Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3: Firasat

"Maraknya kejahatan yang terjadi belakangan ini, membuktikan bahwa manusia perlahan-lahan mulai kehilangan rasa kemanusiaannya. Para pelaku itu seakan tidak kapok, juga tidak kenal lelah dalam menjalankan aksi mereka," ujar Komisaris Marawa, selaku Kepala Kepolisian Resor Kota Barelang, sebagai kalimat pembuka dalam rapat siang itu.

Selagi berbicara, pria berusia empat puluh tahun itu mengedar pandang ke seluruh ruangan. Tim Dua dan Tim Tiga Divisi Pembunuhan duduk melingkari meja bundar. Sementara Komisaris Marawa berdiri tegak, menantang wajah-wajah tegang para polisi yang berada di dalam ruangan, tak terkecuali Kendra, Wirya, dan Kris yang turut hadir dalam rapat.

Komisaris Marawa tahu, kalimat itu sudah terlalu sering didengar oleh para perwiranya. Bahkan, seolah sudah menjadi makanan sehari-hari yang harus selalu siap mereka telan. Dia tidak bermaksud menakuti-nakuti. Dia hanya ingin semua orang mendengarkan ucapannya dengan saksama.

"Ada dua kasus yang terjadi di bawah wilayah Sektor Sekupang," lanjut Komisaris Marawa, kemudian menekankan penggalan kata, "Pembunuhan."

Usai menjeda kalimat selama beberapa detik, pria itu pun kembali menyampaikan informasi. "Yang satu terjadi di padang ilalang Jalan Bukit Dangas. Dan satu lagi di area Jembatan Sungai Ladi," katanya prihatin.

Mendengar hal itu, di tempat duduknya, Kendra mendengkus, lebih menyerupai spontanitas yang tidak dia maksudkan. Untung saja suara kendra tidak begitu kentara, lantaran dia duduk cukup jauh dari jangkauan Komisaris Marawa. Dia tidak mengerti, mengapa mereka harus dikumpulkan di tempat ini. Kenapa tidak langsung ke tempat kejadian perkara saja, batinnya.

"Kita sudah mengerahkan Tim Inafis ke lokasi kejadian." Pernyataan Komisaris Marawa barusan seolah menjawab pertanyaan yang sedari tadi mengusik benak Kendra.

"Aku ingin tim dua mengawal kasus di padang ilalang, sedangkan tim tiga, kalian kawal kasus di area Jembatan Sungai Ladi," ujar Komisaris Marawa menginstruksi, yang lantas disahuti oleh seluruh anggota kepolisian dengan serempak.

"Siap, Komandan!"

"Dan, untuk tim tiga," Komisaris Marawa kembali berkata, meminta perhatian khusus kepada Kendra, Wirya, dan Kris, yang seketika itu balas menatapnya dengan ekspresi bingung. "Mulai sekarang kalian akan diketuai oleh Komandan Roy."

Kendra dan Wirya saling pandang. Hanya Kris satu-satunya yang menjawab ultimatum dari Komisaris Marawa dengan tegas, "Siap, Komandan!"

Rapat pun ditutup. Semua orang berdiri dan beranjak pergi usai Komisaris Marawa hengkang dari dalam ruangan.

__________________________

Kendra berjalan menuju pelataran parkir bersama Wirya yang mengekor di belakangnya. Tanpa membuang waktu mereka segera memasuki mobil dinas, kemudian bergerak meninggalkan gerbang Markas Polresta Barelang. Ketiadaan satu pun topik permbicaraan di antara mereka membuat Kendra merasa sedikit resah. Alhasil, setengah perjalanan ditempuhnya dengan memutar ulang kejadian kemarin pagi. Di mana kedatangan Abraham yang begitu tiba-tiba saat itu, sedikit menaikkan ketegangan di ruang Divisi Pembunuhan. Absennya Abraham di ruang rapat membuat Kendra semakin yakin, bahwa memang ada yang tidak beres dengan pria tua itu.

Ngopi?

Alasan yang sungguh konyol, pikirnya. Sejauh yang Kendra tahu Abraham tidak pernah meminum kopi. Dia menderita tukak lambung dan bisa terkena gangguan pencernaan jika meminumnya. Meski Kendra tidak mengemukakan hal ini kepada Wirya, dia yakin, yakin sekali, Wirya pasti lebih tahu bagaimana kebiasaan Abraham. Teh. Selama ini Abraham lebih memilih menikmati teh di sela-sela jam kerja ketimbang pahitnya secangkir kopi.

"Wirya, kira-kira menurutmu, kenapa Komandan sampai harus dibebastugaskan?" Kendra bertanya di balik kursi pengemudi saking penasarannya. Ditatapnya Wirya dan kemudi secara bergantian. Jalanan di depan cukup lengang, Kendra pun menekan pedal gas lebih dalam agar mereka dapat tiba lebih cepat.

"Aku juga tidak tau," jawab Wirya sambil mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi rambut halus. Dia setengah melamun, memerhatikan pepohonan yang berkelebat di sudut matanya.

"Tiba-tiba saja kita kedatangan seseorang yang tau-tau menggantikan posisinya. Sial. Kenapa perasaanku tidak enak."

Diliriknya Kendra sejenak dengan mulut setengah terbuka. Wirya hendak menyuarakan sesuatu, tetapi dia urung melakukan.

Kedua polisi itu saling berdiam-diaman setelahnya. Wirya sibuk dengan arus pikirannya yang rumit, sedang Kendra fokus mengemudi. Di perempatan, jalanan tampak sedikit macet. Dia melepas gas sedikit, kemudian berbelok ke arah kiri. Selang beberapa menit kemudian mereka pun tiba di lokasi kejadian. Mobil dinas yang Kris kendarai bersama Komandan Roy rupanya telah sampai lebih dulu di area Jembatan Sungai Ladi. Kendra dan Wirya segera turun untuk menyusul mereka.

Selagi melangkahkan kaki, kedua mata Kendra awas memindai daerah tepian sungai. Musim kemarau yang melanda kota Batam akhir-akhir ini, telah mengakibatkan air sungai di bawah sana surut sehingga garis-garis tanah tampak meretak di tepian. Lokasi tempat kejadian perkara itu sendiri cukup tersembunyi. Mereka harus menapaki jalan menurun untuk bisa sampai ke kolong jembatan. Dalam radius sepuluh meter di depan, Kendra dapat melihat beberapa petugas polisi berkerumun di sekitar TKP yang telah dibentangi garis polisi.

Kris datang menyambut begitu melihat Kendra dan Wirya bergabung di tengah kerumunan. "Ini." Dia menyerahkan tabung kecil berisi serbuk kopi kepada kedua rekannya itu. Serbuk kopi biasa digunakan oleh para penyidik untuk mengevakuasi jasad yang telah mengalami dekomposisi. Dengan dioleskan ke bagian bawah hidung, bau serbuk kopi yang cukup kuat mampu menghalau bau busuk pada mayat.

Kendra menggelengkan kepala, menolak secara tidak langsung. Dia sudah sangat terbiasa. Mencium bau mayat sudah menjadi bagian dari tugasnya. Selama mengabdikan diri sebagai polisi, banyak kasus pembunuhan yang telah ditanganinya. Wawasannya tentu saja bertambah luas. Dan dia mempelajari bahwa, bebauan yang tertinggal di TKP terkadang bisa sangat membantu proses penyelidikan sehingga kontaminasi dari bebauan lain perlu diminimalisir.

Kendra berjalan lurus. Begitu para polisi berseragam memberi jalan, dia mendapati sebuah Mitsubishi Galant keluaran lama teronggok di dekat bibir sungai. Moncong bagian depan mobil mencium bebatuan yang menyebabkan bumper penyok. Body mobil itu berwarna abu-abu, berada dalam posisi seperti baru saja meluncur dari ketinggian. Dengan jeli, Wirya menyatroni sisi mobil yang baret, sementara Kendra mendapat bagian untuk memeriksa jasad korban yang saat ini belum bisa dievakuasi.

Kendra bergabung bersama anggota Tim Inafis yang masih sibuk melakukan tugas mereka; memoret, mencari bercak darah, juga sidik jari pelaku yang mungkin saja tertinggal di dalam mobil.

"Seorang tunawisma yang pertama kali menemukan korban-tidak-mungkin lebih tepatnya yang menemukan mobil ini."

Kendra terkejut saat mendengar seseorang tiba-tiba saja berbicara di telinganya. Spontan, dia segera menoleh dan mendapati seorang wanita berkemeja putih super ketat tengah berdiri di sebelahnya. Wanita itu ikut melongokkan kepala ke dalam mobil.

"Apa kau detektif yang bertugas menangani kasus ini?" tanya Kendra kemudian. Dia melihat lencana kepolisian tergantung di leher wanita itu.

Wanita berambut pendek itu mengangguk sambil menyerahkan tangan kanannya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai; "Detektif Inggrit. Dari Kepolisian Sektor Sekupang."

"Kendra," usai bersalaman, Kendra kembali membungkuk untuk mengamati kondisi di dalam mobil. Tampak olehnya jasad seorang gadis terbujur kaku di kursi penumpang dengan kondisi kepala terkulai ke samping. Wajahnya membengkak, tertutupi oleh rambut panjang yang terburai pada posisi yang tidak seharusnya. Ketika helai rambutnya Kendra singkirkan perlahan, tak terlihat bekas luka atau jeratan apapun di sana. Beberapa bagian kulit mayat tersebut telah berubah warna kebiruan-bahkan di beberapa tempat nyaris kehitaman. Pakaian terakhir yang dikenakan mayat tersebut adalah kemeja abu-abu kebesaran yang dua kancing atasnya terbuka lebar hingga menampakkan belahan dadanya. Sementara bawahannya yang berupa rok lipit tergulung ke atas, menampakkan kaki kanannya yang terjulur sampai ke kolong dashbor mobil. Kaki kirinya puntung dari lutut ke bawah dan dirembesi oleh darah yang sudah mengering.

Mayat korban sepertinya hanya dimutilasi pada bagian kaki kiri saja, batin Kendra dengan kening terlipat. Diperhatikannya baik-baik jasad tersebut dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Dan, persis seperti dugaannya; bagian tubuh lain dari jasad tersebut dalam kondisi utuh.

Mata Kendra bergerak liar. Sinar ultraviolet dari senter yang disorot oleh Tim Inafis membantunya melihat dengan jelas bercak darah pada karpet mobil. Bercak darah tersebut bercahaya setelah sebelumnya disemprot oleh cairan luminol. Kamera milik anggota Tim Inafis pun segera bekerja mengambil gambar, sebab reaksi pada cairan luminol hanya bertahan selama tiga puluh detik saja.

Kendra meminta salah seorang Tim Inafis menyoroti bagian kaca depan mobil. Tampak sebuah sidik jari-yang sepertinya berasal dari ibu jari-tertinggal di sana. Sidik jari tersebut terlihat utuh dengan guratan-guratannya yang membentuk pola melengkung dan oval. Tim Inafis segera bergerak untuk mengambil sampel tersebut dan menyimpannya dalam tempat kaca steril.

"Awalnya kami mengira ini kasus kecelakaan. Tapi, begitu melihat kondisi jenazah korban yang seperti itu, sudah pasti ini kasus pembunuhan."

"Kaki kiri korban dipotong dengan sangat rapi," sambar Kendra kemudian.

Inggrit mengangguk seraya berkata, "Apa kalian sudah dengar informasi mengenai kasus di padang ilalang? Salah seorang rekanku bilang, mereka menemukan potongan kaki manusia dalam sebuah koper di sana."

Kepala Kendra seketika terantuk batang pintu dibuatnya. Dalam hati, dia meyakini kasus ini mungkin saja berhubungan dengan kasus yang terjadi di padang ilalang. Namun, bukan hal itu yang membuatnya begitu syok sekarang. Meski bliz kamera milik salah seorang anggota Tim Inafis terus mengedip selagi mengabadikan sosok mayat tersebut, lamban laun Kendra bisa mengenalinya. Dia yakin sekali, bahwa mayat tersebut adalah Dewi Arini, putri dari Abraham Suseno, Komandan Tim Tiga Divisi Pembunuhan yang telah dibebastugaskan dari jabatannya.

Bagaimana mungkin ..., batinnya tidak percaya.

"WIRYA!" Kendra berteriak keras dari tempatnya berdiri. Meminta Wirya datang mendekat untuk turut memastikan identitas korban.

"Arini. Astaga ...," desah Wirya, yang tidak kalah syoknya dari Kendra.

__________________________

Dewi Arini. Di mata Kendra, dia adalah sosok anak perempuan yang periang, cerewet, dan manja kepada Abraham-sang Ayah. Meski begitu, Arini termasuk anak yang mandiri. Hidup tanpa sosok seorang ibu, membuatnya lebih bijak dalam menyikapi sesuatu. Dia anak yang manis. Hal yang paling Kendra ingat dari Arini adalah, dekik kecil yang kerap menghias tiap kali ia tersenyum.

Pertemuan mereka bermula sekira satu tahun yang lalu-tepatnya, di hari ketika Irina dikebumikan. Rintik hujan menyapa kala itu. Di tengah suasana muram dan berkabung, Abraham datang bersama putrinya untuk berbelasungkawa. Kehadiran Abraham sedikit banyak menguatkan Kendra, dia dan Arini menemani Kendra hingga seluruh prosesi pemakaman selesai dilakukan. Seingat Kendra, Arini tidak banyak berbicara pada saat itu. Dia hanya menyapa ala kadarnya; menyampaikan rasa turut berduka cita dengan suara pelan lalu berdiri di sisi Abraham.

Kendra baru benar-benar mengenal Arini sewaktu Abraham mengundangnya datang ke kediaman mereka. Wirya juga turut hadir pada saat itu. Mereka membawa beberapa bingkisan lantaran tidak ingin datang dengan tangan kosong. Begitu pintu dibuka, mereka langsung disambut senyum ceria dan Arini yang tak henti-hetinya mengatakan, "Untuk apa, sih bawa oleh-oleh segala. Di sini kan udah banyak makanan!" dengan suara lantangnya.

Betapa cerewetnya anak perempuan itu, sampai-sampai Wirya merasa gemas dibuatnya. Dia mengacak-acak rambut Arini. Tatanan rambutnya yang semula apik pun jadi berantakan karenanya. Arini terang saja membalas. Dia tidak segan-segan memberi Wirya pukulan beruntun di bahu.

Kendra mengerti mengapa Wirya tidak bisa menyembunyikan ekspresi duka di wajahnya. Melihat bagaimana keduanya berinteraksi dan bagaimana cara Wirya memperlakukan Arini pada saat itu, Kendra menebak, pastilah Wirya sudah sangat dekat dengan Arini. Bahkan, mungkin, anak perempuan itu telah dianggapnya seperti adik sendiri.

Dalam seminggu, setidaknya dua kali Arini berkunjung ke kantor polisi. Dia biasa mengantar pakaian ganti apabila Abraham sibuk mengurus kasus dan tidak sempat kembali ke rumah. Wirya sangat betah menjahili Arini, sementara Kendra sesekali masuk ke dalam pembicaraan dan ikut tertawa bersama mereka. Lucunya, Arini memanggil mereka berdua dengan sebutan 'om'. Padahal, usia Kendra dan Wirya tidaklah setua itu-setidaknya, usia mereka belum mencapai kepala tiga.

Kendra tersenyum getir. Selintas kenangan bersama Arini terus bermunculan dalam benaknya dan dia tak bisa berhenti menengok ke belakang. Rasanya, baru beberapa minggu lalu anak perempuan itu mampir ke kantor untuk membawakan rantang makanan. Tetapi sekarang, Kendra harus melihat Arini terbujur kaku. Di hadapannya Arini membisu, tidak secerewet biasanya, tidak seperti Arini yang dia kenal selama ini. Wajah manis anak perempuan itu, yang biasa mengkilap karena dipulas make up, melesap seiring ditariknya risleting kantong mayat.

"Arini masih bersatus pelajar," ujar Kris sembari membaca informasi dalam jurnal penyelidikan. Dia berdiri di sebelah Kendra, turut mengawasi kantong jenazah yang diangkut petugas naik ke tepi sungai. "Dia siswi kelas 3 di SMA 9," lanjut Briptu itu. "Detektif, apa Anda punya dugaan, mengapa putri Komandan sampai menjadi korban pembunuhan?"

Dendam. Adalah satu-satunya hal yang spontan terlintas dalam pikiran Kendra. Abraham mengemban jabatan sebagai seorang Kanit di kepolisian. Tidak bisa dimungkiri, pria itu pasti banyak berurusan dengan para penjahat yang berpontensi mencelakai orang-orang terdekatnya. Atau bisa jadi, dendam itu justru bersumber dari orang-orang di sekitar Arini sendiri; dalam artian teman-teman dekatnya sendiri. Semua masih berupa praduga. Kendra tidak bisa menyimpulkan secepat itu, tanpa dibarengi proses penyelidikan lebih lanjut.

"Kita akan selidiki segala kemungkinannya, Kris." Kendra berucap gamang, kemudian lekas bergerak menyusuri pinggiran sungai bersama Kris yang setia mengekor di belakang.

Sejauh enam meter dari titik TKP telah Kendra susuri, tetapi tak ditemukannya jalan masuk yang memungkinkan untuk keandaraan roda empat turun ke bawah. Kendra lalu mendongakkan kepala. Di atas sana, banyak sekali orang-orang yang berkerumun. Wajah-wajah mereka dipenuhi hasrat penasaran. Tetapi di mata Kendra, mereka semata tampak seperti siluet yang bergerak-gerak. Dia tersilau oleh paparan sinar matahari. Kehadiran pria jangkung ber-jumper hitam di atas sana pun luput dari pantauan-baik Kendra maupun Kris.

Pria itu bergerak sembunyi-sembunyi.

Selama itu Kendra berkerut kening. Dia merasa seperti melihat sesuatu, tetapi dia tidak begitu yakin apa itu. Terpaksa Kendra menggunakan punggung tangan kiri untuk menghalau sengatan sinar matahari. Kedua matanya kemudian menyipit, mencari sosok yang sempat mencuri perhatiannya. Sayang, dia terlambat. Pria itu telah lebih dulu lenyap tertelan bahu orang-orang.

Segera dilakukannya rekonstruksi kejadian kemudian, di mana dalam kepala dia membayangkan, dengan bersusah payah pelaku mendorong Mitsubishi Galant itu dari atas sana. Mobil lalu meluncur dengan cepat, membelah rerumputan, melintasi jalur retakan tanah. Mobil tidak sampai tercebur ke dalam air, lantaran telah lebih dulu menghantam bebatuan sungai.

Tunggu dulu! Ada bagian yang aneh, batin Kendra. Jika ditarik satu garis lurus, dari posisi manapun Mitsubishi Galant didorong, seharusnya mobil itu tidak berakhir menyerong ke kolong jembatan.

"Mobil itu sepertinya didorong lagi setelah terperosok ke bawah sini," ujar Kendra tiba-tiba, yang membuat Kris tanggap mencatat dalam jurnal.

"Benar juga, Detektif. Tapi ...," Kris menimpali dengan raut bingung. "... pekerjaan pelaku jadi bertambah dua kali lipat kalau begitu."

Kris benar. Kendra tak bisa membantah adanya opsi lain. Sejenak dia menggenggam dagu dan berpikir. "Kalau pelaku bukan tipikal orang yang mau direpotkan, setelah mendorong mobil itu dari atas sana, kemungkinan dia akan mengendarainya sampai ke kolong jembatan."

Kris mengangguk setuju, lalu menambahkan sebuah usulan-yang barangkali terdengar sedikit gila, "Pelaku bisa saja bertindak nekat, Detektif, dan memilih mengendarai mobil itu sendiri dari atas sana lalu meninggalkannya TKP."

"Dengan catatan," pungkas Kendra kemudian. "pelaku harus memperhitungkan segalanya, agar Mitsubishi Galant itu tidak masuk ke dalam sungai sebelum mencapai kolong jembatan."

Kris menyalin itu semua ke dalam jurnal.

Untuk membuktikan teori tersebut, kali ini mereka berderap menuju area bibir sungai. Kris menyusuri tiap jengkal tanah dan rerumputan yang dilewatinya. Kendra pun demikian. Dia mengamati dengan sangat jeli dan teliti sampai-sampai kedua bola matanya nyaris keluar bulat-bulat.

Jika asumsinya benar, harusnya ada benda atau sesuatu yang berfungsi sebagai pengganjal-mengingat jalur yang mesti dilalui pelaku tidak landai dan tidak curam. Mobil itu harus berhenti sebelum mencapai daerah aliran sungai. Entah bagaimana kemudian pelaku beraksi dan berhasil memindahkan mobil ke tempat yang jauh lebih tersembunyi.

Sedangkan, jika asumsi Kris benar, paling tidak ... harusnya ada bekas pengereman mendadak yang tertinggal di sekitar bibir sungai.

"Di sini! Kami menemukan jejak ban mobil di sebelah sini!" Teriak seorang petugas polisi sambil menunjuk tanah di dekat tempat ia berpijak.

Kendra dan Kris segera menoleh. Wirya, yang berdiri lebih dekat dengan polisi itu, telah lebih dulu sampai untuk memeriksa. Mereka pun segera menyusulnya.

Tanah itu lantas diberi nomor bukti oleh petugas Inafis. Blits kamera kemudian berkedap-kedip memotret jejak tersebut untuk keperluan dokumentasi.

"Tidak salah lagi. Ini jejak ban," ujar Wirya menyimpulkan. Jejaknya cukup dalam dan jelas lantaran area di sekitar tanah tidak ditumbuhi rerumputan.

"Bagaimana dengan tipe ban mobilnya?" tanya Kendra. Kris di sebelahnya tampak begitu penasaran menunggu jawaban dari Wirya.

Tanpa membuang waktu, Wirya segera mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. Dia membuka galeri, lalu menunjukkan potret ban kendaraan-milik Mitsubishi Galant-yang sebelumnya sempat dia abadikan di TKP.

"Persis," katanya. "Mitsubishi Galant keluaran lama itu menggunakan tipe ban 205 bertapak simetris. Aku sudah meminta seorang petugas mencari tahu tadi."

Kendra segera bangkit berdiri. Diarahkannya pandangan hingga ke seluruh penjuru sungai untuk membandingkan area tepi di kedua sisi.

Pelaku adalah tipikal orang yang nekat. Seperti dugaan Kris; dia mengendarai mobil itu sendiri dari atas sana.

Kendra lantas mengira-ngira, seterjal apa ... seberliku apa jalur yang harus dilewati pelaku. Dia turut memperhitungkan situasi dan kecepatan mobil. Dugaannya, pelaku pasti beraksi pada malam hari, di mana penerangan di tempat ini masih sangat, sangat minim.

"Mobil pasti mengalami guncangan keras ketika meluncur dari atas sana," tunjuk Kendra ke arah kerumunan orang-orang yang kian detik kian membludak. "Jalur tepi berundak-udak, bukan? Mengandalkan lampu sorot sebagai satu-satunya penerangan tidak akan cukup. Pelaku pasti panik ketika melakukan pengereman. Sehingga dia berkemungkinan mengalami cidera."

Wirya mengangguk paham. Dengan petunjuk ini setidaknya mereka telah mendapat sedikit gambaran mengenai pelaku.

"Aku heran, kenapa pelaku mesti bersusah-susah memindahkan mobil itu sampai ke sana. Toh, pada akhirnya akan ketahuan juga, kan?"

"Wirya," tegur Kendra sambil menepuk bahu Wirya. "Kita tidak pernah tahu apa yang dipikirkan dan apa yang ada di dalam otak seorang pembunuh."

Wirya tertegun mendengar ucapan Kendra. Kedua tangannya terkepal kuat sampai garis-garis urat di lengannya bertonjolan keluar. Dia melihat sendiri bagaimana kondisi jenazah Arini ditinggalkan dalam mobil itu. Sungguh, pelaku jelas orang yang keji dan tidak waras. Mengapa dia harus mempertanyakan hal yang sudah pasti jawabannya?

___________________

TKP telah sepenuhnya menjadi ladang kekuasaan para petugas Tim Inafis. Kendra dan Wirya memilih berteduh di sebuah warung, duduk di bangku yang sama dengan warga sekitar dan beberapa anggota polisi lain yang juga turut mengistirahatkan diri.

Obrolan santer terdengar di tempat seramai ini. Mereka yang penasaran berkasak-kusuk, masih terlarut dalam euforia kasus yang terjadi di area Jembatan Sungai Ladi.

Kendra dan Wirya sempat mencuri dengar pembicaraan si pemilik warung bersama tiga pelanggannya di sudut ruangan. Menurut kesaksian dari pria itu, Mitsubishi Galant tersebut ditemukan sekitar pukul sembilan pagi oleh seorang tunawisma yang kebetulan berniat menyepi saat itu. Dari kejauhan dia menyaksikan, tunawisma itu berlari tunggang langgang ke jalan besar sembari meminta bantuan.

Saking paniknya, teriakan tunawisma itu sampai menarik banyak pejalan kaki dan pengendara motor untuk menepi. Beramai-ramai kemudian mereka turun untuk mengecek keadaan. Dan begitu mobil itu diperiksa, rupanya terdapat seorang perempuan di dalamnya.

Pada awalnya mereka mengira perempuan itu sedang tertidur di dalam sana. Namun, melihat perempuan itu berada dalam posisi meringkuk di bangku penumpang depan-tanpa sopir di kursi pengemudi-mereka mulai berpikir ada yang tidak beres di sini. Berulang kali kaca mobil diketuk, tetapi perempuan itu tidak kunjung terbangun juga. Situasi mulai tidak terkendali saking banyaknya orang saat itu. Pada akhirnya mereka pun sepakat untuk menghubungi kepolisian terdekat.

Wirya menyesap teh hangat yang tersaji di depannya. Sejauh dia mengedar pandang, tidak ada satu pun hal yang menarik perhatiannya. Siang semakin terik. Debu jalanan kian membubung tinggi akibat terinjak banyak pasang kaki. Di ujung sana, dilihatnya barisan kerumunan perlahan terbelah oleh kehadiran mobil derek. Mitshubishi Galant yang teronggok di bawah kolong jembatan itu rencananya memang akan diangkut ke Polresta Barelang. Pemeriksaan lebih lanjut akan dilakukan setibanya mobil itu di markas nanti.

Lagi, Wirya mengedar pandang. Gerak-gerik setiap orang diawasinya dengan saksama. Pada jarak sekitar empat meter dari arah jam sepuluh, atensinya kemudian berhenti. Tanpa sengaja dia menangkap sosok Renata di antara ceruk leher orang-orang yang saling berdesakkan.

Astaga, wanita itu, batin Wirya begitu yakin dengan apa yang dia lihat.

Renata tampil mengesankan dengan seragam khusus berlabel Metro 24. Seharusnya Wirya tidak perlu heran dengan kehadiran wanita itu. Kasus pembunuhan ini cukup menyita perhatian warga Batam. Awak media sudah pasti berlomba-lomba meliput kasus ini demi mendapatkan sejumlah informasi-termasuk kantor berita tempat Renata bekerja.

Bersama seorang rekan pria yang bertugas sebagai kameramen, Renata berjalan mendekat. Wirya segera bersiap-siap. Dia bahkan mulai merangkai kata dalam kepala; apa-apa saja yang harus dan tidak harus dia sampaikan kalau-kalau jurnalis itu datang mewawancarainya.

Wirya menyisiri rambut cepak ABRI-nya dengan jari, sementara Kendra tersenyum simpul di sebelahnya. Sayang sekali, tebakan Wirya tidak tepat sasaran. Alih-alih berbelok, Renata justru melewati warung begitu saja. Bahkan, untuk sekadar melirik ke arah mereka, barang sebentar pun dia enggan melakukan. Tak lama derap langkah kaki kedua orang itu terhenti di depan sebuah mobil berwarna putih. Mobil itu terparkir di bahu jalan besar, di dekat mobil patroli polisi.

Pintu mobil patroli tiba-tiba membuka, lalu keluar seorang pria berwajah sangar dari dalamnya. Pria itu adalah Komandan Roy. Dia mengenakan seragam dengan lambang tiga balok emas di pundaknya. Renata yang terkesiap melihat sosok pria itu hanya bergeming di tempat. Dia tidak membalas seulas senyum yang dihadiahkan oleh Komandan itu padanya.

"Jurnalis itu sepertinya punya hubungan dekat dengan Komandan Roy," ujar Kendra tiba-tiba, yang spontan membuat Wirya menoleh kepadanya.

Keningnya berkerut dalam mendengar penuturan Kendra. "Maksudmu mereka ...?"

"Kerabat," potong Kendra sebelum Wirya berpikir yang tidak-tidak.

"Ini cuma sebatas perkiraanku saja tapi," imbuhnya sembari menggenggam dagu. Wirya sangat hapal dengan tingkah laku Kendra. Kebiasaan itu biasa Kendra lakukan apabila dia sedang dalam mode berpikir keras. "Kemungkinannya ... sekitar delapan puluh persen."

"Mustahil," sahut Wirya yang masih tidak percaya. "Asumsimu itu sama sekali tidak berdasar, Ken. Lihat!" Wirya menunjuk Renata yang kala itu bersikap dingin dan tak acuh terhadap keramahtamahan yang ditunjukkan oleh Komandan Roy. "Renata kelihatan tidak nyaman berada di dekat Komandan Roy."

"Hubungan mereka mungkin tidak baik," timpal Kendra.

Wirya mendengkus. Dia yakin, Kendra hanya asal sebut saja. Dilihat dari sisi manapun Renata tidak tampak dekat dengan Komandan Roy. Wajah kedua orang itu bahkan sama sekali tidak mirip. Wajah Komandan Roy terlalu mengerikan untuk bisa menghasilkan anak semenawan Renata. Pria itu selalu berwajah masam dan jarang sekali tersenyum. Kecuali ....

Wirya melebarkan kedua matanya. "Damanik. Mereka memiliki nama belakang yang sama."

Kendra segera mengangguki ucapan Wirya.

Namun, Wirya buru-buru memberi penyangkalan dengan mengibaskan tangan di depan wajah Kendra. "Menurutku nama belakang "Damanik" bisa dimiliki oleh siapa saja, mengingat pesebaran suku batak sama banyaknya dengan suku jawa di pulau ini."

"Kalau kau tidak percaya, tanya saja sendiri pada mereka." Kendra bangkit berdiri, kemudian segera merogoh saku celana untuk meraih gawai yang tersimpan di dalam sana. Ditinggalkannya Wirya di dalam warung itu, dia masih betah berlama-lama memperhatikan interaksi yang terjadi di antara Renata dan Komandan Roy.

Kendra berjalan menjauh untuk melakukan sebuah panggilan. Sesekali dia menengok ke belakang dan mendapati Komandan Roy tengah memandang Renata dengan penuh sayang dan rasa bangga. Tangan pria itu perlahan bergerak membenahi rambut Renata yang terbawa angin. Renata sendiri hanya diam, sama sekali tidak berniat menepisnya.

Komandan Roy adalah seorang polisi. Jika Renata bukan orang terdekatnya, dia tidak mungkin berani melakukan hal semacam itu. Terlebih, di hadapan publik, seru Kendra dalam hati.

__________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro