Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SAH (2)

Azan dzuhur berkumandang, akhirnya kaum Adam bergegas untuk pergi ke masjid. Sedangkan untuk kaum Hawa beribadah di musala terdekat, kecuali Raisya yang salat di rumah bersama Hawwa juga Hummaira karena akan berganti pakaian.

Setelah selesai menunaikan salat dzuhur, ruang dandan untuk pengantin kini digabung. Yang tadinya mereka bersiap-siap masing-masing di tempatnya, kali ini Raisya dan Ibrahim disatukan dalam suatu ruangan yang agak besar, yang penuh oleh cahaya penerangan, tak lupa dengan baju walimah yang sudah tergantung rapi di maneken.

"Kamu cantik sekali menggunakan gaun ini, Sya," ucap Ibrahim spontan saat Raisya sudah terbalut gaun pesta pernikahannya itu.

Raisya tersipu di balik niqabnya. "Terima kasih. Mas Ibrahim juga terlihat tampan dan gagah memakai jas itu."

Ibrahim tertawa kecil. "Gak usah muji balik enggak apa-apa, kok. Saya gak berharap dapat pujian balik."

Raisya hanya diam, tetapi tangannya menerima uluran tangan Ibrahim yang akan membawa ia kembali ke atas pelaminan. Mereka berjalan berdampingan, hingga akhirnya duduk kembali untuk melanjutkan menjadi Raja dan Ratu sehari.

Tamu demi tamu undangan terus bergantian menyalami mereka dari pagi hingga petang. Raisya dan Ibrahim merasa lebih rileks sekarang, tak jarang mereka saling bergurau juga tertawa bersama melihat kelakuan-kelakuan aneh dari teman-temannya.

Ada yang menangis tersedu-sedu karena tak rela ditinggal nikah terlebih dahulu oleh Raisya, ada yang jingkrak-jingkrak karena senang akhirnya Ibrahim bisa menikahi wanita idamannya, sampai ada yang ingin membawa pulang makanan prasmanan. Semua itu tak habis jadi bahan perbincangan antara Ibrahim dan Raisya. Tembok di antara mereka berdua perlahan hancur dan runtuh, hati mereka menghangat, ada rasa bahagia yang memuncak di dalam sana.

Dan tepat pukul 17.00 acara walimah selesai. Semua terlihat sibuk untuk merapikan segala sesuatunya. Begitu pula dengan sepasang sejoli, yang kini sedang beristirahat di dalam ruangan yang khusus disiapkan untuk mereka berdua a.k.a kamar pengantin. Perasaan gugup yang tadinya sudah hilang itu kian kembali menyerang mereka berdua. Rasanya suara jantung mereka terlalu berisik untuk mengisi ruangan yang hening itu. Mereka tak dapat mendengar suara apa-apa selain suara dari jantung juga suara dari hati mereka.

Ibrahim, walau jantungnya terus berdebar, tetapi ia tak ingin melepaskan pandangannya dari istrinya. Seperti ada magnet dari Raisya sehingga memaksa mata Ibrahim untuk tetap terpaku kepadanya. Alangkah cantiknya Raisya yang masih mengenakan baju pengantin. Bahkan walaupun Raisya masih mengenakan niqabnya, Ibrahim dapat merasakan aura kecantikan yang dimiliki Raisya. Karena Raisya memiliki keduanya, cantik hati pun cantik parasnya. Kalimat-kalimat Allah selalu Ibrahim ucapkan, karena ia bisa menikahi salah satu ciptaan-Nya yang indah juga menyejukkan hatinya.

Perlahan, Ibrahim memberanikan diri untuk mengambil langkah lebih dekat pada Raisya. "Sya, saya izin buka niqabmu, ya."
Raisya hanya mengangguk, kemudian tersenyum tersipu dibalik niqabnya.

Ibrahim ikut tersenyum saat ia telah mendapatkan izin untuk melihat wajah yang selalu ia rindukan setiap saat itu.

Deg. Deg. Deg.

Jantung dari keduanya semakin berdegup cepat, Raisya hanya mampu menundukkan kepalanya sekarang, pun Ibrahim yang perlahan mulai membuka niqabnya. Hingga akhirnya, kini wajah cantik Raisya terpampang jelas di mata Ibrahim, yang awalnya Ibrahim langsung menundukkan pandangannya, tetapi ia sadar jika kini Raisya sudah halal untuk dipandangnya.

Ibrahim kembali menatap Raisya, yang disambut oleh semburat merah di pipi Raisya. "Sya?" panggil Ibrahim.

Raisya balas menatap Ibrahim. "Iya, Mas?"

Lagi-lagi Ibrahim terpaku. Ia terlalu suka mendengar panggilan 'Mas' dari istrinya itu.

"Mas?" tegur Raisya yang akhirnya menyadarkan Ibrahim dari keterpanaannya.

"Eh? Maaf, saya malah melamun, ya," jawab Ibrahim kikuk.

Raisya tersenyum kecil. "Ada apa?"

"Ah, tidak, saya hanya ingin bilang, kamu cantik sekali," jawab Ibrahim.

Kali ini Raisya yang kikuk, pipinya memerah, jantungnya berdebar kencang. "Apa benar kamu itu orang yang kaku, Mas?"

Ibrahim terkejut, "Eh?"

"Ummi bilang kamu itu orangnya kaku, bahkan nyebut diri kamu ke orang tua saja pakai kata 'saya', tapi dari tadi kayaknya kamu orang yang ceria, banyak omong, dan pintar gombal. Orang kaku gak akan kayak begitu, kan?" Kalimat itu diakhiri dengan tawan kecil Raisya. Benar, bahkan rasanya sikap Ibrahim tak ada kakunya sama sekali. Oh, mungkin dulu sebelum mereka mempunyai ikatan halal.

Ibrahim menghela napasnya, benar-benar umminya itu. "Entah? Rasanya saat berhadapan denganmu saya ingin memujimu terus, ingin tersenyum terus."

"Gombal ini?" Raisya terkekeh.

Ibrahim tersenyum dalam, sebelum ia mengucapkan satu kalimat yang membuat Raisya merasa dunia seakan berhenti pada putarannya.

"Saya mencintaimu, Raisya."

Raisya seakan terhipnosis karena ucapan Ibrahim barusan. Ia bergeming, lidahnya terasa kelu walaupun hanya untuk mengucap satu kata. Yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba menguasai dirinya dan menetralkan debaran jantung yang kelewat batas itu. Pipinya masih saja memanas, ia terlalu salah tingkah.

"Aku juga mencintai Mas," jawab Raisya pelan dan ragu.

Bukan, bukan ragu dalam hal mencintai Ibrahim, untuk pasal itu tak usah diragukan lagi. Tapi, ia ragu jika Ibrahim bisa mendengar ucapannya karena itu lebih terdengar seperti gumaman tak jelas.

Lagi-lagi hening menyapa mereka berdua, bahkan jangkrik pun ogah ikut mengoceh agar meramaikan suasana dalam kamar pengantin itu. Namun, Raisya dapat melihat Ibrahim yang tersenyum tulus. Senyuman manis nan indah, yang mampu membuat Raisya ikut tersenyum melihatnya.

"Ya sudah kita sekarang rapi-rapi dulu, sudah mau masuk maghrib. Saya mandi duluan, ya, takut gak keburu jamaah di masjid," ucap Ibrahim yang disetujui oleh Raisya.

Sebenarnya, Raisya sangat ingin merasakan salat berjamaah pertama kalinya dengan status menjadi istri Ibrahim. Namun, memang lelaki wajib salat jamaah di masjid jika mampu, bukan?

Saat Ibrahim keluar dari kamar, Raisya dengan refleks menepuk-nepuk pipinya. Menyadarkan, apakah ini mimpi atau memang nyata. Ia bersenandung shalawat dengan perasaan yang sangat gembira karena ia menyadari bahwa ini memang nyata adanya.

"Ya Allah, tiada henti aku mengucapkan syukur kepadamu, Ya Illahi Rabbi, wahai Zat pemilik hati."

Kini ia sibuk mencari piyama yang akan ia pakai untuk tidur. Kamar Raisya yang dirancang sebagaimana kamar pengantin itu terlihat sangat berbeda. Semua baju dan segala perlengkapan Raisya sudah dikemas karena esok hari Raisya dan Ibrahim akan pindah ke rumah yang memang sudah Ibrahim siapkan dari jauh-jauh hari.

Rumah yang nantinya akan diisi oleh gurauan mereka berdua, diisi dengan harumnya masakan Raisya, pun dengan suara tangisan serta tawa dari anak mereka kelak. Raisya agak kesulitan untuk mencari sesuatu yang ia perlukan dan hanya menemukan piyama bergambar doraemon kali ini.

Cklek.

Suara khas gagang pintu yang dibuka, memunculkan sosok Ibrahim yang sudah rapi dengan baju kokoh serta pecinya. "Sya?" panggil Ibrahim.

"Eh, iya Mas? Sudah selesai?" tanya Raisya yang menoleh sekilas kepada Ibrahim sebelum akhirnya matanya kembali tertuju pada koper untuk mencari jilbab rumahannya.

Ibrahim tidak menjawab ucapan Raisya, ia memilih untuk berjalan mendekati Raisya yang terlihat masih sibuk megobrak-abrik kopernya.
"Sibuk banget? Cari apa?" tanya Ibrahim.

"Jilbabku, padahal sebelumnya kutaruh di koper ini, tapi sekarang kok pada hilang entah ke mana," jawab Raisya yang tidak menatap Ibrahim di sebelahnya.

Tangan Ibrahim akhirnya terjulur untuk membelai halus kepala Raisya yang sudah tak terbalut jilbab. "Kamu juga cantik walau tidak mengenakan jilbabmu, Sya."

Hening lumayan lama, sebelum akhirnya Raisya berseru histeris, "Astaghfirullah! Bukannya tadi aku pakai handuk untuk menutupi rambutku?!" pekiknya terkejut.

Pipi Raisya benar-benar seperti kepiting rebus sekarang. Kulitnya yang berwarna putih sangat kontras dengan semburat merahnya itu. Dengan kecepatan kilat, Raisya berlari ke sudut kamar, berusaha untuk menutupkan rambutnya yang sudah tergerai bebas itu.

"Sya, kenapa?" tanya Ibrahim sedikit bingung melihat tingkah laku Raisya yang agak aneh.

Raisya dengan cepat langsung memakai kembali handuk yang ternyata jatuh di lantai, ia kenakan dengan cepat asal dapat menutupi seluruh rambutnya. "Mas, kenapa gak ketuk pintu dulu, sih? Aku belum pakai jilbab," ucap Raisya agak kesal. Bahkan ia hampir menangis sekarang, rasanya usaha ia untuk menjaga auratnya selama ini luruh begitu saja.

"Sya," panggil Ibrahim pelan. Namun, Raisya masih tidak mau menoleh pada Ibrahim.

"Raisya," panggilnya sekali lagi.

Namun, masih saja tidak didengarkan.

"Raisya Indriana Salsabila," panggil Ibrahim lumayan keras yang akhirnya membuat Raisya menoleh padanya. Dapat dilihat, mata Raisya berkaca-kaca sekarang. Apa Ibrahim telah melukai harga diri Raisya?

"Kamu menangis?" tanya Ibrahim sambil berjalan mendekati Raisya.

"Mas masuk ke kamar tiba-tiba, padahal aku sedang tidak pakai jilbab."

Ibrahim yang dibuat bingung sekarang, bukankah sekarang mereka telah menjadi pasangan halal? Bukannya merasa tersinggung, Ibrahim dibuat terkesima, ternyata memang ia tak salah dalam memilih pendamping halal. Raisya sangat menjaga auratnya dari laki-laki yang bukan mahramnya, dan mungkin saat ini Raisya belum terbiasa untuk menunjukkan rambut indahnya. Akhirnya, Ibrahim berniat untuk menjahili Raisya dengan cara menggodanya.

"Jadi, kalau sudah suami istri tetap gak boleh liat, ya? Duh, padahal tadi sudah terlihat loh, sempat saya pegang juga, bagaimana, ya?"

Raisya yang tadinya menangis kecil, akhirnya ia menghentikan tangisannya itu. Ia terdiam, hingga tak lama pipinya kembali memerah dengan sangat jelas. Bagaimana bisa Raisya lupa jika kini ia sudah halal bagi Ibrahim?

"Aduh, padahal tadi sudah liat rambut istri yang indah itu, suami jadi merasa tidak enak nih sama istri." Ibrahim masih lancar dalam menggoda Raisya. Ia menahan tawa melihat Raisya yang kelewat salah tingkah sekarang.

Raisya perlahan menatap Ibrahim yang sudah tertawa kecil itu. "Mas, sudah, aku malu. Aku lupa kalau kamu sudah jadi suami aku. Aku masih gak percaya sampe sekarang."

Ibrahim menggenggam tangan Raisya, walau sebenarnya ia juga diserang dengan rasa gerogi kelewat batas. "Saya pun. Saya gak percaya bisa mempersuntingmu. Saya bisa berada di dalam satu ruangan ini, memandangmu, menggenggammu, tanpa takut akan rasa dosa yang menghantui. Saya tak menyangka, bahwa penantian dan doa-doa dalam memerjuangkanmu selama ini tak sia-sia. Rencana Allah seindah ini dalam menyatukan kita berdua, Sya."

Akhirnya Raisya mencium punggung tangan Ibrahim, menunjukkan rasa patuh juga tunduk pada suaminya itu. Ia tersenyum, dalam hatinya selalu memuji Allah atas segala kebaikan yang telah Dia beri. Sampai akhirnya, Raisya mengingat sesuatu.

"Mas, bukannya kamu sudah wudhu? Bukannya kamu mau berjamaah di Masjid?"

Yang akhirnya disambut istighfar oleh Ibrahim, dan langsung bergegas mengambil wudhu kembali sebelum pergi ke Masjid. Hati Raisya menghangat, hanya satu kalimat yang selalu terngiang dalam benaknya.

"Ya Allah, aku sangat bahagia."

*Bersambung*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro