Bab 5. SMA 1
Indra yang membawa Anjarani ke ballroom kosong yang dimana mereka berdua berdiri di dekat jendela besar yang menampilkan pemandangan dari atas lantai dua. Anjarani tidak tahu maksud dan tujuan Indra membawanya ke tempat itu sedikit kesal.
Walaupun masih ada orang yang berlalu lalang disana, Anjarani terlihat tidak nyaman karena make up yang kata Indra terlalu tebal. Ia sudah putus asa dan mencari-cari tissue, karena tidak mungkin ia mengelap make up nya dengan kain bawahan kebayanya.
“Ndra. Aku ke toilet dulu.” Indra langsung aja menahan tangan Anjarani lagi.
“Mau ngapain?” Anjarani mulai kesal.
“Ya hapus make up lah!”
“Gak usah. Toh acara sudah mau selesai juga kan?” Anjarani berpikir sejenak.
“Bener juga. Terus? Ngapain kamu bawa aku kesini?”
Suasana pun hening. Indra tidak berani membuka percakapan dengan Anjarani yang terlihat berdiri bersandar melihat orang-orang yang berlalu lalang keluar masuk ballroom. Sepertinya acara kak Feri di bawah sudah selesai. Batin Anjarani sibuk dengan dunianya.
Suara ketukan kaki Indra terdengar sia-sia lantaran karpet merah yang mereka injak meredam suara ketukan sepatunya. Ia tidak jadi menyesal ikut ke acara pernikahan Kak Feri setelah ia disuguhkan pemandangan dimana Anjarani yang berdandan.
‘Yakin nih aku suka sama Anjarani?’ Batin Indra lebih tidak percaya dengan dirinya sendiri.
“Ran, kamu jadi masuk SMA 1?” Tanya Indra menoleh ke samping. Anjarani tersenyum kecil.
“Gak tahu aku Ndra. Masih belum bisa milih SMA. Rencananya sih aku mau masuk SMA yang deket sama rumah Kak Feri. Soalnya aku mulai sekarang bakal tinggal sama dia. Mama dan papaku balik lagi ke Lembang dan otomatis gak ada yang ngantarin aku kalo berangkat sekolah.” Keluh Anjarani polos sambil membuka tatanan rambutnya.
Rambut hitam Anjarani terurai berantakan ketika Anjarani membuka simpul rambutnya. Indra menatapnya tidak suka. Tapi ia tidak bisa mengutarakan ketidaksukaannya lantaran takut Anjarani tahu bahwa Indra menyukai tampilannya yang seperti ini.
“SMA 1 kan deket Ran. Dari pada kamu masuk SMK 1. Lebih jauh lagi.” Anjarani menggidikkan pundaknya sekali dan memperbaiki rambut seadanya.
“Ck! Gak tahu deh Ndra. Memangnya kenapa kamu ngebet banget sih masuk SMA 1? Kamu ngincer cewe-cewe disana ya?” Anjarani langsung mencerca Indra sekaligus mengecapnya seakan-akan ia pria berengsek sejak lahir.
Indra tidak berani menatap mata Anjarani ketika tatapannya malah dengan bebas menatap mengkilatnya dahi Anjarani. Alis Anjarani yang sudah berbentuk alis sempurna dengan bantuan pensil alis itu bergerak ke atas dan ke bawah.
Belum lagi dengan senyuman mengejeknya seperti biasa. Indra tiba-tiba menyukai senyuman mengejek itu sekarang. Walaupun hatinya mendadak tidak terkendali, Indra masih kuat menahan bibirnya agar tidak melengkung dan menampilkan senyum untuk membalas Anjarani.
“Dengar ini, nenek sihir. Aku masuk SMA 1 karena itu sekolah SMA favorite yang banyak jadi incaran anak-anak karena sekolahnya keren. Anak muridnya tidak berandalan dan yang terpenting ada ekskul futsalnya.” Katanya acuh tak acuh.
Anjarani bersedekap ikut tidak pedulinya. Ia memang tahu jika Indra sangat menyukai futsal sejak sekolah dasar. Anjarani berani bertaruh jika Indra lima puluh persen ingin belajar dan lima puluh persennya lagi karena futsal. Sayangnya Anjarani tidak butuh penjelasan seperti itu.
“Terserah padamu saja Ndra. Pertama, aku tidak peduli dan kedua aku tidak peduli. Bye.”
Dan untuk pertama kalinya Indra kalah dalam pertempuran sengit beradu tatap dengan Anjarani. Mungkin sejak ia merasakan getaran aneh dalam dirinya. Ya! Indra akui ia menyukai Anjarani sekarang. Ia menggaruk belakang kepalanya.
“Sialan Ran… Mimpi apa aku semalam sampe suka sama kamu.” Gumam Indra menatap pintu ballroom yang sudah hilang wujud Anjarani disana.
-Dua hari kemudian-
Hari penerimaan murid baru sudah dibuka. SMA 1 Balikpapan tentu saja membuka peluang untuk para calon peserta didik baru untuk meniti jenjang pendidikan di sekolah ter-favorite di Balikpapan. Sibuknya hari pembukaan pertama pun langsung diserbu banyak peserta didik baru.
Rombongan diantaranya saling mengenal satu sama lain dan didampingi oleh orang tua mereka. Banyak anak murid yang mendaftar masih dengan seragam putih biru beberapa diantaranya yang memakai pakaian bebas langsung disuruh pulang oleh guru pembimbing SMA.
Tak terkecuali Indra. Ia berdiri di dekat slide projector yang menampilkan deretan peserta dengan jumlah rata-rata tertinggi. Hari sudah pukul sepuluh damper menjelang siang ketika Indra sudah selesai mendaftar.
Indra tersenyum kecil saat namanya, Indra Danajaya Yudistira yang terpampang sebagai peringkat pertama hingga slide perlahan turun pada nomor sampai lima puluh peserta kemudian berganti slide lagi. Indra puas sekali, tidak sia-sia ia belajar tekun untuk bisa masuk di SMA ini.
“Dek? Gimana? Masuk slide gak namamu?” Indra menoleh dan mendapati kakak anggota OSIS yang menerima formulir pendaftarannya tadi. Ia tersenyum kecil dan mengangguk sekali. Kakak itu pun tersenyum puas sambil memberikan jempol tangannya dan kemudian berlalu pergi.
Indra hanya tidak tahu jika selama sepuluh menit ia berdiri di tempatnya berdiri, banyak sekali pasang mata kaum hawa yang mengawasi dan menandainya. Indra yang berdiri dengan seragam rapi terkancing hingga dasi panjang dengan segita terbalik di ujungnya sudah terlihat tampan untuk ditatap.
Raut wajah yang tegas serta postur tubuh yang hampir menyentuh angka seratus tujuh puluh lima senti meter itu jelas sangat matang dan cocok untuk menjadi murid SMA. Belum lagi dengan tahi lalat di dekat matanya, Indra sempurna dengan tatapan mata yang tajam dan rahang yang tegas.
“Ck! Anjarani kemana sih?” Gumam Indra. Tangannya langsung merogoh saku celananya dan mengecek notifikasi, apakah Anjarani memberinya kabar atau tidak. Tapi ekspresi wajah Indra berubah jadi bosan.
‘Jangan bilang dia mendaftar di sekolah lain.’ Batin Indra kalut, takut ia terpisah denga Anjarani.
Indra memutuskan untuk menunggu kedatangan Anjarani sebentar. Tapi sampai matahari di atas kepala, Anjarani tidak juga menampakkan diri. Ia sudah sejak tadi mempelototi ponselnya sampai bosan dan bermain game, sayangnya Anjarani tidak juga mengabarinya.
‘Ran, Ran. Bisa gila aku.’ Batin Indra lagi.
Ia sudah mendudukkan diri dengan nyaman di kantin sekolah. Para murid yang masuk sekolah tidak terlalu banyak karena memang bukan hari aktif belajar mengajar. Pikiran Indra sudah sehitam awan badai karena gengsinya ia menghubungi Anjarani lebih dulu.
“Indra? Kamu daftar disini juga?”
Tiba-tiba seseorang menghampiri sambil meletakkan sepiring nasi goreng dan es teh manis lengkap dengan sedotan panjang. Wanita yang sama sekali tidak Indra kenal. Dan apa katanya tadi? Kenapa dia seperti mengenal Indra dengan akrab.
“Maaf, apa kita kenal sebelumnya?” Indra yang berekspresi datar dan tidak bersahabat terlihat tidak nyaman ketika seorang wanita tampak sok akrab dengannya. Demi tuhan, Indra melihat wajahnya saja baru kali pertama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro