Circumpolar 11
~Berada di tempat yang tak mengenal dimensi mungkin saja akan membuatmu lebih baik~
***
Suara bel menginterupsinya untuk segera bangkit dan memasuki kelas yang berada di sebelah kursi koridor yang sedari tadi menjadi temannya menatap langit yang tak lagi cerah. Ransel yang sedari tadi bertengger di bahunya sekarang sudah tergeletak di meja. Cowok itu menenggelamkan wajahnya dalam lipatan lengan yang ia letakkan di atas ranselnya. Ingatan itu terus terputar seakan mengejeknya dalam diam.
Pemilik manik hazel masih mencoba memejamkan mata saat seisi kelas bersorak karena guru kali ini sedang tidak masuk. Lihatlah bagaimana semesta mendukung keadaan untuk membuatnya semakin tenggelam dalam ingatan itu. Pikirannya masih jelas tertuju pada kejadian yang baru saja ia alami. Namun, keadaan kelas yang seakan menyudutkannya membuatnya terpaksa bangkit dari posisi yang berusaha ia buat nyaman. Kakinya melangkah menuju tepi koridor dan memilih menjatuhkan diri di sana. Ia menopang wajahnya dengan kedua tangan yang ditumpukan pada lutut. Sepasang mata hazelnya menatap kosong taman yang berada tepat di depan kelasnya. Ia menghela napas panjang, sampai beberapa rintik rinai mengenai ujung sepatunya yang tak terlindung atap. Ia bangkit dan berniat kembali ke kelas. Namun, suara gedebuk yang cukup keras berhasil membuatnya menoleh. Maniknya memicing, ia kenal betul gadis yang sekarang meringkuk di salah satu tepi lapangan dan membiarkan rinai terus menghantam tubuhnya. Dari tempatnya berdiri, sang hazel melihat jelas tubuh gadis itu bergetar. Hatinya mencelos, terasa terhantam benda keras dan menyisakan sesak di sana. Baru akan meraih payung di sudut kelas dan menghampiri gadis itu, langkahnya kembali terhenti saat manik hazelnya menangkap seorang cowok yang tengah duduk di hadapan gadisnya. Ia kembali mengembuskan napas panjang dan memilih duduk di kursi koridor. Matanya mengunci setiap pergerakan kedua insan yang tengah berada di bawah rinai. Bahkan, pikirannya sekarang ikut bergelayut bersama rinai. Tak hanya karena gadisnya bersama cowok lain tapi sesuatu yang lain dan menambah perih yang semakin menjalar di sana. Memorinya kembali terputar seakan kaset rusak yang selalu muncul tiap kali ingatannya tertuju pada hal itu. Sesak kembali menemaninya bersama rinai yang sekarang mulai berkurang. Ia mengerjapkan matanya saat suara rinai mulai lenyap dari indra pendengarannya. Maniknya kembali menatap gadis berambut cokelat di sana yang mulai bangkit.
"Kak...." Tenggorokannya tercekat melihat gadisnya terjatuh. Kakinya ingin sekali melangkah ke sana. Namun, sekedar berkedip saja sekarang ia tak mampu.
***
Langkah pemilik manik hazel itu terlihat pasti, sangat kontras dengan tatapannya yang datar. Bahkan, cowok itu tak sedikit pun memedulikan gadis yang sekarang berjalan di sampingnya dengan beberapa paper bag di tangan yang sengaja gadis itu bawa. Helaan napas berat terdengar sebelum cowok itu memutar kenop pintu putih di hadapannya. Ia memejamkan matanya sesaat membuka pintu. Napasnya tercekat melihat wanita yang sangat ia sayangi sedang menatap kosong ke arah dinding putih. Sang hazel mendekat dengan tatapan menerawang. Tangannya bergerak menangkup wajah wanita itu. Namun, tak ada pergerakan yang berarti, manik matanya masih terpaku ke arah dinding seakan jiwanya sudah tak ada di tempat itu lagi. Gadis yang tadi membawa beberapa paper bag, meletakkan bawaannya di meja dekat ranjang. Tatapannya berubah menyendu saat berusaha mendekati wanita itu.
"Tante, Pelangi datang. Tante gak mau cerita sama Pelangi?" tanyanya mencoba mengajak wanita itu berinteraksi tapi semua terlihat sia-sia. Bahkan, wanita bernama Dina itu masih tak bergeser barang sesenti pun. Tangan sang hazel yang masih menangkup wajahnya pun kian mengendur karena tak mendapat respons sama sekali. Hatinya mencelos, ia mendongak untuk menahan bulir bening yang sekarang memenuhi pelupuknya. Cowok itu menggigit bibir bawahnya dan melepas tangkupan tangannya sambil bergegas mendekati pintu.
"Mau ke mana, Nat?"
"Lu di sini. Jagain Mama," ucapnya dan melanjutkan langkahnya.
Sang hazel mengurungkan niatnya menjauh dari ruangan yang membuat dadanya terasa sangat sesak saat mendengar panggilan untuknya. Ia menoleh sejenak dan kembali memilih melangkahkan kakinya yang tadi sempat tertunda. Namun, sebuah tangan mencekal lengannya hingga mau tak mau cowok itu berhenti dan menghadap pria dengan jas putih kebanggaannya yang sekarang malah terlihat menjijikkan bagi Nata.
"Ini perkembangan Nyonya Dina," ucap pria tadi seraya menyodorkan beberapa helai kertas dalam map.
Sang hazel tersenyum kecut, "Sepuluh tahun sudah! Dari awal saya tidak mengerti apapun hingga saya menjadi sebesar ini, hanya itu. Hanya itu!" Ia berusaha sekuat mungkin menahan gejolak di dadanya.
"Nak Nata, ini penting. Tolong dibaca sebentar saja," pinta pria itu lebih pada memohon. Nata hanya melirik map itu dan segera merampasnya. Membukanya dengan kasar dan membaca semuanya sekilas.
"Bakar saja ini! Semua ini omong kosong! Anda pikir saya bisa dibohongi kertas bodoh ini?" Ia tak bisa menahan nada suaranya yang kian meninggi. Maniknya menatap Dina dari jendela kamar yang setengahnya tertutup gorden.
"Sekarang Anda lihat, apa itu yang dikatakan perkembangan? Apa yang sedang Anda teliti? Apa? Tatapan kosong itu yang Anda sebut sembuh? Anda lelah menanganinya hingga membuat pernyataan palsu kalau Mama saya sembuh? Iya? Saya tidak butuh ini!" Sang hazel tak dapat menahan nada suaranya. Ia berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalkan pria yang baru saja ia lempari dengan map bening yang telah diremas kuat.
***
"Tau apa Anda tentang disakiti?" tanyanya sambil mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya. Pria yang baru saja melayangkan pukulan entah yang keberapa kali padanya itu diam dengan tatapan tajam ke arah cowok dengan deru napas memburu.
"Oh iya, saya hampir lupa Anda hanya bisa menyakiti, bukan disakiti. Iya, kan?"
Plak....
"Diam kamu! Jelas-jelas kamu salah, pulang telat terus sekolah. Mau jadi apa kamu? Masih ke mana saja?" bentak pria yang masih menatap manik hitam pekat milik cowok yang baru saja ia tampar dengan kilat marah.
"Peduli apa Anda pada saya? Belum cukup juga Anda mengambil semua kebahagiaan saya?" manik hitam itu berkaca-kaca.
"Cukup Gamma! Sampai kapan kamu menyangkal kalau ini Papamu?" Nada Tomi melunak tapi tak cukup membuat cowok yang sekarang berjarak sekitar satu meter darinya itu luluh.
"Maaf, Papa saya tidak ada di sini!"
Bugh....
Cowok itu tersungkur, membuat punggungnya terantuk ujung tangga hingga terdengar ringisan kecil. Rahangnya mengeras, manik matanya masih menatap lekat punggung pria yang sekarang sudah melangkah menjauh dan telah membuatnya seperti ini.
"Gue akan ambil apa yang menjadi milik gue! Inget"
***
Suara deru mobil yang semakin samar membuat lelaki pemilik manik hitam itu meletakkan pulpennya hanya untuk melirik pintu balkon. Rahangnya kembali mengeras mengingat semua yang sudah terjadi padanya. Ia menatap deret angka yang tertulis rapi di sebuah buku, tangannya meraih kembali pulpen yang sempat ia letakkan tapi rekaman yang tiba-tiba terputar di benaknya membuatnya meremas pulpen itu hingga berbekas pada tangan kanannya. Cowok itu mengusap rambutnya kasar, sudut bibirnya yang masih terluka membuatnya bangkit dengan kasar, menghasilkan suara derit kursi belajarnya yang cukup memekakkan telinga. Ia melangkahkan kakinya mendekati pintu putih di salah satu sudut ruangan. Maniknya menatap pantulan wajahnya yang terlihat lebih kacau. Baginya wajah itu terlihat seperti pengecut sekarang.
"Arrrggh!" teriak Gamma seraya menjatuhkan pukulan keras pada dinding di sebelah cermin, membuat bercak darah menempel pada dinding tersebut. Deru napasnya yang semakin cepat mengantarkan langkahnya menuju balkon. Udara malam kota Bandung menyapa cowok yang baru saja menapakkan kakinya di lantai balkon kamarnya itu.
Pemilik manik hitam itu menarik napas panjang mencoba berbicara dengan semesta. Ia penasaran akan alasan semesta yang menghukumnya dengan semua ini. Cowok ini menelan salivanya saat angin menyapu wajahnya, memberikan rasa sejuk pada wajahnya tapi tidak pada hatinya. Maniknya menatap bentangan langit di atasnya, gelap dan penuh misteri bak hidupnya. Ia tersenyum kecut menatap taburan bintang yang seakan ingin mengatakan padanya mengenai langit malam yang tak semenyeramkan yang ia pikir. Maniknya beralih menatap buku-buku jarinya yang berdarah hingga sebuah pikiran melintas di benaknya, membuatnya segera meninggalkan balkon dan meraih ponselnya. Gamma membuka aplikasi berwarna hijau berbasis internet itu, memainkan jarinya di atas layar ponsel sebelum kembali meletakkannya di nakas dan mencari kotak berwarna putih di lemarinya. Tangannya mengambil beberapa kapas dan antiseptik dari kotak putih tersebut dan melangkahkan kakinya kembali memasuki toilet. Cairan antiseptik ia teteskan pada kapas sebelum disentuhkan pada sudut bibirnya yang terluka.
"Gue akan ambil apa yang jadi milik gue."
***
Pemilik manik hitam itu menyalin jawaban dari ponselnya, ia tak pernah menyukai sejarah. Baginya, sejarah sama saja dengan membuka luka yang belum tentu sembuh seutuhnya. Sebuah panggilan dari teman sebangkunya itu hanya ia tanggapi dengan deheman.
"Lu yakin masih ada di jalan rencana lu?" Alfa tersenyum sambil menepuk bahu sahabatnya itu.
"Maksud lu?" Gamma balik bertanya seraya mengalihkan pandangannya ke arah lawan bicaranya.
"Gue kenal lu dari masa lu masih merah, gue ngerti tiap perbedaan yang ada pada diri lu. Gak mungkin lu masih pada rencana lu ketika lu aja bingung cara ngomong sama dia," Alfa menatap Gamma lurus, sedang yang ditatap memilih menundukkan pandangannya.
"Seandainya dia gak masuk tim robotika gue pastiin rencana ini gak akan berjalan dan gue pastiin lu gak akan bersikap kayak gini cuman buat ngajak dia jalan," papar Alfa membuat Gamma menghela napas sejenak.
"Ini udah cara semesta mempertemukan gue sama dia, dan ini juga cara semesta buat gue ngembaliin apa yang menjadi milik gue," ujar Gamma membuat sahabatnya itu tersenyum kecut.
"Atau ini cara semesta buat ngejebak lu, buat lu semakin tenggelam dalam lembah yang gak pernah lu tau seberapa dalemnya?"
"Diem lu!" nada Gamma meninggi.
"Kenapa? Gue salah? Gak ada yang tau skenario Tuhan, Gam." ucap Alfa menepuk pundak sahabatnya itu. Helaan napas terdengar dari sang pemilik manik hitam, ia memejamkan matanya sejenak dan beberapa detik kemudian beralih menatap manik sahabatnya itu.
"Lu pikir gue mulai suka sama Gemi?" tanyanya.
"Gue prediksi iya,"
Sebuah lengan merangkul Alfa, "Ayolah, lu kan tau gue gak semudah itu. Apalagi ini berhubungan sapa bokap gue. Dia juga bukan cewek istimewa, kan?" hibur Gamma yang lebih pada dirinya sendiri. Alfa melirik pemilik iris hitam itu melalui sudut matanya.
"Terserah lu."
"Tapi gue cuman mau pesen, seandainya lu beneran jatuh pada lembah itu jangan pernah salahin diri lu sendiri."
***
Kritik
Saran
Ditunggu
Vommentnya juga
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro