pura nyembunyiin perasaan aku, malah jadi canggung."

"Terserah deh, ah, aku udah capek sama masalahku, terus kamu nambahin masalah."

Caraka mengacak rambut Anindita. "Kalau gitu, jadiin aku tempat kamu lari dari masalah, Nin. Aku tahu ini pasti bikin kamu kaget, tapi pelan-pelan ya? Kasih aku kesempatan, biar aku juga bisa nyari tahu perasaan aku ke kamu ini murni karena aku cinta atau karena aku kaget sama kehadiran kamu dalam hidup aku."

—-

A/N:
Sini yang mau teriak boleh kok :)

Mau nimpuk Caraka deh bisanya bikin baper anak orang hehe

Mari spam jari metal ala Caraka di sini

Sampai jumpa di part berikutnya ya!!!

Anyway selamat berpuasa ya, semoga kita semua kuat sampai akhir. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro