PERTEMUAN
Hari ini, sore ini, dan pada jam ini, Raisya serta keluarganya tengah menunggu kedatangan tamu yang katanya istimewa. Raisya terus berjalan mondar-mandir di sudut ruangan, pikirannya tak tenang, ia diserang gelisah lumayan hebat. Mengingat bahwa Raisya tidak mengenal lelaki pilihan Reyhan yang dalam hitungan menit lelaki itu akan tiba di rumahnya. Juga mengingat bahwa Raisya tengah mencintai seorang lelaki lain.
Apa lelaki ini yang benar-benar sudah dituliskan-Nya untuk Raisya? Apa lelaki ini yang nantinya akan berdiri di saf depan, kemudian diikuti Raisya beserta anak-anak di belakangnya? Apa lelaki ini yang nantinya akan selalu menjadi orang pertama yang dilihat Raisya saat bangun dari tidur?
Tepat pukul 16.00 tamu istimewa bagi keluarga Raisya tiba di pekarangan rumah. Keluarga Raisya bersiap untuk menyambut kedatangan mereka, sedangkan Raisya masih berdiam diri di dalam kamarnya. Oh bukan, bukan berdiam diri. Lebih tepatnya Raisya semakin gelisah sambil mondar-mandir di sana.
Aku harus apa jika sudah berhadapan dengannya? Begitu pikir Raisya.
Padahal ini baru pertemuan pertama, toh masih banyak tahapan-tahapan selanjutnya. Bisa saja lelaki itu membatalkan rencananya dan Raisya bisa terbebas dalam lamaran ini.
Tapi akankah aku kecewa jika nantinya lamaran ini dibatalkan?
"Ca, kok bengong? Ayo ke ruang tamu, mereka sudah menunggu," ucap Reyhan yang membuyarkan lamunan Raisya.
Raisya mulai menggamit lengan Reyhan, entah kali ini ia dirundung rasa nervous yang tak tertahankan. Jadi seperti itukah rasanya akan dilamar?
"Assalamu'alaikum. Maaf menunggu lama, tadi kami berbicara sebentar di belakang," kata Reyhan ketika mereka semua sudah duduk di bangku ruang tamu.
Raisya sama sekali belum mengalihkan pandangannya dari karpet bulu bermotifkan bunga-bunga itu. Bahkan saat bersalaman pun, Raisya tetap menundukkan pandangannya sesuai dengan arahan Reyhan sebelum mereka memutuskan untuk pergi ke ruang tamu.
'Nanti kamu menundukkan pandanganmu dulu, ya, ingat kalian itu belum halal. Takutnya zina mata soalnya dia itu ganteng loh, Ca.'
Alhasil Raisya sama sekali belum mengetahui paras calon suami dan mertuanya itu.
"Tidak apa-apa, maaf juga karena kami langsung datang jam 4 padahal Raisya pasti baru sampai rumah," ucap Riyadi yang khas dengan suara serak beratnya itu.
Raisya menjawab pelan, "Tidak apa-apa, Om, tadi karena dosen pembimbingnya ternyata tidak bisa hadir, akhirnya saya langsung pulang. Sudah di rumah dari jam 2."
"Oh, baiklah kalau gitu. Kita langsung mulai sesi perkenalan saja, ya? Perkenalkan, di sebelah kanan saya yaitu anak tunggal saya, Ibrahim Syahril Gibran. Ibrahim yang akan melamarmu, dan berniat menjadikanmu sebagai istrinya, dan in syaa Allah akan berlanjut sampai semua orang mengatakan sah."
Raisya menegang di tempat. Rasanya seperti ada sesuatu yang menyerang akal sehatnya.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang Ibrahim Syahril Gibran, lelaki yang selama ini selalu membuat diary Raisya penuh tentangnya, lelaki yang selalu Raisya sebut dalam doanya, lelaki yang hanya mampu dipandang hanya dengan mata batinnya saja, lelaki yang selalu mampu mewarnai cerita dalam tulisan tangannya, kini berada di depannya? Ibrahim yang akan melamarnya?
Raisya masih diam, sama sekali tak bergerak maupun mengangkat suara. Bahkan, untuk mengangkat kelingking pun sangat sulit bagi Raisya. Dag dig dug, bunyi jantungnya berdetak terlalu kencang dan cepat, bumi seolah-olah memaku dirinya untuk bergeming.
"Saya Ibrahim Syahril Gibran, in syaa Allah akan melanjutkan tahap khitbah ini sampai ke pernikahan yang sah. Saya Ibrahim Syahril Gibran, siap menikahi saudari Raisya Indriana Salsabila. Apakah Raisya menerima lamaran saya?" tanya Ibrahim yang sedari tadi masih setia dalam kegugupannya. Bagaimana tidak, jika air keringat saja terus menerus mengalir dari dahinya. Gelisah menghampiri hatinya karena melihat kubu lawan bicara yang masih setia dalam diamnya.
Apa ini yang dinamakan penolakan halus? Pikir Ibrahim.
Raisya yang tadinya masih melihat ke arah bawah, perlahan-lahan mulai menaikkan pandangannya. Tepat, mata Raisya bertubrukan dengan mata indah milik Ibrahim.
Biasanya aku selalu memandanginya dari kejauhan. Biasanya aku hanya memandang punggung tegapnya yang semakin melangkah jauh ke depan. Bagaimana bisa roda berputar begitu cepatnya? Saat ini, mataku bertemu dengannya dalam jarak yang tidak sejauh seperti biasanya.
Astaghfirullahaladzim. Raisya dengan segera mungkin melepaskan pandangannya, begitupun Ibrahim. Mereka saling membuang pandangan, walau hatinya selalu menyeru untuk saling menatap kembali.
Bukankah godaan setan itu memang nyata?
Namun yang tak hilang dari ingatan Raisya akan penglihatannya tadi, bahwa ia benar-benar melihat kegugupan Ibrahim. Raisya tertawa kecil, gemas melihat lelaki itu dirundung kegelisahan.
Raisya mulai mengambil napas panjang sebelum akhirnya membuka suara, "Jika ia memang yang diciptakan Allah untuk menjadi imam Raisya, in syaa Allah Raisya siap menerima lamarannya."
Setelah Raisya mengucapkan itu, terdengar suara helaan napas lega dari semua belah pihak. Benar-benar keadaan yang sangat menegangkan sekaligus menyenangkan. Bahkan, Raisya ingin berlari ke tanah lapang kemudian berteriak sekencang-kencangnya untuk mengatakan bahwa ia sangat bahagia sekarang.
Bahagia karena masa depanku sudah terbaca. Harapanku sudah menemukan jawabannya. Dan hatiku sudah menemukan pemiliknya. – Raisya.
Bahagia itu sederhana, saat aku tahu bahwa kamu mau menerima lamaranku. Bahagia itu sederhana, saat aku tahu bahwa kamu adalah wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. Bahagia itu sederhana, saat aku tahu bahwa kamu yang akan menjadi pendamping halalku. – Ibrahim.
*Bersambung*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro