Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Circumpolar 3

~Langit dan bumi adalah saksi bisu apa yang semesta rangkai untuk setiap insannya~

***

Gemuruh tepuk tangan semakin kencang saat pengumuman pemenang defile akan dibacakan. Masih dengan posisi berdiri, barisan yang tadinya rapi menjadi berdesakan. Gadis pemilik netra abu-abu itu tampak tak terlalu peduli dengan hal itu. Ia memilih mundur dan menunduk sambil memainkan abu yang berada di pijakannya. Baginya, butir halus itu menjadi lebih menarik sekarang, ia tak pernah menyukai suasana seperti ini. Ia memutar bola matanya malas melihat temannya yang sibuk merapal mantra berharap kelas mereka menang.

Ia mendengkus saat teman sekelasnya mendadak mencibir kelas sebelah yang menyabet juara pertama. Helaan napas kesal kembali terdengar dari gadis yang rambutnya dikucir kuda itu. Ia sudah lelah dengan sikap teman sekelasnya yang kurang menghargai prestasi orang lain. Namun, tak perlu waktu lama wajah mencibir itu berganti menjadi wajah penuh binar. Pemilik manik abu-abu itu hanya menatap datar segelintir orang yang memakai atribut sepertinya. Ya, kelasnya menang sebagai harapan satu lomba defile. Berbeda dengan yang lain, ia nampak tak menikmati perolehannya itu. Pandangannya beralih pada langit membuat maniknya sedikit menyipit hingga ia memilih untuk kembali mengalihkan pandangannya.

Senyumnya mengembang saat netranya berhasil menangkap sosok pemilik manik hitam sempurna yang sedang tertawa, walau bukan karenanya. Ia benar-benar sudah tenggelam dalam gelapnya manik hitam sempurna itu. Mata itu yang pernah membuatnya kesal tapi entah sejak kapan ia mulai menyukai pemilik netra itu. Bahkan, baru kali ini ia menemukan iris hitam sesempurna itu, tidak seperti yang biasa ia temukan, hitam tapi terlihat cokelat. Gadis berambut cokelat itu mengulum bibirnya saat sang hitam mengunyah permen karetnya sambil tersenyum. Pandangannya segera ia tundukkan saat baru sadar kerumunan mulai bubar dan pemilik manik hitam itu berlalu tepat di hadapannya. Bahkan ia merasakan darahnya berdesir saat suara tawa itu terdengar begitu dekat. Gemi menggigit bibir bawahnya menahan senyum saat maniknya menangkap punggung cowok tadi yang mulai menjauh. Senyumnya pun tak dapat ia tahan hingga ia terpaksa berjalan dengan pandangan menunduk.

"Eh, anjir mata lu di mana?" Suara yang tidak asing lagi bagi Gemi membuatnya mendongak dengan wajah geram.

"Lu kok nyolot si? Lagian lu juga udah liat ada orang jalan masih aja ditabrak. Bego," ujar Gemi masih tak mau kalah.

"Ah udah males gue, ujung-ujungnya juga gue yang kalah," gerutu cowok tadi membuat Gemi tersenyum miring.

"Eh gue barusan ngefoto sesuatu yang kocak. Hahaha." lanjutnya dengan senyum mengejek.

"Emang lu ngefoto apa?" tanya pemilik manik abu-abu itu melirik sinis lawan bicaranya.

"Ketiak lu yang item," goda cowok itu sebelum berlari menghindari Gemi yang hendak mencubitnya tanpa rasa kemanusiaan.

"Vega siniin kameranya!" teriak Gemi yang berusaha mengejar cowok yang ia panggil Vega itu tapi nampaknya adik kelasnya itu tak berniat untuk berhenti. Tentu saja gadis itu tidak akan menyerah begitu saja.

"Udah gue capek," keluh cowok bernama Vega itu seiring langkanya yang kian melambat dan tentu saja dimanfaatkan oleh Gemi.

Braaak....

"Aw," ringis Gemi membuat langkah Vega berhenti.

"Maaf, Kak." sesal seseorang yang baru saja menabrak Gemi membuat gadis itu mendongak dan mengerutkan keningnya merasa tak asing dengan wajah lelaki yang sekarang mengulurkan tangannya itu.

"Makanya kalo jalan itu liat-liat," cibir Vega yang memaksa Gemi segera bangkit dan membuat cowok tadi menarik uluran tangannya. Gadis pemilik netra abu-abu yang masih geram pada adik kelasnya itu malah menghampiri Vega dan mencubit pinggangnya tanpa ampun.

"Eh anjir udah, itu yang nabrak lu masih di sana," alibi Vega berhasil membuat Gemi menghentikan cubitannya dan berbalik.

"Maaf tadi gue nggak liat lu," cicit Gemi dan tanpa sengaja membaca nametag cowok tadi.

"Lu Nata, ya? Besok celananya gue kembaliin."

"Iya, Kak. Sekali lagi saya minta maaf," ujarnya dan segera berlalu setelah gadis tadi mengangguk seraya tersenyum. Ringisan kembali terdengar dari bibir mungil gadis itu dan membuatnya menoleh, mendapati Vega yang sedang membersihkan darah yang entah sejak kapan menetes dari sikunya.

"Ngapain si?" ketus Gemi merasa rishi.

"Ya bersiin luka lu, curut!" balas Vega yang tak pernah mau kalah.

"Ah, udah gue mau nyari Gamma dulu!" ketus Gemi seraya menarik tangannya.

"Bawel! Lu mau foto sama dia, kan? Udah entar gue bantu fotoin, ini luka bersiin dulu. Mana mau Gamma foto sama orang yang sangat menyedihkan." Vega menarik lengan gadis yang sekarang malah mengerucutkan bibirnya itu. Ringisan beberapa kali terdengar dari bibir gadis berambut cokelat yang sikunya sedang dibersihkan di tengah lapangan dan di bawah terik matahari.

"Lu nggak berniat ngobatin di tempat yang lebih teduh dikit gitu?"

"Udah kelar. Ayo kalo mau cari Gamma!" ajak Vega.

Gemi melirik sikunya yang sekarang sudah tidak ada darah yang menetes dan memilih mengekor cowok yang ada di depannya. Langkahnya begitu lambat, sangat kontras dengan detak jantungnya. Tangan mungil gadis ini menarik seragam cowok di depannya hingga membuat Vega menoleh sekilas dan berdecak. Karena tak kunjung berhenti, gadis bernetra abu-abu itu kembali menarik ujung seragam Vega.

"Apa si?" keluh Vega.

"Gue udah cantik, belum?" tanya Gemi dengan senyum manisnya membuat Vega memutar bola matanya malas dan kembali melanjutkan langkahnya. Gadis itu menghentikan langkahnya sesaat setelah cowok di depannya berhenti.

"Lu kok cemberut si? Udah sana panggil orangnya."

"Lu, sih. Kok, gue? Panggilin!" rengek gadis yang sedang merapikan anak rambut miliknya.

Gadis berambut cokelat itu menarik napas dalam saat adik kelasnya itu melangkah menuju salah satu kelas 12. Ia menggigit bibir bawahnya seraya menatap langit yang dihiasi mega sehingga membuatnya lebih indah, ia berharap dengan begitu detak jantungnya bisa kembali normal. Namun, sebuah panggilan malah semakin membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia menelan salivanya bersamaan dengan tubuhnya yang ia putar. Gadis ini menahan napasnya saat maniknya menangkap Vega yang berdiri bersama pemilik manik hitam yang sedang mengunyah permen karet. Gemi yang masih mematung di tempatnya membuat Vega mendekat dan menarik lengannya dengan kasar.

"Hai," sapa pemilik manik hitam yang sekarang berada di samping Gemi. Gadis itu berharap bisa segera menetralisasi detak jantungnya yang semakin menjadi.

"Hai juga, Kak." sahut Gemi setengah kikuk. Vega sebisa mungkin mengambil gambar dengan baik.

"Makasih, Kak. Duluan," pamit pemilik netra abu-abu itu setelah berperang dengan jantungnya selama beberapa menit demi mendapatkan foto berdua dengan kakak kelasnya itu.

"Eh tunggu, itu siku lu kenapa?" tanya Gamma dengan telunjuk menunjuk siku gadis yang baru saja berbalik.

"Oh, tadi jatuh. Makasih, Kak." pamitnya sekali lagi.

"Lain kali hati-hati," pesan Gamma yang sukses membuat gadis tadi mengulum bibirnya menahan senyum. Rasanya kupu-kupu sedang beterbangan di perut gadis itu. Gamma menatap punggung gadis itu yang semakin jauh diikuti seorang cowok yang membantu gadis tadi mengambil foto.

"Kayaknya semua akan berjalan lancar," kalimat itu membuat Gamma mengangkat sebelah sudut bibirnya.

***

Indah menyipitkan matanya seakan menelanjangi gadis yang sedang mengemudi dengan tatapannya. Bagaimana hal itu tidak menarik, pasalnya gadis pemilik netra abu-abu itu enggan menghapus gurat bahagianya sejak bertemu dengan Indah di parkiran. Bahkan, Indah sempat khawatir sahabatnya itu sedikit frustrasi karena kelasnya tidak menyabet juara satu dalam perlombaan defile. Namun, hal tersebut terpatahkan saat Gemi memilih untuk tidak peduli dengan ajakan teman sekelasnya untuk sekadar berkumpul saat berpapasan di lampu merah.

"Lu, kenapa sih?" tanya Indah yang sudah penasaran setengah mati.

"Gapapa. Gue masih mau beli binder, lu mau ikut?" sanggah gadis yang sekarang mulai menepikan mobil merahnya.

"Boleh," sahutnya sekali lagi membuat gadis dengan rambut cokelat itu tersenyum. Kakinya segera ia langkahkan menuju pintu kaca yang berada tak jauh dari tempatnya memarkirkan mobil. Indah yang masih belum mendapatkan jawaban memilih mengekor sambil memerhatikan sahabatnya itu. Baginya, gadis yang sedang berdiri di depan etalase binder itu tak banyak berubah, masih suka memakai topengnya, masih memilih untuk diam dengan segala sesuatu yang ia sendiri sulit untuk menjelaskan.

"Ndah, bagus yang mana?" Pertanyaan itu sukses membuyarkan lamunan Indah dan membuatnya berjalan mendekati sahabatnya itu.

"Hmm, astronot aja dah." usulnya.

"Tapi bagus bintang. Ya udah bintang aja," sahutnya seraya mengembalikan binder dengan sampul astronot.

"Eh, anjir nanya tapi gak diambil. Nyesel gue," sindir Indah.

"Ya elah ngambek lu? Ya udah sih, lu nemenin gue apa mau beli sekalian?" tawar gadis yang masih tak merasa bersalah itu.

"Kagak. Udah buruan, gue tunggu di mobil!"

Gemi yang melihat tingkah sahabatnya itu tertawa seraya menukar beberapa lembar uang kepada kasir dengan binder yang sudah dibungkus rapi. Kakinya segera ia langkahkan dengan cepat sebelum sahabatnya itu semakin kesal.

"Lu sebel?" tanyanya setelah pintu mobil ia tutup rapat.

"Kagak lah. Gue nggak gitu, ya. Emang lu, bahagia kagak dibagi-bagi," sindir Indah. Gemi yang mendengarnya tersenyum kecut sebelum mulai melajukan mobilnya. Bahkan, ia hanya tersenyum sepanjang perjalanan, membuat sahabatnya itu geram.

Akhirnya, mobil merahnya memasuki pelataran rumah dengan cat abu-abu cerah.

"Lu mau tau kenapa gue seneng?" tanyanya sebelum mematikan mesin mobil.

"Baru ketemu pangeran," kekehnya dan segera meninggalkan mobil sebelum sahabatnya itu membombardirnya dengan pertanyaan.

Indah yang memang diciptakan memiliki tingkat rasa penasaran yang tinggi segera menyusul sahabatnya itu memasuki rumah megah tempatnya menginap selama beberapa hari terakhir.

"Aduh kenapa lari-lari?" tanya Vani-Mama Gemi - sesaat melihat putrinya menghempaskan tubuhnya setelah berlari dari pintu masuk dan diikuti Indah.

"Ini Te, Gemi ...."

"Mah, masak apa? Gemi laper mau makan," potong gadis yang baru saja melepas sepatunya itu sebelum Indah meracuni mamanya untuk ikut penasaran padanya.

"Banyak, dibantuin Bi Min. Gimana tadi? Seru lombanya?" tanya Vani seraya merapikan anak rambut gadisnya yang terlihat berantakan.

"Capek," jawabnya seraya menuang air dan menegaknya hingga tandas.

"Tau nggak? Indah bakal pindah hari ini."

"Serius, Ndah? Kok lu gak cerita si? Pindah terus lu. Emang pindah ke mana lagi?" tanya Gemi yang seakan sudah terbiasa dengan kepindahan sahabatnya itu.

"Noh di depan rumah lu."

"Serius? Demi apa? Nggak boong? Gila si parah," cerocos Gemi.

"Iya sayang. Udah, sekarang mau ganti baju dulu apa langsung makan?" tawar Vani.

"Makan!" seru kedua gadis dengan seragam yang sama itu hampir bersamaan, membuat Vani tertawa gemas dan memilih bangkit menuju ruang makan.

Derit pintu dibuka tiba-tiba membuat Gemi yang tadi ikut bangkit menegang. Indah yang menyadari, menatapnya sekilas sebelum beralih menatap seseorang yang baru saja masuk. Suara langkah kaki yang semakin keras membuat gadis berambut cokelat yang tadi sempat mematung memilih melangkahkan kakinya menuju tangga sambil menenteng sepatunya dengan tangan kiri dan ransel yang masih tersampir di pundaknya. Panggilan Vani seakan tak mengusiknya dan terus menapaki anak tangga dengan raut wajah yang berubah drastis. Indah yang sempat menyalami sosok yang baru saja masuk segera mengejar sahabatnya itu. Gemi yang sedang berbaring menatap langit-langit kamar dan menyadari Indah masuk memilih untuk segera bangkit. Namun, Indah masih mencoba mendekatinya tanpa suara, hanya menatapnya dengan tajam dan Gemi paham akan hal itu.

"Lu cepetan beres-beres, gue mau mandi." tukas gadis berambut coklat itu.

***

Yak cukup dulu ya part ini.

Gimana menurut kalian?

Maaf kalau gak memuaskan

Ditunggu vommentnya ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro