Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 | Memutuskan Hubungan

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, dan kurasa ini memang sudah menjadi sebuah ketetapan."

Sebuah kursi besi yang berada di salah satu lorong rumah sakit menjadi pilihanku untuk sedikit berbincang dengan Pak Bagas. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada beliau, dan menurutku itu sangat penting. Meskipun sudah memasuki malam hari, tapi lalu lalang orang-orang masih terlihat berkeliaran, dan hal itu membuatku sedikit lega karena tak hanya berduaan saja.

"Ada apa, Na?" tanyanya. Beliau duduk sekitar satu meter di sampingku.

Aku meliriknya sekilas lantas kembali membuang pandangan pada ubin yang lebih menarik perhatian. "Saya rasa lebih baik Bapak mundur sa—"

"Kenapa? Apa kamu tidak yakin dengan kesungguhan saya," potongnya yang membuatku harus menghela napas berat.

"Saya sedang tidak ingin terlibat hubungan dengan siapa pun, terlebih dengan Bapak," kataku tegas.

Walau sedikit takut dan sungkan karena beliau berstatus sebagai atasanku di kantor. Tapi jika aku tak bisa bersikap tegas dan malah membiarkan, hal itu malah akan terkesan aku telah memberikan dia harapan. Aku tak ingin hal itu terjadi.

"Apa ini ada hubungannya dengan masa lalu kedua orang tua kamu?"

Aku mendongak dan sedikit memberanikan diri untuk menghadap ke arahnya lantas menjawab, "Gak ada, Pak. Saya belum siap jika harus menikah dalam waktu dekat."

Pak Bagas diam tak mengeluarkan sepatah kata pun, dan hal itu membuatku sedikit tak enak hati. Secara tidak langsung aku sudah melukainya, walaupun caraku dalam menolak tidak terlalu frontal, tapi tetap saja itu akan menimbulkan luka.

"Apa karena bocah ingusan itu kamu menolak saya?" tanya beliau kemudian.

Aku menarik kedua sudut bibirku tipis. "Naresh hanya sebatas adik dari mantan calon suami saya. Tidak lebih," jelasku yang beliau hadiahi dengan sorot mata penuh ketidakpercayaan.

"Kehadiran dia hanya ingin menyampaikan amanat dari mendiang Mas Ares," imbuhku yang sepertinya malah membuat beliau bingung sekaligus tak percaya.

"Abi pasti sudah cerita banyak sama Bapak, perihal kegagalan yang sudah saya alami selama belakangan ini? Dan Mas Ares adalah lelaki terakhir yang berstatus sebagai calon suami saya, dia meninggal karena sebuah kecelakaan," terangku. Rasa sesak sedikit menyusup, bahkan rasanya cairan bening sudah sangat mendesak meminta untuk segera ditumpahkan.

Aku memang tak pernah bertemu dengannya, hanya sekadar tahu nama dan wajah dalam sebingkai foto saja. Tapi saat Naresh memberitahu perihal kakaknya, aku merasa ada sebagian hatiku yang menjerit pilu.

Cinta memang belum tumbuh, tapi aku pun tak bisa menapik bahwa luka akan kehilangan itu kini hadir dan selalu membayangi. Terlebih jika melihat perhiasan yang dia berikan.

Mungkin jika sosoknya masih ada, aku akan sangat beruntung bila bersanding di sisinya. Tapi sayang semua itu sudah tak nyata, dia sudah tenang di sisi-Nya. Semoga Allah menempatkan dia di tempat terindah di surga sana.

"Apa kamu mencintai lelaki itu?" Aku melihat ada sorot ketidaksukaan di matanya. Apa mungkin itu yang dinamakan dengan cemburu?

Aku hanya mengukir senyum tipis. Tak etis rasanya jika membahas perihal masalah hati dengan seseorang yang notabenenya memiliki perasaan lebih padaku sendiri. Bukan bermaksud untuk percaya diri, tapi memang itu kebenarannya, namun sayang hatiku masih sedikit meragu dan belum siap jika harus menggelar pernikahan.

"Jika memang Bapak jodoh yang sudah Allah persiapkan untuk saya, In syaa Allah akan ada cara terindah yang dipersiapkan oleh-Nya," tuturku dengan sunggingan lebar.

Kuharap dia bisa paham dan mengerti akan keputusan yang sudah kuutarakan. Aku tak ingin hubungan kerja sama yang terjalin di antara aku dengannya hancur begitu saja. Dan kurasa akan lebih baik jika kami masih menjalin hubungan pertemanan.

"Jika saya menunggu kamu bagaimana?" tanyanya yang jujur sangat membuatku terkejut bukan main. Ini sangat di luar perkiraan.

"Apa Bapak yakin? Bagaimana jika di pertengahan jalan Bapak menemukan sosok baru yang jauh lebih segalanya dibanding saya?"

Ada sedikit rasa ngilu dan ketidakrelaan saat aku mengungkapkan kalimat tanya tersebut. Entahlah, aku pun tak mengerti dengan perasaanku sendiri. Semuanya masih abu-abu dan tak bisa kutafsirkan dalam kurun waktu sekejap mata saja.

Dia diam, tapi sorot matanya menyiratkan kegamangan. Beliau seperti tengah dilanda kebimbangan, dan menurutku hal itu sangatlah wajar. Tidak ada yang pernah tahu akan takdir kita ke depannya, bisa saja sekarang bersikukuh mengatakan kalimat-kalimat cinta, tapi siapa yang tahu jika besok atau lusa rasa itu hanya sekadar singgah saja.

"Saya tidak ingin mengikat Bapak begitu pun sebaliknya, saya tidak ingin terikat status apa pun dengan Bapak," kataku penuh kesungguhan.

Tidak akan pernah ada kata pemberi harapan palsu jika kitanya tidak menaruh banyak harap, dan kurasa apa yang saat ini tengah kulakukan adalah cara yang tepat. Saling mengikhlaskan hati, dan tidak saling menunggu akan sesuatu yang belum tentu. Toh jika memang saling berjodoh, pasti akan kembali bertemu.

"Saya akan membatalkan pinangan saya pada ayah kamu," putus Pak Bagas pada akhirnya. Ada sebuah rasa lega yang kurasakan, tapi ada sesuatu yang lumayan sesak juga di dalam sana. Sakit tapi tak berdarah.

"Terima kasih, Pak."

Hanya kalimat itu yang mampu kuutarakan, bingung dan linglung yang saat ini memenuhi isi kepala.

Hanya anggukan kecil dan senyum tipis yang terlihat dipaksakan menutup perbincangan kami. Aku lebih memilih untuk kembali ke ruang rawat Umi, dan meninggalkan Pak Bagas yang masih duduk termenung di sana.

Ada sedikit rasa iba, tapi ini sudah menjadi keputusan yang tak lagi bisa kutawar-tawar. Jika pun memang beliaulah yang menjadi jodohku, mungkin suatu saat nanti akan dipertemukan lagi oleh-Nya.

Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, dan kurasa ini memang sudah menjadi sebuah ketetapan. Ini yang terbaik, baik untukku pribadi ataupun untuk Pak Bagas. Kuharap Allah segera mempertemukan dia dengan seseorang yang bisa benar-benar mendampingi serta mengasihinya dengan sepenuh hati, dan itu bukanlah aku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro