Bab 10. Kompetisi Matematika
Setelah kepergian Anjarani yang berjalan dengan gagahnya melewati tengah kerumunan kakak kelas, Indra memijat pelipisnya tampak sedikit sakit kepala karena tingkah Anjarani yang sama sekali tidak ada anggun-anggunnya.
'Mimpi apa aku bisa suka sama dia.' Batin Indra miris.
Ia sendiri juga heran. Berjuta-juta wanita hidup di muka bumi, kenapa dia harus jatuh cinta pada Anjarani? Kurang waras? Otaknya bergeser lima senti di dalam kepalanya?
Tidak ada yang tahu. Indra juga tidak pernah bersikap peduli pada wanita terkecuali pada ibunya. Wanita yang mendekatinya hanya tertarik dengan wajahnya saja karena Indra tahu itu.
Ia mempertahankan gelarnya sebagai pangeran es lantaran dinginnya sikap Indra kepada wanita. Salah sendiri kenapa punya teman sejawat yang hobby sekali jatuh cinta kemudian patah hati.
Mendengar curhatan teman-temannya sudah membuat Indra tidak ingin merasakan jatuh cinta selama ia sekolah. Ia berkomitmen akan mencari cinta sejatinya setelah waktunya nanti ia menikah dan mengikat wanita itu dengan tali pernikahan.
Sayangnya semua komitmen itu hancur dengan kehadiran Anjarani yang sedang tumbuh menjadi wanita dewasa. Parasnya tidak hanya cantik, sikapnya yang natural dan tidak dibuat-buat menjadi 1 penting bagi Indra untuk betah berlama-lama dengannya.
Ketika hendak beranjak dari kantin, Indra menyempatkan diri untuk membeli beberapa roti dan juga minuman untuk dia bawa ke kelas. Sebentar lagi waktu istirahat akan habis, sudah pasti Anjarani tidak akan menyentuh kantin setelah dari toilet.
Tapi ketika Indra hendak masuk ke dalam kelasnya, suasanya ramai sekali dan mau tidak mau Indra memilih untuk duduk di teras depan kelasnya sambil menikmati sebuah roti dan air mineral.
"Eh Ndra? Gak masuk?" Indra menoleh ke belakang.
Anjarani dan Jessie menghampirinya. Indra masih diam memperhatikan saat Anjarani dengan sembrononya melompati pot dan beberapa tanaman dengan sekali loncat. Sedangkan Jessie berjalan memutar.
"Kamu cuci seragammu?" Anjarani mengangguk dengan polosnya.
Dan entah apa yang dipikirkan Anjarani, dia memeras seragamnya yang basah total di depan Indra dan mengibasnyas tanpa ragu sampai air cipratannya menampar wajah Indra.
"Ck! Basah!" Maki Indra kesal. Titik-titik basah di baju dan celananya banyak sekali. Ingin sekali Indra menyambar baju itu dan membalasnya. Anjarani mendengus kesal.
"Cuma air doang Ndra, bukan air keras. Kalem kali." Jessie menggelengkan kepalanya berusaha maklum.
Anjarani kemudian membeberkan seragamnya di atas tanaman tanpa dosa sama sekali. Dipikirnya matahari akan mengeringkan bajunya dalam sekejap, Indra sekali lagi merasa menyesal mengenal Anjarani. Tingkahnya benar-benar seperti orang tidak dilahirkan dengan urat malu.
"Setelah istirahat ini kita harus ke aula untuk bimbingan jurusan kan?" Jessie berdiri sambil mengamati lapangan sekolah yang terlihat panas sekali. Indra mengangguk saja, kebiasaan lamanya kambuh.
"Astaga... gak bawa perfume, baju basah, kaosku juga ikut kena es kopi. Sialan banget itu senior... Kenapa tadi aku gak tarik aja bajunya sampe sobek." Jessie merinding horor.
"Ran, sini. Duduk dulu, makan, minum. Habis itu bernafas pelan-pelan. Yang bisa darah tinggi gak cuma kamu aja okay? Aku denger omelanmu juga ikut kepancing darah tinggi jadinya."
Jessie diam-diam melirik Indra sambil sesekali melihat reaksi Anjarani yang duduk dan langsung mengambil makanan di dalam bungkusan milik Indra. Dalam hati ia sanksi sekali jika mereka tidak menjalin suatu hubungan. Interaksi dari keduanya terlalu berkaitan satu sama lain.
"Jess? Ambil nih, kamu belum makan kan? Bentar lagi bel bunyi lho."
Keringat sebesar biji jagung turun di dahi Jessie. Makanan milik Indra, Anjarani yang menawarkan padanya seperti si pemilik roti. Heran sekali Jessie, berusaha untuk biasa tapi sulit. Ia pun mengambil satu bungkus roti dan kemudian menerima air mineral dari Anjarani juga.
"Eh Ndra, bukannya kamu dulu suka banget main bola ya? Kenapa kamu gak ikut ekskul bola aja?"
Indra menoleh. Seandainya Anjarani tahu bahwa Indra tidak tertarik dengan ekskul karena melelahkan. Dia tidak bisa membagi waktu belajar ketika sampai di rumah dia sudah lelah karena kegiatan ekskul.
"Aku gak suka kotor. Aku lebih suka hari minggu tidur seharian dari pada mandi keringat gara-gara main bola." Terkejutlah Anjarani mendengar penjelasan Indra.
"Jess? Denger gak? Indra mah casingnya doang laki, dalemnya hello kitty."
"Pfffttttt! Hahahahaha!" Jessie langsung saja tertawa keras
"Woii!" Indra membuang muka kesal.
Jessie yang sudah bisa mengatur tawanya sedikit berdehem dan melanjutkan memakan rotinya pelan. Sosok Anjarani sangat menyenangkan sekali, Jessie merasa ia begitu bebas berada di dekat wanita yang baru beberapa jam ia kenal.
"Ran? Kamu kok bisa sih biasa aja waktu dibully kakak kelas? Hebat banget tahu gak?"
Jessie tidak akan melihat reaksi Anjarani yang sedikit tegang. Walau hanya sedetik saja Indra merasakannya, tapi jelas sekali Indra melihatnya. Anjarani melanjutkan memakan rotinya.
"Pengalaman." Jawab Anjarani santai.
Indra tahu pasti sesuatu terjadi dulu pada Anjarani. Walaupun ekspresinya terlihat santai, tapi tetap saja mata tidak bisa berbohong. Entah apa yang Anjarani alami dulu, Indra harap itu bukan sesuatu yang membuatnya trauma.
Bel masuk pun berbunyi, Anjarani beserta geng barunya langsung digiring oleh kakak OSIS untuk memasuki seminar kegiatan kurikulum serta perkenalan pada kepala kejuruan masing-masing.
Cukup memakan waktu yang lama, Anjarani sampai berkali-kali mengeluh kehausan karena tadi dia makan tidak sempat minum. Setelah acara seminar itu selesai, mereka pun dipulangkan tepat pukul setengah dua siang.
"Jess? Kamu dijemput?" Jessie tersenyum kecil sambil sedikit mengibaskan rambutnya pamer.
"Aku dijemput pangeran tampan."
Anjarani langsung berwajah sinis jijik. Sejak kapan Jessie jadi norak begini? Untunglah Indra tidak mendengarnya, seandainya dengar pun Indra sudah pasti menjaga jarak dengan Jessie karena takut terular virus narsisnya.
"Kebanyakan halu kamu mah. Bareng aku lah naik angkot." Jessia tertawa.
Tangannya menunjuk pada sebuah mobil Jazz merah metalik yang terparkir di pinggir jalan. Jendela kacanya yang terbuka sungguh memperlihatkan sesosok pria berkacamata hitam keren sedang memainkan ponselnya.
"Itu kakak gue yang paling tampan. Bye bye Ran...." Anjarani melongo hebat.
"Gila ya Ndra. Jessie sama kakaknya beda banget. Bener-bener langit dan bumi." Ucap Anjarani menggelengkan kepala. Indra menahan tawanya. Ucapan Anjarani terdengar heran, tapi menghina bersamaan.
"Bebek jelek kalo didandani juga bisa secantik angsa Ran. Gak usah heran, mungkin aja Jessie gak suka make up kaya kamu." Anjarani tersenyum sinis. Merasakan Indra yang menghina dirinya semudah itu.
"Beli minum dulu lah. Gila! Haus banget rasanya, puasa mendadak."
Indra mengekor saja ketika Anjarani membawanya ke sebuah toko dan membuka lemari es. Anjarani mengambil sebotol minuman teh dan kemudian mengambil satu kaleng milo dan membawanya ke kasir.
"Eh Ndra, aku denger UGM bakal adain kompetisi matematika lagi." Indra menerima satu kaleng milo dari Anjarani.
"UGM kan di Yogyakarta Ran."
"Tapi diadain di berbagai kota. Balikpapan gak kebagian sih, tapi Samarinda dapat." Indra mulai tertarik.
Kompetisi matematika dari UGM berarti kemungkinan besar kalau menang akan mudah masuk seleksi masuk universitas disana. Walaupun Indra belum kepikiran untuk kuliah di UGM.
"Kapan pendaftarannya?" Anjarani mengambil ponsel disakunya.
"Eh Ran? Nunggu jemputan?" Ekspresi Anjarani langsung masam.
Bisa-bisanya ia bertemu dengan Robby disini. Bukannya ketua OSIS sepertinya akan selalu sibuk? Tapi melihat Robby yang santai, Anjarani jadi sanksi dengan kinerjanya selama setahun menjabat.
"Gak kak, ini udah mau pulang."
Indra sudah merasa ada aura modus dari kedatangan Robby langsung memasang wajah tidak sukanya. Tidak tahu diri sekali kakak kelasnya ini. Indra langsung menghabiskan milonya sekaligus.
"Oh, yaudah bareng aku aja. Aku anterin sampe rumahmu."
Robby masih sibuk membujuk Anjarani. Dua orang temannya yang lain tampak sama wajahnya dengan Robby, wajah-wajah cowok berengsek. Indra lantas berdiri sambil membuang kaleng ke dalam tong sampah. Wajahnya menantang sekali seakan Robby walaupun kakak kelasnya, ketua OSIS sekalipun tidak akan membuatnya takut.
"Maaf kak, aku pulang sama Indra aja."
Demi apa pun Anjarani gugup, takut kedua teman Robby akan mulai bertingkah macam-macam pada Indra ketika tangan kanannya langsung ditarik olehnya. Robby langsung termakan emosi.
"Eh! Jaga sikap yaa, anak baru. Gak usah sombong kamu."
Robby menahan pundak Indra dengan kuat. Tangannya tidak segan mencengkramnya dengan tatapan mata yang sesekali melihat gandengan tangan Anjarani dengan Indra. Kesal sekali, sampai rasanya Robby bisa mengamuk kapan saja.
Indra sendiri juga kesal karena dimana pun ia memandang, selalu wajah Robby merusak moodnya. Melihatnya dari jauh saja Indra berharap matanya bisa menyaring wajah-wajah laknat agar ia tidak emosi setiap saat.
"Tolong jaga sikap anda, kakak senior. Sombong itu hak manusia. Anda bukan tuhan sampai ngelarang manusia untuk sombong." Anjarani hampir menggigit lidahnya sendiri. Perkataan Indra pedas sekali, ia hampir mati konyol karena menggigit lidahnya sendiri.
Indra langsung membawa Anjarani keluar dari toko dan pergi dengan ekspresi kemenangan yang tiada tara. Robby yang terdiam dan tidak bisa membalas jelas saja marah. Demi menjaga popularitasnya, ia menahan tangannya mati-matian agar tidak menghajar Indra detik itu juga.
"Gila ya? Besar juga nyalinya." Robby mendengus.
"Balik!" Mereka pun pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro