Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10: Mengulik Kisah

Renata menelan ludah. Kedua mata Wirya tak lepas darinya. Tatapan perwira berpangkat Inspektur Polisi Satu itu begitu tajam. Seakan sanggup mengulitinya hidup-hidup.

Nyali Renata ciut dibuat Wirya.

Namun, Renata sudah bertekad untuk tidak mundur semudah itu dari keyakinannya. Dia merasa sangat bersalah untuk ayahnya. Menjebloskan seseorang yang tidak tahu apa-apa demi meraih prestasi dan kenaikan pangkat, Renata tidak bisa menerima hal itu. Selama beberapa tahun belakangan, tepatnya sejak ia tahu perihal kebenaran itu, dia mulai meragukan ayahnya. Dia selalu bertanya-tanya: apakah setiap anak tangga yang didaki sang Ayah untuk sampai menuju puncak, selalu meninggalkan jejak kotor seperti ini?

"Kenapa kau begitu penasaran?" tanya Wirya setelah mereka terdiam cukup lama.

Renata memejamkan kedua mata, lalu berkata dengan tegas, "Tujuh tahun yang lalu, AF dihukum untuk sesuatu yang tidak dia lakukan. Aku tahu ayahku ikut terlibat. Dan, itu sangat tidak adil."

"Lalu, apa? Kau ingin membersihkan namanya dengan melawan ayahmu?" Wirya mendengkus sinis. "Hah! Jangan bercanda."

"Aku tidak sedang bercanda, Inspektur," jawab Renata dengan raut wajah yang terlihat dua kali lipat lebih serius.

Wirya tersenyum miring. Sesuatu di dalam dirinya semakin terpacu untuk memupus harapan wanita di hadapannya itu. "Lalu, bagaimana caramu membuktikan ketidakbersalahannya?"

"Seorang jurnalis punya pena sebagai senjata. Jika kau bersedia diwawancarai, aku yakin—"

"Membersihkan nama seseorang itu bukan tugas seorang jurnalis," Wirya buru-buru menyela sebelum wanita itu salah kaprah dalam mengartikan persepsinya. "AF sendirilah yang seharusnya membersihkan namanya dari tuduhan itu. Jika dia merasa hukuman yang dia terima tidak benar, dia bisa saja mengajukan banding pada saat itu. Tapi, apa? Dia hanya diam selama ini, dan baru menunjukkan taringnya begitu keluar dari penjara."

Renata terdiam bersama benaknya yang masih berupaya mencerna kata-kata Wirya. Sesaat, dia ... terpesona dengan cara Wirya berbicara. Mulut pria itu memang sedikit pedas, tetapi apa yang dia ucapkan merupakan sebuah kenyataan yang tak bisa Renata sanggah. Wirya menolak membantu. Dan, rasanya Renata bisa menerima itu semua tanpa banyak protes.

"Jika memang benar AF adalah tersangka utama dalam kasus yang kami tangani saat ini, dia mungkin tidak punya waktu lagi untuk membersihkan namanya. Sayang sekali, dia sudah menyia-yiakan statusnya sebagai narapidana bebas bersyarat. Aku juga tidak mengerti kenapa dia malah membalas dendam dengan membunuh anak perempuan dari Komandan kami. Padahal penyidik yang terlibat waktu itu bukan hanya Komandan kami saja."

Wirya sadar dirinya sudah bersikap keterlaluan. Dia menatap lekat-lekat kedua iris mata Renata ketika melontarkan kalimat terakhirnya. Dia hanya ... berkata sesuai fakta. Sebab, tampaknya memang hanya Komandan Roy lah yang terlihat begitu kukuh mempertahankan aib itu. Jadi, Wirya rasa dia tidak perlu menutup-nutupi hal ini lagi.

Renata menghela napas gusar. "Kau benar, bisa jadi akulah yang dibunuh," timpalnya.

Wirya menatap jam di pergelangan tangan, tidak terlalu mempedulikan ucapan Renata. Dia seperti diburu waktu. Renata yang menyadari perubahan sikapnya pun bertanya, "Apa kau sedang terburu-buru?"

"Begitulah. Aku harus pergi ke suatu tempat."

"Ke mana?"

Wirya melirik Renata lewat ujung matanya, kemudian menjawab. "Lapas."

____________________________________

Wirya mengemudi dalam diam. Dia melarikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Di sebelahnya, Renata tampak melamun. Wanita itu menatap keluar jendela, menikmati pemandangan yang tampak berseliweran mengikuti pergerakan mobil yang mereka kendarai.

Keduanya saling berdiam-diaman, menjaga jarak satu sama lain.

Situasi ini terlalu canggung. Wirya sadar akan hal itu. Dan kini, dia sedang menimbang-nimbang dalam kepalanya. Mempersiapkan satu-dua pertanyaan yang pantas untuk diajukan kepada wanita seperti Renata.

Namun, belum juga selesai meruntut pertanyaan-pertanyaan itu, dering ponsel di atas car holder telah lebih dulu menyita perhatian Wirya.

Wirya melirik lewat sudut mata. Dan dia mendapati nama Kendra tertera dalam layar ponsel yang tengah berkedip itu.

Wirya meraih handsfree bluetooth yang biasanya diletakkannya di atas dashbor, kemudian diangkatnya panggilan itu.

“Halo, Ken. Ada apa?” sambutnya.

"Wirya, di mana posisimu sekarang?” Di seberang, Kendra balas bertanya, mengabaikan pertanyaan yang Wirya lontarkan.

"Aku dalam perjalan menuju Lapas Sektor Sekupang."

"Lapas?" desis Kendra tak percaya. "Kenapa kau tidak koordinasi dulu denganku?!" Dia berteriak emosi lantaran Wirya selalu saja bergerak sendiri, semau hatinya. "Dengan siapa kau ke sana?"

"Berisik. Kita berbagi tugas saja. Kau kumpulkan bukti-bukti, aku akan ke Lapas untuk menanyakan soal tersangka AF pada sipir."

"Apa? Berisik, katamu--"

"Aku sedang mengemudi,” sergah Wirya cepat. Dia malas sekali berdebat dengan Kendra saat ini. “akan kukabari perkembangannya nanti."

Klik! Panggilan segera diputuskan. Wirya melempar kembali handsfree bluetooth-nya ke tempat semula, diiringi tatapan ingin tahu dari Renata.

Tak lama sebuah pertanyaan Renata ajukan padanya.

"Siapa itu?" Raut wajah wanita itu terlihat sangat penasaran.

Wirya menatap jalanan dan Renata secara bergantian. “Partner-ku. Di Divisi Pembunuhan," jawabnya singkat dan cepat. Sebisa mungkin pria itu menempatkan dirinya untuk tetap fokus menyetir selagi berbicara. Sial, batinnya tiba-tiba. Wirya sedikit menyesal. Seharusnya dia tidak mengiyakan permintaan Renata untuk ikut dengannya tadi.

"Maksudmu AKP Kendra Masturi?"

"Ya," sahut Wirya jengah. Siapa lagi, tambahnya dalam hati.

"Kudengar ada dua polisi hebat yang berhasil memecahkan kasus pembunuhan berantai yang sempat membuat Batam gempar setahun lalu.” Renata tersenyum tulus. “Tidak kusangka, sekarang aku duduk di sebelah salah satu polisi hebat itu."

Kata-kata Renata berhasil memicu jemari Wirya mengetat di roda kemudi. Dadanya berdenyut sakit. Seakan kembali dipukul dengan palu godam setiap kali orang-orang membicarakan soal kasus itu.

"Hebat sekali."

Pujian itu tidak berarti apa-apa bagi Wirya. Lorong telinganya justru terasa begitu panas mendengarnya. Orang-orang yang terus-menerus memujinya seolah tak membiarkannya lupa, barang sedetik pun, soal adiknya yang tewas dalam kasus mengerikan itu.

Wirya memilih mengabaikan ucapan wanita itu. Dia menyetir lurus dengan kedua rahang mengeras. Sedikit menundukkan kepala saat menara pengintai terlihat dari kejauhan. Pertanda, mereka sudah semakin dekat dengan tempat tujuan.

"Kenapa kau setuju saat aku memintamu ikut kemari? Aku dengar, kau orang yang tidak suka bekerja sama dengan media."

Wirya berdecak kesal. Inilah yang membuatnya tidak tahan berhadapan dengan orang-orang seperti Renata. Sungguh dia benar-benar ingin menutup mulut jurnalis yang satu ini. Renata terlalu menuntut untuk tahu segala hal. Sial.

"Apa kau punya maksud tertentu?" tanyanya lagi, lantaran tak kunjung mendapat jawaban dari Wirya. Dia menebak-nebak. "Apa mungkin ... ayahku menyulitkanmu?"

"Tidak ada yang disulitkan di sini," jawab Wirya pada akhirnya. Dia berusaha sabar kendati isi di dalam hatinya bergemuruh, ingin meledakkan sesuatu. “Kasus inilah yang sulit." Wirya menginjak rem kemudian menarik rem tangan. "Keluarlah. Kita sudah sampai."

Renata membuka pintu mobil, lalu menutupnya dengan pelan. Masih belum puas, kembali diajukannya satu pertanyaan lagi. "Lalu, apa alasanmu, Inspektur?"

Wirya menghela napas keras, menyerah. Sebelum menjawab, dia menguci mobilnya terlebih dahulu melalui tombol otomatis pada badan kunci. "Kenapa? Lagipula, ini bagus untuk dijadikan bahan tulisanmu nanti. Aku juga berpikiran menawarimu tiket wawancara eklusif untuk kasus ini. Jadi, pamormu sebagai jurnalis bisa naik."

Mata Renata berbinar mendengar hal itu. Meski, alasannya memilih menjadi seorang jurnalis bukanlah untuk mencari popularitas. "Apa Anda serius, Inspektur?"

Wirya mengangguk. “Terserah apa maumu.” Rasanya Wirya ingin menyumpal mulut wanita ini agar dia tidak lagi bersuara.

"Jadi, kita adalah partner?" Renata menyodorkan tangannya sebagai simbol pengesahan.

Wirya memandangi wanita itu selama beberapa saat. Lalu, lekas disambutnya uluran tangan itu. "Iya. Partner," senyumnya gamang.

Dalam hati Wirya berharap, semoga hubungan yang mereka jalin saat ini bersifat simbiosis mutualisme di kemudian hari.

______________________________

Wirya menunjukkan lencananya pada para petugas yang menjaga pintu masuk. "Saya Iptu Adrian Prawirya dari Resor Kota Barelang," ujaranya memperkenalkan diri. Kemudian, dia memberitahukan maksud dan tujuannya datang ke lapas itu.

"Anda ingin bertemu Kepala Lapas di sini?" tanya salah seorang petugas. Wirya mengangguk. Petugas itu meminta kartu indentitas asli milik Wirya dan juga Renata. Pemeriksaan dilakukan dengan sangat ketat dan menghabiskan banyak waktu. Untungnya, Wirya dan Renata tak membawa banyak barang bawaan, sehingga pemeriksaan yang dilewati tak begitu rumit. Ponsel mereka terpaksa disita demi keamanan bersama.

Begitu pemeriksaan selesai, salah seorang petugas mengantar mereka masuk ke dalam kawasan penjara. Mereka melewati lorong-lorong yang sangat sepi dan minim cahaya dengan CCTV di hampir setiap sudut. Selang beberapa menit berjalan, gerbang demi gerbang langsung menyambut mereka. Besi tua itu menjerit-jerit saat didorong paksa. Abu karatnya bahkan berjatuhan ke tanah. Telinga Renata terasa ngilu. Namun, dia berusaha membiasakan diri. Ditatapnya Wirya yang dengan penuh percaya diri berjalan menyongsong cahaya di ujung lorong itu.

"Kepala Lapas ada di sana." Petugas itu menunjuk seorang pria paruh baya yang berusia sekitar empat puluhan. Dia tengah berdiri sembari awas menatap para narapidana yang sedang berolahraga. Senyumnya seketika mengembang dari balik kawat besi, ketika salah seorang dari mereka berhasil membobol gawang lawan.

Petugas yang mengantar mereka berjalan mendekat ke arah pria itu, kemudian membisikkan sesuatu.

"Oh, ada tamu rupanya," sambut pria itu sembari menatap Wirya dan Renata bergantian.

Wirya mengangguk, kemudian memperkenalkan dirinya, juga Renata di sebelahnya.

"Kunjungan ini terkesan mendadak. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya."

Wirya menanggapi dengan seulas senyum. “Iya, Pak. Ini berkaitan dengan penyelidikan kasus kami. Salah satu narapidana di sini melakukan pembunuhan. Padahal, dia baru dibebaskan bersyarat sekitar seminggu yang lalu.”

Pria itu balas tersenyum. "Lalu, apa yang bisa kubantu?"

"AF. Kami ingin Anda menceritakan semua hal yang Anda tahu tentang dia, Pak."

"AF?"

Renata segera meralat begitu dilihatnya pria itu tampak kebingungan. "Maksudnya Alfian Narendra, terpidana kasus pembunuhan. Dia pernah menjadi tahanan Reskrimum Polresta Barelang. Dan, begitu putusan hakim menyatakan dia bersalah, dia dipindahkan ke sini."

"Oh, 00669! Ya, ya, aku ingat," ujar pria itu setelah beberapa waktu terjeda. "Dia mengajukan permohonan bebas bersyarat, dan setelah menijau kebaikan juga keburukan yang dilakukannya selama berada di sini, permohonannya akhirnya disetujui. Lagipula, dia sudah menjalani dua per tiga masa hukumannya. Meskipun begitu, dia masih dalam pengawasan kami dan dikenai wajib lapor sampai tahun 2022."

Wirya mengangguk-angguk tanda mengerti. "Bagaimana keseharian AF selama menjalani masa hukumannya di sini?"

Pria itu tampak berpikir keras.

"Sebenarnya, dia itu orang yang cukup merepotkan. Dia pernah kabur sekali, dan membuat kepala lapas sebelumnya diberhentikan. Kalau tidak salah, itu sekitar tahun 2010."

Wirya jadi ingat soal artikel yang pernah Renata jejalkan padanya. Artikel itu mengatakan AF memang sempat kabur. Namun, tidak sampai 24 jam kemudian, dia kembali diringkus.

Lapas ini memiliki sistem keamanan gerbang berlapis. Gembok yang dipasang juga bukan main besarnya. Anak kunci yang dipegang petugas sewatu mengantar mereka tadi juga terlihat rumit, tak diberi nomor seri, atau penanda. Apalagi CCTV terpasang di mana-mana. Wirya berpikir, bagaimana caranya AF kabur dari tempat ini? Apa dia memanjat tembok yang tingginya hampir tiga meter itu? Rasanya mustahil. Dia pasti sudah terpergok duluan sebelum sampai di atas sana. Menara pengintai tidak pernah tidur. Penjagaan di sana dilakukan selama dua puluh empat jam penuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro