Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8

Acara ulang tahun Alika dilakukan di teras samping rumah. Sebuah tenda besar warna merah muda dipasang menutupi halaman samping, ada banyak bunga, balon, serta kain perca yang membuat suasana layaknya di gedung dari pada taman.

Tidak banyak yang diundang untuk acara ini, hanya beberapa kerabat dekat dan keluarga saja. Untuk teman-teman Alika, akan ada acara berbeda di sekolah nanti. Saat ini Mika sedang mengobrol bersama Cila. Baskara sibuk diskusi dengan Haven, sedangkan Sundari sedang menyuapi anak laki-laki Mika yang baru berumur satu setengah tahun. Heina dan suaminya mengobrol dengan kerabat di ruang tengah, sementara Alika sibuk membuka kado.

"Lo pasti nggak percaya apa yang dilakukan sama teman-teman Alika di kelas pas ulang tahun."

Cila mendesah, mengunyah potongan kue ulang tahun bagiannya. "Pesta besar pastinya. Dulu teman-teman sekolah gue gitu soalnya."

Mika menggoyangkan jari. "Bukan sekedar pesat tapi diadakannya tuh di tempat-tempat kayak hotel. Mana hampir tiap bulan ada yang ulang tahun pula."

"Hahaha, hedon sekali mereka."

"Sepertinya sengaja untuk pamer. Aku bicara baik-baik dengan Alika, jangan iri dengan acara teman-temannya. Untungnya anak gue ngerti."

Cila mengangguk, mencecap rasa manis di lidah. "Untungnya Alika anak yang baik dan nggak nuntut."

"Memang, makanya banyak yang suka sama dia. Cuma kakek dan neneknya yang itu aja yang aneh. Tahu'kan siapa?"

"Mereka itu keluarga aneh. Punya keturunan yang begitu cantik, menggemaskan dan pintar, malah milih anaknya Cody. Ngomong-ngomong Fabiola belum balik dari luar negeri?"

Mika menggeleng. "Belum, nggak tahu kapan mau balik. Kasihan gue sama dia, kayak tertekan di keluarga sendiri. Waktu datang buat pamitan aja, nangis sambil meluk Alika. Katanya ngerti banget gimana perasaan Alika karena sama-sama diabaikan."

"Kasihan, ya? Padahal dulunya nyebelin banget."

"Hooh, sama kayak Nola nyebelinnya. Siapa sangka sekarang berubah."

"Bokap lo masih sering datang?"

Menghela napas panjang, tatapan Mika tertuju pada sang mama yang sedang mengobrol dengan salah satu bibi Haven. Entah apa yang mereka bicarakan tapi terlihat sangat senang bahkan tertawa. Sundari semenjak cucu laki-lakinya lahir makin terlihat segar dan bahagia.

"Masih, dong," jawab Mika dengan nada jengkel. "Gini, ya, bukan gue nggak suka sama bokap gue. Gimana pun dia emang bokap gue. Tapi, dia itu maksa buat balikan sama nyokap. Makanya gue kesel banget tahu nggak. Dikira mudah apa lupain masa lalu? Diusir tanpa uang, selalu dimaki dan dihina sama istri kedua suaminya. Nggak ada perempuan yang mau direndahkan gitu aja."

"Emang, bokap lo aja kecintaan banget!"

"Bukan kecintaan, dia cuma butuh orang buat ngurusin. Padahal ada Nola dan Nilo."

"Ngomong-ngomong, mana Nilo? Biasanya adik lo itu rajin datang."

Mika menunjuk adiknya yang menjelma menjadi pemuda tampan. Sedang duduk di sudut taman dan bermain game di ponsel bersama dua keponakan Haven. Cila berdecak melihatnya.

"Gue yakin, kalau ditawari tuh bocah pasti mau pindah kemari."

"Emang, gue aja yang nggak mau nawarin. Nggak mau bikin laki sama mertua gue repot."

Cila mengerti perasaan sahabatnya, tidak ingin mengasuh Nilo bukan perkara sakit hati atau dendam tapi lebih ke sikap tahu diri pada keluarga Haven. Bagaimana pun Nilo hanya saudara tiri, meskipun membutuhkan bimbingan ibu tapi bukan tugas Mika dan Sundari untuk memberikannya.

"Nola sibuk kerja sampai nggak mikirin adiknya," gumam Cila.

"Serba salah emang jadi dia. Biarin ajalah, urusan Nilo dan bokap biar jadi urusan dia. Gue malas ikut campur."

"Iyalah, sampai sekarang urusan kalian ama Iyana aja belum beres."

"Memang, ngeselin tuh perempuan. Muka tembok anjir! Bisa-bisanya datang ke kantor laki gue cuma buat minta duit. Katanya gue utang budi sama dia, apalah, anjir! Kalau ketemu gue tonjok!"

Cila mengerti kemarahan dan kekesalan Mika pada Iyana. Perempuan itu setelah cerai dari Naturahman hidup terlunta-lunta bersama kekasihnya. Entah masih jadi kekasih atau sudah menikah, tapi hidup Iyana tidak lagi seperti dulu. Tanpa uang, pekerjaan tetap, dan rumah. Iyana bisa dikatakan menjalani hidup seperti Sundari dan Mika dulu. Berpindah-pindah tempat tinggal dan melakukan banyak hal untuk mendapatkan uang. Apakah itu artinya Iyana mendapatkan karma untuk perbuatannya? Tidak ada yang berani menebak-nebak kuasa Tuhan.

Baskara menghenyakkan diri di samping Cila dan mendesah panjang. "Makanan enak-enak, kalau nggak tahan diri gue bisa makan sampai perut meledak."

Cila menepuk-nepuk paha sabahatnya. "Emangnya di rumah lo kagak pernah masak?"

"Nggak pernah. Nyokap sama bokap sibuk jaga toko. Masak kadang pembantu, sih, tapi nggak seenak masakan Bu Widi atau Tante Sundari."

"Hari ini pesan catering," sela Mika.

"Gue tahu, tapi sambel teri buatan Tante Sundari'kan? Gue masih ngenalin rasanya."

Meski bukan lagi pelajar tapi hubungan persahabatan mereka masih terjalin sampai sekarang. Setiap kali ada acara khusus, mereka berusaha untuk berkumpul dan berbagi cerita. Cila berharap persahabatan ini tidak akan luntur hanya karena jarak, kesibukan, dan juga waktu.

Ketiganya terus bercakap soal sambel dan makanan saat Baskara mendadak bertanya. "Kak Adiar belum datang?"

Cila terdiam seketika dan menunduk, seolah ingin menyembunyikan rasa malu. Padahal tidak ada orang yang tahu perbuatannya dengan Adiar. Entah kenapa ia merasa malu untuk hal yang dilakukan secara pribadi.

"Itu dia datang!" seru Mika menunjuk ke arah pintu.

Cila mendongak, menatap Adiar yang baru saja tiba. Memakai kemeja biru berlengan pendek dan denim biru tua, Adiar tertawa saat bertemu Alika. Setelah diamati lebih dalam, ternyata Adiar jauh lebih tampan dari terakhir mereka bertemu. Bukankah itu baru Minggu lalu? Kenapa seakan terasa sudah lama berlalu? Cila merasa bingung dengan dirinya sendiri karena mulai berharap pada Adiar. Padahal itu bukan sesuatu yang diinginkannya.

"Alika, Sayang. Selamat ulang tahun."

"Terima kasih, Om!"

Alika melompat-lompat di tempatnya, masuk ke pelukan Adiar dan kembali ke ruang tengah. Baskara bangkit dari sofa untuk menyambut Adiar dan keduanya terlibat obrolan seru sambil berdiri. Cila tanpa sadar meraba dada yang mendadak berdebar keras karena kehadiran Adiar.

Laki-laki itu terlihat tampan dan menawan, Cila baru menyadari ternyata tingginya Adiar hampir sama dengan Baskara. Bedanya tubuh Adiar tidak sekekar Baskara yang memang hoby nge-gym. Haven bergabung bersama keduanya dan kini terlihat siapa yang paling tinggi. Tentu saja Haven pemenangnya. Tanpa diduga Adiar menoleh dan melambai ke arah mereka. Cila hanya mengangguk sedangkan Mika balas melambai.

"Adiar datang, pasti sebentar lagi mereka akan main biliard di atas," gumam Mika.

"Eh, gue belum lihat ruang biliard kalian."

"Ntar kita ke atas bareng mereka. Sekarang pelayan pasti lagi ngerapiin bola, minuman, dan segala macam."

"Adiar sering datang kemari?" tanya Cila coba-coba. Tidak ingin Mika tahu kalau dirinya menyelidiki.

Mika belum sempat menjawab karena Alika datang dan meminta bantuan untuk menyisir rambut. Mika mendudukkan anakknya di tengah, mengambil kunciran dan menyisir rambut panjang Alika.

"Tante, kata Mami sekarang manggilnya Tante Cila, bukan Kak Cila lagi."

Cila mengangguk, mencubit kecil dagu Alika. "Nggak apa-apa, Sayang. Kamu suka nggak gaun buatan tante?"

"Suka sekali. Kata Mami nanti dipakai kalau pas ada acara ulang tahun teman."

"Teman kamu ulang tahun terus tiap bulan?"

"Teman aku banyak, Tante."

"Benar juga. Om Baskara ngasih hadiah apa?"

Alika terkikik sambil menutup mulut dengan tangan. Membuat Mika bertukar pandang bingung dengan Cila.

"Apanya yang lucu, Sayang?" tanya Mika pada anaknya.

"Om Baskara sama Om Adiar ngasih hadiahnya sama cuma beda warna aja."

"Hadiah mereka apaan?" desak Cila.

"Satu set make-up mainan. Aduuh, Alika suka sekali. Cantik-cantik banget!"

Saat Alika yang kegirangan berlari menjauh, Mika hanya bisa menggeleng pelan. Tingkah anak sulungnya memang sangat menggemaskan.

"Untung saja Baskara dengerin saran kita. Coba kalau beneran ngasih kado iphone. Apa nggak pusing tuh bapaknya."

"Alika pernah nggak merasa cemburu sama adiknya?"

"Wow, sering tapi sebentar aja. Biasanya jadi bagi-bagi kasih sayang, aku sama Alika dan papi gendong adik. Gitu, sih. Kami berusaha agar Alika nggak merasa tersisih. Maklum, namanya juga anak kecil."

"Memang, kalian jadi orang tua harus adil. Jangan sampai kayak nyokap gue atau bokap lo. Itu pengalaman hidup yang sangat berharga, jangan sampai terulang sama generasi di bawah kita."

Mika meraih jemari Cila dan mengayunkannya perlahan. Mereka adalah sahabat yang sudah melewati banyak hal, dibesarkan oleh beragam masalah hingga akhirnya jadi dekat satu sama lain. Pengalaman pahit yang diberikan oleh orang tua mereka, jangan sampai menjadi trauma yang membekas seumur hidup.

"Aku dan suamiku sering berdebat, kalau Alika sebenarnya bukan anak kami tapi anak Baskara, Adiar, lo, sama kakek neneknya. Dimanja sama semua orang."

Cila tertawa lirih, membayangkan perdebatan yang terjadi antara Haven, Mika melawan Baskara. Tentu saja orang tua pada umumnya akan senang kalau anaknya mendapat kado mahal tapi Mika dan Haven memang di luar jangkauan manusia umumnya.

"Kalian begitu udah bagus kok. Baskara sama Kak Adiar emang terlalu manjain."

"Memang, mentang-mentang mereka punya uang. Oh ya, tadi kamu tanya apa Adiar sering datang kemari? Tentu saja sering. Malah kadang-kadang rapat di rumah ini. Kamu tahu kalau Adiar naik jabatan?"

Cila menatap Mika lekat-lekat. "Sebelumnya jadi asisten. Sekarang jadi apa?"

Mika mengedipkan sebelah mata. "Wakil direktur. Hebat'kan?"

Terlalu kaget membuat Cila lupa untuk bicara. Ternyata karir Adiar melesat jauh melebihi perkiaraannya. Meneguk ludah Cila menahan gugup. Rupanya ia sudah tidur dengan seorang wakil direktur, rasanya ternyata sangat luar biasa.

"Iya, memang hebat," jawab Cila dengan nada lembut.
.
.
Di Karyakarsa update bab baru tentang Baskara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro