Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TENTANG MEREKA

Raisya Indriana Salsabila, begitulah nama lengkapnya, yng sering dipanggil 'Ica' oleh keluarganya. Wanita berumur 21 tahun itu kini sedang mengenyam pendidikan S- 1 di salah satu Universitas Jakarta. Mempunyai dua adik laki-laki yang umurnya tidak berbeda jauh darinya. Dengan adik pertama beda dua tahun, sedangkan dengan adik kedua beda empat tahun. Ayahnya adalah dosen agama di salah satu Universitas yang ada di Jakarta, sedangkan ibunya adalah seorang guru ngaji di TPA dekat rumah.

"Esok akan ada tamu istimewa bagi Ayah dan tentunya untuk Raisya. Apakah besok kamu ada waktu luang?" tanya Reyhan –ayah Raisya–

Raisya mengerutkan keningnya, 'tamu istimewa katanya?'

"In syaa Allah besok aku pulang jam 4 sore, Yah. Memangnya ada apa? Dan siapa tamu istimewa yang Ayah maksud?"

Reyhan tersenyum memandang Raisya. Tatapannya mendalam, yang kemudian berubah menjadi tatapan lirih disertai kilauan bening di bola matanya.

"Ayah, kenapa diam saja? Ada apa?"

"Usia kamu sudah berapa, Ca, sekarang?"

Raisya tampak bingung walau akhirnya menjawab juga, "21 tahun, Ayah."

Reyhan tersenyum kemudian mulai membelai halus kepala putrinya yang tertutup jilbab, "Besok akan ada pertemuan keluarga, in syaa Allah ada lelaki yang berniat meng-khitbah Ica. Sebenarnya lelaki itu sudah melamar Ica ke Ayah, tapi masih Ayah gantung karena Ayah ingin kamu juga tahu. Tapi menurut Ayah sih, kamu pasti terima, kok."

'Mengapa Ayah bisa seyakin itu?' Raisya bertanya dalam hati.

Reyhan menerima sinyal kebingungan yang terpampang jelas di wajah putrinya, "Yo gimana enggak, wong anaknya ini ganteng, shalih, mapan. Kalo Ayah sih yes, deh," ujar Reyhan sambil berkedip jahil.

Wajah Raisya memanas, bisa-bisanya ia tersipu karena ucapan ayahnya barusan. Bagaimana Reyhan bisa tahu isi hati Raisya, sih?

"Sudah, ya, Yah, Ica mau istirahat dulu nih ngantuk. Besok lagi, ya, Ayah."

Reyhan tertawa kecil, lucu rasanya melihat putri sulungnya malu-malu kucing. "Siap deh calon pengantin."

"Ayah, sebentar," cegah Raisya saat ayahnya ingin beranjak dari kursi ruang keluarga. "Apa Raisya mengenal lelaki itu?" lanjutnya.

"Kamu mengenalnya, sangat mengenalnya."
Di ruang keluarga itu tersisa Hummaira – ibunya Raisya –, dan kedua adik Raisya yang sejak tadi masih setia membungkam mulutnya.

Tiba-tiba Hummaira membuka suara, "Kamu sudah besar ternyata, gak kerasa tiba-tiba sudah ada yang mengkhitbah, ya. Dulu kerjaannya masih minta diempok-empok, minta dibacain cerita Purbasari dan Purbararang. Ehh, bentar lagi kamu ninggalin rumah, ninggalin Ibu sama Ayah, ninggalin adik-adik kamu. Boleh gak kalau Ibu minta kamu tinggal di sini aja sama suami kamu nanti?"

Raisya tertegun mendengar ucapan Hummaira yang disertai isakan kecil. Raisya langsung memeluk Hummaira, berharap ketenangan akan segera tersalur ke dalam jiwa Hummaira yang semakin tenggelam dalam rasa sedih terbalut haru. Tapi entah bagaimana, bukannya Raisya memberi ketenangan kepada Hummaira, ia malah ikut menangis dan semakin erat memeluk Hummaira.

"Aku belum siap, Bu. Aku belum siap meninggalkan semuanya."

"Kak Ica, besok ada seorang lelaki baik yang ingin melamar Kakak. Lalu apalagi yang dikhawatirkan? Toh, walaupun nanti Kakak akan tinggal dengan suami, kalian berdua masih bisa ke sini. Kami pun bisa main ke rumah Kakak. Ibu harusnya senang, dong, akhirnya di keluarga ini ada yang pecah telur, he-he-he," ujar Kafka, adik pertama Raisya.

Raisya terdiam, sekejap ia mengingat lelaki yang selalu dikaguminya diam-diam. Lelaki yang ternyata adalah senior di kampusnya, lelaki yang mempunyai akhlak mulia sekaligus wajah yang rupawan. Bagaimana bisa Raisya menerima lamaran seseorang jika di dalam hatinya sudah ada lelaki lain yang mengisinya? Padahal selama ini Raisya selalu mengharapkan jika lelaki itu adalah imamnya kelak.

Akhirnya ia pamit dari ruang keluarga kemudian berjalan menuju kamarnya. Sudah lama Raisya tak mengisi diary-nya, diary yang seakan khusus ditujukan kepada seseorang. Bagaimana tidak, jika dari awal sampai akhir halaman berisi tentang kekagumannya pada senior tersebut.

Assalamu'alaikum, Mas.
Mas Ibrahim, lelaki yang sampai saat ini masih mengisi hampir seluruh relung hati.
Mas Ibrahim, yang namanya saja masih belum kuketahui kelengkapannya.
Lalu, bagaimana bisa aku menjadi pelengkap imanmu, Mas?
Mungkin aku masih cukup waras untuk tidak memintamu kepada Illahi Rabbi.
Aku masih dengan segala kesadaranku agar tidak lancang menyebut namamu pada tiap sepertiga malamku.
Selama ini, aku masih setia untuk mendambakanmu dalam diam.
Saat awal pandanganku tertuju padamu, rasanya jantung ini berdegup hebat.
Darahku terasa mengalir cepat ketika tak sengaja mata ini menangkap kehadiranmu, ketika telinga ini mendengarkan lantunan ayat suci dari suara indahmu.
Bagiku, semua milikmu adalah keindahan.
Dan aku masih belum pantas untuk memiliki semua keindahan itu.
Aku hanya mengagumimu dalam diam.
Aku hanya mendoakanmu dalam diam.
Cinta yang kuberikan untukmu, didasari oleh cinta yang selalu diberikan-Nya.
Harapanku kepadamu yang selalu kujadikan sebagai harapanku kepada-Nya.
Berharap, Allah akan memberikan jawaban yang terbaik dalam setiap pertanyaanku.
Berharap, Allah akan menuliskan suratan takdir yang terbaik untukku, nanti. 

Mas, esok akan ada lelaki yang melamarku.
Apa memang kita tak berjodoh?
Padahal, aku selalu memintamu pada-Nya agar kamu yang menjadi imamku kelak.
Padahal, aku selalu menyebutkan namamu pada setiap untaian doaku.
Lepas lembar demi lembar diary-ku selalu berisikan cerita tentangmu.
Tentang cerita kerinduan yang tak berwujud, cerita seorang lelaki yang hanya berbentuk sebuah nama.
Tangan ini mungkin tak akan pernah lelah untuk menulis semua tentangmu, yang hanya aku dan Allah yang tahu tentang rahasia hatiku.
Jika kamu memang bukan jodohku, setidaknya kamu pernah hadir kemudian mengisi hampir seluruh isi hati.

***

Sedangkan di sisi lain terdapat seorang pemuda berumur 25 tahun bernama Ibrahim Syahril Gibran yang baru saja menyelesaikan pendidikan S- 2 di Universitas yang sama dengan Raisya. Anak dari seorang Kyai yang merupakan salah satu pendakwah ternama di daerah Jakarta. Ibrahim adalah anak tunggal, dan dia selalu berusaha untuk memenuhi keinginan orangtuanya, salah satunya adalah permintaan abinya ini,

"Ibrahim, apa kamu bersedia untuk meng-khitbah anak teman Abi? Dia adalah perempuan yang baik, Abi pun sangat mengenal latar belakang keluarganya karena kebetulan Abi dan orangtuanya berteman di MAN dulu."

Ibrahim terkejut mendengar permintaan abinya ini. Ia merasa masih muda, masih banyak yang bisa didapatkan sebelum ia memutuskan untuk menikah. "Memangnya siapa perempuan itu, Bi?"

"Raisya. Perempuan itu bernama Raisya Indriana Salsabila."

Raisya? Wanita yang selalu aku pandang dari kejauhan? Adik tingkat S- 1 yang sudah kuperhatikan dari zaman dia ospek itu?
Entah mengapa bibir Ibrahim tertarik untuk membuat sebuah senyuman indah.

"Jika memang Raisya yang diciptakan Allah sebagai penggenap iman saya, saya siap menikahinya," ujar Ibrahim mantap.

Mendengar jawaban Ibrahim yang sangat yakin, membuat abinya ikut tersenyum. Jawaban Ibrahim kali ini sangat membuat Riyadi – abi Ibrahim – bahagia. Padahal sebenarnya Ibrahim yang paling bahagia dalam menjalankan permintaan Riyadi. Karena Ibrahim sudah menaruh hati pada Raisya sejak zaman ospek tiga tahun yang lalu.

Dalam diam, Ibrahim mencintai Raisya. Dan dalam do'a, Ibrahim mencintai Raisya diam-diam.

"Jam berapa kita akan ke rumahnya, Bi?" Rasanya jiwa Ibrahim seperti membara. Semangatnya terus memburu, rasanya ia ingin cepat-cepat menerbitkan matahari agar waktu berjalan dengan cepat.

Riyadi tertawa kecil, "Mungkin esok sekitar jam 4 sore, karena jam segitu Raisya baru pulang dari kuliahnya. Kamu bisa, kan?"

"Raisya baru pulang jam 4 dan langsung bertemu dengan kita, Bi? Apa kita gak biarkan Raisya istirahat sejenak? Dia pasti lelah."

"Belum jadi suami saja sudah perhatian sekali. Tetap seperti ini, ya, jangan kecewakan hati bidadari surgamu. Jangan patahkan tulang rusukmu. Jika dia melakukan suatu kesalahan, jangan dibentak, jangan kamu paksa untuk diluruskan karena wanita tercipta dari tulang yang bengkok. Jika kamu paksa untuk meluruskannya maka akan patahlah tulang tersebut."

Ibrahim mencerna tiap-tiap kalimat yang terucap dari mulut Riyadi. Sembari menganggukkan kepala dan bersiap mengambil wudhu untuk melaksanakan salat isya di masjid. Satu tujuan Ibrahim, ia ingin mengucap syukur yang sebanyak-banyaknya pada Illahi Rabbi yang telah mendengar sekaligus mengabulkan doa yang tak henti-hentinya ia panjatkan selama satu tahun belakangan ini.

Tiada henti Ibrahim untuk melaksanakan salat istikharah agar mendapat petunjuk sekaligus memantapkan pilihannya. Dan hatinya semakin mantap, ia selalu menyebutkan nama Raisya, Raisya, dan Raisya. Kini Ibrahim yakin, Raisya memang tulang rusuk yang selama ini ia cari di mana keberadaannya.

Semoga kisah Ibrahim dan Raisya dapat seperti kisah Adam dan Hawa yang saling mencinta dan berakhir bahagia. Walau ada rintangan namun mereka dapat melaluinya, bahagia bersama sampai mereka kembali dipertemukan di surga-Nya.

*Bersambung*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro