Chapter 14
Kepala Janitra masih terasa sakit dan berkunang-kunang ketika dia membuka mata. Hal terakhir yang dia ingat, dia mengonsumsi beberapa butir obat penenang agar rasa sedihnya membaik lalu tiba-tiba semuanya gelap. Dia tidak ingat hal selanjutnya. Lalu pagi ini dia terbangun sambil mencium aroma kloroform menusuk indera penciumannya dan melihat seorang gadis berambut pendek sebahu duduk di sampingnya. Melihat Anindita, Janitra seperti bertemu hantu. Gadis itu membuka matanya lebar. "Ngapain lo di sini?" tanyanya ketus.
"Ee—Kak Janitra udah bangun! Mau pipis, Kak?"
"Lo pikir gue bayi?"
"Mau minum?" Anindita cepat-cepat mengambil air minum yang sudah disediakan suster di samping ranjang. Gadis itu bersiap siaga, tapi bukannya menerima, Janitra mengempas gelas itu dengan keras sampai jatuh ke lantai. Gelas berubah menjadi serpihan kecil di lantai. Seorang suster tergopoh-gopoh menghampiri.
"M—maaf, Sus, tangan saya terpeleset," Anindita berujar begitu melihat wajah panik sangat suster. Dia berniat membersihkan.
"Ooh nggak apa, Mbak, jangan dipegang nanti tangannya terluka. Saya panggilkan OB dulu, ya." Suster tersebut kembali keluar.
"Ngapain lo di sini? Pasti lo sedih ya, kenapa gue nggak mati aja? Kenapa gue harus bangun? Itu kan mau, lo?" tanya Janitra dengan mulut pedasnya.
Padahal semalaman Anindita terjaga dari tidur karena takut sesuatu terjadi pada kakaknya di kala dia memejamkan mata, dia bahkan terbangun untuk salat malam untuk berdoa. Tapi kakaknya itu masih setia berburuk sangka. "Lo nggak usah sok baik depan gue, nggak guna. Pasang aja sikap lo itu ke orang lain, ke orang yang bisa mudah tertipu sama tabiat lo."
Tepat ketika keduanya bertengkar, Caraka muncul sambil membawa sarapan untuk Anindita. "Halo ... kenapa ini, ya? Kok hawanya panas?" banyol cowok itu.
"Aku pulang dulu, Kak, titip Kak Janitra ya." Anindita bergegas pergi begitu melihat ada seseorang yang bisa menjaga kakaknya.
"Titip-titip, lo kira gue bayi? Dengar ya Anindita, gue nggak butuh sikap sok peduli lo—"
"Tra, ini di rumah sakit lho. Nanti didengar sama orang lain, nggak enak." Caraka menasihati. "Kenapa, sih?"
"Kenapa dia yang di sini?"
"Tante Nia sama Om kan lagi di luar kota, tadi Tante Nia telepon gue, baru sampe Jakarta nanti siang. Nggak mungkin kan gue yang jaga di sini, gue cowok lho. Makanya Anindita yang jaga."
"Untung gue bisa bangun pagi ini, kalau sampe dia ngebunuh gue gimana? Nggak ada yang tahu tiba-tiba dia bekap mulut gue pake bantal."
"Kurang-kurangin deh lo nonton sinetron, Tra." Caraka geleng-geleng kepala lalu menarik kursi duduk di sebelah nakas. "Makan dulu aja," dia membuka plastic wrap yang menutupi bubur ayam, menuangkan sedikit kuah dan mengaduknya hingga tercampur. Dia menyuapi Janitra agar segera makan.
"Permisi Kak, sebentar saya sapu dulu ya." Seorang OB berseragam biru membuka pintu sambil membawa sapu dan serokan.
"Silakan, Mbak." Caraka berdiri sejenak, membiarkan bagian bawah kursi disapu. Setelah semuanya dibersihkan, OB tersebut pamit. Kembali membeli ruang untuk mereka berdua berbicara. "Waktu itu lo bilang ke gue, lo udah berhenti konsumsi obat penenang. Sekarang kenapa konsumsi lagi? Lo lagi ada masalah?"
"Gue ditipu sama Tita." Mendengar jawaban itu, tangan Caraka yang masih memegang sendok berhenti di udara. Janitra menurunkan tangan Caraka. "Dia ambil semua duit di online shop, semua modal yang mau gue pake ada di situ, ditambah lagi dia kongkalikong sama penjahit gue. Semuanya udah habis, riwayat gue udah tamat, Ka."
"Lo udah ke rumahnya?"
"Udah, rumahnya kosong, dia nitipin surat ke gue bilang kalau dia lagi butuh biaya buat pengobatan keluarganya. Gimana gue nggak stress? Usaha yang gue bangun bertahun-tahun hilang dalam sekejap. Gimana sama rencana baju yang bakal dipakai Aspire di Welcoming Party? Gue mau pake momen itu buat promosiin katalog terbaru gue."
Caraka melanjutkan menyuapi Janitra. "Nggak masalah, masih dua bulan lagi. Masih punya banyak waktu buat jahit, Tra. Jangan dipermasalahin hal itu."
"Masalahnya modal gue udah nggak ada, gue nggak mau minjam ke nyokap atau bokap. Dari dulu juga gue pantang ngelakuin itu—meskipun mereka pasti bakal meminjamkan ke gue." Caraka tahu sikap Janitra yang satu itu, keras kepalanya dia mengenai uang. Janitra terlalu enggan dicap sebagai anak manja atau membuat susah orangtua sampai tidak sadar kadang dia begitu keras pada dirinya sendiri sejak dini.
"Lo bisa pakai uang gue."
"Nggak."
"Tra, sekali aja lo jangan keras kepala, nggak bisa ya? Kita udah berteman berapa lama, sih? Bukan sehari-dua hari, kan? Atau gue bisa bayar lo buat baju Aspire."
"Tapi kan perjanjiannya gue bakal endorse."
"Kondisinya kan sekarang beda?" suapan terakhir di piring. Janitra melahapnya. Caraka mendekatkan segelas air putih yang juga langsung tandas dalam sekali tegukan. "Kali ini sekali aja terima pertolongan dari gue, nggak ada yang salah kok buat menerima pertolongan orang lain."
"Gue nggak mau punya hutang budi ke orang lain, hutang uang bisa dibayar, kalau hutang budi?"
"Tra, hidup emang gitu, terkadang kita bergantung sama orang lain, terkadang kita harus terima kenyataan kalau kita sebagai manusia nggak bisa terus-terusan kuat. Ada kalanya kita butuh bantuan orang dan itu salah satu hal yang harus diterima." Caraka mengusap lengan Janitra. "Ngomong-ngomong, Anindita ketakutan banget waktu liat lo sakit, dia setakut itu kehilangan lo."
"Serius deh, lo masih percaya sama dia?"
"Tra, isi kepala kita ini nggak semuanya benar. Kadang ada skenario yang kita ciptakan sendiri buat memvalidasi emosi kita. Kenapa ada orang jatuh cinta tapi jadi bego? Karena kepalanya terus menciptakan skenario terbaik, sehingga dia terus melihat sisi positif dari orang yang dia suka meskipun hal yang dilakukan itu salah, tapi kenapa waktu benci bisa benci banget? Karena dia menciptakan skenario dalam kepala kalau orang itu selalu bersikap jahat. Padahal kan, nggak semuanya begitu?"
Janitra menggedikkan bahu.
"Kasih dia kesempatan, Tra."
"Nggak bisa, Ka, gue udah pernah nyoba, tapi tetap nggak bisa. Gue nggak bisa terima kalau nyokap dia penyebab rasa sakitnya nyokap gue."
Untuk kali itu, Caraka tidak bisa menjawab. Perihal menerima rasa sakit setiap orang tidak bisa dipaksa. Ada yang bisa langsung menerima, tapi ada juga yang butuh waktu bertahun-tahun untuk mencapai kalimat ikhlas. Caraka akhirnya terdiam, hanya keheningan yang selanjutnya menjadi latar belakang suasana di antara mereka berdua.
****
"Nia, dari kecil kamu membatasi aku buat ngasih uang ke Anindita, apa salahnya kalau sekarang aku berusaha menebus kesalahan aku?" Baru selesai dari satu permasalahan, Anindita sudah mendengar hal lain lagi yang seharusnya tidak dia dengar. Seperti keluar dari lubang buaya dan masuk ke lubang singa. Anindita masih berada di pintu rumah, belum menginjakkan kaki ke dalam karena mendengar teriakan ayah dan ibu tirinya yang baru saja pulang dari bandara.
"Itu perjanjian yang kamu buat kan, Mas? Keluargaku memberi kamu modal dengan syarat kamu berhenti menafkahi anak wanita sialan itu."
"Tapi dia juga anak aku."
"Anak yang kelahirannya tidak diharapkan. Ingat Mas, kamu itu dijebak, kamu jangan terlalu bodoh."
"Anindita nggak salah apa-apa. Dia nggak pantas jadi kambing hitam."
"Itu buah karma dari kelakuan ibunya."
"Tega kamu, ya?"
"Kamu aja bisa tega dengan aku dan anak aku."
"Aku tega sama kamu dan Janitra? Coba jelaskan di mana letak teganya? Aku selalu ada buat kalian, beda dengan Anindita, aku nggak selalu ada buat dia."
"Kamu sempat menghilang dua tahun!"
"Karena kamu selalu menyalahkan aku dari kesalahan yang nggak aku lakukan! Aku capek terus-terusan disalahin sama kamu, aku udah menjelaskan semua yang benar ke kamu, tapi kamu bilang aku pembohong, pengkhianat, kejam. Kamu bahkan merendahkan harga diri aku di depan keluarga kamu dengan bilang aku nggak ada apa-apanya tanpa kamu!" Ayahnya terdengar begitu murka.
"Lho, memang benar, kan? Ketika kamu bangkrut, siapa yang akhirnya menolong kamu. Ujung-ujungnya aku dan keluargaku juga, kamu justru jatuh waktu sama wanita penggoda itu. Kamu harusnya sadar kalau mereka itu pembawa sial dan cuma hama dalam kehidupan kamu, keinginan mereka hanya harta kamu, menggerogoti kamu diam-diam sampai kamu kering kerontang."
Hati Anindita sudah tidak kuat lagi mendengarnya. Gadis itu memilih untuk langsung ke kampus saja, setidaknya itu jauh lebih baik daripada berdiam diri di dalam rumah yang tidak pernah sepenuhnya hadir untuknya.
****
Caraka.
Dmn?
Nin, dmn?
Perut gue mules obatnya apa, ya?
Baru saja keluar dari kelas, Caraka cepat-cepat mengeluarkan ponsel dan anehnya orang pertama yang dia hubungi bukan grup Aspire seperti biasanya, tapi Anindita. Pesannya tak jua mendapat balasan. Cowok itu menuju ke kantin, ke kelas yang sering Anindita kunjungi. Tak juga dia melihat batang hidung gadis itu berada.
Caraka.
Gw beli pizza nih. Nggak habis kalo sendirian makan.
Mau g?
"Mana sih tuh anak?" Caraka berdecak sambil melirik ponselnya yang tak jua mendapat balasan dari Anindta.
Caraka.
Nin, lagi hidup di dunia mana?
Tak lama ponselnya bergetar. Kurang dari sedetik, tangannya refleks menekan layar. Rupanya bukan dari Anindita, melainkan dari Tante Nia yang mengucapkan terima kasih karena Caraka sudah mengantarkan dan menjaga Janitra selama di rumah sakit. Dia menjawab formalitas, "ya sama-sama, Tante". Lalu dia kembali mencari keberadaan di mana gadis itu berada. Dia berjalan melewati danau Harnus dan matanya menangkap seorang cewek dengan rok berwarna fuchsia, kaos kuning, kemeja biru sedang duduk di pinggiran danau.
Dari kejauhan dia sudah menebak siapa cewek bergaya aneh itu.
Caraka langsung mendekat sambil membawa kotak pizza yang dibelinya di kantin. Gadis itu terduduk di co-working pinggir danau dengan kepala di atas meja bertumpu pada tumpukan buku. Sementara ponselnya masih setia memutar video Youtube berjudul "belajar cepat bahasa Isyarat". Caraka tersenyum membaca video yang ditonton Anindita.
Cowok itu mengeluarkan hoodie dalam tas ranselnya, dia lipat hingga seperti bantal. Perlahan tangannya mengangkat kepala Anindita, menggeser tumpukan buku di dekatnya dan menggantikan dengan hoodie miliknya. Bukannya pergi, cowok itu justru duduk di samping Anindita. Memapah dagunya sambil memerhatikan cewek itu tertidur nyenyak sampai mengorok. "Jelek banget lu kalau tidur," bisiknya sambil terkekeh.
Setelah setengah jam tertidur, Anindita membuka mata dan menemukan seseorang ada di depannya dengan jarak wajah begitu dekat. "Hei, sleepyhead." Gadis itu menarik wajahnya menjauh begitu menyadari seseorang itu adalah Caraka. "Ya ampun, ngomong-ngomong dong kalau muncul, aku kirain siapa!" teriaknya sambil mengusap dada.
"Gimana mau ngomong kalau elo sendiri tidur?"
"Ketiduran." Anindita mencari bukunya dan terkejut melihat yang sejak tadi menjadi bantalannya bukan buku. "Ini punya kamu?"
"Ehm-hm. Emang punya siapa? Jin penjaga danau? Mau tidur juga liat tempat kali, kalau ada yang usilin gimana? Kalau ada maling ambil ponsel lo atau barang-barang lo gampang banget, nggak ada CCTV di sini."
"Mata Tuhan kan ada di mana-mana."
Caraka memutar bola matanya jengkel, lalu dia kembali menyentil kening Anindita sampai gadis itu meringis kesakitan. "Dunia tuh nggak gitu sistem kerjanya, Nin, jangan naif."
"Kamu tuh kebiasaan nyentil kepala aku, biarin aku sumpahin telunjuk kamu menciut."
Perhatian Caraka tertuju pada pakaian Anindita yang masih sama seperti kemarin. "Belum sempat pulang?"
"Ngejar kelas pagi."
"Pantes kayak nyium bau apa gitu dari tadi ... kayak bau terasi yang udah busuk."
"Gini nih mulutnya, nggak ada akhlak." Anindita merutuk sambil mencubit lengan Caraka sampai cowok itu meringis dan mengusap lengannya.
"Udah makan belum?"
Sekotak pizza dibuka dan diletakkan di depan Anindita. Mata gadis itu yang semula sayu kontan saja berubah berbinar. Kalau di kartun, mungkin ada animasi 'cling' tepat di pupil matanya. "Pizza buat siapa?"
"Mau gue kasih ke ikan di danau."
"Jangan dong, mending juga buat aku. Lapar nih, belum makan apa-apa dari pagi." Anindita mengambil sepotong dan melahapnya, memuaskan dahaga cacing-cacing dalam perut yang sudah bernyanyi sejak tadi meminta jatah mereka dipuaskan. "Kak Janitra tadi udah makan?" tanyanya sambil melirik Caraka yang juga sedang menyantap pizza. Cowok itu mengangguk. "Apa Kakak juga tahu kalau Kak Janitra konsumsi obat penenang?"
Caraka mengangguk. "Dia udah lama berhenti sejak dua tahun lalu, tapi dia cerita emang konsumsi lagi karena ada masalah." Cowok itu lantas bercerita masalah Janitra mengenai usahanya yang ditipu oleh sahabat bisnisnya sendiri yang begitu dia percaya dan bagaimana Janitra kehilangan semua modal usahanya.
"Terus gimana?"
"Gimana apaan?"
"Usaha Kak Janitra?"
"Namanya juga usaha, pasti ada naik-turunnya. Dia bakal ngerintis dari awal lagi," ujar Caraka sambil membersihkan tangan setelah pizzanya habis.
"Aku tuh nggak enak tinggal di rumah, kamu tahu kan gimana rasanya tinggal bukan di rumah sendiri? Mau makan aja waswas, aku nggak bisa makan sebanyak kalau aku di kampung, apa-apa serba nggak enak karena paham aku hidup numpang sama orang lain. Aku harus tahu diri."
"Itu kan rumah Om Naladipa, ayah lo, kenapa nggak enak?"
"Koreksi, itu rumah Ayah sama Tante Nia dan Kak Janitra. Aku sama aja kayak orang asing di sana. Kak Janitra aja kerja, masa aku enak-enak kuliah?"
"Lo nggak punya kewajiban buat kerja, Nin, tugas lo cuma ngerjain tugas, kuliah sebaik-baiknya terus lulus tepat waktu."
"Aku nggak enak pakai uang Ayah, tadi pagi aku dengar dia ribut sama Tante Nia. Jadi aku mau cari kerjaan tambahan, biar aku dapat uang saku."
Meskipun orang-orang selalu bilang bahwa orang tua bekerja untuk anaknya, sepertinya itu tidak berlaku untuk Anindita. Kasusnya berbeda. Bisa dikuliahkan saja merupakan sebuah anugerah.
Tiba-tiba Caraka teringat satu hal, mengingat beberapa bulan ke depan jadwal manggung Aspire lumayan padat. Dia juga butuh satu personil tambahan untuk membantunya melakukan beberapa aktivitas. "Sebetulnya gue lagi butuh satu asisten manajer buat Aspire, yah kerjaannya mungkin bantu-bantu ngurusin makanannya anak-anak, beli minuman, bersihin studio, bantuin kerjaan gue. Cuma gue nggak yakin sih itu tugas cocok buat lo." Dia menatap Anindita dengan tatapan meremehkan. "Nggak kompeten."
Anindita mengerucutkan bibir. "Gini nih ciri orang yang nggak bisa melihat sisi positif dari orang lain, kalau cuma urusan gitu aku juga bisa, kali ... dijamin dua ribu persen."
"Oke, gini aja, gue kasih lo waktu selama satu minggu. Kalau selama satu minggu itu kinerja lo oke. Gue dan anak-anak Aspire bakal mempertimbangkan lo buat kerja bareng kita."
"Terima kasih banyaaaaak, aduh kayaknya kamu emang Dewa Penolong yang dikirim buat aku, deh!!" Anindita berkata dengan melodramatis, saking besarnya suara dia sampai orang-orang yang ada di pinggiran danau ikut melirik. Caraka sampai meringis dan memelotot ke Anindita untuk tidak berbuat hal aneh. "Makasih ya, pokoknya selama seminggu ini aku nggak akan ngecewain kamu!" dia berikrar sambil mengepalkan tangan, berorasi dengan berapi-api seolah dia adalah pahlawan yang akan memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Caraka langsung mengambil hoodie-nya lantas berdiri.
"Jadi kapan aku mulai kerja?"
"Semangat banget? Nggak mau urusin Janitra? Tapi gue dengar dia udah balik sih barusan dari rumah sakit."
"Kayak dia mau aja diurusin sama aku."
Cowok itu mengangguk. "Kalau gitu gue tunggu sore ini di studio latihan, jam 5, kelar kuliah, udah harus di sana. Oke?"
Anindita menyengir lebar seperti kuda, lalu dengan semangat dia mengangkat tangannya melakukan posisi hormat lengkap bersama suara yang diberatkan. "Siap, laksanakan, Tuan Raja!"
****
Sore itu, seperti biasanya, diadakan latihan oleh para personil Aspire. Tentu saja yang kali pertama tahu lebih dahulu bahwa yang Anindita akan direkrut menjadi asisten mereka adalah Bas, dia itu informan andal. Dia punya kemampuan selayaknya James Bond untuk mengulik sesuatu, pokoknya pintar sekali dalam memata-mata dan berbicara sampai Caraka heran kenapa dia tidak jadi pengacara saja seperti kakaknya. Tapi Bas bilang, "Capek lah aku sama stereotipe orang-orang yang bilang orang Batak harusnya jadi pengacara, banyak juga orang Batak yang sukses jadi pengusaha.
"Lagakmu, Bas, Bas," celoteh Semesta sambil geleng-geleng kepala.
"Kubilang juga apa, dia memang cocok jadi asisten manajer Aspire, biar ada hiburannya ruangan ini."
"Dia butuh uang tambahan makanya gue kasih kesempatan, tapi tetap aja gue kasih waktu seminggu buat percobaan. Kalau dalam 1 minggu itu dia bikin kesalahan, ya gue harus fair dong."
"Kaku banget, Bang." Tenggara duduk di sebelah Caraka. "Jadi anak magang noh dia?"
"Kalian aja masuk Aspire ngelewatin audisi, Adiv sama Bas juga harus mumpuni jadi teknisi. Masa Anindita nggak gue perlakuin dengan sama? Nepotisme itu namanya."
"Ya anggap aja golden card. Selamat, kamu lolos ke babak selanjutnya. Silakan lewat pintu sana, ya." Kajev menambahkan sambil menyerahkan sebuah kertas berisi chord lirik lagu.
"Kau ada perasaan ya sama dia?" Bas melancong, mengalihkan suasana menjadi lebih serius. "Ya kan, Bang? Radarku ini nggak pernah salah."
"Halah Bas, kamu nyemooh aku kalau pakai bahasa puitis. Coba ngaca, bahasamu itu pakai istilah radar segala." Adiv menceletuk, biasanya Bas yang selalu merundungnya. Kali ini dia membalas.
"Ya ini efek ketularan berteman dengan kau," Bas tetap keras kepala.
"Waktu itu sih ada yang ketahuan sampai pegangan tangan ya, Bas? Padahal yang gue tahu manajer kita ini anti banget sama sentuhan perempuan. Bahkan udah di tahap alergi." Tenggara mencomot pisang goreng di atas meja, tapi belum sempat masuk ke mulutnya, Caraka sudah lebih dulu memukul tangannya.
"Inget, tempo lalu lo makan gorengan, suara lo hilang. Nggak usah coba-coba, dah." Caraka menegur sambil menjauhkan pisang goreng itu dari jangkauan mata Tenggara dan sebagai gantinya dilahap habis masuk ke perut buncit Bas. Tenggara bergantian mencomot bungkusan pocky di tangan Javas. Temannya itu bahkan bisa diangkat menjadi duta Pocky; mengingat hampir setiap hari selalu bertebaran bungkus Pocky di studio. Siapa lagi kalau bukan Rajavas.
"Kau ini kebiasaan mengalihkan topik, coba jawab dulu pertanyaan kita, Bang. Jangan bikin kita penasaran."
"Pertanyaan apa? Itu bukan pertanyaan, tapi tuduhan tanpa dasar. Dah ah, kenapa jadi pada ngurusin gue."
"Ya karena biasanya lo ngurusin kita, sekarang gantian kita ngurusin lo."
"Gue ngurusin kebutuhan kalian, bukan ikut campur sama masalah pribadi," balas Caraka sebal.
Sementara mereka sedang saling beradu mulut, Semesta mengambil foto mereka sampai bunyi flash membuat mereka semua terdiam. Semesta tersenyum lebar melihat bidikannya. Caraka sedang mangap, Biru yang menggaruk kepala, Bas sedang menggaruk rambut kribonya, Tenggara dan Rajavas sedang berebutan pocky, serta Kajev yang tersenyum dan satu-satunya orang sadar kamera. Reijiro yang ada di belakang Semesta langsung tertawa ngakak melihat hasilnya.
"Kurang ajar kau, ambil foto diam-diam, coba liat. Aku harus tampan, ya."
"Bas, sumpah lo kayak monyet nyari kutu," komentar Reijiro.
Bas beranjak, buru-buru merebut ponsel Semesta. Sayangnya tubuh cowok itu terlampau tinggi. Di kala mereka sedang heboh mengobrol, terdengar bunyi pintu dibuka seseorang diikuti kemunculan seorang gadis dengan napas ngos-ngosan dan kening penuh bulir keringat. Caraka melirik jam tangannya. "Telat 15 menit 10 detik."
"Maaf, tadi aku ketinggalan bus, karena nunggunya kelamaan jadi aku naik sepeda kampus. Maaf semuanya kalau aku terlambat."
Anindita terlihat bersalah. "Tapi janji ini kesalahan terakhir, besok-besok aku nggak akan bikin kesalahan."
"Nggak usah janji kalau nggak bisa ditepati." Caraka geleng-geleng kepala.
Anindita ingin duduk.
"Emang siapa yang nyuruh duduk? Tolong beliin anak-anak minum, ini kami kehausan karena nunggu lo datang."
Anindita melongok sambil melihat uang yang diserahkan Caraka di atas meja. Padahal dia baru datang dengan kondisi kelelahan. Dia menatap Caraka kesal, tapi seperti ada malaikat berbisik di kepalanya kalau dia harus pintar cari muka karena dia membutuhkan pekerjaan sebagai uang tambahan. "Oke, mau minum apa?"
"Air mineral dingin 10, sama snack. Terserah snack apa."
Gadis itu mengambil uangnya lalu mengangguk. "Oke." Dia berbalik lagi.
Biru melongok melihatnya. "Apa nggak berlebihan, Bang? Kalau dia pingsan gimana?"
"Jarak dari sini ke supermarket nggak jauh, cuma beberapa meter," jawab Caraka enteng.
"Ya tapi dia kan baru balik dari Fakultas Ekonomi, jarak dari fakultas ke sini tuh lumayan."
"It's okay, Bas. Dia nggak selemah itu."
A/N:
Yey gimana nih sama part ini?
Spam "next di sini yuk!"
Sampai jumpa di part berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro