11 | Terulang Lagi
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Bisa-bisanya otakku berpikiran dangkal, dan macam-macam perihal beliau. Dia hanya sebatas atasan, tidak lebih dan tidak kurang."
Suasana di meja makan sungguh sangat memuakkan, Umi dan Abi sama-sama bungkam dan itu membuatku merasa sangat bersalah. Karena ulahku mereka menjadi perang dingin seperti sekarang, aku tak tahu harus melakukan apa untuk membujuk keduanya. Tidak mungkinkan jika kukasih es krim ataupun lollipop berbentuk hati?
Jika pun aku lebih mementingkan ego, sudah pasti aku takkan berada di sini pagi ini. Tapi aku tak mau, emosi dan gejolak hati yang tak dapat terkendali hanya akan memperunyam situasi. Aku harus mampu berpikir positif atas apa yang semalam terjadi, mungkin untuk hari ini saja karena aku pun tak yakin akan terus bertahan dengan topeng wajah ini.
Sekilas mata memandang aku seperti manusia tanpa masalah yang gampang mengobral senyuman, dan mudah melupakan sesuatu yang baru saja terjadi. Tapi jika bisa ditelisik lebih dalam lagi, aku ini rapuh, butuh penopang dan juga penguat agar bisa tegar menghadapi segala ujian dan cobaan. Aku lelah jika harus hidup dalam kepura-puraan.
"Umi ... Abi ... Baikan yah," bujukku dengan memasang wajah seimut dan semenggemaskan mungkin.
"Dimakan sarapannya, Sayang," tutur Umi malah melenceng sana-sini.
Kuembuskan napas panjang lantas berujar, "Aku udah kenyang karena lihat Umi sama Abi yang gak akur-akur," cetusku dengan tangan bersilang dada.
Umi yang memang duduk di sebelahku, dengan lembut mengelus puncak kepala yang kini sudah tertutup hijab instan. "Makan dong, nanti kalau gagal fokus kaya kemarin lagi gimana?"
Aku mendengkus sebal. Umi ini memang pengingat yang baik, dan aku tak begitu menyukainya. "Jangan bahas itu lagi atuh, Mi," rajukku seperti bocah berusia lima tahun.
"Berangkat sekarang?" tanya Abi yang malah sudah bersiap untuk bangkit dari duduknya. Aku hanya mampu menghela napas kecewa.
Semalam Umi ketiduran di kamarku karena terlalu lelah menangis, atau bisa juga itu alibi supaya beliau tidak tidur satu kamar dengan Abi. Bisa saja kan begitu? Bukan berniat suuzan, hanya saja kebanyakan pasangan jika sedang bertengkar pasti memilih untuk pisah kamar. Itu adalah fakta di lapangan.
"Umi bekalkan untuk makan siang yah," katanya yang tanpa diminta segera memasukkan dua centong nasi beserta lauk pauk ke dalam tempat makan berbahan dasar plastik yang mereknya sudah sangat amat terkenal.
Aku menerima tas jinjing yang sudah berisi satu kotak makanan serta tumbler berisi air putih. "Inget kerjanya yang bener, jangan teledor lagi yah. Jangan sampai kamu ketularan adik-adik kamu," ucapnya yang membuatku terkekeh pelan.
Jika mengingat Saras dan Riska rasanya perutku seperti dikocok. Bawaannya selalu ingin tertawa, terlebih kini Saras yang kerepotan mengurus putrinya yang masih bayi, meskipun Umi selalu rutin menyambangi tapi tetap saja dia sering mengeluh banyak hal. Entah itu mengantuk karena jadwal tidur yang tak teratur, atau karena badan yang pegal-pegal sebab putrinya yang selalu ingin berada dalam gendongan.
Dan Riska harus memiliki ekstra kesabaran dalam mengahadapi putra serta suaminya yang begitu over protective. Sejengkal saja Riska keluar rumah tanpa membawa Azka, pasti Radit akan mencak-mencak tak jelas. Ceramahnya panjang kali lebar serta berseri-seri, Umi saja kalah telak oleh lelaki beranak satu itu. Rumah tangga mereka memang sangat kocak dan terkadang membuat pening kepala, tapi mungkin itu yang dinamakan dengan seni dalam berumah tangga.
Aku menyalami punggung tangan Umi, dan seperti biasa beliau akan mendaratkan beberapa kecupan di kedua pipi dan juga keningku. Sedangkan Abi hanya menyodorkan tangannya tak berselera, dan dianggap acuh tak acuh oleh Umi. Sepertinya gejolak muda kedua orang tuaku tengah meronta-ronta, mereka sudah seperti pasangan yang baru berpacaran dan terlibat pertengkaran saja.
Aku harus merencanakan sesuatu untuk meredam emosi di antara Umi dan Abi. Semoga saja rencanaku kali ini tidak gagal dan berjalan sesuai harapan. Akan kuajak Ziah sekalian, agar dapat membantuku untuk mengakurkan Umi dan Abi. Biasanya otak perempuan yang tengah hamil muda itu selalu encer dan bisa diajak kompromi.
Sesampainya di kantor aku sudah disambut dengan setumpuk kertas yang sudah berserakan di meja. Jika seperti ini ceritanya, bisa gagal total rencanaku. Melirik arloji masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sepertinya aku akan memulai pekerjaan tiga puluh menit lebih awal, agar nanti memiliki waktu luang untuk berbincang dengan Ziah.
"Sibuk?"
Satu kata yang berasal dari calon ibu muda itu rasanya ingin kumusnahkan sekarang juga. Sungguh basa-basi yang sangat amat tak bermutu. Allah sudah memberikan netra yang sempurna untuk melihat, dan itu sudah cukup bisa untuk menjawab pertanyaan yang tadi dia layangkan.
"Katanya mau ada yang diomongin sama aku? Kok malah sibuk sendiri sih," keluhnya yang dengan enteng menyesap secangkir teh hijau dan duduk manis di kursi kosong depan kubikelku.
"Aku mau kerja dulu, Zi. Bisa kan dipending sampai jam istirahat nanti?" sahutku dengan nada judes.
Jangan sampai fokusku terpecah belah karena ulah Ziah, aku sedang menginput data bulanan yang harus kuserahkan pada atasan. Bisa hancur lebur jika Ziah terus berulah dan merecoki.
"Ya udah si selow aja jawabnya kan bisa," cetusnya dengan nada sewot.
Satu hal lagi yang sangat amat tidak kusukai dari Ziah adalah mudah tersinggung, dan kehamilannya semakin menambah buruk. Mood swing yang tak tahu tempat ya begitu. Merepotkan orang lain saja.
"Iya ... Iya ... Maaf kelepasan tadi, gasnya lupa aku rem," jawabku asal.
Ziah melempar bolpoin yang berada di meja dengan sadis, dan itu tepat mendarat di keningku. "Kamu kira mulut kamu motor apa? Pake ada gas sama rem segala."
"Kerja sana, kalau ada atasan yang visit bisa dapet raport merah kamu," candaku yang malah semakin membuat Ziah memberengut kesal.
"Awas yah kamu! Aku gak mau bantuin rencana busuk kamu itu!" ancamnya.
Aku mengelus dada sabar. "Rencana busuk apaan si Zi? Mulut kamu ya udah kaya petasan banting aja," kataku menanggapi. Kalau sedang dalam suasana hati yang tidak mendukung, hobi Ziah ya mengomel tak tahu aturan.
"Gak bom aja, Na! Biar puas sekalian!"
Aku hanya menggeleng pelan, bisa panjang jika aku terus meladeninya. Lebih baik fokus pada pekerjaan dan jangan pusingkan keberadaan Ziah yang terus berkomentar. Biarkan saja dia mengoceh sesuka hati.
Jariku rasanya mau copot karena terlalu banyak menginput data, belum lagi otakku pun harus tetap jalan untuk berpikir. Bekerja di depan layar monitor tidak seindah bayangan, rasa pening karena terlalu lama menatap layar, belum lagi mata yang sudah mulai berkunang-kunang, punggung yang terasa rontok, dan masih banyak keluhan lainnya.
Jika saja aku lahir dari keluarga berada dan memiliki kemampuan finansial yang mumpuni, sudah bisa dipastikan aku akan menghindari pekerjaan sejenis ini. Lebih baik diam saja di rumah, ongkang-ongkang kaki dan uang akan masuk dengan sendirinya. Enak sekali jika hidupku bisa seperti itu, tapi sayang semua itu hanyalah khayalan semu yang takkan pernah terealisasi.
Aku terlalu banyak mengeluh ini dan itu. Mungkin saja di luar sana ada orang-orang yang menginginkan pekerjaan ini, tapi dengan entengnya aku malah menginginkan hal lain. Sungguh, aku ini hamba kufur nikmat yang tak pandai bersyukur. Jangan sampai makhluk-makhluk sepertiku bertebaran di muka bumi ini.
Terlalu asik berkawan dengan layar monitor, aku sampai lupa melewatkan jam makan siang. Melirik ke arah samping, sudah kosong tak berpenghuni. Sepertinya Ziah masih sebal dan enggan mengajakku untuk makan siang bersama, anak itu masih saja seperti bocah yang gampang marah.
Dengan ragu aku pun mengambil bekal yang tadi sudah Umi siapkan, makan siang di dalam ruangan sepertinya bisa kulakukan. Mumpung suasana mendukung, sebenarnya kegiatan semacam ini sangat digaris merah dan tak boleh dilanggar. Tapi mengingat jam makan siang akan segera usai dan pekerjaan belum kunjung menemukan titik terang, alhasil aku pun memberanikan diri untuk menyantapnya di sini. Semoga saja tidak ada yang melihat. Hanya itu doa yang saat ini kupanjatkan dan berharap Allah sudi untuk mengabulkan.
Baru saja sendok berisi nasi itu masuk, dan belum sempat tertelan ke dalam kerongkongan suara deheman yang cukup kencang berhasil membuatku diam membisu seperti Patung Pancoran, jangan lupakan juga sendok yang masih bertengger apik di sela bibir. Sepertinya surat peringatan akan segera kukantongi, sudah dua hari berturut-turut aku berbuat ulah dan itu lumayan fatal. Tak apalah jika hanya mendapatkan SP1, asalkan jangan sampai kena PHK saja.
Aku memutar tubuh ke belakang, dan betapa terkejutnya saat mendapati Pak Bagas berada di sana tengah berdiri menyamping pada dinding dengan mata menyala tajam, dan tangan yang disisipkan di balik saku celana bahan. Ya Allah, jika seperti ini ceritanya aku bisa benar-benar kena SP. Dengan susah payah aku menyingkirkan sendok yang berada dalam mulut, menelan bulat-bulat nasi beserta lauk pauknya tanpa kukunyah terlebih dulu. Rasa seret dan sakit mendera kerongkongan, tapi aku tak memiliki keberanian untuk mengambil air.
Aku hanya mampu menunduk dalam dan memegang tenggorokan yang terasa sakit mencekat. Semoga saja aku tidak mati mendadak hanya karena tersedak, kan tidak lucu jika nanti masuk ke dalam berita. Sungguh sangat memalukan. Aku tersentak kaget saat melihat tumbler yang tadi Umi berikan sudah bertengger apik di depan mata, dengan penuh keraguan kudongakkan wajah.
Di sana terpampang dengan nyata tangan Pak Bagas yang tengah mengulurkan tempat minum. Aku membatu bukan main, bahkan detak jantungku pun berbuat ulah tak seperti biasanya. Aku tak pernah mendapatkan perlakuan manis seperti ini, efek jomlo yang sudah mengakar daging ya begini. Mendapat sodoran minum saja sudah baper dan berbunga-bunga. Nisrina terlalu lemah!
"Lain kali jangan makan di ruangan. Untuk kali ini saya ampuni, tapi jika sampai terpergok lagi. Kamu tahu sendiri jawabannya bukan?"
Seketika bunga yang tengah bermekaran itu layu mendadak karena mendengar perkataan pedas nan dingin milik Pak Bagas. Aku hanya bisa mengangguk lemah dan menatap nyalang kepergiaan Pak Bagas yang semakin menjauh dari pandangan. Bisa-bisanya otakku berpikiran dangkal, dan macam-macam perihal beliau. Dia hanya sebatas atasan, tidak lebih dan tidak kurang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro