2. Idham Bhilagunnah
Kuncup anggrek yang akan mekar menjadi pusat perhatianku sore ini. Di teras samping ndalem berjejer pot-pot kecil hasil kerajinan tangan ini. Selain menyukai anggrek, aku juga memelihara beberapa jenis tanaman hias lain. Ada bugenvil cangkokan dengan bunga kertasnya yang warna-warni. Lalu ada melati jepang, sirih merah, sosor bebek, pucuk merah, daun mangkuk-mangkukan, juga gelombang cinta yang sempat trending dan menjadi primadona beberapa waktu lalu. Kalau gelombang cinta ini hadiah dari salah satu jamaah yang mengikuti kajian Abbah. Abbah langsung menyerahkan tanaman tersebut padaku untuk diurus, katanya aku yang paling ahli dan telaten dalam merawat kembang-kembang ini.
Aku masih asyik dengan peralatan bercocok tanam. Agenda hari ini ingin memindahkan keladi hias yang sebelumnya masih berada di polibag ke dalam pot berukuran sedang yang kemarin kubeli di tokoh kembang langganan. Rencana juga ingin mengganti media tanam untuk anggrek-anggrek kesayanganku. Tanganku asyik merangkai isi pot dengan sekam bakar, saat suara ummah terdengar di telinga.
"Nduk, kemari sebentar, Abbah-mu mau bicara."
"Iya Ummah." Segera beranjak untuk menemui Abbah setelah ummah memberitahu kalau ada yang ingin Abbah bicarakan denganku.
Rasa penasaran menggelayut dalam benak sepanjang ketipak langkahku. Menebak-nebak sendiri, apa kiranya yang ingin Abbah bicarakan.
"Assalamualaikum, Bah," ucapku saat sampai di ruang tengah ndalem. Abbah duduk di sofa tunggal dengan tangan tak pernah lepas dari kitab tebalnya.
"Wa'alaikumussalam, Nduk, sini duduk, Abbah mau tanya sesuatu sama kamu."
"Apa toh, Bah? Kayaknya serius sekali?" Kernyitku penasaran.
Abbah meletakkan kitab di atas laci buku. Aku mengambil posisi di tempat Abbah duduk tadi. Sejurus beliau kembali duduk persis di sebelahku.
"Nduk, kamu sama Resnu, kan lumayan dekat selama ini." Kalimat pembuka Abbah nyaris membuat jantungku berdetak tak karuan-saat Abbah sebut nama Mas Resnu.
"Iya Bah, dekat, tapi ya ndak dekat sekali. Cuma kami masih sering berkirim kabar sejak Mas Resnu berangkat ke Kairo." Memang, aku dan Mas Resnu masih sering berkabar lewat pesan singkat. Atau lebih tepatnya, dia yang lebih dulu mengirimkan pesan, baru aku membalasnya. "Memangnya kenapa, Bah?" Sambungku makin penasaran kenapa Abbah tiba-tiba bertanya demikian.
"Umurmu sekarang sudah berapa Nduk?"
Tanya Abbah. Selalu sama, Abbah itu seolah lupa anak gadisnya ini mulai beranjak dewasa. Mungkin di mata Abbah, aku masih gadis kecilnya, tidak akan pernah berubah, makanya beliau seakan-akan melupakan jumlah usiaku.
"Insyaallah mau 22 tahun, Bah."
"Berarti usia Resnu sekarang sudah 27 yo?" Aku mengangguk mendengar pertanyaan Abbah.
"Nduk, Abi Maksum, ayahnya Resnu minta secara khusus pada Abbah untuk mencarikan jodoh untuk putranya itu. Yai Maksum bilang sepulangnya Resnu dari Kairo, inginnya langsung dinikahkan." Kali ini jantungku benar-benar memacu deras mendengar penjelasan Abbah. Aku gigiti bibirku sendiri menahan buncah yang tiba-tiba menyerang. Siapa kiranya perempuan yang bakal dijodohkan Abbah dengan Mas Resnu? Batinku terus menggaungkan tanya.
"Memangnya Abbah sudah punya kandidat calon istri buat Mas Resnu?" Memberanikan diri, aku bertanya pada Abbah. Benakku tiba-tiba terbang ke waktu lima tahun silam. Saat Mas Resnu pamit akan pergi ke Kairo. Saat lelaki berhidung mancung itu memintaku untuk tidak melupakannya. Entah itu gurauan atau serius, aku belum sempat mendapat jawabannya kala itu. Mas Resnu juga memberikan sesuatu sebelum dia pergi. Sesuatu yang masih kusimpan hingga kini.
"Ada Nduk." Deg! Aku seperti mati rasa mendengar jawaban Abbah. Rasanya belum siap mendengar nama yang akan disebut dan menjadi calon istri Mas Resnu.
Abbah, apa beliau tidak bisa melihat gurat lain dari mata putrinya ini. Apa Abbah tidak sadar bahwa gadis kecilnya yang beranjak dewasa ini telah merasakan gelenyar aneh layaknya perempuan dewasa saat memendam cinta dalam diam. Meski tahu, bahwa perasaan ini tak seharusnya ada. Perasaan ini salah, karena memendam asa pada dia yang belum halal. Tetapi, jatuh cinta itu manusiawi, kan?
"Siapa, Bah?"
"Kamu kenal, kok. Santriwati yang sering kamu ajar juga." Deg! Kenapa jantungku rasaku ngilu mendengar pemaparan Abbah. Santriwati? Berarti sudah jelas kalau Abbah tidak menginginkan aku yang menjadi calon istri Mas Resnu.
"Siapa namanya, Bah?"
"Dhista. Adhista." Aku tahu nama itu. Santriwati yang baru beberapa bulan tinggal di pesantren. Santriwati yang juga menjadi abdi ndalem dan sering bantu-bantu di ndalem.
"Tapi, Bah, bukannya Abbah sendiri yang bilang kalau harus banyak pertimbangan untuk memilih calon istri Mas Resnu?" Aku syok bukan main. Adhista memang cantik. Tidak ada yang kurang darinya. Hanya, untuk segi pengetahuan agama, dia terbilang baru. Bacaan Alqurannya belum khatam. Makhroj dan tajwidnya saja masih sering salah-salah. Apa Abbah tidak salah pilih?
"Memang, dan Abbah punya pertimbangan sendiri, Nduk. Kamu tenang saja, semua sudah Abbah ikhtiarkan, termasuk istikharah untuk menentukan pilihan. Nah, sekarang yang Abbah ingin minta tolong, kamu bimbing Adhista, sebelum nanti Abbah kenalkan pada Resnu dan orangtuanya." Susah payah aku menelan saliva karena permintaan Abbah yang kurasa sulit. Hanya anggukan sebagai jawaban atas permintaan Abbah.
Usai perbincangan serius dengan Abbah, aku pamit undur diri. Menuju kamar, kaki ini melangkah dengan gerakan lemas. Oh Ya Allah, kenapa rasanya ada sesuatu yang menggores hati. Sakit. Nyerinya sampai membuat dada ngilu.
Di dalam kamar, kuhempaskan tubuh ke ranjang. Tidak terasa lelehan bening menelaga, banjir di kedua pipi. Sesak yang sejak tadi tertahan akhirnya luruh juga saat tangis ini pecah.
Suara shalawat tarhim-pertanda waktu azan segera tiba. Segera bangkit untuk membersihkan diri sore ini. Kulirik sekilas jam yang menggantung di samping rak buku, pukul 17.00 sore. Karena sedang kedatangan tamu bulanan makanya aku agak santai, biasanya kalau sedang tidak haid, sebelum ashar aku sudah mandi, sudah wangi dan rapi.
"Nduk, boleh ummah masuk?" Suara ummah kembali terdengar, untung aku sudah selesai dari kamar mandi.
"Iya Ummah, masuk aja." Memutar anak kunci, sejurus mempersilakan ummah masuk.
Memakai gamis rumahan serta Khimar berwarna senada dengan gamisku, rutinitasnya berlanjut memakai lotion, lalu serum untuk wajah dan terakhir sedikit kusemprotkan minyak wangi tanpa aroma. Minyak wangi ini non Alkohol, oleh-oleh dari ummah waktu umroh tahun lalu bersama Abbah dan kedua orangtua Mas Resnu. Tuh, kan. Jadi kembali lagi pada Mas Resnu pikiranku.
"Fah, nanti bakda isya Resnu sama keluarnya mau datang lho." Deg! Ummah dan Abbah sepertinya kompak sekali membuat jantungku berdegup tak karuan. Kenapa selalu mendadak saat memberi kabar. Tapi tunggu, katanya Mas Resnu mau datang? Berarti dia sudah di Indonesia, tapi kenapa tidak mengabariku?
"Ummah, emangnya Mas Resnu sudah di Indo?" Tanyaku dengan mimik sangat penasaran.
"Alhamdulillah sudah, malah sudah dua hari katanya Resnu datang." Aku tercenung. Sudah dua hari, tetapi sama sekali tak memberi kabar? Dasar Mas Resnu. Awas saja, setelah ini akan ku spam chat. Tetapi niatku buyar kala teringat permintaan Abbah.
"Lalu, ummah mau minta tolong apa?" Seperti sudah paham, aku menebak maksud kedatangan ummah ke kamarku.
"Minta tolong, nanti temani Adhista ya, sama dandanin tipis-tipis aja gitu, Fah. Jangan terlalu menor, biar ga pucat aja pas ketemu sama Resnu dan orangtuanya." Lagi-lagi hanya anggukan yang kuberikan pada ummah sebagai jawaban.
***
"Ning Afifah, kenapa aku harus dirias begini?" Kalimat tanya keluar dari mulut Adhista saat aku menyapukan pulasan blush on pada kedua pipinya. Sesuai permintaan ummah, bahwa aku akan menemani dan merias Adhista.
"Abbah dan ummah sudah cerita, kan, Dhis?" Pertanyaanku disambut gelengan Dhista. Keningku berkerut. Apa iya, Abbah dan ummah belum memberitahu Adhista? "Masa sih?" Tanyaku lagi.
"Cuma bilang kalau tamunya mau ada yang ketemu saya, Ning." Jawaban Dhista kurasa jujur. Aku kenal betul karakter Dhista meski kami belum lama bersama. Adhista juga kerpa bercerita tentang masa lalunya yang banyak disesali. Dia bahkan menangis setiap kali teringat dan rindu pada neneknya, satu-satunya orangtua yang masih dia punya.
"Dhista, bolehkah saya tanya satu hal?"
"Iya Ning, silakan?"
"Kalau seandainya nanti Abbah dan ummah berniat menjodohkan kamu sama laki-laki pilihannya, bagaimana?" Sengaja aku ingin memancing jawaban Dhista. Rasa penasaran sudah tidak terbendung lagi. Setidaknya aku akan ikhlas melupakan perasaan yang sempat tumbuh subur pada Mas Resnu, jika perempuan yang dipilih Abbah akan sepenuh hati menerimanya juga.
Netraku memindai wajah Adhista dari balik cermin. Gadis ini malah bergeming, tidak segera menjawab tanyaku. Kenapa Dhista malah diam. Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
"Saya ...." Dhista menggerakkan mulut. Tetapi kalimatnya menggantung.
"Kenapa, Dhista?"
"Saya tidak tahu, Ning." Dhista menerawang usai melanjutkan kata-katanya. Ku monitor wajahnya yang mendadak sendu. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang Dhista pikirkan saat ini.
Sebuah hubungan yang sakral, suci dan penuh berkah haruslah dimulai dari kejujuran, kan?
Sama halnya seperti sepasang kaki saat melangkah. Hubungan yang berkesinambungan hanya bisa dijalankan oleh dua orang, kemudian menjadi sepasang. Layaknya huruf Lam dan Ro' dalam Idgham Bilaghunnah. Hanya ada mereka berdua. Tidak lebih.
****************CinTajwid
13-10-2020
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro