Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

"Yaya, kamu ikut acara malam ini kan?"
Tanya seorang wanita tiga puluhan kepada yang meja kerjanya bersebelahan dengan milik Yaya.

Yaya, perempuan yang kini berusia 36 tahun, menjawab gumanan semata seraya mata tidak lepas dari monitor. Pekerjaannya masih banyak  meski jam sudah menunjukkan pukul 16.45.

BUK

"Aduh, sakit Ying. Kamu jangan ganggu deh, kerjaan aku masih banyak." Keluh Yaya pada wanita bernama Ying yang tadi menimpuk kepalanya dengan gulungan kliping.

Ying, teman kerja sekaligus sahabat Yaya sejak bekerja di perusahaan, mendesis sebal, "Udah lah Ya, kerjaan kamu gampang aku bantuin kalau perlu. Pokoknya kamu ikut acara kumpul kantor malam ini."

Masih dengan jari jemari menari pada keyboard dan mouse, Yaya melirik si blasteran China lalu berkata, "Kamu tahu aku kurang suka acara kayak gitu Ying."

"Ya kan kita tidak setiap hari ada acara beginian Yaya. Lagian kamu udah bertahun tahun kerja disini tapi tidak pernah dekat yang lain." Tukas Ying

"Mana ada. Aku dekat tuh sama pegawai lain." Bantah Yaya cepat.

"Siapa?"

"Kamu"

Sontak Ying menimpuk Yaya dengan tutup bolpen saking gemasnya dengan sikap cuek temannya itu.

"Pokoknya kamu ikut. Fang bilang aku bisa ikut kumpul kalau kamu juga ikut. Jadi kamu harus ikut, kalau perlu aku seret kamu nanti." Ancam Ying

Yaya akhirnya menghela nafas seraya menyenderkan punggunya pada kursi.

"Kamu ini Ying, selalu seenaknya."

Itu artinya Yaya ikut. Terpaksa sih.

Tapi mana Ying peduli?

Ying langsung sumringah dan langsung berhambur memeluk Yaya gemas. "Ihhh makasih Yaya. Sayang deh sama kamu." Dengan sengaja Ying mengecup pipi Yaya hingga si empunya mendorong Ying dengan tatapan jengkel dan jijik.

"Ku aduin suamimu tahu rasa!" Maki Yaya sembari mengelap pipinya yang tadi dikecup.

Ying tidak takut dengan ancaman remeh seperti dan justru mengejek "Heh! bilang aja. Aku nempelin kamu seumur hidup jika aku pisah dengan Fang karena kamu. Hahahaha."

Ying tertawa lepas melihat mata Yaya yang melotot ngeri padanya seraya melempar balik tutup bolpen sebelumnya.

"Diam Ying. Ketawa mu terlalu kencang." Tegur Yaya karena memang melihat beberapa junior melirik kearah mereka.

Respon Ying santai saja, "Udahlah, kayak mereka berani negur kita aja. Lagipula ini juga udah jam pulang kok."

Ya keasikan ngobrol hingga tahu-tahu sudah jam 17.00

"Oh ya, kamu jangan lupa kabarin orang rumah."

Diingatkan begitu, pikiran Yaya langsung melayang pada tiga sosok remaja yang mungkin saja sedang menunggunya pulang.

"Hmm." Balas Yaya sekenanya.

"Yaya, serius dong. Aku enggak mau hapeku kena bom spam tiga keponakan mu, terutama Halilintar. Haduhh pusing aku bacanya."

Gantian Yaya yang jengkel " Iya iya. Berisik kamu Ying. Udah sana!"

Ying mendecih pelan tapi kemudian beranjak ke kamar mandi saat melihat Yaya membereskan mejanya. Lima menit kemudian Yaya meraih ponselnya.

Sudah bertahun tahun Yaya tidak memiliki banyak teman jadi mudah baginya menemukan nomor kontak yang dicarinya. Segera setelah mengetik singkat dan mengirimnya, Yaya memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menyusul Ying ke kamar mandi untuk memperbaiki make up nya.

'Tante pulang malam. Kalian makan dan tidurlah.'


***

'Tante pulang malam. Kalian makan dan tidurlah.'

Pesan yang baru dibuka setengah jam setelah dikirim itu membuat di pemilik ponsel mendesah pelan. Maniknya menatap bahan-bahan yang hendak dia olah untuk makan malam.

"Kenapa, Gem?" Suara saudaranya yang masuk ke dapur menyadarkan Gempa yang sempat melamun. Pemuda dengan lesung pipi itu kemudian menggeleng seraya meletakkan kembali ponselnya di meja.

"Tidak ada. Aku akan masak sambel goreng kentang dan hati ayam. Kau mau tambahan apa, Taufan? Telur dadar?" Berdiri di wastafel Gempa mencuci semua bahan-bahan yang akan di masaknya.

Taufan, si kembaran kedua—yang juga kakak kembar Gempa—menggeleng "Terserah aja. Masakanmu enak semua Gem, aku enggak bakal protes."

"Gempa, Taufan. Gem-Pa." Eja Gempa gemas saudara senang sekali memotong namanya.

Raut Taufan mendecih, "Halah sama aja Gem." Baginya mau manggil Gempa kek. Gem kek. Sama aja. Adiknya ini juga.

Gempa menggeleng kepalanya pasrah.

Kedua saudara tidak terlibat percakapan lagi selama beberapa saat. Dapur hanya terdengar suara air wastafel, pisau memotong, dan minyak mendesis saat menggoreng.

Hingga remaja berwajah sama lainnya—tapi dengan ekspresi lebih datar— datang ke dapur. Mata yang sedikit tajam itu memandang dapur selama tiga detik sebelum berkata.

"Bibi belum pulang."

Tidak. Halilintar—si kembaran pertama—tidak bertanya. Dia sudah melihat tidak ada sepatu kerja Yaya di rak sepatu jadi dia sudah bisa menyimpulkan  bibinya itu belum sampai kerumah.

Pertanyaannya, kenapa Yaya  belum pulang?

Seolah tahu yang akan dilakukan  Halilintar saat mengeluarkan ponselnya, Gempa berkata "Tante pulang malam. Kita disuruh makan duluan terus tidur."

Gerakan tangan Halilintar yang ingin membuka ponsel nya berhenti. Di sulung kemudian mendongak melihat si bungsu yang sedang mengulek sambal.

"Ada acara apa?" Tanya Halilintar yang di balas gedikan bahu Gempa. Hal itu agaknya membuat Halilintar tidak puas.

Bibinya, Yaya adalah perempuan dewasa yang cantik dan menarik. Sudah banyak calon yang hendak mendekati bibinya itu tapi semuanya pula gagal karena dasarnya Yaya yang cuek, kurang ramah dan kurang berminat menjalin hubungan asmara—entah karena apa—serta campur tangan Halilintar, Taufan dan Gempa yang menilai para lelaki itu tidak cocok untuk bibi mereka itu.

Halilintar sedang khawatir. Bibinya jarang pulang malam dan kebiasaan itu juga menular pada ketiga keponakannya. Mereka sebisa mungkin pulang sebelum makan malam.

Meski hubungan Yaya dan ketiga keponakannya agak dingin dan tidak biasa seperti keluarga harmonis lainnya, mereka biasa meluangkan waktu sarapan dan makan malam bersama. Hanya dikedua waktu itu Halilintar, Taufan dan Gempa merasa dekat dengan Yaya.

Satu-satunya keluarga mereka yang tersisa sejak ketiga nya berusia 9 tahun.

Karena nya saat Yaya pulang terlambat, rasa-rasanya Halilintar ingin sekali keluar dan menjemput dimana pun bibinya sekarang berada untuk pulang.

"Hentikan itu Lintar." Tukas Taufan tiba-tiba.

Pikiran Halilintar lantas teralih pada adik pertamanya, "Memangnya aku kenapa?"

Taufan yang sedang asik bermain game ML melirik saudaranya sekilas lalu kembali pada gamenya seraya berkata "Jangan lakukan apapun yang akan membuat Tante Aya tidak senang." Ujarnya lagi.

Mendadak Halilintar merasa tidak senang dengan ucapan Taufan, "Jangan sok tahu Taufan." Makinya.

Taufan membalas tenang, "Memang tahu kok. Kau mau bertingkah menjemput Tante Aya dan semacamnya kan?" Jemari remaja itu masih pada ponselnya.

Ah sial. Kadang Halilintar sebal punya kembaran, "Sok tahu." Dengusnya kemudian beranjak membantu Gempa dengan menata piring dan membuat minuman untuk ketiganya.

Sudut bibir Taufan terangkat seolah mengejek Halilintar meski matanya tidak lepas dari game, "Memang tahu kok. Kau kan posesif kalau soal Tante Aya."

Taufan belum selesai. "Mangkanya Tante Aya paling jarang menghubungimu kalau kasih kabar. Karena kau pasti bakal tanya macam-macam hingga Tante Aya marah."

"Berisik Taufan! Macam kau tidak saja!" Balas Halilintar hampir melempar sikembaran dengan  sendok yang sedari tadi enak sendiri main game tanpa membantu.

Bahu Taufan terangkat, "Yaaa kalau aku sih tanyanya wajarlah. Kau kan udah macam bapaknya Tante Aya aja khawatir nya. Haha—Aduh! Sakit sialan!" Umpatnya pada Halilintar yang beneran melempar sendok hingga kena kepalanya.

Halilkntar menyeringai mengejek, "Rasakan. Bantuin sini. Jangan  enak-enak main game saja kau!"

"Ya enggak usah lempar sendok dong. Nihh emang enggak sakit?!"  Taufan balas melempar sendok lagi.

"Taufan!"

" ADUH UDAH DONG. BANTUIN YANG BENER ATAU ENGGAK USAH MAKAN!"

"... Iya, sorry Gem." "Sorry Gempa"










Ellena Nomihara
Senin, 30 September 2024


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro