Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 | Sedikit Lebih Baik

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Mereka yang berzina, mereka yang bersuka cita dalam sepiring dosa, tapi aku yang harus menerima imbasnya."

Kecewa itu pada saat kita terlalu banyak menaruh rasa percaya terhadap seseorang, tapi orang tersebut dengan entengnya mengobral sebuah kebohongan besar. Bukan lagi perihal, satu atau dua tahun melainkan 27 tahun. Bisa dibayangkan bagaimana hancur dan rapuhnya aku sekarang? Dari luar terlihat indah, bahagia, sempurna tanpa cela. Tapi ternyata, sangatlah bobrok di dalamnya.

Tak pernah terbayangkan sedikit pun dalam benakku bahwa Umi dan Abi pernah melakukan perilaku keji, tak manusiawi. Aku tahu, mungkin itu hanya sepenggal kisah kelam masa lalu. Tapi bisakah jangan melibatkanku? Apa dosa dan salahku hingga Allah menitipkan ruh ini dengan cara yang tak diridai. Bagaimana mungkin bayi yang terlahir fitrah, suci, dan tanpa dosa itu dinistakan dengan kata-kata penuh hinaan.

Yang jelas salah di sini bukanlah bayinya, aku lebih tepatnya. Mereka yang berzina, mereka yang bersuka cita dalam sepiring dosa, tapi aku yang harus menerima imbasnya? Yang benar saja. Ini sungguh tidak adil luar biasa. Belum lagi nasabku yang tak jelas ini, tak memiliki ayah. Itu sudah pasti, karena nasabku dilimpahkan pada Umi. Aku terlalu bodoh hingga dibohongi sampai sejauh ini.

Seharusnya aku sudah bisa membaca dari sejak dulu. Bagaimana aku mendapatkan perlakukan lebih, terkesan over protective lebih tepatnya. Pasti itu mereka lakukan untuk menebus dosa dan kesalahan. Berkawan dengan kata gagal dalam hal pernikahan, tidak ada satu pun laki-laki yang sudi menikahi wanita yang terlahir dari cara yang tak Allah sukai. Pantas saja setiap akad akan berlangsung mereka semua pada mundur, sudah bisa kutebak bahwa Umi dan Abi tak memberitahu mereka sebelumnya, dan memilih untuk memberitahu secara mendadak.

Atau pada saat lamaran sudah tergelar dan hanya tinggal menentukan tanggal, semua itu bubar di tengah jalan. Karena apa? Sebab Abi dan Umi hendak melakukan negosiasi agar pernikahan tetap dilangsungkan, tapi tanpa Abi sebagai wali dan tidak ada nama ayah yang mengikuti di belakang namaku, karena seperti yang sudah kukatakan tadi, nasabku dilimpahkan pada Umi.

Bukan Nisrina Misha binti Nasrun, melainkan Nisrina Misha binti Miranda. Rasanya aku ingin terbahak dengan berurai air mata, malu rasanya menyandang nama itu. Dan yang akan lebih membuat rasa maluku bertambah berkali-kali lipat adalah, pada saat nanti akan melangsungkan ijab kobul.

Ijab kobul?

Bangun Nisrina! Statusmu akan tetap sama, jomlo abadi. Terlalu banyak menghalu hingga lupa daratan, bahwa aku memang tak ditakdirkan untuk memiliki pasangan. Julukan perawan tua itu sudah pasti akan kusandang hingga mati. Dan kuharap Malaikat Izroil segera melancarkan aksinya untuk mencabut nyawaku ini. Dengan hati lapang penuh keikhlasan, aku akan menerimanya. Aku sangat menunggu saat itu tiba.

"Bengong, nangis sendirian di koridor rumah sakit, dan lebih parahnya samping ruang jenazah lagi."

Sontak kepalaku tertoleh cepat saat mendapati suara seseorang yang berasal dari arah belakang. Bulu kudukku sudah meremang tanpa diundang, tapi ternyata itu hanya ulah si pemuda songong yang tadi memberikan tumpangan. Untuk apa dia masih bertahan di sini? Apakah meminta ongkos? Yang benar saja. Aku sama sekali tak memiliki sepeser uang, dompetku raip entah ke mana.

Dia mendaratkan tubuh di sisi kosong bangku sebelahku, menyodorkan sebuah sapu tangan putih bertuliskan, Naresh Mahaprana. Mungkin itu namanya.

"Untuk?"

"Ya buat Teteh lah masa buat kuntilanak penghuni pohon mangga sih," jawabnya dengan diiringi kekehan.

"Gak usah, makasih," tolakku. Risi rasanya berdua-duaan di tengah malam seperti ini bersama dengan lelaki tak dikenal.

"Maaf," katanya yang berhasil membuat keningku terlipat. Orang ini aneh sekali. Tiba-tiba datang seperti jelangkung dan berkata tak jelas, sungguh sangat membingungkan.

"Untuk?"

Dia mengukir senyum tipis yang terlihat tidak tulus. "Gak papa pengen aja," cetusnya semakin tak jelas. Sepertinya lelaki itu overdosis obat, atau jangan-jangan terlalu banyak mengonsumsi micin lagi.

"Duluan, Teh," ucapnya lalu bangkit dan meletakkan sapu tangan yang tadi belum sempat kuambil di atas pangkuan, "siapa tahu aja Teteh butuh buat lap ingus."

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Tak mengerti dengan jalan pikiran pemuda yang kuperkirakan berusia sekitar 25 tahun itu, lebih muda dua tahun dibandingkan denganku.

Pandanganku lurus ke arah langit yang menyuguhkan beragam bintang dan bulan, sangat bersinar dan juga menenangkan. Beruntung cuaca malam ini tidak mendung, sepertinya Allah tengah berbaik hati agar aku bisa tidur di sini, itu pun jika tak ada satpam yang mengusir. Lagi pula aku juga bingung harus menginap di mana, sekali lagi kutekankan bahwa aku tak memiliki keluarga atau teman, selain mereka yang baru saja membuangku tanpa perasaan.

Beban hidup ini terlalu berat, sangat. Tak pernah terbayangkan sedikit pun bahwa hidupku akan hancur berantakan seperti sekarang, hanya dalam hitungan jam. Dunia ini hanya tempatku untuk berbagi keluh susah dengan beragam masalah. Tak pernah berdamai, walau sekejap untuk menemukan angin segar berupa kebahagiaan. Bahagia? Rasanya kata itu sangat amat tidak diciptakan untukku. Hanya kesedihanlah yang begitu berkawan dekat denganku, bahkan ia begitu enggan untuk angkat kaki walau hanya seinci.

Jika saja bunuh diri dihalalkan, sudah sejak tadi aku memilih untuk mengakhiri hidup ini. Ruang jenazah pun sudah melambai ingin segera kutempati. Tapi otakku masih sedikit bekerja, aku tak ingin terlunta-lunta di antara langit dan bumi, serta harus mendekam di dalam api neraka. Hidupku di dunia sudah sangat menderita dan jika di akhirat pun sama juga. Ya sama saja bohong.

Saat mataku akan sejenak terpejam, aku kembali dikagetkan dengan suara seseorang, "Na, Ziah mau ketemu kamu."

Di sana suami Ziah berdiri dengan aura dingin tak bersahabat. Aku memalingkan pandangan ke arah lain dan berkata, "Mau apa lagi? Kalau mau maki-maki gak usah!"

Aku masih sangat mengingat dengan betul bagaimana tadi Zaki, lelaki yang berstatus suami dari sahabatku itu memberikan banyak kata-kata pedas penuh penghinaan. Bukan hanya dia saja, melainkan seluruh anggota keluarganya. Mereka menyalahkanku atas kemalangan nasib Ziah yang harus mengalami keguguran. Seharusnya aku tahu diri, dan sadar diri, bahwa ini memang salahku sepenuhnya. Tapi aku tak terima jika harus menerima segala sumpah serapah dari mulut-mulut sampah seperti mereka.

Belum cukupkah aku diperlukan buruk oleh salah satu adik kandungku? Dia tak lagi menganggapku sebagai kakaknya, dia sudah tak sudi lagi menjadi saudariku. Masalah ini terlalu melibatkan banyak pihak, hingga aku sendiri bingung membedakan mana yang menjadi korban dan mana yang menjadi tersangka.

"Kalau bukan karena dia yang minta aku gak akan pernah sudi untuk bertemu denganmu lagi!" Aku tertawa penuh rasa getir. Tanpa kata apa pun aku berjalan untuk menuju ruang rawat inap Ziah, dengan Zaki yang berjalan di depanku.

Aku tak bisa membohongi diri sendiri bahwa aku ingin melihat kondisi sahabatku saat ini, tapi aku pun tak ingin abai pada situasi. Di sana banyak keluarga besar Ziah dan juga Zaki, yang sudah pasti akan siap untuk kembali melontarkan caci maki.

"Masuk," katanya saat membuka pintu ruang rawat Ziah dengan lebar, tak ada orang di sana hanya Ziah seorang dirilah. Ke mana perginya orang-orang?

Dengan ragu serta kepala tertunduk dalam aku berjalan menghampiri Ziah yang tengah duduk bersandar pada bantal yang dia tumpuk di belakang punggung. Aku tak memiliki muka lagi, aku merasa bersalah atas musibah yang menimpa Ziah. Secara tidak langsung akulah yang melenyapkan bayi mungil tak berdosa yang tengah Ziah kandung.

"Na," panggilnya dengan suara pelan, bahkan serupa bisikan. Dengan perlahan aku pun mendongak, wajah pucat pasi itu terlihat tengah memaksakan diri untuk memberikan sunggingan lebar. Hal itu justru membuat dadaku sesak, dengan mata yang sudah memanas dan siap untuk meluncurkan air hujan.

"Maaf." Hanya kata itu yang mampu kulontarkan. Ziah diam tak membuka suara, hal itu membuatku cemas bukan main. Aku takut dia membenciku.

Aku dibuat membatu saat tanpa disangka Ziah malah memberikan rengkuhan hangat, bahkan sesekali aku menangkap suara isakannya. Napasku memburu dengan cepat, dan dengan ragu membalas pelukan Ziah.

"Maafin keluarga aku dan keluarga Mas Zaki, mereka sangat terpukul dengan kenyataan ini," lirihnya yang berhasil membuat air mataku tumbang tanpa aba-aba.

Aku yang seharusnya mengungkapkan kata maaf, bukan Ziah. Dia tak memiliki secuil pun kesalahan. Aku kehabisan kosakata, tak bisa memberikan tanggapan. Rasa sesak di dada sungguh sangat menyita perhatian.

"Seharusnya aku ada di sisi kamu, menjadi penopang kamu, bukan malah ikut andil jadi perantara rasa sakit kamu. Aku bukan sahabat yang baik untuk kamu, Na. Maafin aku," katanya masih dengan diiringi isakan.

"Aa ... aaku ... yang seharusnya minta maaf sama kamu, karena ulah aku kamu jadi keg—"

Dia menggeleng cepat dan melepas rengkuhannya, serta beralih menggenggam tanganku. "Ini takdir Allah, aku gak berhak untuk menghakimi ataupun menyalahkan kamu," tuturnya yang membuatku sedikit lega. Kukira dia akan melakukan hal yang sama seperti yang sudah keluarga besarnya perbuat, tapi ternyata tidak.

Aku kembali merengkuhnya dengan tangis penuh kelegaan. "Makasih, Zi ... Makasih." Dia hanya mengangguk dan mengelus punggungku penuh kelembutan.

"Malam ini kamu tidur di sini yah, temani aku," pintanya saat pelukan di antara kami sudah terurai. Aku diam beberapa saat, dan melirik sekilas ke arah Zaki yang tengah duduk di sofa.

"Boleh kan, Mas?" ucap Ziah pada suaminya, dia seperti mengerti dengan kerisauan hatiku. Hanya deheman singkat yang lelaki itu berikan, lantas bergegas keluar begitu saja.

"Gak papa, Na. Jangan terlalu dipikirkan yah, Mas Zaki emang gitu kok," cetusnya memenangkan, dan aku hanya mengangguk seraya menampilkan seulas senyuman.

Setidaknya aku masih memiliki Ziah yang dengan tangan lebar memberi dukungan. Dan untuk perihal keluargaku, biarkan saja seperti ini dulu. Aku belum siap untuk kembali menemui mereka, telebih aku pun harus tahu diri. Aku bukanlah siapa-siapa.


Double up nih🤪,, Semoga kalian gak mual yah baca cerita ini yang update-nya kerajinan😂

Note :

1. Anak yang lahir dari hasil hubungan di luar pernikahan nasab si anak jatuh pada ibunya. Yang artinya si ayah tidak memiliki hak apa pun atas anaknya, bila anak itu perempuan maka si ayah tidak berhak menisbatkan namanya di belakang nama si anak (binti), dan tidak boleh menjadi wali nikah pada saat si anak itu akan melangsungkan akad (diwakilkan oleh wali hakim, penghulu) karena dalam agama anak itu tidak memiliki ayah. Dan jika anak itu laki-laki, maka terputuslah tali perwarisan di antara bapak dan anak tersebut. Tidak ada hak untuk saling mewarisi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro