Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

Sebelum baca jangan lupa vote dan komen setiap bagiannya yaaa, ayo ramein part ini <3

Selamat membaca!

****

Aspire's Group.

Bas.

Bas send a photo.

Coba lihat dulu, Bah! Aku ketemu siapa.

Adiv.

Bentar. Bang Caraka gandeng cewek?!

Katanya mau temenin adik urang nge-date,

kok malah maneh yang nge-date?

Kajev

@carakamahawira mana nih orangnya, tag dulu biar muncul.

Tenggara.

Iri lo, Jev?

Kajev.

Kampret.

Biru.

Keliatan banget desperate lo semua. Cari cewek, gih.

Bas.

Kampret (2)

Caraka.

Adik kelas jahanam lo ya, Bas.

Ketemu kakak kelas tuh disamperin.

Bukan nyebarin aib.

Dmn lo?

Bas.

Mohon maaf, Tulang.

Adikmu ini sudah dalam perjalanan pulang.

Kita bertemu lain kali, ya.

Reijiro.

Jadi siapa tuh cewek, Bang?

Adiv.

Lalu dia pun menghilang tanpa jawaban,

seperti sosok bidadari fatamorgana.

Bas.

Pengen berak gue baca kalimat lo, Div.

Caraka geleng-geleng kepala sewaktu membaca chat di grupnya. Baru saja beberapa saat dia terfokus dengan ponselnya dan tidak memegang tangan Anindita. Ketika dia mendongak, gadis itu sudah menghilang. Caraka berdecak sebal. "Ini gue bawa anak manusia apa anak monyet, sih," gerutunya. Lalu dia berpencar dan menemukan gadis itu tahu-tahu sudah mengantri Playtopia di antara para ibu-ibu dan para suster yang menggendong anak.

Caraka mendekat. "Mau ngapain?"

"Mahal banget, nggak bisa kurang apa, Mbak?" Anindita rupanya sedang melakukan adegan tawar-menawar. Caraka meringis, dikiranya ini di pasar jual - beli ikan kali, ya?

"Iya udah deh, makasih Mbak." Raut wajah Anindita yang semula berbinar, seketika berubah kecewa. Matanya berkaca-kaca seolah dia kehilangan harapan untuk melakukan sesuatu yang begitu dia suka. Caraka mengernyit bingung.

"Kenapa? Kok nggak jadi?"

"Kemahalan."

Melihat raut wajah Anindita yang terlihat sedih, Caraka tersentuh juga. Dia mengajak gadis itu berbalik menemui penjual tiket. "Tiketnya 2 ya, Mbak, untuk 1 jam," katanya sambil mengeluarkan kartu kredit lalu membayar tiketnya. Mata Anindita terbelalak begitu Caraka membelikan tiket untuknya sehingga mereka diperbolehkan masuk.

"Kenapa dibeliin? Mahal banget itu."

"Anggap aja ucapan makasih karena lo udah nasihatin gue."

"Nanti uang kamu habis?"

Duh, Gusti, nih cewek polos banget sih. Caraka mencubit pipi Anindita. "Kalau habis ya dicari lagi. Ya udah main, gih."

"Makasih, ya!" Anindita terlihat kegirangan. Dia langsung berlari ke dalam, dia naik perosotan.

Seorang Ibu-Ibu melihat Caraka dengan ekspresi bingung. Caraka langsung menjawab. "Adik saya, Bu, aslinya masih 10 tahun. Badannya aja yang besar," kelakarnya dan ibu-ibu itu mengangguk.

Caraka berdecak, menyadari kebodohannya karena memperbolehkan Anindita main Playtopia. Matanya berkelindan mencari di mana bocah jadi-jadian itu berada. Rupanya dia sedang bermain dengan sekumpulan balita, meluncur di perosotan, berteriak kegirangan, melompat di trampolin hingga akhirnya jatuh ke dalam lautan bola-bola. "Beneran kayak anak monyet ternyata," bisiknya sambil geleng-geleng kepala.

Anindita asyik bermain hingga keningnya berkeringat, dengan napas terengah-engah, dia menghampiri Caraka sambil menyerahkan ponsel bututnya. "Tolong fotoin aku, dong?"

Tangan Caraka meraih ponsel Anindita, menghidupkan fitur kamera, tetapi kameranya terlalu butut untuk menangkap gambar. Ibarat kata, orang sudah melaju mengikuti zaman, Anindita seperti tejebak dalam suatu tahun yang tidak bergerak.

"Pakai HP gue aja, nanti gue kirim via Whatsapp." Caraka mengeluarkan ponsel, mengabadikan potret Anindita dalam beberapa kali jepretan. Gadis itu bergaya sambil melebarkan tangan.

"Udah?"

"Hm."

"Pegang HP aku dulu, ya, aku masih mau main. Kamu ikut aku, dong." Anindita menarik pergelangan tangan Caraka. "Fotoin aku lagi." Gadis itu menyejajarkan posisinya di tengah, di antara anak-anak kecil berusia lima tahun yang sedang bermain peran sedang berjualan kue. "Bagus?"

Jempol Caraka terangkat. "Permisi Abang, aku mau beli kue dong."

"Pesan belapa?"

"Satu aja."

"Pakai loti, nggak?" seorang anak cowok yang giginya ompong terlihat senang sekali di dekat Anindita. Caraka bergegas mengangkat ponsel, tidak ada yang menyuruhnya, tapi dia mengabadikan kembali Anindita dengan senyum ceria. Kalau bisa diberi kemampuan, Caraka ingin rasanya sekali diberi kesempatan hidup dalam kepala Anindita. Dia penasaran, bagaimana sudut pandang gadis itu ketika melihat dunia. Kenapa hidupnya seolah selalu penuh tawa dan warna?

****

Setelah satu jam bermain, Anindita akhirnya keluar dari bilik permainan. Raut wajahnya berbinar seperti kunang-kunang di tengah kegelapan hutan malam. Gadis itu mengulurkan tangan. "Ponsel aku?"

"Oh ya." Caraka memberikan ponsel Anindita. "Tolong kirimin foto-fotonya yang tadi, aku mau kirim ke Ibu."

Caraka bergegas mengirim semuanya. "Ih kamu juga fotoin aku diam-diam?"

"Foto candid namanya, Nin."

"Iya. Tapi bagus juga, kamu berbakat jadi fotografer."

"Makasih."

Anindita mengirim salah satu foto ke Ibunya.

Salah satu mimpi aku tercapai, Bu. Bisa main di perosotan bola-bola yang besar hehehe. Kalau Ibu ke Jakarta, aku ajak main ke malnya. Besar banget, Buuuu!! Kayak rumah Kingkong.

Ibu.

Alhamdulillah, senangnya lihat Anak Ibu senyum lebar gitu.

Aamiin ... semoga Ibu bisa ke Jakarta, ya.

Caraka melirik Anin yang memasukkan ponselnya ke saku. "Kenapa tiba-tiba sedih, gitu?"

"Kepikiran Ibu, kalau Ibu di sini pasti senang banget. Ternyata enak ya jadi orang kaya, bisa jalan-jalan ke mana-mana. Di kampungku, mereka suka bilang katanya nggak apa miskin yang penting hatinya tenang. Padahal dengan jadi orang kaya hatinya juga bisa tenang, apalagi kalau bisa ke mana-mana." Anin melirik Caraka. "Makasih ya, kamu udah bikin harapan Anin yang waktu itu masih usia 8 tahun akhirnya tercapai."

"Harapan kamu emang apa?"

"Hm ... tapi jangan ketawa."

"Tergantung. Kalau aneh, gue ketawain."

Anindita mendengus, lalu menggerakkan jarinya. "Harapan aku mau nyobain banyak makanan enak!"

"Harapan apa yang kayak gitu?" kalimat Anindita terdengar seperti guyon, "harapan itu ya, Nin, misalnya pengin rumah besar yang ada kolam renang, pengin jadi pengusaha hebat. Itu harapan."

"Kata Ibu, harapan itu nggak harus besar. Sederhana juga nggak masalah, yang terpenting kan bisa jadi alasan seseorang bersemangat untuk bangun setiap paginya, supaya dia nggak kayak seseorang yang terombang-ambing di lautan tanpa pelampung.

Kalau kamu? Harapan kamu apa?"

Bicara tentang harapan, Caraka ingat waktu dia kecil, Bunda pernah bertanya padanya. Apa harapan Caraka? Dia bilang harapannya ingin jadi kucing saja. Lalu ibunya tertawa dan bilang kalau itu bukan harapan. Caraka kecil terlihat bingung, tapi Bunda mengusap kepalanya. "Nggak apa-apa, nggak harus ketemu sekarang, seiring berjalannya waktu nanti Caraka bakal ketemu harapan itu yang kayak gimana."

"Ada deh." Caraka menjepit hidung Anindita sampai gadis itu meringis.

"Kamu tuh sehari aja nggak nyiksa aku, nggak bisa, ya?"

"Dasar lemah!"

"Eh jangan salah, meskipun badan aku kecil, gini-gini ada tenaga besar di dalamnya. Aku di kampung suka ikut narik kail sama jala, lho!"

"Mana mungkin."

"Nggak percaya? Masa kecil aku tuh banyak dihabisin di perahu, aku suka ikut Ibu, tapi kayaknya lama-lama Ibu kasian ngeliat aku karena suka liat aku ketiduran."

"Hah-bisa gitu tidur di atas perahu? Di tengah ombak? Di tengah ikan-ikan? Dasar pelor banget."

"Hehe iya juga, sih, kok bisa ya?" Anindita geleng-geleng kepala, "aroma ikan tuh kayak parfum buatku, udah kebal. Habis itu karena Ibu kasihan, akhirnya waktu SMP aku disuruh kerja sama Pak Aga. Pemilik toko kelontong dekat rumahku. Aku jadi kasir di sana karena aku pintar berhitung, tapi gara-gara itu, aku jadi disiplin. Pengeluaranku tuh tersusun rapi di sini." Anindita mengeluarkan sebuah notes kecil dari tas jinjingnya. "Dari kecil aku udah diajarin sama Ibu buat nabung, terus aku dapat ilmu dari Pak Aga, yang punya toko kelontong gimana caranya manajemen uang."

"Kalau nabung, uangnya buat beli apa? Kenapa nggak buat ganti HP lo yang butut?" sindir Caraka.

"Buat beli buku."

Tentu saja Caraka tidak percaya, cowok itu menatap Anindita dengan alis terangkat. "Masa? Gue bakal lebih percaya lo suka main layangan daripada baca buku."

"Tuh kan orang kalau selalu memandang fisik tuh gini. Gini-gini aku tuh sumber informasi di kampung, lho. Miskin boleh, tapi otak nggak boleh kosong, kan? Biasanya tiap libur, Ibu nemenin aku ke pasar ... ada toko buku bekas langganan Ibu. Ibu juga suka baca, bedanya Ibu suka baca dongeng. Aku udah pernah cerita kan, ke kamu, kalau ibuku itu pendongeng yang andal?" jawab Anindita dengan penuh kebanggaan.

Kini, Caraka bisa menyimpulkan kepingan jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Salah satu alasan mengapa Anindita selalu ceria karena gadis itu sudah menerima takdirnya, dia tidak pernah mempermasalahkan sesuatu yang berada di luar kendali dirinya sendiri. Gadis itu tidak peduli dengan pandangan orang lain, dia selalu menikmati setiap momen kecil nan berharga dalam dirinya, dia paham bahwa masa lalu buruk tidak dapat diubah. Tetapi dia masih memiliki harapan mengubah masa depannya menjadi lebih baik.

"Eh itu Ratih udah dateng! Kok dia malah yang nyusul kita? Bentar, dia bawa cowoknya."

"Temannya," Caraka meralat.

"Sensi banget kalau dengar kata 'cowoknya'."

Arsenio menghampiri Caraka lalu dia mengucapkan sesuatu dengan bahasa isyarat. "Halo, perkenalkan saya Arsenio, kata Ratih dia ke sini dengan kakak laki-lakinya jadi saya menyapa Kakak. Terima kasih ya sudah mengizinkan Ratih bermain dengan saya." Caraka terkejut, lalu melirik Ratih.

Dari balik punggung Arsenio, Ratih mengungkapkan. "Dia juga bisu seperti aku. Bedanya dia tuli."

"Sama-sama, terima kasih juga sudah menjaga adik saya." Caraka membalas.

"Saya izin pulang dulu, Kak."

"Apa mau diantar bareng?"

"Nggak perlu, saya ke sini membawa motor. Hati-hati di jalan." Lalu Arsenio tersenyum lebar pada Ratih dan pergi meninggalkan mereka bertiga.

Anindita melirik Ratih yang pipinya bersemu merah. "Cieeee..." godanya.

"Dia baik sama kamu?" Caraka langsung bertanya dan memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki, memastikan adiknya baik-baik saja.

"Iya. Dia membelikan aku ini." Tangan Ratih mengangkat sebuah gelang. "Katanya gelang persahabatan."

"Kayaknya beneran aku harus belajar bahasa Isyarat lagi nih, biar aku nggak jadi kambing congek di antara kalian. Aku kan juga mau ikutan ngobrol!" Ratih tertawa lalu merangkul tangan Anindita erat, bersikap manja, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan bersama Caraka.


****

Caraka mengantarkan Anindita pulang hingga larut malam. Mereka terjebak macet berjam-jam sampai Ratih sudah tertidur pulas di kursi belakang, sementara Anindita masih tetap membuka mata. "Tidur aja kali kalau ngantuk."

"Aku temenin kamu, kata Ibu kalau lagi nemenin orang di mobil nggak boleh tidur, nggak sopan. Soalnya kamu kan bukan supir aku."

Anindita selalu mengucapkan "Kata Ibu", Caraka iri dengan itu. Dia juga ingin kalau mengobrol kemudian di sela obrolan melemparkan kutipan yang dia peroleh dari nasihat ibunya. Kata Ibu terdengar begitu akrab, itu berarti mereka menghabiskan waktu bersama sebelum tidur, sambil mengusap-usap kepala, berbagi petuah kehidupan serta pengalaman hidup. "Lo dekat banget ya sama Ibu?"

"Ehm-hm. Ibu aku tuh serba bisa, dia nggak pernah membayar penuh untuk beli sesuatu. Tangannya terlatih untuk menciptakan apa pun, pokoknya selalu ada solusi dari permasalahan. Waktu ikan-ikan lagi sedikit, Ibu mutar otak gimana caranya supaya dapat uang untuk bayar uang sekolah, akhirnya Ibu memanjat pohon kelapa untuk bikin sapu dari sabut. Waktu aku TK, ada perpisahan di mana anak-anaknya pakai baju muslim karena Ibu nggak ada uang akhirnya Ibu jahitin aku baju sendiri digunting dari baju-baju Ibu. Bahkan waktu aku bilang ke Ibu, aku pengin banget makan ayam Mekdi, Ibu langsung gorengin aku ayam krispi besoknya. Ibu selalu mengusahakan apa pun buat aku, Ibu bilang dia nggak mau liat aku minder. Ibu mau aku tumbuh jadi anak yang kuat meskipun kami nggak punya apa-apa."

Manusia memang bisa hidup dengan beragam macam karakter dalam kepala manusia, ketika mendengar cerita Janitra, Caraka membayangkan sosok Ibu Anindita adalah seorang manusia tidak punya hati. Tapi ketika mendengar langsung dari Anindita, dia membayangkan sosoknya sebagai seorang wanita berhati kuat. Ternyata manusia memang bisa hidup dengan berbagai karakter dari satu kepala manusia.

Mungkin Caraka juga begitu, seseorang yang bertemu Caraka di kala dia sedang badmood akan mengira dia cowok yang tidak sopan, tapi sebaliknya, seseorang yang bertemu Caraka di kala hati cowok itu sedang bahagia, pasti akan mengira dia orang paling ramah sedunia.

"Ibu lo itu katanya suka dongeng, biasanya dongeng apa?" tanya Caraka. Ternyata ada gunanya juga mengobrol dengan Anindita, dia jadi terdistraksi dari rasa lelah dan sebal karena terjebak di lalu lintas yang tidak bergerak.

"Ada satu dongeng dari Ibu yang aku suka, ceritanya tentang kisah seekor semut malang dan gajah. Mau aku ceritain?"

"I'am all ears."

Lalu, bergulirlah sebuah cerita dari bibir Anindita. "Jadi pada suatu hari di tengah hutan hiduplah seekor semut hitam yang malang, tubuhnya paling kecil di antara saudara lainnya, kalau lagi berjalan-jalan mencari makanan, dia pasti tertinggal di belakang. Semut yang lain nggak pernah mau menunggunya, sampai suatu hari sekelompok semut ingin berpetualang katanya persediaan makan sudah habis. Mereka harus pergi ke sebuah tempat Bernama Istana Gula. Di sana ada banyak makanan tersedia.

Caraka menoleh, dia melirik Anindita. Melihat ekspresi gadis itu bercerita dengan ekspresif, tangan bergerak-gerak, mata yang berbinar. "Terus?"

"Semut malang ini akhirnya ikut, selama perjalanan dia dicemooh. Yang lainnya bahkan bilang semut malang akan mati bahkan sebelum akhirnya mereka sampai. Mereka bilang semut malang hanyalah beban dalam kelompok, hingga akhirnya mereka meninggalkan semut malang yang berjalan pelan. Dia ditinggalkan oleh rombongan, hingga akhirnya dia bertemu dengan sekelompok gajah. Sambil bersembunyi, semut malang mendengarkan obrolan gajah-gajah itu. Rupanya mereka juga akan pergi ke Istana Gula karena tidak hanya ada permen manis di sana, tapi juga banyak persediaan air."

Cerita semakin seru. Caraka seolah terhipnotis dengan cerita Anindita. "Habis itu?"

"Ketika gajah tidur, semut malang diam-diam menyelinap ... dia naik ke punggung salah satu gajah. Keesokan paginya gajah bangun, mereka berangkat. Selama perjalanan dia hanya duduk diam, menikmati pemandangan dari atas punggung gajah, rupanya dunia terlihat menawan dari atas. Biasanya dia hanya bisa melihat dunia dari bawah. Semut yang malang akhirnya berhasil sampai di Istana Gula tanpa kelelahan, dia memang malang, tapi otaknya cerdik. Kecerdikannya berhasil membuatnya sampai di tujuan."

"Gue akui, Ibu lo memang pendongeng yang andal."

"Ya kan? Makanya aku suka banget sama dongeng-dongeng Ibu."

Begitu bercerita hal itu, tidak ada lagi suara yang terdengar. Caraka menoleh, menemukan gadis itu sudah memejamkan mata. Cowok itu menutup katup pendingin mobil yang semula terarah langsung ke wajah Anindita. Semata agar gadis itu bisa tidur dengan nyaman tanpa merasa kedinginan.

--

A/N:

Terima kasih banyak buat antusias teman-teman, silakan bantu disebarkan ceritanya kalau suka.

Mari spam jari metal Ala Caraka Mahawira dan sampai jumpa di part berikutnya!

Ciao.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro