
Bab 11. Tumben Dia Baik
Anjarani langsung bernafas lega. Robby yang selalu berada di sekitarnya lebih terasa menyeramkan baginya. Dia seperti stalker yang terus menguntit tidak jelas. Ia kini menatap tangannya yang masih digandeng oleh Indra sampai ke parkiran.
“Eh Ndra….”
Kuatnya genggaman tangan Indra sudah seperti seorang ayah yang takut anaknya lepas dan berkeliaran di jalan. Wajah Anjarani perlahan memerah. Apakah Indra tidak sadar? Anjarani tetap berusaha untuk melepaskan genggaman tangan Indra.
“Jangan dulu. Dia masih ngawasin dari jauh.” Ucap Indra tidak mau melepaskan genggaman tangannya.
“Gila ya itu orang? Memangnya aku ini buronan?”
Sesampainya mereka di parkiran motor, Indra langsung segera tancap gas bersama dengan Anjarani yang sekalian ia antar pulang demi keselamatannya dari manusia buas seperti Robby.
Tidak terasa Anjarani dan Indra diam sepanjang perjalanan. Anjarani masih memerah lantaran Indra yang begitu melindunginya dari Robby. Rasanya aneh saja, padahal kemarin mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu.
Sedangkan Indra sendiri berusaha mati-matian agar tetap fokus selagi ia merasakan cengkraman tangan Anjarani pada seragam di bagian pinggangnya. Ingin tahu bagaimana rasanya? Teriknya siang terasa sangat sejuk seperti musim gugur.
Jalan raya yang panas dan banyaknya debu seperti tamparan bunga sakura yang berguguran. Indra sudah melanglang buana mengkhayal tingkat tinggi. Perasaannya semakin mudah jatuh pada Anjarani, seperti cinta yang datang setelah ribuan kata benci terucap dari mulutnya.
‘Ran… rasanya kok jadi makin suka sama kamu ya….’ Batin Indra sambil tersenyum kecil.
Seumur-umur baru kali ini ia merasakan manisnya jatuh cinta. Perasaannya seperti meletup-letup mendidih dengan ribuan kelopak bunga yang bertaburan. Rasanya salah jika Indra berpikir ingin jatuh cinta setelah lulus dan bekerja.
Nyatanya, cinta yang bersemi ketika ia duduk di bangku SMA terasa aneh, tapi manis bersamaan. Entah, apakah ini bentuk cinta monyet anak sekolah atau bukan, Indra berharap hatinya yang mendadak melankolis ini akan mereda ketika roda motornya berhenti.
Sesampainya mereka di depan rumah Kak Feri yang baru, Anjarani segera turun dari motor dan berdiri canggung menunggu Indra melepas helmnya.
“Aku bukannya gak tahu terima kasih Ndra, gak ngajak kamu masuk. Tapi ini rumah Kak Feri, aku gak enak kalo bawa tamu. Apalagi rumah masih berantakan karena habis pindah.” Indra mengangguk santai.
“Kalem Ran. Besok aku jemput ya?” Anjarani mengerutkan keningnya.
“Jemput? Emang mau kemana?” Polosnya Anjarani membuat perutnya menggelitik geli.
“Ke rahmatullah! Ya berangkat sekolah lah Ran.” Anjarani memasang wajah kesal yang dibuat-buat. Tapi bodoh sekali ia sampai bertanya seperti itu. Malunya sampai urat leher, syukurlah Indra tidak mentertawakannya.
“Iya, iya! Yaudah balik sana!” Anjarani semakin malu saat Indra memasang senyuman laknat yang penuh ejekan pada Anjarani. Entah itu cirri khas atau memang sengaja mengejek, Anjarani tidak suka sekali.
Indra memakai helmnya kembali dan langsung pulang setelah Anjarani mengusirnya. Sambil berkacak pinggang, Anjarani mengatur emosinya. Dandannya sudah seperti gadis desa yang baru saja diantar pulang oleh anak pak lurah. Memalukan sekali.
“Ck! Tumben banget dia baik begitu….” Gumam Anjarani.
Ia lantas berbalik dan masuk ke dalam rumah Kak Feri. Dan lutut Anjarani langsung lemas saat melihat Kak Feri yang bersandar pada pintu mobil sambil bersiul-siul usil. Sudah pasti kakaknya itu melihat Indra yang mengantarnya pulang.
‘Astaga… jahanam sekali. Kenapa Kak Feri sampai lihat sih?!’
Alsan sekali Kak Feri menatap ke atas sambil bersiul-siul ketika Anjarani masuk dan menutup pagar. Ekspresinya itu membuat Anjarani ingin sekali menghajarnya. Jika bukan karena Kak Feri itu sudah menikah dan Anjarani sudah dewasa, sudah pasti dia melemparkan tas kerdusnya saat ini.
“Aduh, duh, duh. Katanya sih beberapa minggu yang lalu, ‘Ih! Amit-amit!’. Sekarang sudah dianter pulang,” Dan? Sungguh Kak Feri mengolok-oloknya sambil meniru suara Anjarani yang cempreng. Telinga Anjarani langsung saja memerah.
“Apa sih Kak! Nyebelin!”
“Aku laporin ah!” Goda Kak Feri lagi.
“KAK FERI?!” Teriak Anjarani dari dalam rumah. Kak Feri langsung tertawa kencang di luar seperti orang kesurupan.
Malam harinya, Anjarani menemani Kak Feri dan Teh Elsa jalan-jalan ke mall untuk membeli beberapa perlengkapan dapur. Awalnya Anjarani ingin di rumah saja, tapi karena Teh Elsa terlalu baik, jadilah Anjarani yang duduk di kursi belakang dengan tatapan jengkel Kak Feri yang menatapnya dari spion tengah beberapa kali.
Jelas saja Kak Feri tidak ingin Anjarani ikut. Maklum saja, pengantin baru. Kak Feri sudah pasti ingin kencan dengan Teh Elsa malam ini. Tapi mau bagaimana lagi, Teh Elsa sendiri yang memaksa. Toh Anjarani sendiri tidak bisa beralasan lain.
“Sayang? Nanti kita coba makan di Dandita yah? Lagi ada promo, aku juga dapat voucher seratus ribu dari undian aplikasi olshop. Kamu pernah makan di Dandita gak Ran? Gak apa-apa kan makan disana?” Tanya Teh Elsa menghadap ke belakang untuk menanyakan pendapat Anjarani.
“Anjarani mah pemakan segala. Dikasi makan pasir taburin bawang goreng sama kecap aja dimakan sama dia.” Ejek Kak Feri. Anjarani tersenyum jengkel.
“Iya Teh, aku pemakan segala. Seleraku sama kok sama Kak Feri. Besok-besok Teh Elsa masakin Kak Feri pasir sama kerupuk aja, pasti dimakan kok.” Teh Elsa langsung saja tertawa.
Sesampainya di Mall, mereka langsung menuju supermarket untuk membeli bahan makanan beserta tetek bengeknya bumbu dapur. Entah itu garam, penyedap rasa atau bumbu bubuk lainnya. Anjarani tentu saja mengekor seperti anak itik di belakang dua pasangan suami istri yang baru saja menikah.
Kadang Anjarani jijik sekali melihat Kak Feri yang tidak malu menampakkan kemesraan di depan public. Tidak, tapi di depan adiknya yang masih belia. Tolong cekik saja kakaknya agar sadar diri. Setelah belanja dan mengantri pun Anjarani masih setia seperti patung berjalan.
“Ada untungnya juga ya bawa kamu Ran.” Anjarani mendengus kesal.
Setelah ia menjadi obat nyamuk selama perjalanan, kini ia pun dimanfaatkan untuk menjadi kacung untuk membawa barang-barang belanjaan. Entah kapan penderitaannya akan berakhir jika ia terus tinggal bersama kakaknya.
Dua plastik besar sudah di tangan kanan dan kirinya. Membawa banyak belanjaan sampai keluar mall bisa lepas kedua lengannya. Derita punya kakak, adik selalu jadi sasaran siksaannya. Teh Elsa saja berkali-kali menawarkan bantuan untuk membawa belanjaan. Miris sekali kakaknya malah memperhatikan istrinya saja.
-Di kediaman keluarga Dananjaya-
“Le? Ayo makan dulu Le.”
Suara ibunya memanggil dari lantai bawah menyuruh dirinya untuk makan. Ia hanya makan siang saja setelah pulang dari sekolah, lalu tidur sebentar dan kembali belajar lalu main game sampai sore. Tentu saja ibunya khawatir jika anaknya tidak makan sehari.
“Demi apa? Aku belajar matematika seharian!”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro