Chapter 13
Sepanjang perjalanan pulang, Anindita terlihat senang. Persis seperti anak kecil yang baru saja diberi mainan yang telah diidam-idamkannya sepanjang hari. Caraka menoleh. "Happy banget, sih, bagi-bagi dong," ujarnya.
"Senang kan cuma permainan pikiran, kalau mikirnya sedih-sedih terus ya kamu bakal sedih, tapi kalau yang di kepala kamu penuh hal menyenangkan, kamu pasti bakalan senang," jawab Anindita.
"Tapi ada juga kok orang yang senangnya pura-pura tapi dalamnya kosong. Banyak Nin yang begitu, itu seni yang harus dimiliki seseorang kalau dewasa. Terlihat bahagia padahal dalamnya penuh kesedihan."
"Kasihan, deh."
"Kenapa kasihan?"
"Kata Ibu ketika kita menyimpan kesedihan itu sama aja mengantungi sebuah batu. Makin banyak hal sedih, semakin banyak batu dalam kantongnya. Kayak kamu, batu dalam kantong kamu pasti udah kepenuhan, kan? Sini bagi ke aku."
"Lo tuh kalau ngomong penuh analogi, ya?"
"Bukan aku, sih, tapi Ibu. Cita-cita Ibu kan dari dulu mau jadi pendongeng, dia pengin jadi penulis buku dongeng, sayangnya nasibnya nggak beruntung. Dia terjebak jadi nelayan seumur hidupnya." Anindita tersenyum getir. "Tuh, kan, dialihin lagi. Kamu tuh jagonya kalau mengalihkan percakapan. Ok deh kalau gitu aku mau tanya tentang kamu sama Janitra, kamu berteman sama dia lama banget, ya?"
"Dari SD sampai SMA satu sekolah, sekarang kuliah juga satu universitas."
"Kok ngekor terus—jangan-jangan kamu suka, ya, sama Kak Janitra?"
"Tadi lumayan pinter, ini kok udah ngaco lagi?"
"Aku tahu trik cowok-cowok kalau salting, mengalihkan pembicaraan."
"Nggak ada, tuh."
"Emang kalau suka sama teman sendiri, serba bingung, ya? Mau dinyatain takutnya dia nggak suka malah menjauh, tapi kalau nggak dinyatain, suka sesak sendiri. Apalagi kalau liat dia dekat sama yang lain." Anindita malah curcol.
"Curhat nih? Pengalaman pribadi?"
"Enggak."
"Kayak gini trik cewek-cewek kalau lagi curhat, bilangnya 'nggak, itu cerita teman gue' padahal mah perasaan sendiri. Udah jujur aja." Cowok berambut gondrong itu lagi-lagi mengalihkan pembicaraan. "Ya kan?"
"Kan lagi cerita Kak Janitra, kok tiba-tiba jadi cerita tentang aku, sih."
"Nggak apa-apa, gue pengin tahu tentang lo."
"Nggak penting kali."
"Kata siapa nggak penting? Penting tuh buat gue."
Anindita terdiam mendengar itu, bentar, dia sedang tidak salah dengar kan?
"Jadi, mantan lo ada berapa?"
"Satu, itu pun waktu aku SMA."
"Hmm gimana orangnya?"
"Ganteng," jawab Anindita singkat. "Dia badboy di sekolah."
"Ooh, lo tuh masuk ke komunitas cewek pecinta cowok-cowok nakal, ya? Dasar anak SMA," ejek Caraka, "terus berapa lama pacarannya?"
"Cuma tiga hari."
Meledaklah tawa Caraka. "Pacaran kok tiga hari, kayak pacaran anak TK aja."
"Tuh kan, diketawain. Malas deh aku cerita."
"Iya—iya sori, habis aneh aja gitu. Baru dengar ada orang pacaran cuma tiga hari. Terus putusnya kenapa?"
"Dia bilang aku cewek aneh. Katanya aku cewek yang berisik, dia bilang kalau dia nggak tertarik ngobrol sama aku yang selalu cerita ke dia tentang dongeng Ibu. Dia minta aku berubah, aku putusin deh. Aku bilang ke dia," Anindita mengubah intonasi suaranya, mengulangi ucapannya waktu itu, "Aku lebih memilih buat kehilangan kamu daripada kehilangan jati diriku sendiri. Aku bilang gitu. Terus udah deh, kami putus. Sekarang giliran kamu, kamu punya mantan berapa?"
Bukannya menjawab, Caraka justru membesarkan volume musik di mobilnya. Membiarkan alunan suara The Beatles mengalun menjadi musik pengiring di tengah hiruk pikuk ibukota.
"Tuh kan giliran aku yang nanya, kamu nggak mau jawab. Nggak adil."
Bukannya tidak mau menjawab, hanya saja Caraka terlalu malu untuk bilang kalau dia belum pernah berpacaran seumur hidupnya. Dia terlalu sibuk mengurus Ratih, mengurus sekolah, belum lagi masalah di rumah.
Caraka bernyanyi untuk mengalihkan perhatian Anindita, sampai akhirnya dering musik digantikan suara panggilan. Nama Bi Yuli muncul di layer ponselnya. Dia mengecilkan volume dan memasang headset. "Halo, Bi? Dia ada di rumah? Ok, saya ke sana sekarang, Bi." Sambungan terputus, Caraka menginjak pedal gas mobilnya lebih dalam untuk menaikkan kecepatan. Jarum speedometer bergerak cepat ke kiri.
Anindita menoleh. "Kenapa? Kok ngebut banget? Ada apaan?"
Satu jawaban pendek dari bibir Caraka membuat Anindita seketika memelotot terkejut. "Janitra pingsan di kamarnya."
****
Begitu mobil Caraka tiba, cowok itu langsung ke kamar Anindita. Mengangkat gadis itu menuju ke mobilnya. "Maaf banget kalau telepon Kak Caraka, Bapak sama Ibu juga lagi ada urusan di luar kota sama Pak Supri ... cuma ada Bibi di sini. Tadi Bibi kaget liat mulut Kak Janitra tiba-tiba keluar busa."
"Nggak apa, Bibi jaga rumah aja, Nin lo ikut gue." Anin akhirnya duduk di kursi belakang, memapah kepala Janitra yang terkulai lemas di atas pahanya. Mata gadis itu akhirnya terbuka perlahan, lalu dia mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Napasnya terdengar pendek-pendek seperti seseorang yang sedang sakaratul maut.
"Plis lebih cepat lagi." Anindita berteriak pada Caraka.
Caraka mengendalikan mobilnya dengan terburu-buru sampai nyaris saja menabrak sebuah motor yang tiba-tiba malang melintang memotong jalurnya. Tubuh Anindita terdorong, buru-buru dia menahan kepala Janitra, memastikan kakaknya itu baik-baik saja. Setelah setengah jam bergulat dengan jalan raya, mobil akhirnya sampai di rumah sakit. Sebuah bangkar menyambut mereka, Janitra segera dibawa ke IGD. Caraka melihat Anindita, wajah gadis itu memucat. "Dia nggak bakal kenapa-napa, kan?" tanyanya panik.
Lalu tiba-tiba dia menangis. Gadis itu terduduk di kursi ruang tunggu sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Punggungnya naik-turun, terdengar isakan pelan dari bibirnya. Caraka duduk di sebelah Anindita. "Nggak apa-apa, dia udah ditangani sama dokter." Caraka tidak mengerti, padahal Janitra tidak pernah menerimanya, Janitra membencinya.
Janitra bahkan akan melakukan berbagai cara untuk merusak kehidupannya, tapi kenapa gadis itu sedemikian takut kehilangan Janitra? Sementara Janitra sendiri tidak pernah menganggapnya sebagai seorang adik. Bagi Janitra, Anindita tak pelak hanyalah seorang hama yang menghancurkan keluarganya.
Tangan Caraka ragu-ragu mengusap punggung Anin.
Anindita menarik tangannya. "Kalau dia sampai kenapa-napa, itu semua karena aku. Aku yang udah bikin Kak Janitra sehancur ini. Harusnya aku jangan egois, mungkin harusnya aku emang tetap di kampung aja. Kehadiran aku di sini itu pasti bikin Kak Janitra makin sakit hati."
Anindita menangis hebat sampai tangannya gemetar dan wajahnya memucat. Caraka tidak bisa menahan diri, dia akhirnya mendekat, lengannya mendekap Anindita. Membiarkan gadis itu menangis dalam dadanya. Seolah pelukannya tercipta untuk menampung air mata Anindita. Dia mengusap rambut Anindita, perlahan.
Kali pertama seorang wanita menangis dalam pelukannya selain Ratih. Rasanya aneh, tapi Caraka merasa tenang. Dia tenang karena Anindita menangis di hadapannya, bukan di hadapan seseorang yang nanti akan mengolok-olok sisi kerapuhannya lalu mengungkit, menceritakan ke setiap orang bahwa Anindita pernah menangis.
****
Setelah memeriksa kondisi Janitra dan melakukan serangkaian anamnesis dengan Anindita dan Caraka sebagai saksi mata. Dokter mendiagnosis Janitra mengalami overdosis. Mendengar itu tentu saja Anindita kian ditikam perasaan bersalah.
Janitra sudah dipindahkan dari UGD ke ruang rawat inap. Caraka juga sudah pulang satu jam yang lalu karena chat dari Ratih memintanya segera pulang. Alhasil tersisa Anindita sendirian dalam ruangan. Anindita mengeluarkan ponsel, menunjukkan sesuatu di layarnya pada Janitra yang setia memejamkan mata. "Aku mau cerita ke Kakak, Kakak pasti belum kenal banget kan sama aku? Aneh nggak sih, kita kakak-adik tapi nggak tahu cerita satu sama lain. Hmm, kalau tentang Kakak, aku sih udah tahu. Ayah sering nyeritain Kakak ke aku katanya Kakak tuh pintar banget. Ayah juga cerita, Kakak tuh anak mandiri, nggak pernah nyusahin orangtua, makanya Ayah bangga sama Kakak. Menurut Kakak, Ayah bangga nggak ya sama aku?"
Tidak ada jawaban. Hanya suara detak jam yang menyahut.
"Ayah juga cerita kalau Kakak sering ranking satu, pernah menang lomba menggambar waktu TK, Kakak bahkan sering ikut olimpiade kan? Aku sering ceritain tentang Kakak ke teman-temanku, tapi tahu nggak respon mereka apa?"
Anindita mendengus, kesal mengingat betapa menyebalkan teman-temannya di kampung. "Mereka bilang katanya aku tuh pembohong, sampai akhirnya Ayah pergi dari rumah, aku nggak pernah lagi ketemu sama Ayah. Mulai hari itu, semuanya nggak sama lagi, aku kayak bangun di mimpi buruk. Para nelayan di kampung pada genit sama Ibu, mereka goda-godain Ibu. Aku nggak suka. Makanya aku suka nemenin Ibu kalau lagi di perahu, aku takut Ibu digangguin karena nggak ada lagi Ayah yang jagain."
Mata Anindita mulai berkaca-kaca.
"Dan sejak kepergian Ayah, Ibu selalu bilang, kita nggak boleh bergantung lagi sama Ayah. Aku jadi terbiasa hidup mandiri. Aku nggak boleh manja, karena kalau ada yang nakalin aku, nggak ada yang bisa belain aku. Aku juga nggak mau bikin Ibu sedih, soalnya Ibu udah capek kerja. Aku nggak mau nambahin beban Ibu." Anindita menggeser layar ponselnya, menunjukkan potret dirinya berusia 9 tahun. "Kakak ingat nggak, Ayah pernah ajak aku pertama kali ketemu Kakak itu waktu aku usia 9 tahun. Di situ aku diajak ke kamar Kakak, aku liat semua mainan Kakak, tapi Kakak marah."
Gadis itu tertawa geli. "Sebenarnya aku marah ke Ayah, aku ngerasa Ayah nggak adil, Ayah kan ayah aku juga tapi kenapa aku nggak bisa punya banyak mainan kayak punya Kakak? Aku lihat di kamar Kakak banyak boneka, mainan masak-masakan, ukurannya besar, sedangkan aku? Aku cuma punya 1 boneka hasil sulaman tangan Ibu. Padahal kan aku pengin juga. Waktu pulang ke kampung, aku nangis ke Ibu. Ibu peluk aku, Ibu ngenalin aku sama buku bekas dan semakin sering dongengin aku, supaya aku nggak merasa bosan dan sedih di rumah."
"Jadi miskin itu nggak enak, Kak, aku sama Ibu sering diremehin sama orang. Makanya aku bertekad harus kuliah, aku mau bisa jadi anak yang banggain Ayah sama Ibu. Aku mau Ibu nggak usah capek kerja kayak sekarang. Aku pengin dapat kerjaan yang bagus biar aku sama Ibu nggak usah diremehin lagi." Air mata Anindita kembali bergulir ke pipinya. "Tapi aku mikir lagi, kalau memang keinginan aku buat kuliah justru menyakiti Kakak Janitra, apa itu sepadan sama rasa sakitnya?"
Anindita mengusap air mata di pipinya. Gadis itu lantas memutuskan untuk salat dan berdoa kepada Tuhan agar mengangkat penyakit kakaknya; dia mendoakan seseorang yang justru berharap kehadirannya tiada.
—-
A/N:
So farrr, gimana ceritanya? Komen dong pendapat kalian!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro