15 | Kritis
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tak ada lagi yang bisa kuharapkan, semuanya sudah terkuak dan terbongkar ke permukaan."
Jika bisa memilih, bolehkah aku meminta untuk dilahirkan dari rahim wanita lain saja? Bukan tak ingin memiliki ibu seperti Umi, melainkan cara yang ditempuh oleh kedua orang tuaku tak bisa diampuni. Aku sudah cukup pusing memikirkan banyak hal, belum lagi ditambah dengan masalah ini, rasanya kepalaku ingin pecah dan terbelah.
"Na, jangan bengong terus dong, kita liat keadaan Umi yuk," ajak Ziah lembut yang justru membuat rahangku mengeras tak terkendali.
Kala mendengar nama itu entah mengapa hatiku menjerit tak suka, bayangan akan kejadian kemarin malam sangat amat menggangu pikiran.
"Buat apa lagi? Mereka bukan siapa-siapa aku!" Dengan sekuat tenaga aku menahan gejolak dalam dada, belum lagi air mata yang sudah mendesak meminta untuk segera diluncurkan.
Ziah membawa tanganku dalam genggaman, memberikan sedikit sunggingan. "Mereka tetap keluarga kamu, Umi ya akan tetap jadi ibu kamu, begitu pun dengan Ab—"
"Abi bukan siapa-siapa aku, dia hanya sebatas suami Umi!" potongku cepat dan tegas.
Ziah memejamkan mata sejenak dan berujar, "Aku tahu kamu kecewa, tapi jangan sampai seperti ini juga. Ini takdir Allah, kita gak bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa, dengan cara seperti apa. Cukup jalani apa yang sudah Allah gariskan, kamu harus yakin kalau ini yang terbaik."
"Terbaik kamu bilang? Ini mimpi buruk, Zi!" Dia menggeleng keras.
"Nisrina yang aku kenal sangat berbakti pada kedua orang tuanya, bukan seperti sekarang. Tenangkan hati kamu, istigfar memohon ampunan sama Allah. Umi butuh doa dari anak shalihah seperti kamu," tuturnya masih dengan suara rendah penuh ketenangan.
"Doa aku ngambang di udara, gak bakal Allah ijabah, bahkan kalaupun nanti aku mati surga gak akan pernah sudi untuk menampungku. Shalihah? Kata itu bukan ditujukan untukku. Aku ini wanita kotor, hina!"
Ziah memelukku, dia seperti ingin memberikan kekuatan dan dukungan bahwa yang saat ini menimpaku tidak akan bertahan lama. Tapi aku tak bisa menutup mata dan telinga akan kenyataan pahit ini. Aku sudah kehilangan arah tujuan, hidupku sudah tidak jelas.
"Kamu jangan ngomong gitu," lirihnya dengan suara bergetar, seperti menahan tangis.
"Teh." Aku menegang bukan main saat mendengar suara Saras tepat berada di belakangku. Dengan ragu aku pun mencoba untuk melepaskan pelukan dan beralih fokus padanya.
"Umi kritis, Teh, butuh banyak darah. Cuma golongan darah Teteh yang sama kaya Umi," katanya terisak, bahkan perempuan yang tengah menyusui itu beberapa kali menghapus kasar air matanya. Aku memejamkan netra sejenak, menahan sedikit rasa ngilu yang datang tanpa diminta.
Abi memiliki golongan darah A, Saras dan Riska pun bergolongan darah B, dan memang hanya golongan darahku saja yang sama dengan Umi, AB, lebih tepatnya AB negatif. Di Asia, orang dengan golongan darah tersebut masuk kedalam kelompok langka. Jumlahnya kira-kira hanya 0.1 persen dari seluruh populasi di Asia.
"Saras mohon, Teh, Abi udah cari ke mana-mana tapi tetep gak ketemu, cuma Teteh harapan terakhir aku," imbuhnya yang membuat hatiku sedikit tersentil.
Aku melirik sekilas ke arah Ziah, dia seperti memohon agar aku mau mengabulkan pinta Saras. Aku mengangguk ragu, dan langsung dihadiahi pelukan hangat oleh Saras, bahkan tak henti-hentinya dia mengungkapkan kata terima kasih.
"Aku temenin kamu," tutur Ziah yang seakan tahu kegelisahan hatiku. Membayangkan bagaimana rasanya kembali bertemu dengan Riska, aku harus menyiapkan mental baja. Dia pasti akan kembali melontarkan kata-kata penuh penghinaan.
"Teh Ziah udah baik-baik aja? Gak papa kalau harus jalan lumayan jauh?" tanya Saras pelan.
Ziah mengacak lembut puncak kepala Saras. "Yang sakit itu bukan kaki Teteh, jadi aman. Lagian masih di rumah sakit ini juga, gak sampe harus naik pesawat kan?" candanya.
Seharusnya hari ini Ziah pulang, lebih tepatnya nanti sore tapi mungkin sedikit mundur karena dia harus menemaniku dulu. Sedangkan Zaki pergi entah ke mana, sedari semalam dia tak kembali lagi ke sini. Mungkin lelaki itu risi karena keberadaanku.
Transfusi darah umumnya dapat berlangsung hingga empat jam atau bisa juga lebih cepat, tergantung jenis darah dan banyaknya darah yang diberikan. Aku diminta untuk berbaring di tempat tidur. Setelah itu, perawat menusukkan jarum ke pembuluh darah di sekitar lengan. Jarum yang masuk ke pembuluh darah lalu dihubungkan dengan kateter atau selang tipis yang tersambung pada kantong darah. Pada tahap ini, darah akan dialirkan dengan menggunakan selang tipis, dari kantong darah menuju ke pembuluh darah.
Pada 15 menit awal transfusi darah, perawat memantau kondisiku untuk memastikan apakah aku mengalami reaksi alergi atau tidak. Bila gejala-gejala reaksi alergi terjadi, prosedur harus segera dihentikan. Dan kuharap ini tak terjadi, karena jika sampai hal itu terjadi aku tak tahu lagi akan nasib Umi. Aku memang masih kecewa dan marah padanya, tapi sebagian hatiku melemah saat melihat kondisi Umi yang jauh dari kata baik itu. Seburuk apa pun kelakuannya di masa lalu, aku tak bisa memungkiri bahwa Umi akan tetap menjadi ibu kandungku. Ikatan darah itu akan tetap mengalir deras di sekujur tubuh.
"Istirahat dulu di sini, muka kamu masih pucat, lemes itu pasti," cegah Ziah saat aku hendak bangun dari brankar.
"Aku mau pulang, Zi, aku gak mau ambil risiko lebih lama lagi. Aku belum siap buat ketemu Riska sama Abi," sanggahku yang disambut helaan napas berat olehnya.
"Seenggaknya kamu istirahat dulu beberapa menit di sini, lagian kamu juga mau pulang ke mana sih? Keluarga kamu ada di sini semua," sela Ziah.
"Aku gak akan pulang ke rumah!" tukasku cepat.
"Jangan ambil keputusan saat kamu sedang dalam keadaan emosi. Pikirkan semuanya matang-matang, masalah ini bisa dibicarakan dan dirundingkan," nasihatnya yang langsung kubalas gelengan.
"Justru ini waktu yang tepat untuk aku mengasingkan diri, mereka semua fokus pada kesembuhan Umi, dan aku bisa bebas tanpa harus pusing memikirkan mereka yang mungkin akan mencari keberadaanku."
"Jangan keras kepala, Na. Ibu kandung kamu di ambang hidup dan mati, kamu tega ninggalin beliau gitu aja? Jangan sampai kamu nyesel di kemudian hari."
"Kamu gak tahu gimana perasaan aku, kan, Zi? Kamu bisa ngomong seenteng itu karena kamu gak ada di posisi aku. Sekarang aku harus mikirin mereka, tapi apa mereka juga mikirin aku? Gak, Zi! Gak!"
Ziah memelukku yang terus meronta memukul-mukul bagian dada yang semakin sesak tak terkira. Ini terlalu rumit, sangat amat sulit. Hanya rasa sakit yang saat ini kurasakan.
"Aku emang gak berada di posisi kamu, gak tahu gimana sakitnya kamu, tapi aku gak mau kamu menyesal karena tindakan kamu sekarang. Sebagai anak tugas kita hanya satu, berbakti pada kedua orang tua kita, terlepas dari apa yang saat ini tengah menghimpit kamu," tutur Ziah yang masih begitu sabar memberikan banyak wejangan. Tapi jujur hal itu sudah tak mempan.
Rasa sakit ini kian menggerogoti, mau sekuat apa pun menentang dan mencoba untuk mengikhlaskan, tapi tetap saja tidak bisa. Aku sudah terlanjur kecewa, dan sangat sulit untuk menghilangkannya. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan, semuanya sudah terkuak dan terbongkar ke permukaan.
"Jangan bohongi diri kamu sendiri, aku tahu kamu masih peduli sama Umi dan Abi, buktinya kamu bersedia melakukan transfusi darah untuk menyelamatkan nyawa Umi," ungkap Ziah. Dia seperti tak pernah lelah melontarkan beragam kata-kata semangat penuh motivasi.
Apa yang Ziah katakan memang ada benarnya, aku masih sedikit menaruh rasa peduli pada Umi, hanya sedikit dan itu pun aku lakukan sebagai ungkapan maaf karena aku yang secara tidak langsung membuatnya harus mendekam di rumah sakit.
Lagi pula aku pun bingung dalam menentukan sikap, terlebih pada Abi dan juga Riska. Secara biologis Abi memang ayahku, tapi secara agama dia hanya sebatas suami dari ibu kandungku, tidak lebih dan tidak kurang. Ada batasan yang tidak boleh kulanggar, sebab beliau bukanlah mahramku.
Sedangkan pada Riska, aku pun tak tahu harus bersikap seperti apa. Aku tak bisa pura-pura tutup mata dan telinga akan fakta yang sudah dia lontarkan kemarin malam. Dia sudah tak menganggapku sebagai kakak, aku tak lagi memiliki wewenang ataupun hak untuk kembali masuk ke dalam hidupnya.
Cukup hidupku saja yang hancur berantakan, dan jangan sampai dia merasakan apa yang saat ini tengah kurasakan. Sakitnya teramat dalam, dan aku tak yakin luka ini akan sembuh dengan cepat. Hanya waktu yang bisa menjawab.
Note :
1. Jika ayah dan ibunya menikah, maka si anak tetap menjadi mahram bagi ayahnya, disebut sebagai mahram sementara. [Narasi di atas hanya asumsi Nisrina saja. Nanti akan dijelaskan di bab berikutnya]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro