Bab 6
Apa yang menjadi ketakutan Cila terbukti, saat dirinya pulang keesokan harinya, omelan panjang dari sang mama terdengar dari dirinya melangkah melewati pintu sampai malam hari. Tidak ada yang berani menghentikan omelan itu, bahkan sang papa pun kali ini tidak membela Cila karena tahu anaknya bersalah.
"Kemana kamu? Nginep nggak bilang-bilang, hah?"
"Rumah teman."
"Teman siapa? Temanmu hanya Mika dan Baskara. Mika punya anak dan suami, nggak mungkin kamu di sana. Baskara itu cowok, nggak mungkin kamu tidur di rumahnya?"
Cila mendesah bosan mendengar omelan sang mama yang seolah tidak henti. "Teman kantor. Bukannya tadi malam aku bilang ada meeting?"
"Meeting apaan sampai nginap? Kamu pikir mama ini bodoh, hah!"
"Nggak ada yang bilang gitu, Ma. Aku hanya menjawab pertanyaan Mama saja."
"Pintar bicara kamu! Cepat bilang, kemana kamu tadi malam? Jangan sampai mama kehabisan kesabaran karena kamu. Sebagai anak sulung, kamu mustinya ngasih contoh sama adikmu. Kalau memang mau menikah atau punya pacar. Bawa ke rumah, bukannya malah hura-hura di luar!"
Cila duduk di pinggir ranjang menekuri lantai. Tidak habis pikir dengan sikap sang mama. Selama ini selalu menyuruhnya mencari pacar, sekalinya ia menginap malah diamuk. Bagaimana kalau sampai mamanya tahu tadi malam ia menginap bersama laki-laki? Tidur di apartemennya, bergulingan sambil telanjang di atas ranjang dan bahkan bercinta di toilet klub malam? Cila tanpa sadar bergidik. Bisa-bisa sang mama terkena serangan jantung saat mendengarnya.
Ia menguap bosan, sementara sang mama masih terus mengomel. Sengaja tidak ingin membantah karena berharap omelannya cepat selesai. Nyatanya, sulit dihentuikan karena seperti biasanya Casey ikut menimpali dan mengompori. Membuat amarah sang mama menjadi semakin meledak.
"Mama lihat nggak gaun Cila? Udah kayak perempuan malam!"
"Nah, iya, mana bisa kamu meeting pakai gaun gini?"
"Udah pendek, tipis, belahan dada juga kelihatan. Gaun murahan gitu bisa-bisanya dipakai keluar."
Cila darah tinggi dan emosi mendengar celaan adiknya. Ia bangkit, menuding Casey sambil melotot. Meraih gaun yang bari saja dilepas dari tubuh dan mengangkatnya di hadapan Casey.
"Apa kata lo? Gaun gue murahan? Ini design gue sendiri! Gue pakai bahan lace yang mahal. Nabung sedikit demi sedikit. Ngerti apa lo soal mode?"
Casey mengangkat bahu, mengibaskan rambut ke belakang dengan tidak peduli. Baginya apa pun yang dilakukan Cila tidak pernah benar. Tidak ada keharusan untuk memuji design yang menurutnya jelek.
"Emang gitu kok. Kalau gue yang pakai, pasti dikira mau ke bar buat jual diri!"
"Tutup mulut lo! Emangnya lo bisa jahit? Lo bisa ngukur kain? Selama lo nggak bisa apa-apa, diam lo!"
Kemarahan Cila membuat heran Casey dan Cahyani. Mendekati anak sulungnya yang baru saja berteriak dengan penuh emosi, Cahyani bertanya dengan nada menegur.
"Kenapa ngamuk-ngamuk sama adikmu? Kenyataan memang gaun itu modelnya jelek. Kalau mama dikasih gratis pun nggak mau pakai. Casey bilang yang sebenarnya, kenapa kamu nggak bisa terima kritik?"
"Nah'ya, Ma. Harusnya Cila bisa terima kritikan kita jadi bisa improve. Nggak heran kalau dia nggak jadi designer malah jadi pesuruh di kantor. Nggak bisa terima kritikan, sih."
"Keras kepala kamu, Cila. Udah salah, nyolot pula!"
"Nggak mau dimarahi dia, Ma."
Cila tertunduk di pinggir ranjang, dengan kepala berdentum menyakitkan. Entah kenapa kepalanya mendadak nyeri padahal pengaruh alkohol sudah menghilang. Bisa jadi karena cacian dan cibiran dari dua orang terdekatnya yang seolah tanpa henti. Menghantam, menendang, dan mengubur kewarasannya jauh ke dalam lubang hitam yang gelap. Cila bahkan tidak bisa lagi melihat cahaya karena mata hatinya tertutup rasa sedih dan marah.
Sang mama sementisnya menjadi orang yang paling mendukungnya. Adiknya seharusnya menjadi orang yang selalu menyemangatinya. Mereka tidak bisa melakukan itu tapi terus menerus mencercanya. Cila seakan terasing di rumahnya sendiri.
"Kenapa diam saja, Cila? Kamu kalau dibilangin masuk kanan keluar kiri."
"Udah mata rasa dia, Ma. Susah kalau ngomong sama orang bebal!"
Cila mengusap-usap pelupuk dengan lelah, berusaha agar tidak berteriak untuk mengusir dua orang ini dari kamarnya. Ia tidak mengerti, kenapa semua salah, dosa, dan noda harus dilimpahkan padanya.
"Suara kalian kedengeran sampai bawah! Turun sekarang! Berisik!"
Sang papalah yang akhirnya menyelamatkan Cila. Mamanya dan Casey mau tidak mau keluar dari kamar Cila karena perintah sang papa. Setelah keadaan sepi, Cila menutup pintu dan menguncinya. Merebahkan diri di ranjang dan merenungi.
"Sebenarnya kenapa aku harus hidup di rumah ini?"
Cila selalu menanyakan hal yang sama dan tidak pernah ada jawaban memuaskan. Ia juga pernah berpikiran sempit layaknya anak-anak yang mendapat perlakuan tidak adil dari keluarganya. Jangan-jangan dirinya anak pungut, anak haram sang papa di luar nikah, atau pun anak yang ditemukan di tempat sampah. Beragam teori tidak masuk akal dari otaknya sering menyembur keluar dan dipatahkan oleh kenyataan. Kalau secara darah dan DNA, dirinya memang anak dari keluarga Panji dan Cahyani. Kalau begitu kenapa dirinya dianggap berbeda dengan Casey?
"Perlakukan yang beda gini, bukan cuma lo aja yang ngalami. Lo lupa, gue juga digituin sama bokap gue? Satu lagi, anak gue Alika. Sampai sekarang kakek sama neneknya dari pihak ibu, nggak mau ketemu dia. Kita bertiga sama-sama diperlakukan nggak adil, Cila. Jangan kecil hati, kita bisa saling menguatkan."
Semangat dari Mika yang membuat Cila terus bertahan dengan prasangka baiknya. Meski begitu ia mulai memikirkan untuk mencari pasangan. Solusi paling cepat untuk keluar dari rumah ini adalah menikah. Tapi dengan siapa dirinya akan menikah?
Cila teringat akan Adiar dan hubungan mereka yang tanpa status tapi sangat vulgar saat bercinta. Cila yang baru pertama merasakan kehangatan tubuh laki-laki, dibuat menggelepar tidak berdaya oleh Adiar. Cila bahkan tidak mengerti, bagaimana bisa dirinya seliar itu, tanpa malu terus merengek ingin disetubuhi.
"Gara-gara obat sialan itu! Aku yakin kalau Flavia memasukkan sesuatu ke minumanku."
Bila teringat masakah tadi malam, Cila merasa sangat marah. Sayangnya tidak ada bukti yang bisa mendukung kecirigaannya. Terpaksa ia menelan sendiri semua kesulitan tadi malam tanpa bisa meminta pertanggung jawaban siapa pun.
"Minggu depan kumpul di rumah, ya."
Pesan dari Mika masuk saat Cila baru selesai mandi. Ia ingin tidur lebih cepat dan menolak ajakan makan dari keluarganya.
"Ada acara apa?" tanya Baskara.
"Alika ulang tahun. Kalian lupa?"
Cila terbelalak lalu mengetik balasan dengan cepat. "Ya ampun, gue lupa sama ulang tahun besti gue. Padahal gue udah siapin hadiah."
"Gaun rancangan lo sendiri?" tanya Mika.
"Iyee, kira-kira Alika suka nggak?"
"Suka banget! Alika itu selalu suka sama pakaian yang lo buat."
Jawaban Mika membuat hati Cila gembira, memutuskan untuk merampungkan gaun hadiah untuk Alika. Pesan dari Baskara membuatnya berpikir keras.
"Gue ngasih hadiah apaan ya? Selama ini Alika selalu nganggap gue kakak yang hebat. Mika, kalau gue kasih iphone, boleh kagak?"
"Kagak boleh! Sama papinya aja megang hape dibatesi. Lo malah mau ngasih iphone."
"Kalau gitu apaan? Cila ada saran?"
Cila menyebut semua hadiah yang umumnya diberikan pada anak perempuan dari mulai baju, sepatu, tas, aksesoris, dan meminta Baskara memutuskan sendiri.
Selama Mika menikah, dalam setiapa acara selalu melibatkan Cila dan Baskara. Tidak peduli apakah itu acara ulang tahun hanya berupa makan-makan, maupun yang dirayakan secara besar-besaran. Bisa dikatakan Cila dan Baskara sudah menjadi bagian dari keluarga Haven dan Mika. Hal itu juga yang membuat Cila sedih. Bagaimana bisa sahabat yang lebih sayang padanya dari pada mama dan adiknya sendiri.
Keesokan pagi saat hendak berangkat kerja dan berganti pakaian, Cila mengernyit melihat tanda merah di leher dan dadanya belum hilang. Untungnya tadi malam ia memakai baju tidur berkrah, dengan begitu sang mama serta Casey tidak melihat tanda cinta di tubuhnya.
Cila mengusap satu kemerahan di dada dan tersenyum kecil. Mengingat bagaimana ganas dan brutalnya Adiar saat bercinta. Laki-laki itu bercinta sama rajinnya dengan bekerja, penuh semangat, panas, dan tidak akan berhenti sebelum membuat Cila berteriak puas.
Cila menghela napas panjang, merasa dadanya berdebar keras dan putingnya mengeras karena mengingat percintaannya dengan Adiar. Ia menepuk dahi, memaki kesal karena bergairah hanya karena teringat adegan erotis. Adiar mengecupi tubuhnya dan ia menggigit bahu yang kokoh dan keras. Telanjang berdua, bercinta di bawah pancuran air hangat.
"Haah, kerjaaa! Kerjaaa, Cila. Sex melulu yang dipikir!"
Cila tidak ikut sarapan, dengan dalih sudah telat ke kantor. Padahal alasan utamnya adalah ia malas mendengar cerewetan sang mama dan rengekan Casey. Lebih baik ia menghabiskan waktunya di jalan sambil berpikir, tentang segala kemungkinan yang akan menyambutnya di kantor.
Apakah Marta akan memecatnya karena ia menolak Antoni. Apakah bulian Flavia dan yang akan semakin menjadi-jadi padanya setelah peristiwa tadi malam? Saat ini ia ingin sekali berdiskusi dengan seseorang yang mengerti keadaanya. Sayangnya ia lupa meminta nomor Adiar. Kenal bertahun-tahun tapi tidak pernah saling berhubungan satu sama lain. Tidak heran kalau Cila tidak tahu nomor ponsel dari laki-laki yang sudah merenggut keperawanannya. Padahal hanya Adiar yang mengerti tentang dirinya saat ini.
Tiba di tempat kerja, ia bergegas memarkir kendaraan. Membalas sapaan dari beberapa pegawai lain dan menuju ke ruangan designer. Langkahnya terhenti tepat di tengah pintu saat empat sekawan di dalam ruangan menatapnya bersamaan. Cila masih ingat berapa jumlah telepon dari mereka malam itu yang tidak diterimanya, karena dirinya sibuk meredakan gairah. Cila menghela napas panjang, bersiap menerima yang paling buruk sekalipun yaitu dipecat.
"Selamat pagi!" sapanya dengan nada lembut.
.
.
Di Karyakarsa update bab 40.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro