26 | Penolakan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Biarkan mereka berkelana dengan perempuan di luar sana, dan aku akan lebih senang jika suatu saat nanti menerima sebuah undangan bertuliskan nama mereka dengan jodohnya masing-masing."
Tiga hari selepas kepulangan Umi, aku dikejutkan dengan kehadiran Naresh dan juga Om Anwar yang tengah terlibat perbincangan dengan kedua orang tuaku di ruang tamu. Ada sedikit gejolak rasa penasaran yang menyusup dan mulai naik ke permukaan. Namun sebisa mungkin kutahan, dan lebih memilih untuk kembali ke kamar. Menguping bukanlah hal yang dibenarkan, dan kurasa itu termasuk dalam kategori perilaku tercela.
Dugaanku paling mereka membahas perihal kecelakaan yang menimpa Umi, ya seperti yang sudah kuketahui beberapa hari lalu bahwa ternyata Tante Sukmalah dalangnya. Meskipun tak ada unsur kesengajaan dan murni sebuah kecelakaan, tapi tetap saja hal itu perlu untuk diluruskan. Selama ini aku memilih bungkam, bukan karena ingin merahasiakan kebenaran, hanya saja aku ingin mereka sendiri yang mengaku di hadapan Umi dan Abi. Itu bukanlah ranahku lagi.
Lagi pula aku pun sedang mencoba untuk mengikhlaskan hati, menata diri, dan menjalani hidup dengan segala kondisi dan situasi baru ini. Perihal masalah Pak Bagas, Umi dan Abi pun sudah menyetujui. Tak ada paksaan sedikit pun untuk aku kembali menarik perkataan yang sudah kulayangkan. Mereka mencoba untuk memahami, dan tak lagi ingin terlalu ikut campur akan masalah jodoh yang untuk saat ini belum kupikirkan lagi.
Suara ketukan pintu membuyarkan segala lamunanku dan dengan segera berjalan untuk membukakan akses masuk. Di sana Umi berdiri dengan senyum mengembang, tanpa kata beliau memasuki kamarku. Mendudukkan tubuh di tepi ranjang, dan beliau memintaku untuk bergabung dengannya, aku pun menurut patuh.
"Nak Naresh ingin bertemu dengan kamu," ungkapnya yang kusambut kernyitan bingung. Untuk apa? Kurasa di antara aku dan dirinya sudah tak ada lagi hal yang perlu dibicarakan. Semuanya sudah tuntas dan jelas.
"Buat apa?" tanyaku heran.
Umi mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Ya mana Umi tahu, mungkin ada sesuatu yang penting," jawabnya menduga-duga.
"Ya udah deh, tapi Umi temenin yah," putusku yang malah beliau balas kekehan.
"Nak Naresh gak bakal ngapa-ngapain kamu, lagi pula Umi, Abi, dan Om Anwar masih ada perbincangan yang harus kami selesaikan," katanya yang membuatku harus menghela napas berat.
"Apa ada sangkut pautnya sama kecelakaan yang menimpa Umi?" selorohku yang langsung dihadiahi anggukan singkat.
"Umi sama Abi berniat untuk memperkarakan kasus ini ke polisi?" Beliau menggeleng cepat, dan hal itu malah membuatku bingung tak ketulungan.
"Terus?"
Umi malah bangkit dari duduknya. "Yuk, kasian Nak Naresh udah nunggu kamu," ajaknya yang tanpa menghiraukan pertanyaanku sedikit pun, dan mau tak mau aku pun mengikuti titah beliau.
Di ruang tamu yang ukurannya tak seberapa itu sudah terlihat Naresh yang tengah duduk dengan kepala menunduk dalam. Tak terlihat keberadaan Abi dan juga Om Anwar di sana, sepertinya mereka tengah berada di ruang keluarga. Umi pamit undur diri dan hanya membiarkanku untuk berduaan saja dengan Naresh.
Dengan ragu aku mendudukkan tubuh di sofa kosong yang letaknya berseberangan dengan Naresh. Dia mendongak, dan mengukir senyum tipis. Aku meringis saat melihat wajahnya yang babak belur seperti rampok yang kena amuk masa.
"Muka kamu kenapa?" Aku ngilu sendiri saat melihat dia meraba salah satu sudut bibirnya yang masih meninggalkan bekas bogeman.
"Biasalah berantem, namanya juga cowok," jawabnya dengan kekehan.
"Kaya preman pasar aja kamu," cercaku yang hanya Naresh balas dengan tawa garing. Sungguh aneh sekali anak itu.
"Mau apa? Kata Umi ada yang mau kamu bicarakan," tanyaku to the point.
Aku tak ingin memperpanjang waktu perbincangan. Rasanya sudah sangat tak nyaman.
Dia menatap ke arahku lantas berujar, "Minta tanggung jawab sama Tetehlah. Gara-gara ulah si Pak Tua muka ganteng aku jadi ancur."
Perkataan Naresh berhasil membuatku jantungan, bahkan rasanya mataku pun hampir meloncat dari tempatnya. Apa aku tak salah dengar?
"Ngaco kamu kalau ngomong," sangkalku yang malah dibalas senyum miring menyebalkan.
"Kemarin aku gak sengaja ketemu si Pak Tua, eh dia malah langsung basmi aku gitu aja. Gak ada angin gak ada hujan tapi langsung main baku hantam. Pasti tuh orang ngira yang macem-macem lagi sama aku, ada masalah apa Teteh sama dia?" cerocos Naresh yang sangat membuatku terkejut.
"Pak Bagas bukan preman pasar yang mau kotorin tangannya buat basmi orang, apalagi sama kamu. Jangan bohong deh, dosa tahu," tuturku masih tak percaya.
Setahuku Pak Bagas bukan orang yang termasuk dalam golongan ringan tangan, terlebih hanya perihal masalah sepele ini. Masa iya hanya karena aku menolaknya beliau jadi berubah kasar tak tahu aturan. Itu sangatlah tidak mungkin.
"Ish, gitu amat sih Teteh sama aku. Muka udah babak belur gini masih dikira bohong. Cinta emang buta yah, yang salah dianggap bener, tapi yang bener malah dianggap salah. Kalau Teteh emang cinta sama si Pak Tua ya bilang aja, jangan sok-sokan jual mahal gitu. Kalau nanti liat Pak Tua duduk di pelaminan baru deh nangis di pojokan, nyesel karena gak sempet bilang suka. Cinta tapi kok diam!" ocehnya yang kuhadiahi bantal sofa, dan itu berhasil mendarat mulus di wajahnya.
"Mulut kamu sembarangan banget yah kalau ngomong. Siapa juga yang cinta sama Pak Bagas! Ambil aja sana buat kamu," kesalku.
Naresh malah menggelegarkan tawa dan hal itu berhasil membuatku semakin meradang. "Tahu kok, Teteh kan cintanya sama aku, bukan sama Pak Tua, iya, kan?"
Bulu kudukku meremang tanpa diminta. Ya kali aku melabuhkan hati pada bocah ingusan seperti dia. Memangnya tidak ada lelaki lain lagi apa?
"Berisik banget sih kamu. Sebenarnya apa yang mau kamu omongin, buang-buang waktu aja," kataku.
"Mau ketemu doang emang gak boleh yah, Teh? Udah beberapa hari gak ketemu, gak kangen gitu," ucapnya dengan alis yang sengaja dinaik-turunkan.
Aku mual seketika saat melihat tingkah Naresh yang begitu merusak mata. "Omongan kamu makin ngaco!" Dia diam sejenak, menatapku penuh keseriusan, dan hal itu membuatku sedikit deg-degan.
"Kalau aku gantiin posisi Bang Ares, apa Teteh bersedia?"
Bak disambar petir di siang bolong, seluruh tubuhnya panas menggigil bukan main. Belum lagi jantungku yang sudah berulah di ambang batas normal. Ini gila. Sangat tidak masuk akal logika. Lelaki sekelas Pak Bagas saja kutolak mentah-mentah, lalu apa kabar dengan dia?
"Otak kamu bermasalah kayanya. Apa segitu hebatnya efek bogeman Pak Bagas," gumamku tak percaya akan penuturan yang sangat sembarangan. Dia itu terlalu sering bercanda, dan aku bingung membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
"Aku serius, Teh. Aku udah minta izin sama Umi dan juga Abi, tapi mereka gak ngasih keputusan apa pun. Semuanya tergantung Teteh," ucapnya penuh kesungguhan.
Perkataan Naresh sudah semakin ngalor-ngidul tak jelas. Sepertinya dia kelebihan obat, dan kurasa otaknya pun sedikit geser pada saat terlibat adu jotos dengan Pak Bagas. Bisa panjang jika aku terus meladeni, akan lebih baik jika aku pergi.
Tanpa banyak membuang waktu lagi aku segera bangkit dari dudukku. Menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar, lantas berujar, "Aku gak mau."
Hanya tiga kata itu yang menutup pertemuanku dan juga Naresh. Dengan cepat aku melangkah pergi meninggalkan dia yang masih menatap penuh rasa tak percaya. Ini sangat mengejutkan, dalam waktu yang berdekatan ada dua lelaki yang berniat untuk meminang.
Jika dulu mungkin aku akan senang, dan memilih untuk segera melangsungkan pernikahan. Tapi sekarang lain, aku tak ingin terlibat hubungan dengan siapa pun. Mereka berhak untuk mendapatkan sosok perempuan yang jauh lebih dari segalanya dibanding aku.
Sesuai janji Allah, bahwa yang baik akan berjodoh dengan yang baik pula. Dan aku tak termasuk dalam kategori itu. Masa laluku terlalu kelam, dan kurasa itu akan menjadi boomerang di kemudian hari. Biarkan mereka berkelana dengan perempuan di luar sana, dan aku akan lebih senang jika suatu saat nanti menerima sebuah undangan bertuliskan nama mereka dengan jodohnya masing-masing. Aku menunggu saat itu tiba.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro