Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1 Wawu Athaf

Kyai Makdum sedang mengulang hafalan Al Qur'annya di teras rumah ketika matahari setinggi tombak. Sedangkan putranya, Gus Abidzar sedang muthala'ah kitab Arba'in. Dalam pandangan awam, mereka berdua sepi dalam kegemarannya masing-masing, nampak saling tidak peduli. Namun, hati tak bisa ditebak. Orang-orang tidak pernah tahu wirid dan doa yang selalu dilanggengkan sang kyai untuk putranya di sepertiga malam. Orang-orang pun tak pernah tahu doa dan ketakdziman yang dipersembahkan Gus Abidzar untuk kedua orang tuanya. Maka, jika kedekatan hanya dilihat dari yang ditangkap mata, betapa sempit penilaian itu. Sebab, kedekatan yang sesungguhnya adalah kedekatan yang menjadikan Allah sebagai muaranya. Sebab, cinta yang ditanam tak hanya tumbuh di bumi, juga kelak diharapkan berbuah hingga surga.

"Le, sudah selesai muthala'ahmu?" Tanya Kyai Makdum dengan wajah berseri.

Santri-santri Pondok Pesantren Darussalam selalu takjub pada wajah beliau. Bukan karena awet muda, melainkan karena wajah itu selalu menampakkan senyum. Entah di saat sedang bahagia atau ketika terkena musibah. Tak ada santri beliau yang pernah melihatnya menangis. Sebab, menurut Kyai Makdum dalam sebuah ngaji bandongan, beliau berpesan pada santrinya agar menyembunyikan air matanya. Hanya Allah yang berhak mendapatkannya. Bukan makhluk.

"Nggeh, Abah." Gus Abidzar menutup kitabnya kemudian mendengarkan dawuh abahnya dengan seksama.

Kyai Makdum melihat kover kitab Arba'in karangan Imam Nawawi, sebuah kitab yang berisi 42 hadits pilihan yang mahsyur. Sebagian ulama' berpendapat bahwa hadits-hadits yang terdapat di kitab Arba'in Nawawiyah ini menjadi landasan ajaran Islam karena mencakup pilar agama Islam baik yang ushul maupun furu'iyah.

"Jelaskan pada Abah pengertian Islam sesuai kitab Arba'in yang kamu pegang."

Gus Abidzar mengucapkan hadits tanpa melihat kitabnya. Untuk menunjang ilmu fiqih yang dikuasainya, dia menghapal ribuan hadits dan ayat Al-qur'an serta asbabunnuzulnya, meski enggan mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang hafidz Qur'an.

"Al-islamu an tasyhada an laailahaillallah, wa anna muhamadarrasulullah, wa tuqiimashshalah, watuktiyazzakaah, wa tashuuma ramadhan, wa tahujjalbaita inistatho'ta ilaihi sabiila. Islam adalah engkau bersyahadat laailahaillallah muhamadarrasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh jalannya."

Kyai Makdum mengangguk-anggukan kepala. "Di dalam hadits itu terdapat huruf wawu yang menyambungkan kalimat agar padu dan tersambung. Bahwa menjadi Islam tidak hanya bersaksi lailahaillallah-muhamadarrasulullah saja. Melainkan harus memenuhi rukun Islam yang lainnya. Di antaranya menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan berhaji bagi yang mampu. Kelimanya adalah komponen penting bagi seorang muslim. Dan, kelimanya dirangkai oleh huruf wawu. Wa tuqiimashshalah, wa tuktiyazzakaah...." Ada jeda sejenak sebelum beliau melanjutkan kalimat, "Huruf wawu digunakan sebagai penyambung satu hal dengan hal lainnya yang membuat partikel-partikel terserak menjadi bersatu dan mutlak, lil mutlaqil jam'i. Yang paling penting, huruf wawu berfungsi sebagai maiyyah; menjadi faktor yang merekatkan yang lain, membuat isim dan fi'il bersatu dan membuat segalanya memiliki kesamaan konteks ruang dan waktu. Putraku, Abidzar Almurtadha, seorang santri boleh menjadi huruf alif yang tegak, menjadi huruf nun yang menampung segala ilmu atau menjadi huruf ba' yang membumi atau menjadi apa saja. Tetapi, camkan baik-baik anakku... kamu harus menjadi wawu athaf—menjadi penghubung yang pandai merangkul dan berdiri di atas semua golongan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro