Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11

“Ta, lo gila ya? Lo yang ngasih kontak penjahit itu ke gue, nggak salah dong kalau gue follow up ke elo. Gue rugi besar, Ta. Puluhan juta! Ini dia ngerjain semuanya asal jadi sedangkan gue udah pesan dalam jumlah banyak.”

Baru saja pulang kuliah, Janitra ingin membuka laptopnya untuk menyelesaikan proposal skripsi. Tahu-tahu dia mendapat kabar buruk dari rekan kerjanya, Tita, yang memberitahu bahwa penjahit baru tempat mereka membuat pesanan tidak ada kabar. Kantornya kosong berikut peralatannya.

“Gue nggak mau tahu, lo urusin deh tuh penjahit. Masalahnya ini ada baju yang mau dipake sama anak Aspire buat acara Welcoming Party, Ta. Ini momentum bagus sekaligus perilisan model varsity terbaru. Dan semuanya berantakan, gue harus bilang apa ke Caraka?”

Anindita ada di ruang tengah sementara Janitra di samping. Jarak mereka cukup jauh, tapi tidak sejauh itu juga hingga Anindita bisa mendengar obrolan kakaknya itu. Telinganya menangkap informasi sementara matanya pura-pura berfokus pada buku di depannya. Tumben sekali Janitra ada di rumah, biasanya kakaknya itu hanya ada pagi hari, lalu pulang dan biasanya baru akan kembali ketika Anindita sudah tertidur lelap di kamarnya.

Anindita setia memandangi ekspresi Janitra. Janitra memijat keningnya. Terlihat sekali dia pusing luar biasa. Seandainya Anindita bisa membantu, mungkin dia akan mendekat. Tetapi kehadirannya pasti akan mengundang kemarahan Janitra kian bertambah. Jadi Anindita hanya bisa mengintip ekspresi kakaknya itu dari kejauhan.

Anindita mengambil ponsel, mengirim chat ke Caraka. Mengirimkan foto sebuah buku berjudul Ekonomi Pembangunan yang kemarin dia pinjam dari Caraka. Kebetulan dosennya menyuruh untuk membeli buku tersebut dan harganya sangat mahal. Untungnya Anindita menemukannya di mobil Caraka, sudah tidak lagi terpakai tapi lupa diturunkan. Baru saja dia membuka buku, ponselnya bergetar. Rupanya Whatsapp dari Caraka.

Caraka

Buku dari gue itu dibaca, bukan jadi pajangan.

 “Suudzon aja nih orang, hatinya jelek banget,” bisik Anindita jengkel.
Lalu dia memotret pemandangan di depannya untuk dikirim ke Caraka via Whatsapp.

Anindita

*Sends a photo*

Bentar lagi mau aku blender sih, habis itu aku jadiin bubur buat sarapan besok.

Siapa tau ilmunya pada nempel.


Caraka

Coba aja. Yang ada elo ikutan gue jadiin bubur ayam.

Itu buku nggak gue kasih, lo pinjem.

Sobek sedikit denda 50 juta.


Anindita

Wong edan!

Setan juga minder kali sama kelakuan kamu huu durjana.

Sementara Caraka di seberang sana, posisinya masih tetap dalam studio. Di hadapan kotak pizza yang telah kosong, dan berganti sebuket ayam serta botol-botol aqua yang sisa setengah.

Anindita

Oya km dmn? Di rumah kan?


Caraka

*send a photo*

Masih nemenin anak-anak latihan di studio.

Anindita

Bapak yang baik, tp adik kamu tuh jgn dilupain.

Kasian Ratih sendirian.

Km udah makan?


Caraka

Belum. Sebentar lagi baru nyari mangsa.

Nunggu bulan ketutup awan 😊

Anindita

Mana ada siluman yang punya asam lambung?


Caraka

Seinget gue sih gue blm prnah bilang ya

kalo gue punya asam lambung. Tau drmn?

Anindita

He, jgn bilang2 aku sebetulnya peri dr kayangan

cuma terjebak di bumi karena selendangku dicuri waktu lg mandi.


Caraka

Kasian bgt udah capek2 nyuri dapetnya malah peri yg kayak gini,

gue rasa malingnya langsung tobat nasuha sih.

Anindita

Mulutmu ya tak semanis wajahmu


Caraka

Oh jd gue manis? Thanks.

Serius deh balik lg ke topik, tau gue asam lambung drmn?

Anindita

Tiap kali sarapan kamu sendawa sambil pegang2 perut.

Teh Yati udah nggak pernah bikin kamu kopi lg kan kalo pagi2?


Caraka

Bentar, knp jd kesannya lo istri yg lagi ngatur gue ya?

Anindita

Mboh, mit amit, kalau suaminya kayak kamu mending aku jomblo seumur hidup 😊

C

araka

Ucapan adalah doa, lo tahu ga julukan gue itu sipahit lidah.
 

Anindita

Hmmm untungnya ini diketik bukan diucapin,

udah ah aku mau belajar lg.


Caraka tersenyum sejak tadi lalu mengetik, “Oke semangat belajarnya,” tapi segera dia hapus dan berakhir tidak membalas lagi pesan dari Anindita. Lagipula itu sudah melanggar batas seorang Caraka. Dia tidak pernah semanis itu dengan perempuan, kecuali Ratih.

Dia segera mengubah menjadi mode serius; membuka e-mail band Aspire, menyeleksi pesan yang masuk di kotak masuk. Ada beberapa brand menawarkan endorsement, sekolah yang menanyakan rate-card, band mengajak kolab. Dia membalasnya satu per satu karena setiap harinya selalu ada pesan yang masuk, dia takut justru semuanya akan menumpuk.

      
****

Sejak kecil jiwa wirausaha Janitra memang sudah ada bibitnya. Padahal dia tidak kekurangan sama sekali, hanya saja Janitra ingin menantang diri. Perjalanannya berkecimpung menjadi wirausahawan berawal ketika duduk di bangku kelas 6 SD. Waktu itu dia sedang berlibur dengan orangtuanya ke Korea Selatan dan melihat banyak sekali masker lucu beraneka rupa terutama motif hewan, dia berpikir menjual ke teman-temannya. Jadi dia membuka jastip. Ternyata ada banyak yang membeli. Jualan masker itu berjalan selama setahun, keuntungannya dia belikan I-phone dan kamera.

Kemudian ketika SMP dia berjualan stiker anti robek, desainnya dia cari di Pinterest. Bisa digunakan di tas, ponsel, atau pun laptop. Stikernya juga laku keras. Dia bahkan memberdayakan sistem reseller ke sekolah lain. Berawal dari jualan stiker dia bahkan bisa membeli Macbook. Barulah ketika duduk di bangku SMA, Janitra mulai tertarik dengan clothing line. Dia menjalani riset dengan menghampiri distro-distro, ketika sudah menemukan pola pasarnya, dia coba-coba menjual secara organik. Awalnya melalui Caraka dan menamakan clothing line dengan merk D’eye. Sinonim dari nama panggilannya Nitra, yang berarti penglihatan.

Dia memaksa Caraka memakainya. Caraka dulu adalah ketua OSIS di sekolah, tiap kali pulang sekolah, Janitra akan menyuruh Caraka berganti seragamnya dengan kaos. Rupanya perilaku tersebut menarik perhatian teman-temannya untuk ikut membeli. Lalu dia menjadikan Caraka sebagai model pakaiannya yang selanjutnya menjadi katalog yang dia posting di Instagram. Foto tersebut viral, terbantu dengan wajah tampan Caraka. Followers yang awalnya hanya 20, mendadak naik jadi 400. Kebanyakan perempuan.

Melihat potensi itu, Janitra mengeluarkan jenis baru model Unisex; yang tidak hanya dipakai laki-laki, tetapi juga perempuan. Janitra selalu mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Untuk permulaan, lebih baik menaikkan harga produksi dan menjual dengan harga yang tidak terlalu mahal. Fokus utamanya adalah menyebarkan awareness dan menarik pembeli agar loyal dengan brand-nya. Rupanya strategi tersebut berhasil. Banyak orang me-review secara positif kualitas bajunya karena jenis bahan yang dia pakai memang berkualitas bagus, tidak mudah buluk, dan luntur.

Pelanggan loyal berdatangan, Janitra mulai merambah ke toko online dan keuntungan diputar dengan meng-endorse para selebgram. Instagram yang awalnya hanya 1000 naik drastis menjadi puluhan ribu. Waktu itu dia kelas 3 SMA sedang sibuk Ujian Nasional, dia pun mencari partner yang dapat membantunya mengelola. Dia bertemu Tita, yang kebetulan menjadi partner resellernya ketika berjualan stiker waktu SMP. Bisa dibilang Tita adalah seorang visioner, networking-nya luas, dia juga punya jiwa marketing yang seolah mandarah daging. Bersama dengan Tita, clothing line miliknya semakin luas.

Tita membujuk Janitra merambah ke bazaar. Mulai dari situ D’eye menjadi dikenal banyak orang. Tita memiliki peran sangat penting terhadap keberlanjutan D’eye, tentu saja Janitra sangat percaya dengannya. Tapi pagi itu, Janitra terbangun dengan jantung berdetak cepat. Dia baru saja membuka akun online shop miliknya untuk mengecek pesanan yang masuk, alangkah terkejutnya begitu melihat saldo yang mengendap dalam akun itu lenyap. Nominalnya juga tidak sedikit, hampir 600 juta. Dia melihat notifikasi, dana tersebut dicairkan ke akun bank milik Tita.

Janitra langsung menelpon Tita. Tidak aktif. Akun Instagram, seluruh sosmednya menghilang. “Nggak, nggak, nggak,” Janitra merasakan tangannya gemetaran, kakinya terasa lemas, dunianya runtuh detik itu juga.

Tidak mungkin seorang Tita menipunya, kan? Seorang partner yang begitu dia percaya tidak mungkin melakukan hal sejahat itu, tapi siapa yang bisa menebak hati manusia?

Gadis itu menyambar jaketnya, tidak mengindahkan Anindita yang sedang sarapan. “Pagi, Ka—Kak, mau ke mana?” Anindita memanggilnya untuk sarapan. Janitra lari ke mobil. Dia langsung mengarah menuju ke kontrakan Tita. Tita adalah anak perantauan sejak SMP, hanya di waktu libur saja dia akan pulang ke kampungnya di Lombok.

“Tapi dia menitipkan pesan ini, Kak,” Ibu Kos memberikan sebuah amplop. Dia membukanya dengan ganas sampai surat itu hampir robek.

Tra, gue minta maaf nggak bisa lanjutin D’eye. Gue harus balik ke Lombok, nyokap gue sakit, Tra. Gue butuh dana. Semoga lo bisa ngerti keadaan gue.

 
“Brengsek, bangsat lo ya, Tita!” Janitra menendang kotak sampah di depan kamar Tita.

“Aduh, Mbak, jangan tendang-tendang dong! Saya kan cuma menyampaikan pesan, nggak tahu apa-apa.”

Janitra masuk ke mobilnya. Dia mencengkeram kemudi sampai buku jemarinya memutih. Amarah menguasainya sampai ke ubun-ubun. Saking marahnya sampai dia gemetaran. Gadis berambut panjang itu mengambil tasnya, berusaha mengubek-ubek sesuatu di sana; dia butuh obatnya.

****

T

idak seperti biasanya Ratih belum duduk di kursi sarapan. Biasanya dia akan duduk di kursi meja makan, menemani Teh Yati yang memasak. Alhasil Caraka berjalan menuju ke kamar adiknya itu. Terdengar suara berisik dari luar. Dia mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Caraka menekan knop hingga daun pintu terkuak. Adiknya itu rupanya mengenakan headphone dan sedang berbicara dengan seseorang dari kamera Macbook-nya. Wajah Arsenio muncul di sana.

“Hari ini aku mau siap-siap sekolah.”

“Semangat ya belajarnya, semoga ujian kamu lancar.”

“Kamu sudah makan?” Arsenio menggerakkan tangan.

“Belum, sebentar lagi.”

Keduanya tidak sadar kalau Caraka sudah ada di sana, Caraka berdeham dengan keras sampai menyadarkan Ratih. Gadis itu terburu-buru menutup Macbook dan melepas headphone.

“Abang ngapain di situ?”

“Ngeliatin kamu.”

“Nggak ngetuk dulu?”

“Udah, cuma kamu nggak buka.” Caraka mengusap rambut Ratih. “Ya udah yuk sarapan bareng, Teteh udah masak.”
Caraka merangkul adik perempuan satu-satunya itu menuju meja makan. Keduanya duduk di kursi makan, menunggu Teh Yati menyajikan sarapan.

Ponsel Caraka bergetar. Nama Anindita muncul di layarnya.

Anindita

Sumpah aku mules bgt.


Caraka

Apa maksud?

Mules kok chat gue?
 

Anindita

Aku hr ini ada presentasi sm Pak Tio.

Dia gmn sih orangnya?


Caraka

Hati2. Kalo ga bagus, lo bisa ditelen.

Anindita

Ish, bukannya disemangatin malah ditakutin.


Caraka

Kalo mau nyari semangat mah jgn chat gue

gue ngasih tau fakta

bukan kebohongan penuh retorika

 
Anindita

Jadi manusia kok ga ada manisnya.

Caraka

Hm kayaknya beberapa hari lalu ada yg bilang gue manis.

Anindita

Itu Anindita edisi carmuk
 

Caraka

Emg sekarang Anindita edisi apa?

Anindita

Anindita edisi deg-degan mau presentasi.


Caraka

Y udh, kalo mau presentasi ya belajar. Jgn chat gue.

Anindita

Ya udh mau belajar lg. bye!
     

“Abang … lagi kirim pesan ke siapa? Senyum-senyum gitu?” Ratih rupanya melihat Caraka sejak tadi.

“Ooh nggak, bukan siapa-siapa.”

“Kak Anindita?”

“Teh, susu punya Ratih mana?” Caraka mengalihkan percakapan. Tidak ingin Ratih bertanya lebih lanjut mengenai Anindita.

****

Kalau dihitung dengan skala persentase, maka tingkat keberhasilan Anindita dalam presentasi hanya 50 persen. Dia tidak bisa menjawab beberapa pertanyan dari Pak Tio. Padahal sebenarnya dia sudah mempersiapkan dengan baik, tapi namanya juga sedang grogi, tiba-tiba saja dia blank. Padahal otaknya sudah merencanakan apa yang akan dia ucapkan. Alhasil sepulang dari kampus, dia duduk di danau Harnus. Ingin relaksasi, mungkin otaknya kurang oksigen. Tahu-tahu sosok yang ingin dihindarinya muncul. Selain Janitra, sosok itu tentu saja Caraka Mahawira.

Anindita tahu, apa yang akan ditanyakan Caraka.
“Gimana tadi presentasinya, lancar?” Tuh baru saja ditebak, rupanya akurat seratus persen. Sepertinya Anindita punya bakat jadi penerawang pikiran.

Sementara bagi Caraka, mudah sekali untuk membaca ekspresi Anindita, gadis itu terlalu jujur dengan perasaannya sehingga dia bisa langsung menyimpulkan.
“Pasti nggak bisa, kan?”

“Betul. Seratus!” Anindita bertepuk tangan.

“Gimana sih? Kok nggak bisa? Nggak belajar, ya?”

“Tauk tuh si Anindita payah banget! Emang nggak banget deh si Anin-Anin itu.” Bukannya sedih, dia justru merutuki dirinya sendiri yang membuat Caraka terdiam lalu geleng-geleng kepala.

“Gimana sih kok malah ikutan marah?”

“Aku marahin duluan biar energi kamu disimpan aja, kan habis ini kamu masih punya banyak agenda sebagai manajer Aspire yang super sibuk.”

“Habis ini ada agenda ke mana?”

“Nggak ada, kenapa? Mau ajak aku makan, ya? Aduh kebetulan, aku laper banget.” Anindita sudah pede lebih dahulu.
Caraka mengangguk.
“Boleh minta tolong?”

“Tolong apa?”

“Minta bantu ngerjain sesuatu.”

“Ya tapi apa?”

“Mau atau nggak?”

“Ok boleh, deh!”
Anindita bersemangat.

 “Tunggu di sini, gue ambil mobil dulu.”

Lima menit kemudian Caraka muncul dengan mobil sedan Civic-nya. Anindita duduk. Kendaraan melaju dan akhirnya berhenti di studio latihan Aspire. Gadis itu langsung menolehkan pandangan menatap Caraka dengan arti “mau-ngapain-di sini?” tapi dia tetap membuntuti Caraka yang turun dari kendaraan. Lalu keduanya berjalan masuk.

Ruangan studio terasa dingin, Anindita mendongak, pantas saja dingin. Ada empat AC menyala di sisi kiri dan kanan. “Jadi, Anindita, kenalin ini Bas. Teknisi Aspire, hari ini dia buat kehebohan di studio karena bawa anak bibinya ke studio.”

“—terpaksa bawa karena Nan Tulangku sedang ada pesta.” Bas mengoreksi, lalu pandangannya beralih ke Anindita.
“Kita ketemu lagi rupanya, Dik.”

“Jadi?” Anindita masih belum mengerti arah pembicaraan. Padahal dia sudah berekspektasi dihadapkan dengan makanan-makanan enak.

“Jadi, tolong bantu urus dia ya selama kami semua lagi latihan.”

Sepertinya Anindita tidak pernah belajar dari pengalaman, ya, percaya dengan Caraka saja itu sudah termasuk ke dalam golongan orang-orang musyrik.

A/N: Hei raaa, nggak nyangka udah chapter 11 aja nih, makasih ya udah setia ikutin ceritanya. Kalau suka silakan bantu promosi!

Komen dong sejauh ini gimana ceritanya?

Spam “next” ya biar rameeee!

Sampai jumpa di part berikutnya <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro