Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 | Say No To Pacaran

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Melewati proses pacaran sebelum menikah sama saja seperti bersedekah dengan cara yang salah."

Berkutat dengan masalah jodoh rasanya tidak akan pernah usai begitu saja. Bukan menjadi rahasia umum lagi jika seorang wanita yang sudah berusia matang tapi belum kunjung menggelar akad pernikahan, pastilah akan menjadi bulan-bulanan. Dan bisa dipastikan juga akan dijadikan sebagai bahan pergunjingan, terlebih jika berkali-kali ditinggal kabur oleh sang calon suami pilihan. Rasa malu sudah sangat pasti akan dikantongi, belum lagi rasa parno dan tak percaya diri ikut menyertai. Andaikan lika-liku menjemput dia sang imam idaman tak sepanjang ini, mungkin aku takkan pernah sefrustrasi saat ini.

Ditinggal saat proses lamaran sudah sering, ditinggal saat akan menggelar akad pun tak kalah rutin, bahkan sekarang aku harus kembali menelan pil pahit kehidupan, karena dia yang kuharapkan menjadi imam pilihan malah pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Sungguh, aku sudah tak ingin lagi mengenal spesies bernama kaum adam. Hatiku sudah terlalu kebal oleh luka dan derita yang berkepanjangan. Jika memang aku tak ditakdirkan untuk memiliki pasangan, tak apa. Tapi setidaknya biarkan hidupku tenang dengan tak mendengar ocehan orang-orang.

"Sayang." Aku menoleh saat mendengar suara lembut Umi tepat berada di sampingku. Beliau mengukir senyum tulus menenangkan, tapi hanya kubalas dengan sunggingan tipis yang terlihat dipaksakan.

"Jangan melamun terus dong, Nak," katanya setelah beliau duduk di space kosong sebelahku. Aku merasakan elusan lembut di puncak kepala, sangat menenangkan dan membuatku nyaman.

Tanpa kata aku melesakkan tubuh pada dekapan hangat beliau. Sambutan baik kudapatkan karena beliau pun membalas pelukanku tak kalah erat. "Jangan pikirkan omongan orang," cetusnya.

Aku tak menyahut sedikit pun, tapi dadaku berontak hebat tak setuju. Bagaimana mungkin aku harus tetap tutup mata serta telinga saat hujatan selalu datang beramai-ramai. Ingin rasanya menebalkan wajah dan bersikap acuh tak acuh, tapi apa boleh buat jika aku tak memiliki daya upaya untuk melakukan semua itu. Aku terlalu perasa dan mudah terbawa perasaan, inilah kelemahan yang sangat amat ingin kumusnahkan.

"Umi sama Abi gak akan lagi minta kamu untuk cepat-cepat menikah, kami juga gak akan lagi menyodorkan banyak pria," tutur Umi yang membuat mataku berkedip beberapa kali, shock.

Aku mendongak dan langsung disuguhi sunggingan lebar olehnya. "Umi serius kan gak lagi bohongin aku?" tanyaku memastikan.

Beliau mengangguk penuh kesungguhan, aku langsung mendaratkan sebuah kecupan di salah satu pipinya lantas berujar, "Makasih Umi."

Umi mengulas senyum tipis dan mencium ubun-ubunku pelan. "Maaf yah selama ini Umi sama Abi terlalu mendesak kamu," ucapnya.

Dengan cepat aku menaik-turunkan kepala mantap. Tanpa beliau minta pun aku akan dengan senang hati memaafkan, Allah saja Maha Pengampun, masa iya aku yang hanya seorang hamba bertindak sombong sampai tak mau memberikan maaf pada orang tuaku sendiri. Sungguh tak tahu malu sekali aku kalau sampai hati melakukan perilaku tercela seperti itu.

"Boleh aku tanya sesuatu sama Umi?" selorohku saat setelah duduk tegak menghadapnya.

Umi menangkup gemas wajahku. "Boleh dong, Sayang apa sih yang gak boleh buat kamu," sahutnya yang langsung kusambut dengan kekehan.

"Umi tahu kenapa bisa mantan calon suami aku pada kabur semua?" Wajah yang semula cerah ceria seketika muram begitu saja.

"Kenapa tanya gitu?" Beliau membelai kepalaku yang saat ini tak tertutup khimar.

Aku membawa tangan Umi dalam genggaman. "Karena aku harus tahu, Mi. Kalau memang mereka pergi karena tingkah dan perilaku yang kurang berkenan di hati mereka, aku akan memperbaiki itu semua. Bukan untuk mereka, ataupun untuk menarik lawan jenis lain. Gak sama sekali. Aku ingin menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi," terangku.

"Ini bukan salah kamu, Sayang ini semua sa-" Beliau langsung terdiam dan membisu tanpa kata, lalu setelahnya rengkuhan hangat kurasakan.

"Salah siapa, Mi?" lirihku.

Umi melepaskan pelukannya dan menggeleng pelan lantas berucap, "Bukan salah siapa-siapa, Nak mungkin mereka memang tidak ditakdirkan untuk menjadi pendamping kamu. Percayalah satu hal, bahwa jika kita mampu memantaskan diri In syaa Allah akan ada masanya Allah mendatangkan jodoh terbaik untuk kita."

"Kaya Umi sama Abi yah?"

Beliau diam sejenak, ada setetes cairan bening di salah satu sudut netranya. "In syaa Allah," ucap Umi terdengar pilu.

"Umi sama Abi nikah karena dijodohkan atau sama-sama cinta?" Pertanyaan itu entah mengapa ingin kulontarkan. Rasanya aku ingin mendengar kisah cinta mereka sampai pada akhirnya memiliki tiga orang putri sepertiku, Riska, dan juga Saras.

"Ah kamu kepo. Itu mah rahasia pribadi Umi sama Abi," sahut beliau yang kusambut delikan tak suka.

"Gak asik ah mainnya rahasia-rahasiaan," dengkusku sedikit sebal.

Umi mengelus surai hitam bergelombang milikku. "Emangnya kalau kamu tahu mau apa?"

Aku bersidekap dada dan memasang wajah menyebalkan. "Ya pengin tahu aja gitu, kan kalau Riska sama Saras nikah muda tuh. Kalau Umi sama Abi gitu juga gak?" Beliau diam tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Karena tak mendapat respons apa pun akhirnya aku kembali buka suara, "Dugaan aku sih Umi sama Abi emang nikah muda, karena dijodohin bukan? Apa jangan-jangan kaya yang dinovel-novel yah, awalnya gak saling suka tapi ujung-ujungnya malah saling bucin." Aku terkekeh pelan saat setelah menyelesaikan ocehan.

"Korban novel banget kamu mah," tuturnya yang tak sedikit pun menyenggol perihal masalah pernikahan. Padahal aku sudah mengeluarkan amunisi berupa pancingan, tapi sayang sepertinya beliau tak terjebak.

"Ya biarin atuh, Mi selagi bacaan yang aku baca baik mah gak papa, kan?" sanggahku.

"Iya ... Iya ... Asal jangan lupa baca Alqurannya juga. Jangan sampai kamu lebih suka membaca novel dibandingkan membaca Firman Allah," peringatnya.

Aku mengangkat tangan selayaknya hormat pada Bendera Merah Putih. "Siap laksanakan, Mi." Beliau terkekeh dan mengecup penuh sayang keningku.

"Sudah yah Umi mau masak dulu buat makan malam, bisa ngoceh nanti Abi kalau makanan belum siap di meja," ujarnya lalu bangkit dari duduk.

Abi itu memiliki usaha kecil-kecilan yang menjual berbagai macam bahan pangan, bisa dibilang toko sembako. Oleh sebab itulah beliau bisa dengan leluasa mengantar jemputku bekerja, hanya sesekali saja beliau mampir ke toko mungkin dalam seminggu hanya ada dua atau tiga kali saja.

Aku ikut berdiri tegak di samping beliau. "Gak mungkinlah Abi ngomelin Umi, Abi kan sayang banget sama Umi," cetusku.

"Aamiin." Aku mengerutkan kening saat mendengar kalimat aminlah yang beliau utarakan.

"Kok Aamiin sih, Mi?" tanyaku heran dan mencoba untuk mengejar langkah beliau.

"Ucapan kamu kan baik, jadi gak ada salahnya dong kalau Umi aminkan?" balasnya.

Aku mengangguk setuju. Apa yang beliau katakan memang benar, bahwa jika ada kalimat yang baik-baik dianjurkan untuk mengucapkan kata Aamiin, dengan harapan ucapan itu bisa menjadi doa dan dikabul oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Perlu bantuan gak, Mi?" tawarku.

Umi merangkul bahuku lembut. "Pasti dong itung-itung buat latihan supaya jadi istri yang baik," katanya dengan senyum lebar mengembang.

Tapi dadaku terasa ngilu bukan kepalang. Baru saja tadi beliau mengatakan tidak akan mendesakku untuk segera melangsungkan pernikahan, namun sekarang tanpa sadar kata-kata itu membuat sebagian hatiku menjerit kesakitan. Mungkin beliau tak menyadari jika kalimatnya sedikit melukai hati.

Aku tak mau terlalu ambil pusing perihal tersebut, yang saat ini ingin kucapai bukanlah pasangan, melainkan sebuah kebahagiaan. Apa pun yang membuatku bahagia sudah pasti akan kukejar karena percuma juga jika memiliki pasangan tapi tak mendapatkan kebahagiaan. Mungkin jika sebagian orang menganggap dengan cara menikah bisa terhindar dari masalah, tapi bagiku tidak. Itu justru menyambut masalah baru yang jauh lebih pelik lagi.

Orang yang bertahun-tahun menjalin kasih saja tidak bisa menjamin akan langgeng sampai maut memisahkan. Lantas apa kabar dengan orang-orang yang memang memilih untuk saling mengenal setelah kata halal digaungkan. Menikah itu bukan ajang perlombaan, di mana yang lebih dulu melangsungkan akad pernikahan dia yang akan otomatis mendapatkan gelar sebagai pemenang. Tidak seperti itu.

Oleh sebab itulah aku ingin menjemput jodoh dengan cara yang mulia dan diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak dengan berpacaran sebagaimana yang saat ini marak di luaran, karena menikah itu adalah ibadah dan sebaik-baiknya ibadah dijemput dengan cara yang benar dan tidak menyalahi aturan. Melewati proses pacaran sebelum menikah sama saja seperti bersedekah dengan cara yang salah. Nauzubillah, semoga aku dijauhkan dari tipu daya setan yang menyestkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro