24 | Menemukan Titik Terang
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Untuk saat ini aku ingin sebuah kebebasan, kesendirian. Hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang."
Rasa akan ketidakpercayaan bercampur dengan rasa lega penuh rasa syukur dan bahagia hadir begitu saja, tatkala melihat dengan jelas kedua mata Umi yang sudah terbuka dengan begitu lebar, bahkan tarikan di kedua sudut bibirnya pun menyambut kehadiranku dengan penuh suka cita.
Tanpa banyak kata lagi aku segera melesak ke dalam pelukan Umi, menumpahkan segala rasa sakit dan kerinduan yang sudah sejak lama dipendam hanya seorang diri saja. Ungkapan kata maaf tak pernah bosan kulontarkan, aku sangat merasa bersalah akan kecelakaan yang menimpa beliau.
"Umi gak papa, jangan nangis ah," tuturnya dengan suara berupa bisikan. Aku tahu pasti jika kondisinya belum sembuh dengan benar, tapi beliau ingin memperlihatkan pada orang-orang, bahwa dirinya sudah lebih mendingan.
Dengan lembut beliau menghapus cairan bening yang masih menggantung di kedua sudut mataku. "Nah kalau senyum kan cantik," godanya yang kusambut dengan sedikit sunggingan.
"Ke sini sama siapa?" tanya Umi sangat terkesan basa-basi, padahal tadi beliau sendiri melihat siapa gerangan yang mengintil di belakangku.
Aku tak menjawab tapi mengedarkan pandangan ke arah Pak Bagas yang tengah anteng duduk di sofa bersama Abi, entah apa yang tengah kedua lelaki beda generasi itu bicarakan. Tapi jika ditilik lebih jelas lagi, sepertinya mereka tengah membicarakan hal yang cukup serius. Entahlah, aku tak ingin terlalu ikut andil dalam kegiatan mereka.
"Umi sadar kok gak bilang-bilang aku sih," protesku yang malah beliau sambut dengan kekehan.
Kedua tangan beliau meraih tanganku, lantas menggenggamnya. "Umi sudah sadar sejak tadi sore, tapi akan lebih baik jika kamu menemui Umi saat kesadaran Umi sudah benar-benar pulih," terangnya yang membuatku sedikit jengkel dan kesal.
Aku merasa terkhianati, terlebih saat melihat keberadaan Riska dan Saras yang sudah lebih dulu berkumpul di sini. Rupanya mereka semua berkoalisi untuk merahasiakan perihal kesadaran Umi.
Aku diam tak ingin lagi berkomentar, masih sedikit dongkol karena kelakuan mereka. Tangan Umi bergerak untuk mengelus puncak kepalaku penuh kelembutan. "Jangan merajuk gitu ah, malu sama calon suami," kekehnya santai dan ringan.
Aku membulatkan mata karena saking tak percayanya. "Nak Bagas sudah menjelaskan semuanya pada Umi dan Abi, jangan tutup hati kamu untuk dia. In syaa Allah, dia jodoh terbaik yang sudah Allah persiapkan," tuturnya dengan diakhiri sebuah sunggingan.
"Tapi, Mi—"
"Menikah itu Sunnah Nabi, cara menjaga dan melindungi diri agar tak terjerumus pada jalan yang tak Allah ridai. Umi takut kamu merasakan apa yang menimpa Umi beberapa tahun lalu," katanya dengan suara bergetar, aku melihat ada satu tetes air mata yang terjun bebas di salah satu sudut netranya.
Aku akan kembali buka suara, tapi hal itu tak terealisasi karena suara Umi lebih dulu mendominasi. "Yang berbuat dosa itu Umi dan Abi, bukan kamu. Jangan kutuk diri kamu seakan kamu itu perempuan rendahan, Umi yang salah karena tak bisa menjaga dengan baik kehormatan Umi."
Aku menggeleng kuat dengan air mata yang sudah mulai berjatuhan. Bayangan akan penjelasan Abi sudah saling berkeliaran. "Abi yang salah! Bukan Umi."
Beliau mengukir senyum tipis lantas berujar, "Setiap manusia pasti pernah berbuat kesalahan, tapi itu dulu. Sekarang Abi sudah bisa memperbaiki semuanya, jangan benci Abi, beliau akan tetap menjadi ayah kamu."
Aku hanya menunduk dengan isakan yang sudah mulai bersahutan. Umi mengangkat daguku dan pandangan kami saling bertemu. "Kehadiran kamu memang karena sebuah kesalahan, tapi kelahiran kamu adalah sebuah anugerah luar biasa yang tak bisa Umi lupakan."
"Tapi aku ini anak dari hasil hubungan di luar pernikahan. Aa ... Aa—"
Umi merengkuh tubuhku dengan sangat erat penuh kehangatan. Tangisku semakin pecah kala elusan lembut beliau berikan di punggungku. "Jangan pernah bicara seperti itu," bisiknya.
"Maafkan Umi dan Abi, karena kesalahan kami kamu harus menanggung semua imbas buruknya," imbuhnya yang sumpah demi apa pun sangat mengusik serta mencabik-cabik perasanku.
Sampai saat ini aku masih belum bisa percaya akan masa lalu kelam Umi dan Abi. Semuanya terlalu mengejutkan, belum lagi setiap bayangan yang pernah terjadi saling memenuhi pikiran. Semua itu saling tumpang tindih dan membuat kepalaku pusing bukan kepalang.
Mencoba untuk menarik napas panjang lantas membuangnya kasar. Melepaskan rengkuhan di antara kami dan berujar, "Apa pernikahan Umi dan Abi sah di mata negara dan juga agama?"
Aku memejamkan mata cukup lama, menahan rasa sesak yang sudah sejak tadi meronta-ronta. "In syaa Allah, Umi dan Abi menikah saat usia kamu satu tahun," jawabnya yang sedikit membuatku lega.
Setidaknya hanya aku saja yang memiliki kisah miris ini, tidak dengan kedua adikku. Sakit memang, tapi ini sudah menjadi sebuah ketetapan yang tak bisa kutawar-tawar. Ini sudah menjadi suratan takdir yang Allah gariskan. Mau tak mau, suka tak suka, aku harus menerima.
"Kamu sama seperti Saras dan Riska, anak Umi dan Abi, jangan pernah berkecil hati," cetusnya yang seperti tahu akan kemelut hatiku yang kini tengah menangis pilu.
Aku memang akan tetap menjadi anak dari Umi dan Abi, tapi aku pun tak bisa menyangkal bahwa hakku dan hak kedua adikku sudah pasti akan berlainan. Walau sekalipun Umi dan Abi memberikan limpahan kasih sayang yang berlebih, tapi tetap saja. Aku tak lebih dari anak yang lahir karena sebuah kekeliruan.
"Bener apa kata Umi, Tateh itu akan tetap jadi Teteh aku, tante dari anak aku," hibur Saras yang tanpa diminta langsung bergabung dalam obrolan.
Aku tersenyum kecut kala mendapat sambutan baik yang Saras perlihatkan. Ada sebagian hatiku yang merasa tersakiti, aku iri. Aku ingin sama seperti kedua adikku, tidak seperti ini. Rasanya sangat tidak adil. Aku lahir dari ibu yang sama, tapi realitasnya sangat amat menyiksa. Aku merasa rendah diri, hina, dan tersisihkan. Sakit.
Andai saja dulu Abi tak merampas hak yang tak seharusnya, mungkin kisahku tidak akan seperti ini. Sekuat tenaga mencoba untuk mengikhlaskan hati, tapi tetap saja tidak bisa berdamai dengan kenyataan pahit ini. Tapi semua itu akan percuma saja, karena kini aku harus bisa berlapang dada, menerima segala jalan takdir yang sudah digariskan oleh-Nya.
Berhentilah untuk mengutuk diri sendiri Nisrina! Semua yang terjadi merupakan ketetapan Sang Illahi Rabbi, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Cobalah berdamai dengan diri sendiri, jangan terus mengeluh dan menuntut ini dan itu. Diberikan napas untuk hidup dan merasakan indahnya dunia saja sudah sangat patut untuk disyukuri. Ini memang pahit dan menyakitkan, tapi aku harus percaya bahwa akan selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa.
Dari sudut mata aku melihat Riska yang berjalan menghampiri kami bertiga, perasanku sudah kutar-ketir dibuatnya. Aku takut dia akan mengamuk dan membuat keributan. Namun bayangan buruk yang sudah saling berkeliaran itu seketika musnah saat melihat sunggingan bersahabat yang dia perlihatkan. Ada sedikit kelegaan yang kurasakan.
"Maafin aku, Teh," katanya penuh akan rasa sesal, bahkan wajahnya yang beberapa hari ke belakang selalu menatapku sinis penuh permusuhan sudah kembali normal, lebih tepatnya sedikit sendu.
Aku bangun dari brankar Umi dan berdiri, lantas melebarkan kedua tangan untuk menyambut Riska dalam pelukan. Dan hanya dalam hitungan detik saja dia sudah berada dalam dekapan, aku sangat merindukannya. Perkataan Riska memang sangat melukai hati dan perasaanku, tapi aku tak bisa terus bergelung dengan masa lalu itu. Aku harus mengikhlaskan semuanya, terlebih mencoba untuk membuka lembaran baru, dengan Umi dan juga Abi tentunya.
Aku tak ingin terlalu gegabah untuk segera melangsungkan akad nikah, seperti pinta Umi tadi. Aku ingin menikmati kesendirian dengan penuh rasa suka cita, tidak ada lelaki di dalamnya, baik itu Pak Bagas, ataupun Naresh. Mereka berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih segalanya dariku. Aku tak layak untuk mereka. Untuk saat ini aku ingin sebuah kebebasan, kesendirian. Hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro