Bab 5
Cila berbaring malas di sofa ruang tamu, mengunyah potongan apel yang diberikan Adiar untuknya. Setelah sarapan yang sedikit kesiangan, ia mengistirahatkan tubuh sebelum beranjak pulang. Tidak mungkin untuk menginap lagi di sini.
Pandangan Cila terarah ke sosok Adiar yang bersandar pada pagar balkon. Memakai celana pendek selutut berwarna cream dengan kaos putih. Cila menahan napas, saat melihat laki-laki itu merokok sambil melamun. Siapa sangka, tanpa kemeja, jas, serta kacamata, Adiar terlihat lebih muda. Selain itu tenaganya juga kuat saat bercinta. Tubuh Cila memanas saat teringat apa yang sudah dilaluinya bersama Adiar.
Dari semalam hingga tadi pagi, mereka sudah bergulat dengan gairah sebanyak empat kali. Cila pun mengeluh dalam hati, tersesat dalam malam panjang penuh nafsu bersama laki-laki yang bahkan tidak pernah terpikir oleh otaknya. Siapa yang menyangka kalau dirinya akan dibuat terus menerus mengerang dan mendesah oleh Adiar yang kaku dan membosankan.
Berbeda dengan Baskara yang hangat dan ceplas-ceplos, atau juga Haven yang ramah serta bicara dengan penuh kesopanan, Adiar terhitung sangat kaku. Setiap kali bertemu, mereka bertukar kata tidak lebih dari tiga kalimat saja. Mendadak semua berubah saat dikuasai nafsu, bukan hanya kalimat sapaan, berikut ejekan dan bahkan makian pun terlontar dari bibir Adiar yang pendiam. Cila sangat tidak menduga jalan permaian nasib mereka.
"Kamu belum cerita, bagaimana bisa terdampar di klub malam?"
Adiar yang baru selesai merokok, duduk di samping Cila yang melamun.
"Aku juga nggak tahu kalau akan datang ke klub. Timku, maksudnya adalah orang-orang di tempatku bekerja kedatangan tamu dari luar negeri. Namanya Antonius dan terbilang salah satu designer hebat. Aku sangat menyukai designnya dan orang-orang di rumah mode pun sama. Katanya mereka mengajakku meeting. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya."
Kata-kata Cila membuat Adiar mengernyit. "Kenapa?"
Cila menghela napas panjang. "Di rumah mode itu, tidak peduli bagaimanapun aku bekerja keras, yang mereka berikan hanya pekerjaan kasar layaknya pesuruh. Mendadak aku diajak meeting, harusnya aku curiga. Tapi malah datang dengan gembira. Dari awal mereka sudah memintaku duduk di samping Antonius. Laki-laki bule itu nggak bisa jaga tangannya, pingin grepe-grepe terus. Aku mau pulang, ditahan buat minum dan tahu-tahu habis tiga gelas. Saat itulah aku baru sadar ada yang nggak beres saat badanku kerasa panas dan sensitif."
"Bajingan mereka!"
Makian Adiar diberi anggukan setuju Cila. "Aku nggak tahu kenapa Antonius mengincarku. Padahal ada dua gadis lainnya. Flavia sangat cantik, langsing, dan tadi malam pakai gaun terbuka. Aku kasih lihat fotonya."
Cila membuka ponsel yang data internetnya dimatikan, membuka foto pegawai rumah mode dan menunjukkan pada Adiar.
"Cantik'kan? Mirip sama Nola. Tipe-tipe lansing, putih, dan primadona."
Adiar mengangkat bahu. "Mungkin untuk sebagian orang, temanmu itu cantik. Bagi banyak orang, kamu lebih menarik."
Cila ternganga. "Kok bisa?"
"Bisalah, tubuhmu juga langsing, matamu bulat, kulitmu eksotis dan sehat. Kamu tipe perempuan yang menyenangkan untuk dilihat dan juga diajak bicara. Bule-bule sangat suka tipe kulit seperti kamu."
Cila menahan napas saat jari Adiar kini membelai betis dan pahanya. Karena tidak membawa pakaian ganti, ia hanya meminjam kaos Adiar yang mampu menutupi hingga ke pertengahan paha.
"Kulitmu halus sekali, Cila."
Cila tersenyum, berusaha untuk tetap bernapa normal dengan jari Adiar bergerilya di tubuhnya.
"Kamu sendiri gimana? Kenapa bisa di klub itu?"
Adiar menghela napas panjang, mengamati jarinya yang kini mengusap lembut bagian dalam paha Cila. Ia bisa merasakan gairahnya kembali terpicu.
"Gara-gara reuni," jawab Adira malas. "Teman-teman kuliah berkumpul, menyewa satu ruang VIP yang besar. Semua mabuk sampai lupa ingatan dan aku salah satunya."
"Oh, kirain karena menjamu klien."
"Mana mungkin Pak Haven menjamu klien di tempat seperti itu?"
"Benar juga. Teman-teman kamu pasti nyariin?"
"Memang, nggak berhenti telepon."
"Sama, aku pun diteror. Teman-teman satu kerjaan, belum lagi keluargaku. Entah apa yang terjadi kalau nanti aku pulang, dan besok mulai kerja. Sudah pasti dipecat."
Jari Adiar kini mengusap permukaan celana dalam dengan sangat lembut dan menggoda. Tersenyum saat mendengar napas Cila yang menjadi semakin berat.
"Kamu takut?"
"Sedikit."
"Dengan yang mana, keluarga atau pekerjaan?"
"Dua-duanya."
"Kalau dipecat, apa yang akan kamu lakukan?"
Cila menggigit bibir, memejam sesaat sambil membuka paha. Jari-jari Adiar kini bergerak membelai dengan penuh kelembutan dan membuatnya menggelinjang.
"Kak Adiaaar!"
"Ya, kenapa Cila."
"Kenapa aku baru tahu kalau kamu ternyata nafsuan. Aaah."
Tubuh Cila merosot ke atas sofa saat Adiar membuka celana dalamnya dan memainkan dua jari di sana. Sekali lagi gairah Cila terpacu, dengan bibir Adiar melumat bibirnya. Kaosnya dilepas dengan cepat, Adiar membungkuk untuk meremas dada dan menghisap putingnya.
"Aku hanya ingin memastikan satu hal, Cila."
Cila terengah-engah karena sentuhan bibir Adiar di tubuhnya. "Apaa?"
"Kalau pengaruh obat perangsang sudah hilang dari tubuhmu. Jangan sampai kamu pulang dalam keadaan on karena nafsu."
"Taaa-pi, aaah. Aku gini karena kamu!"
"Oh, benarkah? Kalau begitu kita teruskan sampai benar-benar habis pengaruhnya."
Adiar mengusap vagina dengan cepat, meremas dada yang membusung. Ia membuka seluruh pakaiannya dengan.cepat dan meletakkan tangan Cila ke area intimnya yang menegang. Percakapan yang semula serius, berubah menjadi erangan yang keras.
"Kenapaa gini?" tanya Cila dengan napas tersengal.
"Kenapa Cila?"
"Kita barusan ngobrol."
"Sekarang kita masih ngobrol. Bedanya tubuh kita juga ikutan ngrobol."
Adiar berlutut di depan Cila, mengangkat kedua kaki ke belakang tubuh dan mulai menghujam cepat. Jarinya meremas dada Cila yang membusung. Adiar merasa dirinya sudah gila, tidak tahan untuk tidak bersentuhan dan bersetubuh dengan Cila. Padahal mereka tidak punya hubungan apa pun. Sebuah hubungan badan tanpa cinta, anehnya sangat membuatnya ketagihan.
"Oh, ketatnya kamuu!"
Erangan Adiar tanpa sadar membuat Cila tersenyum. Meski dalam hati memaki dirinya yang mudah terbakar hasrat hanya karena astu sentuhan. Ia mendesah, menggerakkan pinggul dengan cepat untuk mengimbangi gerakan Adiar. Tidak mengerti bagaimana caranya menghentikan semua ini. Pinggulnya mengejang saat mencapai puncak, disusul denganAdiar yang menghujam cepat lalu melemas di atas tubuhnya.
Keduanya tidak saling bicara hingga napas kembali normal. Saat Adiar mengangkat tubuhnya. Cila ikut bangkit. Meraih kaos dan memakainya.
"Aku harus pulang sekarang. Kalau nggak keluargaku bisa mencincangku."
"Mau aku antar?" tanya Adiar.
Cila berdiri di hadapan Adiar, menimbang-nimbang tawaran laki-laki itu. Alangkah menyenangkan saat melihat ekpresi mamanya, kala dirinya pulang membawa seorang laki-laki. Adiar tidak kalah tampan dari Jairo. Secara usia justru lebih matang. Tipe menantu idaman papa. Sayangnya bukan hubungan seperti ini yang ia inginkan.
"Kak, kita bertemu tadi malam secara nggak sengaja."
Adiar mendongak lalu mengangguk. "Benar."
"Kita bercinta karena awalnya kamu menolongku. Entah kenapa aku lebih memilih bercinta denganmu dari pada dengan bule itu. Padahal, dia adalah jalanku untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil."
"Karena kamu bukan tipe perempuan yang akan menjual harga diri hanya demi uang dan kedudukan."
Pujian Adiar membuat Cila tersenyum. Merasa bangga dengan kata-kata yang penuh penghiburan itu. Adiar benar, ia tidak akan menggadaikan harga diri hanya demi uang dan pekerjaan. Selain itu, ia juga tidak ingin memberikan kepuasaan pada empat sekawan di kantor, karena telah menggunakan tubuhnya untuk keuntungan mereka.
"Terima kasih pujiannya."
"Itu bukan pujian tapi kenyataan. Kamu adalah perempuan berprinsip. Mika sering bercerita tentang dirimu yang gigih mengejar cita-cita. Tidur dengan bule itu adalah jalan pintas tapi kamu nggak gunakan karena kegigihan hatimu melarang. Itu adalah modalmu dalam menjalani hidup."
Cila memiringkan kepala, masih tidak menyangka kalau seorang laki-laki yang kaku dan pendiam ternyata punya pikiran dan perhatian yang hangat. Mungkin selama ini ia tidak cukup mengenal Adiar, hingga selalu berburuk sangka. Padahal saat bicara dari hati ke hati seperti sekarang, Adiar ternyata cukup menyenangkan.
"Aku akan selalu ingat kata-katamu hari ini."
Adiar melepaskan genggamannya pada jari Cila. "Kamu mau makan dulu sebelum pulang?"
Cila menggeleng. "Nggak usah, aku masih cukup kenyang. Sarapan sama apel tadi sudah cukup."
"Baiklah, kamu bisa pakai kamar mandi buat dandan dan ganti pakaian."
Cila mengangguk, ke kamar mandi untuk membasuh tubuh. Jejak percintaan dengan Adiar terekam kuat di tubuhnya, bercak merak di leher, dada, dan bahunya. Untungnya ia membawa outer untuk menutupi karena gaunnya sangat terbuka.
Selesai mandi, ia kembali memakai gaun hitam. Setelah memoles bedak dan lipstik, bergegas keluar. Ingin cepat-cepat meninggalkan kamar yang membuatnya mencapai orgasme setiap kali direbahkan di atasanya.
"Kak, aku pulang dulu."
Adiar menoleh dari balkon, mematikan rokok dan menghampiri Cila. "Yakin nggak mau diantar?"
Cila menggeleng. "Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri. Ehm, terima sudah diijinkan menginap."
"Sama-sama, Cila. Lain kali hati-hati kalau ada meeting."
"Iya, Kak. Daah!"
"Daah, Cila."
Saat pintu rumah Adiar menutup, Cila menghela napas panjang. Menyusuri lorong menuju lift. Perasaannya tidak menentu antara ingin kembali ke apartemen itu atau bergegas pulang. Di antara rasa yang timbul tenggelam, Cila memukul sisi kepala dan bicara dengan keras.
"Sadar, Cilaa! Yang kamu lakukan hanya percintaan semalam. Apa yang kamu harapkan dari hubungan yang terjalin karena cinta semalam?"
Dalam lubuk hati Cila ingin sekali Adiar menahannya. Sayangnya ia juga diperingatkan oleh kenyataan kalau hubungannya dengan laki-laki itu berakhir seiring dengan memudarnya pengaruh obat perangsang.
.
.
Bab baru tayang di KK.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro