22 | Ikhtiar Yang Sia-sia
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Manusia memang ditakdirkan berpasang-pasangan, tapi yang jauh lebih menjanjikan dari jodoh adalah kematian."
Saat aku hendak akan pergi membersihkan diri, tiba-tiba saja Saras datang dengan setumpuk berkas-berkas. Entah apa yang dibawa oleh si bungsu. Netraku memicing saat dengan entengnya dia menjatuhkan barang-barang tersebut ke atas ranjang.
"Kamu bawa apaan sih?" tanyaku heran, namun rasa penasaran jelas lebih mendominasi, dengan segera aku pun kembali meletakkan handuk secara asal.
"Gini yah, Teh daripada kita ribut-ribut gak jelas terus, bukan kita sih, Teteh sama Teh Riska lebih tepatnya, mending kita cari tahu sendiri aja. Nunggu Umi sadar cuma buang-buang waktu doang, lagi pula Abi juga masih aja tutup mulut. Padahal kita itu perlu kejelasan, mau bagaimana pun juga aku gak mau nasib anak aku ikut jadi korban," cerocos Saras dengan tangan terampil memilah dan memilih berkas-berkas penting milik Abi dan Umi.
"Itu gak sopan, Saras!"
Perempuan itu menggeleng tak setuju. "Ini urgent, gak papa, aku yakin Umi sama Abi juga gak akan marah," katanya.
"Dosa tanggung sendiri yah," ucapku yang berhasil membuat gerak tangannya terhenti.
Saras menekuk wajah sebal. "Teteh mah gitu. Aku teh udah mati-matian perang sama dua sisi diri aku yang berlainan, eh sekarang malah diingetin lagi. Ini urgent, Teh. Darurat!"
"Kamunya aja jadi manusia gak sabaran. Rusuh, grasak-grusuk! Bisa kan kita tunggu Umi sehat dulu, keadaan Abi udah lebih mendukung. Supaya kita juga bisa menjernihkan pikiran, Teteh gak mau kebodohan dan kecerobohan yang pernah Teteh lakuin, kamu ulangi lagi," tuturku menasihati.
Aku pun sama seperti Saras, terjangkit virus penasaran yang sudah menahun. Tapi apa boleh buat, aku tak bisa berbuat banyak selain bersabar. Yang terpenting untuk saat ini adalah kesembuhan Umi, itu prioritas yang kujadikan sebagai poin utama. Untuk perihal masalah yang sudah-sudah, aku ingin melupakannya sejenak.
Lagi pula aku pun sudah muak, dan ingin segera terbebas dari permasalahan itu. Tapi kunci dari segala akar permasalahan jelas ada pada Umi dan Abi, jadi mau tak mau, suka tak suka, ya aku harus menunggunya. Tak peduli untuk waktu yang berapa lama, tapi kuharap segera.
"Ya udah kalau Teteh gak mau mah aku aja yang cari sendiri. Aku bukannya gak takut dosa atau nantang Allah, tapi ya gitu deh. Aku harus tahu kejelasannya!" keukeuh Saras.
Aku mengembuskan napas berat dan berucap, "Ya udah terserah kamu aja deh." Dan aku pun ikut duduk berhadapan dengannya di atas ranjang.
"Nah ini kartu keluarga kita, akta kelahirannya juga ada, tapi bentar ... buku nikah Abi sama Uminya ke mana coba?" cerocos Saras dengan tangan yang begitu lincah mencari-cari benda yang bisa menguatkan asal usul kami.
"Ya mana Teteh tahu, kamu mah aneh malah tanya ke Teteh segala," sahutku sedikit kesal. Aku memungut akta kelahiranku yang sudah lecek dan usang, maklum sudah 27 tahun.
"Teteh kelahiran tahun 1993 kan? Kalau pernikahan Umi dan Abi digelar di atas tahun itu, berarti pernikahannya sah karena kondisi Umi gak lagi mengandung," ocehnya mengira-ngira.
Aku hanya diam tak mau berkomentar. Lagi pula aku pun bingung jika harus buka suara, biarkan saja dia puas berkoar-koar.
"Kenapa harus repot-repot cari buku nikah Umi sama Abi segala? Tuh liat di KK juga pasti ada," ucapku asal.
Saras memukul lenganku dengan sadis. "Kartu keluarganya baru, lagian yang tertera di sini juga tanggal dikeluarkan kartu keluarganya, bukan tanggal pernikahan Umi sama Abi. Gini nih kalau gak pernah urus berkas-berkas negara, masalah KK aja gak tahu," ejeknya yang kuhadiahi pelototan.
Tanganku beralih untuk mengambil kartu keluarga tersebut. Membacanya dengan saksama, dan apa yang perempuan itu katakan memang benar. Di sana hanya tertulis namaku, Umi, dan juga Abi saja karena Riska dan Saras sudah memiliki kartu keluarga masing-masing, pun dengan tanggal dikeluarkannya juga satu tahun lalu. Sungguh sangat tidak membantu.
"Ya kan Teteh belum berkeluarga, mana tahu soal kek gituan," belaku yang hanya dia balas dengan putaran bola mata malas.
"Sekolah aja tinggi, tapi masalah kecil kaya gini gak tahu. Malu-maluin ih," cercanya. Aku langsung memukul tubuh Saras dengan guling.
"Makanya buruan bangun rumah tangga, calonnya udah ada dua tuh tinggal pilih aja. Kalau mau yang tua yah comot atasan Teteh aja, kalau mau yang brondong yah pungut aja tuh adiknya mantan calon suami Teteh," imbuhnya yang malah membuat tingkat kekesalan serta kedongkolanku semakin menjadi.
Mulut Saras sangat berbisa seperti ular kobra. Jika aku tak bisa menjaga diri sudah mati di tangannya kali. Punya adik dua tak ada yang benar sama sekali. Yang satu modelan Riska, mudah emosian dan sangat mudah terbawa perasaan. Yang satu lagi modelan Saras, yang jika berbicara bisa membuat darah mendidih hingga ke ubun-ubun. Aku tak habis pikir dengan suami-suami mereka, Radit dan Mirza adalah lelaki bermental baja yang harus tahan banting serta kebal akan iman.
Lagi pula apa tadi katanya? Comot? Dikira Pak Bagas itu nasi kali yah, bisa langsung ambil terus dimakan. Pungut? Ya kali si Naresh itu sampah yang mencemarkan dan harus segera dilenyapkan. Memangnya tidak ada kosakata yang lebih bagus dan enak didengar lagi apa? Kalau sampai dua lelaki itu tahu akan perkataan Saras yang frontal, pasti akan dibumihanguskan dia.
"Mikirin asal-usul hidup Teteh aja udah puyeng, jangan kamu tambah sama masalah jodoh lagi. Kayanya seneng banget kalau liat Teteh menderita," dengkusku kesal bukan kepalang.
Saras malah terkekeh pelan tanpa dosa. "Masa lalu gak usah dibuat ribet atuh, Teh, kalau ada yang bisa terima apa adanya kenapa gak? Jangan menganggap diri Teteh rendah dan hina, lah wong kita itu sama, sama-sama anak Umi dan Abi juga," jawabnya dengan sunggingan lebar.
Aku mengacak lembut puncak kepala Saras yang tak tertutup hijab. "Tapi Teteh gak mau bebanin laki-laki yang mau menikahi Teteh. Bukannya bangun rumah tangga yang rukun dan akur, ini malah jadi arena tempur, kan bahaya."
"Ish ... ish ... pikiran Teteh mah negatif terus, jangan gitu juga atuh. Allah itu ciptain manusia berpasang-pasangan, gak mungkin jomlo terus," katanya.
Aku tersenyum simpul. "Teteh tahu, tapi kamu harus inget bahwa jodoh yang paling pasti itu adalah kematian bukan pasangan."
Saras bungkam dan hal itu tak lagi jadi bahan perbincangan, dia lebih memilih untuk kembali mencari buku nikah Abi dan Umi. "Kok gak ketemu-ketemu sih, Teh. Disembunyiin di mana coba," keluhnya saat tak kunjung mendapatkan benda yang sedari tadi dia cari.
"Ya mana Teteh tahulah, lagian sabar dikit aja atuh, nanti juga pasti akan Umi sama Abi jelasin," tuturku.
"Coba Teteh tanya sama temen-temen Umi dan Abi aja? Teteh kan deket banget sama Abi, pasti Teteh tahulah siapa aja orangnya," cetus Saras ringan tanpa beban, tapi hal itu justru membuatku berkawan dengan diam.
Seketika otakku langsung bekerja, mengingat akan kemalangan nasib Tante Sukma. Beliau pasti tahu akan masa lalu kedua orang tuaku, bukan hanya beliau saja, tapi Om Anwar dan juga Naresh. Kenapa aku sampai melupakan keberadaan mereka coba?
"Ish, malah bengong. Jangan bilang lagi mikirin si brondong," oceh Saras yang membuatku tersedak ludah sendiri, bahkan sampai terbatuk-batuk karena saking kagetnya.
"Udah sana ah ke kamar, Teteh mau bersih-bersih. Lagian kasian tuh suami kamu sendirian," kataku setelah cukup lama terdiam.
"Mas Mirza lagi ke rumah Mbak Mira, ada urusan keluarga," jawabnya. Mendengar nama Mira membuatku sedikit naik darah, teringat perkataan pedasnya beberapa waktu lalu di rumah sakit.
"Kamu juga kan keluarganya, kenapa gak ikut ke sana?" tanyaku heran bercampur rasa penasaran.
"Teteh di rumah sendirian, aku gak mau ambil risiko kalau besok pas pulang nemu mayat Teteh yang kegantung di tiang. Lagian ini juga amanah dari Teh Ziah," kata Saras yang membuat mataku hampir meloncat dari tempatnya.
Ternyata Ziah masih mengingat akan perkataan spontanku beberapa waktu lalu. Dia itu memang benar-benar niat, dan sangat perhatian. Meskipun kini tak berada di sisiku, tapi masih tetap saja seperhatian ini. Betapa beruntungnya aku memiliki sahabat seperti Ziah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro