Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Circumpolar 4

~Seperti seberkas cahaya yang dapat bercerita tentang massa blackhole hingga temperatur piringan gas yang jatuh ke permukaannya. Sama sepertiku, mungkin saja bisa bercerita tentang apa yang terjadi, tapi tak akan ada yang benar-benar memahami semuanya~

***

Katanya sebuah kehilangan memicu kehilangan yang lain. Terlalu banyak kisah yang menceritakan mengenai kehilangan yang tak berujung, membuat gadis yang sedang duduk di ayunan yang terletak di balkonnya dipenuhi kecemasan. Katanya, seseorang yang belum begitu terpuruk karena kehilangan masih sangat berpotensi mengalami kehilangan yang bisa saja jauh lebih menyakitkan. Lalu seperti apa parameter yang digunakan untuk menunjukkan seseorang terpuruk akan sebuah kehilangan? Adakah indikator tetap akan hal itu? Bukankah semua itu hanya berdasar pada sudut pandang? Bukankah tentang bagaimana seseorang menyikapinya? Tak peduli sebesar apa kehilangan yang ia alami dan bukankah Apollo 13 mengalami kehilangan terbesar dalam perjalanan mereka? Tidakkah itu dikatakan keterpurukan? Tidak hanya ketiga awak dalam misi Apollo 13 yang kehilangan bulan, tetapi juga warga di seluruh dunia. Misi tersebut gagal membawa Jim Lovell, Fred Haise, dan Jack Swigert mendarat di bulan, tapi apa ketiganya dan semua yang ada di mission control Houston menyerah? Bukankah mereka berhasil membawa ketiganya kembali ke bumi dengan selamat? Lalu di mana letak 'kehilangan tak berujung' itu? Sebutan tersebut tak akan pernah ada selama seseorang mau untuk bangkit, tidak ada salahnya untuk mencoba lagi setelah sempat kehilangan. Atau mungkin mereka yang kehilangan dan terpuruk adalah mereka yang kehilangan sesuatu yang sebenarnya tak pernah mereka miliki?

Gadis berambut cokelat itu bangkit seraya mengeratkan jaket yang ia kenakan karena udara malam kota Bandung yang cukup dingin. Kakinya melangkah mendekati pagar balkon, kedua tangannya yang putih menyentuh pagar besi yang dingin seraya menghirup udara malam dengan mata terpejam. Anak rambutnya yang tertiup angin bersamaan dengan kelopak matanya yang terbuka membuatnya langsung menatap kamar yang berada tepat di seberang kamarnya. Lampunya sudah padam, sepertinya pemilik kamar tersebut sudah terlelap mengingat malam yang semakin larut. Netra abu-abunya menatap langit sejenak sebelum memilih untuk meninggalkan balkon. Kaki jenjangnya ia langkahkan menuju kasur queen size di tengah kamar setelah berhasil menutup pintu balkonnya. Tangannya bergerak meraih ponselnya yang terletak di nakas.

"Ya Tuhan, tumben notif grup ini jebol," keluhnya.

Gemi yang begitu berminat dengan lomba itu segera menghubungi sang partner lomba, Gagah.

Klung....

Gadis pemilik netra abu-abu itu meletakkan ponselnya saat suara wanita yang ia cintai memanggil namanya. Kakinya ia langkahkan mendekati pintu kamarnya seraya mencepol rambutnya. Matanya memejam saat wangi dari dapur merasuki indra penciumannya.

"Mama, masak apa? Wangi banget," tanyanya mempercepat langkahnya menuruni anak tangga.

"Semua makanan kesukaanmu. Ayo makan dulu, tadi siang kamu nggak makan." Senyum kecut terbit menghiasi wajah cantik gadis yang sekarang menarik salah satu kursi di meja makan. Netranya menatap deretan makanan kesukaannya yang tersaji di atas meja makan memanggil selera makannya yang tadi siang sempat terbang entah ke mana. Tangan mungilnya bergerak membalik piring yang berada tepat di depannya.

"Gemi," Panggilan itu sukses membekukan pergerakan tangan gadis tadi.

"Gemi lupa kalo masih ada PR, Mah. Gemi naik dulu," pamitnya segera meninggalkan meja makan.

"Gemi, Papa mau ngomong dulu." Seakan tuli, gadis itu terus melangkahkan kakinya dengan raut yang tak lagi sama saat ia menuruni tangga yang sama.

***

"Gah, gak bisa gitu dong!" protes gadis yang sekarang berdiri di hadapan cowok yang sedang memainkan basket itu. karena yang diajak bicara masih sibuk dengan bola jingganya, Gemi berusaha merebut bola itu, memang tak mudah tapi bukan Gemi jika ia tak berhasil merebutnya. Namun, sedetik kemudian gadis itu melempar bolanya kesal saat cowok yang berusaha ia dapatkan perhatiannya itu memilih meninggalkan lapangan basket. Langkahnya yang cukup cepat membuat gadis yang rambutnya tertiup angin itu kesulitan mengejarnya.

"Gah, lu nggak bisa gitu dong!" teriaknya sekali lagi dan kali ini berhasil membuat lelaki yang tadi berjalan di depannya berbalik.

"Terus mau lu apa? Gue udah kasi solusi ya dan dia mau-mau aja."

"Tapi gue nggak mau!" bentak Gemi membuat lelaki bernama Gagah itu mengembuskan napas kesal dan kembali berbalik untuk melanjutkan langkahnya. Gemi yang geram mau tak mau harus terus mengekor. Langkah Gagah yang berbelok ke kelasnya tak membuat gadis tadi berhenti, ia tak peduli dengan tatapan penghuni kelas itu.

"Nih, gue pikir itu cukup." ujar Gagah seraya menyodorkan dua lembar uang dua ratus ribuan, membuat gadis pemilik netra abu-abu itu mengerutkan dahinya tak percaya.

"Ambil! Buat bayarin uang pendaftaran Nanda."

"Ini bukan perkara duit, Gah!" seru gadis tadi dan membuatnya menjadi pusat perhatian di kelas itu.

"Gue nggak mau ikut dan lu nggak berhak paksa gue. Nih," cecarnya masih menyodorkan uang dua lembar tadi. Gemi yang semakin geram tapi tak ingin membuat keributan di kelas orang lain memilih meraih uang tersebut dengan kasar dan meninggalkan kelas itu. Langkahnya yang cepat dengan raut yang tak bersahabat membuat perjalanannya menuju kelas menjadi lebih mudah karena orang-orang segera menghindar. Tangannya segera mengemas barang-barangnya dan memilih meninggalkan kelas sesegera mungkin. Ia benci penolakan yang tiba-tiba. Ia tak pernah menyukai seseorang yang tak bisa konsisten pada pendiriannya sendiri.

"Gagah emang bego!" seru Gemi seraya melemparkan dua lembar uang seratus ribuan tadi ke dashboard. Deru napasnya semakin cepat. Bayangkan saja, tadi malam mereka sudah sepakat dan sekarang dengan keputusan sepihak Gagah menyuruhnya untuk bersama seseorang yang tak pernah ia sukai dalam bekerja sama apalagi perlombaan yang tak bisa dikatakan kecil.

"Eh, anjir celananya dia!" pekiknya seraya menepuk jidat. Tangannya segera meraih plastik kuning yang ada di kursi belakang dan segera berlari menuju sebuah kelas yang tidak terlalu jauh dari parkiran.

"Nata udah pulang, belum?" tanyanya dengan napas yang tak teratur.

"Masih, sebentar saya panggil dulu," jawab gadis yang rambutnya dikepang dua itu. Gemi memilih menatap taman yang ada di depan kelas itu, mengingatkannya pada sesuatu hingga berhasil menerbitkan senyum di wajahnya setelah kejadian yang sempat menguras emosinya tadi.

"Kak?" Panggilan itu membuat Gemi berbalik.

"Ah, ini celana lu. Makasih," katanya seraya menyodorkan plastik berwarna kuning yang sedari tadi berada di pegangannya.

"Sama-sama," sahutnya dengan senyum yang mulai mengembang di wajahnya memperlihatkan lesung pipinya walau tak begitu jelas.

"Oke gue duluan," pamitnya dan segera melangkahkan kakinya meninggalkan kelas cowok bernama Nata tadi. Tangannya bergerak merogoh ponsel yang ada di saku roknya. Jari-jarinya bergerak lihai di atas layar ponsel merahnya tersebut sebelum mendekatkannya ke telinga.

"Halo, Ndah. Lu pulang sama gue?" tanyanya saat suara sambungan sudah tergantikan oleh suara halus milik sahabatnya itu.

"Oh oke, gue duluan ya. Hati-hati baliknya," ucapnya sebelum tubuhnya menabrak sesuatu hingga membuatnya menghantam tanah.

"Eh, Curut!" Ledekan itu membuat Gemi segera bangkit dan menatap tajam cowok yang masih tertawa di hadapannya.

"Diem ingus unta!" serunya dan memilih meninggalkan Vega yang kini mengerutkan dahinya.

"Heh lambe dijaga, Mbak." kata Vega setengah berteriak tanpa mengingat ucapannya sendiri.

Di tempat yang tak jauh dari kejadian tadi, sepasang mata menyaksikan kejadian tadi dengan tatapan sendu. Maniknya seakan menjelaskan ada yang terluka di dalam sana. Namun, ia berterima kasih pada Tuhan yang sudah membuatnya bisa mengenal gadis tadi, gadis yang menurutnya berbeda. Lelaki dengan manik hazel ini mengulum bibirnya saat gadisnya berlari menuju parkiran, membuat anak rambutnya yang tak terikat tertiup angin dan membuatnya semakin menarik.

"Lu liatin apa?" suara itu membuat Nata memutar bola matanya malas dan memilih berbalik menuju kelasnya.

"Nat, lu mau jenguk Mama lu gak? Gue ikut," pinta gadis berambut pirang itu yang tetap mengikuti Nata.

"Nggak."

"Nat, lu mau cobain salad buah buatan gue, nggak? Enak loh," tawar gadis itu tak ada hentinya dan Nata hanya meresponnya dengan gelengan.

"Ih, lu napa si? Lu kesel liat cewek aneh itu sama Vega?" nada sinis sangat terdengar jelas dari ucapan gadis berambut pirang tersebut.

"Diem! Dia bukan cewek aneh, dan lu keluar dari kelas gue!" bentak pemilik manik hazel itu.

***

Netra abu-abunya menatap punggung sahabatnya yang semakin menjauh dari mobilnya. Gemi merapikan ikatan rambutnya yang tadi sempat diacak-acak sahabatnya itu karena bercanda, wajahnya pun terlihat sedikit berantakan hingga ia memutuskan untuk merapikan riasannya dulu. Setelah dirasa cukup gadis yang rambut cokelatnya dikucir kuda ini meraih ransel biru di kursi belakang dan membukanya. Wajahnya mendadak pucat pasi saat sesuatu tak ada di dalam ransel biru kesayangannya itu. Tubuhnya ia condongkan ke belakang untuk mencari benda yang tak ia temukan di ranselnya. Bibir bawahnya ia gigit cukup keras hingga terlihat lebih merah.

"Perasaan udah gue beresin dua hari lalu, gak mungkin ketinggalan. Ih, mana sih," ujarnya yang semakin geram karena tak berhasil menemukan sesuatu yang ia cari. Mulai lelah mencondongkan tubuhnya, ia memilih keluar dan mencarinya melalui pintu belakang mobil. Ia yakin barang yang ia cari pasti ada di mobilnya karena ia masih ingat saat memasukkannya tadi pagi.

"Nah ini, masukin aja lah," ucapnya lega saat sebuah buku dengan sampul cokelat tertangkap oleh sudut matanya dan memilih memasukkannya pada ransel. Kakinya segera ia langkahkan seraya menyampirkan ranselnya di bahu kanan. Suasana sekolah yang masih pagi membuatnya tak perlu terburu-buru menuju kelasnya. Sebuah pesan masuk membuatnya berhenti sejenak. Sebelah alisnya terangkat saat mengartikan deret huruf yang berjejer rapi di layar ponselnya.

"Heh, lu!" sebuah tangan tiba-tiba menariknya hingga memaksa Gemi segera berbalik agar tidak terhuyung.

***

Hai hai

Kritik

Saran

Komen

Vote

Jangan lupa ya

😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro