SEMPURNA
"Sya, mau makan apa malam ini? Dari siang kamu belum makan karena takut gaun kamu melembung di bagian perut, kan?"
Raisya mendelik tajam ke arah Ibrahim, bisa-bisanya Ibrahim berbicara seenak udel. Mana Ibrahim yang katanya dingin dan kaku itu? Mengapa ia sangat lancar dalam meledek Raisya?
"Enak saja! Bukan begitu tahu! Aku gak makan tadi karena emang gak mau makan aja. Tapi kalo sekarang aku mau makan, laper banget."
"Ha-ha-ha ya sudah, sekarang mau makan apa? Mau beli makan di luar? Masak? Atau makan makanan prasmanan saja?" tanya Ibrahim.
"Keluarga kita bagaimana? Mereka mau makan apa?" Pipi Raisya memerah lagi karena ia menyebut 'keluarga kita'. Ia yang berucap, ia juga yang malu. Aneh memang.
Ibrahim tersenyum hangat. "Tadi ummi bilang, mau ngasih waktu kita buat pacaran. Jadi kita makan berdua saja."
"O-oh begitu, ya? Hhmm, gi-gimana kalo kita makan di luar saja?" Raisya terbata-bata, ia benar-benar gugup dan salah tingkah sekarang. Ibrahim selalu sukses membuat Raisya malu-malu seperti saat ini.
"Setuju." Ibrahim menggenggam tangan Raisya untuk keluar kamar dan langsung disambut tanggapan heboh dari keluarga mereka.
"Ekhem yang sudah menikah, main gandeng-gandeng kekasih halal. Mau ke mana, sih? Semangat banget kayaknya," nyinyir Rafka.
"Huss! Sudah sana kamu makan, udah pada ngumpul di meja makan juga!" tegur Raisya pelan.
"Mas, ini istrinya kenapa dari tadi malu-malu mulu, sih? Biasanya juga malu-maluin." Kini Kafka yang ikut menggoda kakak pertamanya. Ternyata ketiga lelaki muda tersebut – termasuk Ibrahim – sangat suka menggoda Raisya yang mudah blushing.
Ibrahim menyahut, "Saya juga baru tahu kalau Raisya yang biasanya terlihat tenang, ternyata aslinya malah malu-malu buat gemas, ya."
Merasa jengah karena jadi bahan ledekan, akhirnya Raisya mengambil langkah lebih dulu untuk pamit kepada keluarga yang sedang bersiap di ruang makan. "Ummi, Abi, aku sama Mas Ibam keluar dulu, ya, maaf belum bisa ikut makan bersama."
Hawwa menyahut, "Nggak apa-apa kita ngerti, kok, pengantin baru butuh waktu untuk berdua. Selamat bersenang-senang."
Setelah bersalaman dengan seluruh keluarga, Raisya melangkah ke luar rumah tanpa menunggu Ibrahim yang masih mengobrol bersama keluarga. Entah, rasanya Raisya sedikit kesal kepada suaminya itu.
"Hei, Sya! Kok kamu ninggalin saya? Main nyelonong ke luar, terus sekarang malah bengong di bawah pohon jambu. Gak kerasukan, kan?"
Raisya menaikkan bahunya, "Entah. Bisa jadi kerasukan," jawab Raisya jutek.
Ibrahim lagi-lagi dibuat gemas oleh istrinya itu. "Hei! Kenapa kamu? Kok hari pertama bersama saja sudah ngambek-ngambek gini?"
Raisya mencubit lengan Ibrahim pelan. "Mas, kenapa suka banget godain aku? Sudah begitu gak peka lagi. Kemarin-kemarin saja kan masih malu-malu, kaku, dingin, ngomong sama ayahku saja keringet dingin. Ha-ha-ha-ha!"
Raisya akhirnya tertawa lepas mengingat bagaimana suaminya itu sangat gerogi pada saat melamarnya. Akhirnya mereka sama-sama flashback di atas motor kesayangan Raisya.
"Kamu gak tahu bagaimana geroginya saya waktu itu. Walau saya yakin lamaran saya pasti diterima, tapi tetep aja gerogi kalau berhadapan sama ayahmu."
"Ha-ha-ha waktu gak sengaja aku liat ke arah Mas, muka Mas bener-bener kayak nahan sakit perut. Aku pengen banget ngetawain, tapi gak enak juga, aku harus jaga image, ha-ha-ha-ha."
Obrolan demi obrolan hangat pun menyenangkan terus saja mengalir menggantikan suara bising kendaraan lain yang berlalu lalang di jalan. Mereka benar-benar menikmati waktu yang diberikan oleh Allah untuk mereka berdua.
"Mas Ibam, terima kasih, ya," ucap Raisya di waktu mereka menunggu makanan yang mereka pesan.
Ibrahim mengerutkan kening sedikit, merasa sedikit aneh dengan panggilan baru tersebut. "Mas Ibam?"
"He-he, iya, panggilan baru. Lucu kan? Mas Ibam."
Benar-benar, Raisya memang mampu membuat perasaan Ibrahim bertambah kian detiknya. "Lucu, saya suka dengarnya. Itu nama panggilan favorit saya mulai detik ini."
Hening sebentar sebelum Ibrahim melanjutkan ucapannya, "Oh, iya, terima kasih untuk apa?"
"Terima kasih, Mas Ibam telah memilih Raisya untuk menjadi pendamping hidup Mas, menjadi perempuan yang akan selalu ada untuk Mas, perempuan yang akan selalu mendukung Mas kapan pun dan di mana pun itu," ucap Raisya sambil tersenyum hangat dan menatap Ibrahim dengan tatapan yang sanggup melelehkan hati Ibrahim.
"Bukankah terbalik? Saya yang harusnya mengucapkan kalimat itu, terima kasih karena kamu sudah menerima saya, dengan apa adanya saya, dan sudah memercayakan seluruh sisa hidupmu untuk dihabiskan bersama saya. Terima kasih banyak, Sya, saya sangat bersyukur telah dipertemukan denganmu."
Setelah ucapan Ibrahim barusan, terdengar suara isak tangis yang membuat suasana menjadi aneh sekaligus horror. Iya, karena bukan Ibrahim maupun Raisya yang menangis, jadi siapa?
"Hiksss, ya Gusti! Obrolan ini mampu membuat hamba merasa ngenes. Ya Gusti, beri hamba jodoh, sudah 30 tahun belum ada yang melamar juga, hikssss," ucap pelayan yang ternyata sudah dari tadi berdiri di samping meja Ibrahim dan Raisya.
Ibrahim tersenyum tipis, sedangkan Raisya menahan malu setengah mati. Bagaimana tidak jika mbak-mbak pelayan itu mendengarkan ucapan mereka barusan.
"Yang sabar dan tabah, Mbak. Yakin saja bentar lagi pasti Mbak akan bertemu jodoh Mbak. Ikhtiar dan tawakalnya jangan lupa, ya, Mbak," ucap Ibrahim sambil lagi-lagi tersenyum tipis.
Ya, ia tidak bisa memberikan senyum lebar dan hangatnya itu kepada perempuan selain Ummi dan istrinya itu. Ibrahim, tergolong dalam kategori lelaki setia dan tidak suka tebar pesona seperti laki-laki modus di luaran sana.
"Aamiin, Mas, yaudah saya tinggal, masih banyak pesanan. Semoga rumah tangganya langgeng, ya, Mas dan Mbak," pamit si pelayan ramah.
Ibrahim dan Raisya hanya tersenyum, kemudian mulai melahap makanan yang sudah tersaji di depan mereka. Hening di antara mereka berdua, hanya diisi oleh suara sendok yang beradu dengan piring. Tak jarang mereka saling curi-curi pandang dam kemudian diakhiri dengan munculnya semburat merah di pipi mereka berdua. Lucu memang, padahal sebelumnya mereka sudah saling mengobrol dan bercanda dengan hangat tanpa gerogi ataupun canggung, namun di menit setelahnya gugup dan salah tingkah kembali menyerang mereka berdua.
"Sudah? Mau langsung pulang atau?" tanya Ibrahim setelah Ibrahim menyelesaikan pembayaran di rumah makan tersebut.
"Kita jalan-jalan sebentar, yuk? Muter-muter saja, sekalian cari angin," usul Raisya.
Ibrahim tertawa kecil, "Angin kok dicari? Jodoh tuh dicari. Eh, tapi sudah ketemu, sudah di depan mata."
Raisya mencubit lengan Ibrahim pelan, "Sudah, jangan bikin pipi aku merah mulu. Kalo bikin duit jadi merah sih gak apa-apa, aku terima terus setiap hari."
Ibrahim tertawa lepas mendengar ucapan Raisya. "Saya gak nyangka ternyata kamu juga mata duitan, ya, Sya." Akhirnya tawa mereka kembali memancar, mungkin jika orang melihat mereka berdua, maka akan terlihat jika di sekeliling mereka terdapat efek love-love di sana.
Mereka sama-sama menikmati angin malam berdua, tak jarang Raisya memberanikan diri untuk mendekat kepada Ibrahim di saat ucapan Ibrahim tak begitu jelas terdengar karena suara bising kendaraan lain. Dan tak jarang pula Ibrahim yang sengaja memelankan suaranya agar Raisya terus mendekat ke arahnya.
Modus ke istri sendiri, sah saja kan? Pikir jahil Ibrahim.
"Mas, kamu ngomong atau bisik-bisik sih? Aku gak kedengeran," ucap Raisya yang akhirnya merasa jengah juga.
Ibrahim melirik sambil tertawa kecil dari balik spion, melihat wajah Raisya yang kesal tercampur dengan semburat merah itu, benar-benar menggemaskan. "Masa kamu gak bisa denger? Saya saja bisa denger suara hati kamu."
Raisya mendelik, "Berarti kamu bisa tahu dong kalo sekarang aku lagi kesel sama ngata-ngatain kamu dalem hati?"
"Apanya ngata-ngatain, orang hati kamu selalu bilang I love you, Mas Ibam, suami tersayang." Lagi-lagi Ibrahim menggoda Raisya yang akhirnya disambut dengan pukulan yang mendarat di punggung Ibrahim pelan.
"Kok kamu baru hari pertama saja sudah main pukul-pukul? Bagaimana nanti satu tahun? Saya sudah habis dicincang-cincang sama kamu kali, ya?" protes Ibrahim walaupun pukulan Raisya sama sekali tidak membuat punggungnya sakit, melainkan membuatnya senang dan nyaman.
"Iya, aku jadiin rempeyek aja sekalian, kamu nyebelin soalnya," ucap Raisya yang benar-benar merajuk.
Ibrahim kembali melirik Raisya saat nada bicara Raisya benar-benar menunjukkan bahwa ia sedang kesal, "Kok manyun? Bener ngambek sama Mas Ibam tersayang ini?"
Raisya hanya diam, bahkan melirik pun enggan.
"Sya? Beneran marah? Maafin dong, saya cuma bercanda, kok, serius deh," bujuk Ibrahim.
"Jadi maksud Mas itu bercanda atau serius? Kok jadi bikin bingung sih," ucap Raisya sambil menahan tawanya.
"Hmm, saya bercandanya serius, nah begitu maksudnya. Saya serius bercandanya, ngerti gak maksud saya?" tanya Ibrahim belibet.
Raisya tertawa lepas, "Apa sih, Mas? Kamu ngomong kok gak jelas, lucu banget."
Ibrahim ikut tertawa, "Saya memang lucu dari dulu, he-he."
Raisya mendelik geli, "Apa sih, sok imut!"
"Dari dulu emang imut, he-he."
"MAS!!!!!" tegur Raisya karena ia benar-benar sebal mendengar ucapan baru dari Ibrahim itu.
*Bersambung*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro